Apa yang dimaksud dengan konflik organisasi?

image

Konflik organisasi (Organizational conflict) adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok organisasi yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan- kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Konflik organisasi juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain.

Apa yang dimaksud dengan konflik organisasi ?

Konflik organisasi adalah konflik yang terjadi karena adanya pebedaan antara dua atau lebih anggota kelompok dalam situasi organisasi yang muncul dari kenyataan:

  1. harus membagi sumber daya yang langka, dan
  2. perbedaan status, pandangan dan nilai-nilai.

Konflik intraindividual, interpersonal dan intergroup semuanya tidak lepas dari konflik organisasi. Semua tipe konflik terdapat di dalam ruang organisasi. Sumber konflik organisasi adalah: pembagian sumber daya tidak jelas, perbedaan tujuan, interdependensi aktivitas kerja, perbedaan nilai atau pandangan, dan gaya hidup individu dan kekaburan dalam organisasi (kepribadian individu, tanggung jawab kerja tidak jelas, komunikasi tidak jelas).

Pandangan Mengenai Konflik Organisasi


Pandangan mengenai konflik dapat Kita tinjau melalui:

Pandangan tradisional

Konflik dalam pandangan tradisional dipandang buruk. Konflik dipandang negatif, destruktif dan merugikan. Karena itu konflik harus dilenyapkan, demi kerukunan dan harmoni hidup.

Bentuk tingkah laku manusia sepanjang hidupnya, sebagian besar merupakan bentuk penyesuaian tingkah laku terhadap orang lain, dan menghindari konflik serta perselisihan. Keluarga, sekolah, dan agama selaku lembaga sosial selalu menekankan adaptasi diri (penyesuaian diri), prinsip anti konflik, dan kerukunan.

Ringkasnya, bagi masyarakat tradisional, konflik mengandung pengertian negatif, karena mengandung unsur ketidaksesuaian, pertentangan, perselisihan dan permusuhan yang harus diberantas dari muka bumi. Dengan demikian dapat difahami bahwa konflik dalam pandangan tradisional ini dapat dicegah.

Konflik dalam organisasi dapat terjadi disebabkan:

  1. kesalahan mendisain/mengelola, dan
  2. pengacau dari luar/dalam.

Robbins (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa konflik disebabkan sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.

Pandangan tradisional melihat prestasi optimal organisasi dengan tidak menghendaki adanya konflik. Dengan demikian tugas manajemen adalah melenyapkan konflik karena pandangan tradisional melihat akibat konflik sebagai suatu yang dapat mengacaukan organisasi, dan menghambat optimalisasi kerja.

Karena semua konflik harus dilenyapkan atau dihindari, maka Kita sekedar perlu mengarahkan perhatian pada penyebab konflik dan mengkoreksi salah-fungsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Meskipun cara ini dianggap standar usang, namun penelitian sekarang membuktikan bahwa pendekatan terhadap pengurangan konflik menghasilkan kinerja kelompok yang tinggi. Evaluasi situasi konflik dengan standar usang ini masih banyak dilakukan dewan redaksi.

Pandangan Behavioral

Konflik dalam pandangan behavioral merupakan suatu hal yang wajar dan dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik tidak terelakkan, maka kaum behavioris menganjurkan penerimaan konflik.

Konflik bersumber dari perbedaan-perbedaan kodrati masing-masing individu dan kelompok. penghapusan terhadap perbedaan, berarti: Penghapusan terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok itu sendiri. Pandangan behavioral merasionalisir konflik sebagai suatu yang tidak dapat disingkirkan, bahkan ada kalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.

Pandangan Interaksionis

Konflik dalam pandangan interaksionis diyakini bukan hanya sebagai sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja efektif.

Padangan interaksionis melihat prestasi optimal memerlukan konflik tingkat moderat. Kaum interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.

Apabila hal itu ekstrim sifatnya, dapat menyebabkan kematian dan kebangkrutan organisasi. Oleh karena itu sumbangan utama dari pendekatan interaksionis mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik, cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis diri dan kreatif.

Karena konflik bisa memperkokoh fundamen organisasi, dan dapat melancarkan fungsi organisasi (badan, lembaga, jawatan) berkat adanya introspeksi, refleksi, wawasan kembali, revisi dan reorganisasi. Jadi konflik merupakan wujud yang positif, konstruktif, dan fungsional sifatnya.

Pada masa sekarang orang meyakini adanya relasi antara konflik yang konstruktif dengan suksesnya organisasi. Tanpa konflik, tidak akan banyak kita dapati tantangan, dan tidak terdapat kemajuan. Juga tidak ada dorongan untuk mawas kembali, tidak ada koreksi;selanjutnya organisasi akan mengalami stagnasi total. Selalu bersikap setuju dan “menuhunkan” semua keputusan walaupun salah dan tidak cocok, tanpa mengadakan oposisi dan koreksi, semuanya itu akan menampilkan indikasi adanya otokrasi, kemacetan, uniformitas, kebekuan mental, indolensi psikis (kemalasan psikis) dan apatisme.

Sebaliknya konflik pada batas-batas yang wajar mencerminkan adanya demokrasi, kebinekaan, perbedaan, keragaman, perkembangan, pertumbuhan, progres, aktualisasi diri dan transendensi-diri. Karena itu konflik menjadi hal yang sangat essensial bagi pertumbuhan dan suksesnya lembaga serta organisasi.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, organisasi pasti mengalami banyak perubahan. Maka tanggung jawab pemimpin yang paling utama adalah memandu secara bijaksana dan efisien unit-unit organisasi di tengah badai-badai perubahan sebagai akibat dari mekanisasi, industrialisasi dan modernisasi. Dan semua perubahan pasti berlangsung melalui benturan dan konflik-konflik dari unsur-unsur yang bertentangan, elemen yang tradisional kontra elemen yang interaksionis. Maka interaksi dari benturan- benturan tadi akan membuahkan, situasi interaksionis serta perubahan- perubahan.

Tugas utama pemimpin modern bukan menciptakan harmoni/keselarasan yang statis dalam perusahaan, akan tetapi untuk mencapai sasaran organisasi atau sasaran bersama secara efektif. Oleh karena itu, eliminasi atau peniadaan konflik-konlik dalam organisasi yang serba kompleks, merupakan usaha yang tidak realistis.

Leonardo Rico dalam bukunya Organizational Conflict menyatakan sebagai berikut mengenai konflik:

“The individuals or groups who are most vocal in advocating harmony and happiness in an environment devoid of conflict, may only be protecting their vested interest in the status quo”.
(individu-individu dan kelompok-kelompok yang paling nyaring menganjurkan harmoni dan kebahagiaan dalam lingkungan penuh konflik, mereka ini cuma berkeinginan melindungi kepentingan sendiri dalam status quo).

Jadi, pemimpin-pemimpin yang berbuat sedemikian itu cuma berkepentingan dengan usaha melindungi kepentingan sendiri, serta usaha mempertahankan status quo.
Banyak organisasi dan lembaga menjadi mundur dan indolent (lamban/malas) disebabkan oleh apatis dan rasa puas terhadap diri sendiri; dan bukan disebabkan terlalu banyak konflik. Para pemimpin yang gagal, selalu bersikeras menolak berlangsungnya perubahan-perubahan.

Pada hakekatnya mereka itu adalah pemimpin-pemimpin yang enggan dan “malas- malas” menghadapi tantangan konflik-konflik. Mereka merasa lebih aman dengan menghindari konflik-konflik yang dianggap mengandung resiko dan bahaya. Sebab untuk menanggapi perubahan dan kemajuan, diperlukan jiwa yang dinamis, agar orang berani menghadapi tantangan dan konflik-konflik demi kemajuan organisasi. Dengan demikian maka konflik harus dilihat sebagai unsur yang positif.

Sifat-sifat Konflik Organisasi


Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik. Menurut sifatnya konflik terbagi atas konflik fungsional dan konflik disfungsional.

1. Konflik fungsional

Konflik fungsional dalam pandangan kaum interaksionis dikatakan sebagai beberapa konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerjanya. Sedangkan konflik disfungsional atau konflik destruktif adalah konflik yang merintangi kinerja kelompok.

Konflik fungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang terjadi bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi. Konflik memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan anggota kelompok, menyediakan saluran yang menjadi sarana masalah-masalah dapat disampaikan dan ketegangan dapat diredakan, dan memupuk suatu lingkungan evaluasi-diri dan perubahan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa konflik tidak hanya membantu tetapi juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan adanya kreativitas. Kelompok-kelompok yang anggotanya dengan kepentingan yang berlainan cenderung menghasilkan pemecahan dengan kualitas yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah daripada kelompok yang homogen (Robbins, 2003). Hal ini mendorong kita untuk meramalkan bahwa keanekaragaman budaya yang meningkat dari angkatan kerja seharusnya memberikan manfaat kepada organisasi.

Penelitian menunjukkan bahwa heterogenitas di antara anggota kelompok dan kelompok dan organisasi dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki kualitas keputusan, dan mempermudah perubahan dengan meningkatkan keluwesan anggota. Di sisi lain hasil penelitian proses pengambilan keputusan kelompok juga telah mengarahkan teori pada suatu kesimpulan bahwa konflik dapat menghasilkan banyak manfaat positif bagi organisasi jika dikelola dengan baik.

Konflik fungsional dapat mengarah pada penemuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan, sehingga organisasi dapat hidup terus dan berkembang.

Konflik adalah suatu penangkal bagi pikiran kelompok. Konflik tidak membiarkan kelompok itu secara pasif menerima begitu saja keputusan- keputusan yang mungkin saja didasarkan pada pengandaian yang lemah, pertimbangan yang tidak memadai dari alternatif-alternatif yang relevan, atau cacat-cacat lain.

Konflik menantang status quo dan karenanya meneruskan lebih jauh penciptakan gagasan baru, menggalakkan penilaian-ulang terhadap tujuan dari kegiatan kelompok, dan meningkatkan probabilitas bahwa kelompok itu akan tanggap terhadap perubahan.

Pada tingkat individu, konflik yang terjadi dapat menciptakan sejumlah akibat yang diinginkan. Dalam batas-batas tertentu, konflik dapat menimbulkan adanya ketegangan yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Penyaluran dari ketegangan tersebut dapat menimbulkan adanya prestasi kerja dan kepuasan yang tinggi. Akan tetapi untuk memberikan hasil yang diinginkan, bagaimanapun juga konflik harus dibatasi atau memiliki intensitas yang tepat. Jika tidak maka akan terjadi konsekuensi yang disfungsional.

2. Konflik disfungsional

Konflik disfungsional dapat terjadi karena konsekuensi destruktif dari konflik kinerja kelompok atau organisasi. Konflik disfungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang merusak atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi atau kelompok. Sebagian organisasi dapat menangani dan mengelola konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional.

Akan tetapi, sebagian besar organisasi mengalami konflik pada tingkat yang lebih besar dari yang diinginkan (yang fungsional), dan prestasi akan membaik jika konflik yang terjadi dapat dikurangi. Jika konflik yang terjadi begitu parah, maka prestasi organisasi mulai merosot.

Ringkasnya oposisi yang tidak terkendali membiakkan ketidakpuasan, yang bertindak menghilangkan ikatan kebersamaaan, dan akhirnya mendorong ke penghancuran organisasi. Konflik disfungsional yang dapat mengurangi keefektifan dapat terjadi diantaranya karena penghambatan komunikasi, pengurangan kepaduan kelompok, dan dikalahkannya tujuan kelompok terhadap keunggulan pertikaian antara anggota-anggota. Ekstremnya, konflik dapat menghentikan berfungsinya kelompok dan secara potensial mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut.

Suatu cara yang umum dilakukan dalam organisasi-organisasi yang dengan sukses menciptakan konflik fungsional adalah bahwa mereka menghargai perbedaan pendapat dan menghukum penghindar konflik. Namun tantangan bagi para manajer adalah bila mereka mendengar berita yang tidak ingin didengar. Berita itu dapat mendidihkan darah mereka atau meruntuhkan harapan mereka, tetapi mereka tidak memperhatikannya. Mereka harus belajar menerima kabar buruk tanpa tersentak. Tidak ada semburan kata- kata marah, tidak ada sarkasme bibir mengatup, tidak ada mata yang melotot, tidak ada kertakan gigi. Sebaliknya manajer seharusnya mengemukakan pertanyaan yang tenang bahkan lembut.

Konflik terjadi apabila dalam hubungan antara dua orang atau kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena tidak didukung, tidak memudahkan kegiatan yang sedang berlangsungf atau dapat merugikan sehingga dengan adanya suatu konflik yang terjadi merusak suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.
Keberadaan konflik tidak dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu selalu muncul dan terjadi pada setiap organisasi.

Menurut Luthans F, “konflik merupakan ketidaksesuian nilai atau tujuan antara anggota organisasi, sebagaimana dikemukakan berikut;perilaku konflik dimaksud adalah perbedaan kepentingan perilaku kerja,perbedaan sifat individu, dan perbedaan tanggung jawab dalam aktivitas organisasi”.

Konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi kegiatan-kegiatan kerja karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status,tujuan,nilai atau persepsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan dalam hubungan kemanusiaan antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam mencapai suatu tujuan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan, emosi dan nilai.

Menurut Clinton F.Fink sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono (2003:213) mendefinisikan sebagai berikut:

“Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan;interest-interest ekslusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda”

Pandangan tradisional (tahun 1930an sampai 1940an)

Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik itu berbahaya sehingga harus dihindari. Konflik merupakan hasil disfungsional sebagai akibat buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan diantara anggota organisasi, dan kegagalan manajer merespon kebutuhan dan aspirasi karyawan.

Pandangan aliran hubungan manusiawi (akhir tahun 1940an sampai pertengahan tahun 1970an)

Dalam hal ini konflik dilihat sebagai hal yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok atau organisasi. Konflik kadang bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok.

Pandangan interaksionis

Dikemukakan oleh John Aker dari IBM. Pandangan ini mendorong konflik pada keadaan yang harmonis, karena tiadanya perbedaan pendapat cenderung menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis dan tidak tanggap terhadap kebutuhan perubahan dan inovasi. Pendekatan ini mendorong pimpinan organisasi selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar menumbuhkan semangat dan kreativitas kelompok.

Jenis-jenis Konflik


Konflik yang terjadi dalam organisasi dalam batas-batas tertentu diperlukan dalam rangka kemajuan dan perkembangan organisasi. Pandangan negatif masyarakat tentang konflik disebabkan konflik yang muncul di permukaan sering merupakan konflik yang bersifat destruktif. Dalam organisasi terdapat dua jenis konflik:

  1. Konflik fungsional
    Konflik ini berkaitan dengan pertentangan antar kelompok dan bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi. Menurut Cherrington (1989), dari hasil penelitian tentang proses pengambilan keputusan kelompok, diperoleh kesimpulan bahwa konflik dapat menghasilkan banyak manfaat positif bagi organisasi jika dikelola dengan baik. Konflik fungsional dapat mengarahkan pada penemuan cara lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan sehingga organisasi dapat berkembang.

  2. Konflik disfungsional
    Konflik disfungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang merusak atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Sebagian organisasi dapat mengelola konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional. Namun ada organisasi yang mengalami konflik pada tingkat yang lebih besar dari yang diinginkan (fungsional), prestasi akan muncul jika konflik dapat dikurangi. Jika konflik yang terjadi tidak dapat ditangani dan mengarah kepada konflik disfungsional, maka akan menurunkan prestasi organisasi.

Selain itu, konflik didalam organisasi juga dapat dikategorikan sebagai berikut :

  1. Konflik dalam diri seseorang
    Terjadi jika ia harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau tuntutan tugas yang melebihi kemampuannya.

  2. Konflik antar individu
    Terjadi karena perbedaan tentang isu tertentu, tindakan, dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentukan.

  3. Konflik antar anggota kelompok
    Kelompok dapat mengalami konflik substantif, yaitu terjadi karena perbedan latar belakang keahlian, anggota suatu komite menghasilkan kesimpulan berbeda atas data yang sama. Atau konflik afektif, yaitu terjadi karena tanggapan emosional atas situasi tertentu.

  4. Konflik antarkelompok
    Terjadi karena masing-masing kelompok ingin mengejar kepentingan atau tujuan kelompok masing-masing.

  5. Konflik intraorganisasi
    Konflik ini meliputi empat macam konflik, yaitu:

    • Konflik vertikal: terjadi antara manajer dan bawahan karena perbedaan cara penyelesaian tugas

    • Konflik horisontal: terjadi antara karyawan atau departemen yang memiliki hirarki yang sama dalam organisasi

    • Konflik lini-staf: terjadi karena perbedaan tentang keterlibatan staf ahli dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini.

    • Konflik peran: terjadi karena seseorang memiliki peran yang saling bertentangan.

  6. Konflik antarorganisasi
    Terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain terhadap pemasok, pelanggan, maupun distributor.

Konflik merupakan sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya.

Konflik merupakan kondisi terjadinya ketidaksesuian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan perilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun organisasi. Mullins (1993)

Konflik didalam organisasi muncul diantara dua orang atau lebih atau kelompok yang mempunyai ketidaksesuaian tujuan. French (1994)

Setiap kelompok atau komunitas didalam suatu organisasi, ketika didalamnya ada interaksi antara satu dengan yang lainnya, pasti ada kecenderungan untuk timbul konflik. Manajemen konflik, membahas bagaimana mengatur atau mengelola konflik itu menjadi hal yang dapat meningkatkan produktivitas.

Pendapat tentang konflik didalam organisasi dapat dilihat dari 3 sudut pandang, yaitu:

  • Pandangan tradisional, yang berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang tak diinginkan dan berbahaya bagi kehidupan organisasi.

  • Pandangan perilaku, yang berpendapat bahwa konflik merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan organisasi, yang biasa bermanfaat (konflik fungsional) dan bisa pula merugikan organisasi (konflik disfungsionl).

  • Pandangan interaksi, yang berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat terhindarkan dan sangat diperlukn bagi pemimpin organisasi.

Konflik dalam organisasi

Dalam konflik organisasi dapat muncul karena adanya kemungkinan-kemungkinan, yaitu situasi yang tidak sesuai dalam mencapai tujuan, sasaran, munculnya ketidak pastian dalam status pekerjaan dan perbedaan persepsi.

Konflik organisasi dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

  • Konflik Hierarki (Hierarchical Conflict)

    Konflik hierarki ini dapat muncul ketika ada benturan di hierarki struktural. Semakin kompleks hierarki strukturalnya, maka semakin sering terjadi adanya konflik di antara para pejabat yng ada di dalam struktur organisasi.

  • Konflik Fungsional dan Disfungsional (functional and dissfunctional conflict)

    Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Mattesion (2005) konflik fungsional adalah konfrontasi antara kelompok-kelomok yang menginginkan keuntungan dan peningkatan prestasi organisasi. Konflik fungsional dapat diarahkan untuk menambah perubahan adanya kesadaran terhadap, hasil yang lebih luas dan produktif, mengkaji untuk solusi dan secara umum memfasilitassi perubahan positif, adaptasi, dan inovasi.

    Konflik disfungsional adalah berbagai konfrontasi atau interaksi dintara kelompok-kelompok yang merugikan dan menghalanngi tercapainya tujuan organisasi.
    Konflik fungsional dan disfungsional ini akan muncul dalam organisasi ketika ada berbagai fungsi manajemen seperti: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan memimpin mengalami berbagai pertentangan dan kepentingan masing-masing sehingga mengalami konflik.

  • Konflik Staf-Lini (line-staff conflict)

    Konflik antara staf lini ini dapat muncul katika hubungan antara garis wewenang dan tanggungjawab keduanya saling tumpang tindih dan tidak jelas.

  • Konflik Kelompok Formal dan Kelompok Informal (formal-non-formal conflict)

    Konflik terjadi ketika ada dua kelompok, yaitu kelompok formal dan informal yang mempunyai perbedaan kepentingan dalam mencapai tujuannya. Jika salah satu atau kedua belah pihak mempunyai tujuan dan kepentingan berbeda, maka akan terjadi konflik yang dapat merugikan organisasi.

Ciri-ciri konflik

Ciri-Ciri Konflik menurut Wijono (2011) adalah sebagai berikut :

  1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.

  2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.

  3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-pangan, materi dan
    kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.

  4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.

  5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan lain sebagainya.

Terdapat dua tipe dasar konflik yaitu konflik tugas dan konflik hubungan (Amason dan Schweiger, 1997; Hon, 2012; Jehn dan Mannix, 2001). Konflik hubungan terjadi ketika terdapat ketidakcocokan antara anggota tim atau karyawan satu dengan yang lainnya sedangkan konflik tugas terjadi ketika anggota tim tidak setuju dalam menjalankan suatu tugas atau pekerjaan yang di peroleh (De Dreu et al., 1999; Hon, 2012).

Secara umum, teori konflik organisasi telah menyebutkan bahwa konflik menurunkan efektivitas suatu tim dan fungsi dari organisasi (Glazer dan Beehr, 2005; Hamilton et al., 1993), dan mereka lebih memfokuskan perhatiannya pada penyebab dan penanganan konflik (Simons dan Peterson, 2000; Wall dan Callister, 1995).

Konflik juga bisa di sebabkan karena seseorang mengerjakan pekerjaan lebih dari satu yang bertentangan, hal ini disebut konflik peran. Konflik peran dapat dilihat sebagai akibat dari dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang di tunjukan pada diri seseorang dan menyebabkan penurunan kinerja individu dan efektivitas organisasi (Rizzo et al., 1970).

Konflik kerja terjadi ketika karyawan tidak dapat memenuhi sesuai dengan target kerja yang diharapkan dan tuntutan yang tidak sesuai (Rizzo et al., 1970; Van Sell et al., 1981; Kren, 1992; Fogarty, 1996). Ketika terjadi konflik dalam karyawan, fokus mereka akan terpecah antara ekspektasi persaingan dan tuntutan (burney dan widener, 2007), Dengan demikian Rizzo et al. (1970) berpendapat bahwa kinerja manajer efektivitasnya menurun ketika adanya konflik.

Konflik kerja dapat diukur dari beberapa indikator (Chen dan Ayoko, 2012) yaitu:

  1. Konflik tugas, konflik ini terjadi ketika anggota tim memiliki ide yang berbeda-beda, dan opini tentang isu-isu spesifik untuk tugas dibawah diskusi seperti keputusan strategis atau informasi untuk dimasukan dalam laporan (Jehn,1995).
  2. Konflik hubungan, konflik ini berkaitan dengan perbedaan pendapat atas nilai-nilai pribadi dan tingkah laku antar individu yang berhubungan negatif dengan kinerja saat pengambilan suatu keputusan (Yang dan Mossholder, 2004; Amason, 1996; De Dreu dan Weingart, 2003).
  3. Konflik proses, konflik ini melibatkan perbedaan pendapat tentang strategi untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu, dan bukan tentang konten atau substansi tugas itu sendiri (Jehn et al., 2008).

Penelitian terdahulu mengenai konflik kerja telah di lakukan oleh beberapa peneliti yaitu Chen dan Ayoko (2012) menguji hubungan konflik, emosi dan kepercayaan. Penelitian mengenai Pekerjaan yang ganda dan konflik berupa peran dari proses emosional yang terjadi dalam kelompok itu sendiri, hal ini menelaah bagaimana anggota kelompok menangani emosi mempengaruhi intragroup 15 interaksi dan menimbulkan dampak bagi pekerjaan dan hubungan konflik (Yang dan Mossholder, 2004). Hon dan Chan (2013) juga menggunakan konflik kerja sebagai variabel penelitiannya yang menguji hubungan antara konflik kerja, stres kerja terhadap kinerja karyawan.