Konflik organisasi adalah konflik yang terjadi karena adanya pebedaan antara dua atau lebih anggota kelompok dalam situasi organisasi yang muncul dari kenyataan:
- harus membagi sumber daya yang langka, dan
- perbedaan status, pandangan dan nilai-nilai.
Konflik intraindividual, interpersonal dan intergroup semuanya tidak lepas dari konflik organisasi. Semua tipe konflik terdapat di dalam ruang organisasi. Sumber konflik organisasi adalah: pembagian sumber daya tidak jelas, perbedaan tujuan, interdependensi aktivitas kerja, perbedaan nilai atau pandangan, dan gaya hidup individu dan kekaburan dalam organisasi (kepribadian individu, tanggung jawab kerja tidak jelas, komunikasi tidak jelas).
Pandangan Mengenai Konflik Organisasi
Pandangan mengenai konflik dapat Kita tinjau melalui:
Pandangan tradisional
Konflik dalam pandangan tradisional dipandang buruk. Konflik dipandang negatif, destruktif dan merugikan. Karena itu konflik harus dilenyapkan, demi kerukunan dan harmoni hidup.
Bentuk tingkah laku manusia sepanjang hidupnya, sebagian besar merupakan bentuk penyesuaian tingkah laku terhadap orang lain, dan menghindari konflik serta perselisihan. Keluarga, sekolah, dan agama selaku lembaga sosial selalu menekankan adaptasi diri (penyesuaian diri), prinsip anti konflik, dan kerukunan.
Ringkasnya, bagi masyarakat tradisional, konflik mengandung pengertian negatif, karena mengandung unsur ketidaksesuaian, pertentangan, perselisihan dan permusuhan yang harus diberantas dari muka bumi. Dengan demikian dapat difahami bahwa konflik dalam pandangan tradisional ini dapat dicegah.
Konflik dalam organisasi dapat terjadi disebabkan:
- kesalahan mendisain/mengelola, dan
- pengacau dari luar/dalam.
Robbins (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa konflik disebabkan sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan tradisional melihat prestasi optimal organisasi dengan tidak menghendaki adanya konflik. Dengan demikian tugas manajemen adalah melenyapkan konflik karena pandangan tradisional melihat akibat konflik sebagai suatu yang dapat mengacaukan organisasi, dan menghambat optimalisasi kerja.
Karena semua konflik harus dilenyapkan atau dihindari, maka Kita sekedar perlu mengarahkan perhatian pada penyebab konflik dan mengkoreksi salah-fungsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Meskipun cara ini dianggap standar usang, namun penelitian sekarang membuktikan bahwa pendekatan terhadap pengurangan konflik menghasilkan kinerja kelompok yang tinggi. Evaluasi situasi konflik dengan standar usang ini masih banyak dilakukan dewan redaksi.
Pandangan Behavioral
Konflik dalam pandangan behavioral merupakan suatu hal yang wajar dan dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik tidak terelakkan, maka kaum behavioris menganjurkan penerimaan konflik.
Konflik bersumber dari perbedaan-perbedaan kodrati masing-masing individu dan kelompok. penghapusan terhadap perbedaan, berarti: Penghapusan terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok itu sendiri. Pandangan behavioral merasionalisir konflik sebagai suatu yang tidak dapat disingkirkan, bahkan ada kalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Pandangan Interaksionis
Konflik dalam pandangan interaksionis diyakini bukan hanya sebagai sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja efektif.
Padangan interaksionis melihat prestasi optimal memerlukan konflik tingkat moderat. Kaum interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
Apabila hal itu ekstrim sifatnya, dapat menyebabkan kematian dan kebangkrutan organisasi. Oleh karena itu sumbangan utama dari pendekatan interaksionis mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik, cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis diri dan kreatif.
Karena konflik bisa memperkokoh fundamen organisasi, dan dapat melancarkan fungsi organisasi (badan, lembaga, jawatan) berkat adanya introspeksi, refleksi, wawasan kembali, revisi dan reorganisasi. Jadi konflik merupakan wujud yang positif, konstruktif, dan fungsional sifatnya.
Pada masa sekarang orang meyakini adanya relasi antara konflik yang konstruktif dengan suksesnya organisasi. Tanpa konflik, tidak akan banyak kita dapati tantangan, dan tidak terdapat kemajuan. Juga tidak ada dorongan untuk mawas kembali, tidak ada koreksi;selanjutnya organisasi akan mengalami stagnasi total. Selalu bersikap setuju dan “menuhunkan” semua keputusan walaupun salah dan tidak cocok, tanpa mengadakan oposisi dan koreksi, semuanya itu akan menampilkan indikasi adanya otokrasi, kemacetan, uniformitas, kebekuan mental, indolensi psikis (kemalasan psikis) dan apatisme.
Sebaliknya konflik pada batas-batas yang wajar mencerminkan adanya demokrasi, kebinekaan, perbedaan, keragaman, perkembangan, pertumbuhan, progres, aktualisasi diri dan transendensi-diri. Karena itu konflik menjadi hal yang sangat essensial bagi pertumbuhan dan suksesnya lembaga serta organisasi.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, organisasi pasti mengalami banyak perubahan. Maka tanggung jawab pemimpin yang paling utama adalah memandu secara bijaksana dan efisien unit-unit organisasi di tengah badai-badai perubahan sebagai akibat dari mekanisasi, industrialisasi dan modernisasi. Dan semua perubahan pasti berlangsung melalui benturan dan konflik-konflik dari unsur-unsur yang bertentangan, elemen yang tradisional kontra elemen yang interaksionis. Maka interaksi dari benturan- benturan tadi akan membuahkan, situasi interaksionis serta perubahan- perubahan.
Tugas utama pemimpin modern bukan menciptakan harmoni/keselarasan yang statis dalam perusahaan, akan tetapi untuk mencapai sasaran organisasi atau sasaran bersama secara efektif. Oleh karena itu, eliminasi atau peniadaan konflik-konlik dalam organisasi yang serba kompleks, merupakan usaha yang tidak realistis.
Leonardo Rico dalam bukunya Organizational Conflict menyatakan sebagai berikut mengenai konflik:
“The individuals or groups who are most vocal in advocating harmony and happiness in an environment devoid of conflict, may only be protecting their vested interest in the status quo”.
(individu-individu dan kelompok-kelompok yang paling nyaring menganjurkan harmoni dan kebahagiaan dalam lingkungan penuh konflik, mereka ini cuma berkeinginan melindungi kepentingan sendiri dalam status quo).
Jadi, pemimpin-pemimpin yang berbuat sedemikian itu cuma berkepentingan dengan usaha melindungi kepentingan sendiri, serta usaha mempertahankan status quo.
Banyak organisasi dan lembaga menjadi mundur dan indolent (lamban/malas) disebabkan oleh apatis dan rasa puas terhadap diri sendiri; dan bukan disebabkan terlalu banyak konflik. Para pemimpin yang gagal, selalu bersikeras menolak berlangsungnya perubahan-perubahan.
Pada hakekatnya mereka itu adalah pemimpin-pemimpin yang enggan dan “malas- malas” menghadapi tantangan konflik-konflik. Mereka merasa lebih aman dengan menghindari konflik-konflik yang dianggap mengandung resiko dan bahaya. Sebab untuk menanggapi perubahan dan kemajuan, diperlukan jiwa yang dinamis, agar orang berani menghadapi tantangan dan konflik-konflik demi kemajuan organisasi. Dengan demikian maka konflik harus dilihat sebagai unsur yang positif.
Sifat-sifat Konflik Organisasi
Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik. Menurut sifatnya konflik terbagi atas konflik fungsional dan konflik disfungsional.
1. Konflik fungsional
Konflik fungsional dalam pandangan kaum interaksionis dikatakan sebagai beberapa konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerjanya. Sedangkan konflik disfungsional atau konflik destruktif adalah konflik yang merintangi kinerja kelompok.
Konflik fungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang terjadi bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi. Konflik memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan anggota kelompok, menyediakan saluran yang menjadi sarana masalah-masalah dapat disampaikan dan ketegangan dapat diredakan, dan memupuk suatu lingkungan evaluasi-diri dan perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa konflik tidak hanya membantu tetapi juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan adanya kreativitas. Kelompok-kelompok yang anggotanya dengan kepentingan yang berlainan cenderung menghasilkan pemecahan dengan kualitas yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah daripada kelompok yang homogen (Robbins, 2003). Hal ini mendorong kita untuk meramalkan bahwa keanekaragaman budaya yang meningkat dari angkatan kerja seharusnya memberikan manfaat kepada organisasi.
Penelitian menunjukkan bahwa heterogenitas di antara anggota kelompok dan kelompok dan organisasi dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki kualitas keputusan, dan mempermudah perubahan dengan meningkatkan keluwesan anggota. Di sisi lain hasil penelitian proses pengambilan keputusan kelompok juga telah mengarahkan teori pada suatu kesimpulan bahwa konflik dapat menghasilkan banyak manfaat positif bagi organisasi jika dikelola dengan baik.
Konflik fungsional dapat mengarah pada penemuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan, sehingga organisasi dapat hidup terus dan berkembang.
Konflik adalah suatu penangkal bagi pikiran kelompok. Konflik tidak membiarkan kelompok itu secara pasif menerima begitu saja keputusan- keputusan yang mungkin saja didasarkan pada pengandaian yang lemah, pertimbangan yang tidak memadai dari alternatif-alternatif yang relevan, atau cacat-cacat lain.
Konflik menantang status quo dan karenanya meneruskan lebih jauh penciptakan gagasan baru, menggalakkan penilaian-ulang terhadap tujuan dari kegiatan kelompok, dan meningkatkan probabilitas bahwa kelompok itu akan tanggap terhadap perubahan.
Pada tingkat individu, konflik yang terjadi dapat menciptakan sejumlah akibat yang diinginkan. Dalam batas-batas tertentu, konflik dapat menimbulkan adanya ketegangan yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Penyaluran dari ketegangan tersebut dapat menimbulkan adanya prestasi kerja dan kepuasan yang tinggi. Akan tetapi untuk memberikan hasil yang diinginkan, bagaimanapun juga konflik harus dibatasi atau memiliki intensitas yang tepat. Jika tidak maka akan terjadi konsekuensi yang disfungsional.
2. Konflik disfungsional
Konflik disfungsional dapat terjadi karena konsekuensi destruktif dari konflik kinerja kelompok atau organisasi. Konflik disfungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang merusak atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi atau kelompok. Sebagian organisasi dapat menangani dan mengelola konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional.
Akan tetapi, sebagian besar organisasi mengalami konflik pada tingkat yang lebih besar dari yang diinginkan (yang fungsional), dan prestasi akan membaik jika konflik yang terjadi dapat dikurangi. Jika konflik yang terjadi begitu parah, maka prestasi organisasi mulai merosot.
Ringkasnya oposisi yang tidak terkendali membiakkan ketidakpuasan, yang bertindak menghilangkan ikatan kebersamaaan, dan akhirnya mendorong ke penghancuran organisasi. Konflik disfungsional yang dapat mengurangi keefektifan dapat terjadi diantaranya karena penghambatan komunikasi, pengurangan kepaduan kelompok, dan dikalahkannya tujuan kelompok terhadap keunggulan pertikaian antara anggota-anggota. Ekstremnya, konflik dapat menghentikan berfungsinya kelompok dan secara potensial mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut.
Suatu cara yang umum dilakukan dalam organisasi-organisasi yang dengan sukses menciptakan konflik fungsional adalah bahwa mereka menghargai perbedaan pendapat dan menghukum penghindar konflik. Namun tantangan bagi para manajer adalah bila mereka mendengar berita yang tidak ingin didengar. Berita itu dapat mendidihkan darah mereka atau meruntuhkan harapan mereka, tetapi mereka tidak memperhatikannya. Mereka harus belajar menerima kabar buruk tanpa tersentak. Tidak ada semburan kata- kata marah, tidak ada sarkasme bibir mengatup, tidak ada mata yang melotot, tidak ada kertakan gigi. Sebaliknya manajer seharusnya mengemukakan pertanyaan yang tenang bahkan lembut.