Apa yang dimaksud dengan Konflik Internasional?

Apa yang dimaksud dengan Konflik Internasional?

Dalam kehidupan bernegara, konflik mungkin tidak dapat dihindari. Interaksi yang beraneka ragam kepentingan baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya dalam bernegara pada gilirannya akan mendorong timbulnya berbagai konflik. Permasalahan konflik yang beragam mulai dari konflik ditingkat lokal sampai ditingkat internasional, umumnya memiliki permasalahan konflik yang sama. Menurut Pringgodigdo, Konflik pada awalnya berasal dari bahasa latin ” conflictus ”, yang artinya pertentangan atau perkelahian. Kemudian, Webster dalam Pruitt dan Rubin , lebih lanjut mendefinisikan konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan atau suatu kepercayaaan, bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Menurut Surbakti , konflik sering memiliki makna benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan atau pertentangan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta antara individu atau kelompok dengan pemerintah.

Kajian tentang konflik merupakan kajian yang sudah sangat lama dan sangat kaya. Simon Fisher (dkk) melakukan identifikasi sebab-sebab terjadinya konflik, dua diantaranya adalah:

  1. Teori kebutuhan massa, berasumsi bahwa konflik yang berakar sangat dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental, atau sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Isu yang mengemuka adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi.

  2. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam oleh pihak lain.

Unit analisis terjadinya konflik antara masyarakat atau etnis dengan negara dapat dipetakan dalam dua kategori besar yakni;

  1. Konflik domestik belaka yang tidak kemudian berimbas dengan proses pemisahan secara politik ataupun teritorial.

  2. Konflik antara negara dengan masyarakat atau etnis yang berimplikasi terhadap proses pemisahan diri dari negara. Kategori yang kedua ini kemudian menjadi diskursus konflik dalam wacana separatisme.

Variabel yang sangat sering digunakan untuk mengurangi ekskalasi konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kemudian mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrumen yang bisa menyelesaikan masalah bersama. William Zartman mengusulkan variabel negosiasi preventif melibatkan pihak ketiga dengan mempertimbangkan stakes, attitude, tactic (masalah, cara menyikapi masalah, dan taktik yang dilakukan) guna mengurangi ekskalasi konflik. Peranan mediasi pihak ketiga inilah yang sering kali diyakini akan mampu memoderatkan tuntutan separatis menjadi otonomi atau bentuk konsesi politik lainnya .

Selain itu, awal mula terjadinya konflik, ada pula yang diakibatkan karena peninggalan masa lampau dari penjajah kolonial. Jones mengatakan bahwa banyak kaum minoritas yang frustasi menyalahkan imperialisme masa lalu sebagai penyebab permasalahan yang mereka hadapi (konflik). Pelanggaran perbatasan etnik dilakukan hanya untuk menandai berakhirnya gerakan pasukan kaum imperialis atau merupakan hasil kesepakatan negara besar. Garis batas jarang memperlihatkan garis alam pusat pemukiman suatu bangsa dengan bangsa yang lain, penarikan garis itu sering mengabaikan garis pemisah antar suku dan antar etnik. Bangsa-bangsa yang semula satu diceraikan, dan suku-suku serta kelompok-kelompok yang berlawanan dipersatukan.

Peter Wallensteen dalam Jemadu8 dengan bukunya berjudul Understanding Conflict Resolution: War, Peace and The Global System menyebutkan tiga tipe konflik internasional yaitu:

  1. Konflik antar negara (interstate conflict ),

  2. konflik internal ( internal conflict ), dan

  3. konflik yang berkaitan dengan pembentukan negara ( state formation conflict ).

Dalam kaitan konflik yang terjadi di Mindanao Filipina Selatan antara Pemerintah Filipina dengan Bangsa Moro di Mindanao, merupakan konflik internal yang terjadi di negara Filipina. Oleh sebab itu, kajian tentang konflik internal sangat relevan untuk dipaparkan dalam tinjauan pustaka ini. Dari begitu banyak kemungkinan teori konflik internasional yang dapat dikemukakan disini, peneliti sengaja memilih teori-teori yang kiranya relevan untuk kasus konflik di Mindanao Filipina Selatan. Azar mengemukakan teori protracted social conflict (PSC) atau konflik sosial yang berkepanjangan, dimana ia menjelaskan secara komprehensif sebabsebab terjadinya konflik internal.

Azar secara akurat melihat konteks internasional dari konflik yang terjadi sehingga baik variabel domestik maupun internasional ikut diperhitungkan dalam analisisnya. Azar juga memperhatikan bagaimana faktor domestik dan internasional berinteraksi dalam menciptakan konflik-konflik yang sulit diselesaikan bila hanya melibatkan aktor-aktor domestik.

Teori tentang pra-kondisi yang mengarah pada terjadinya konflik tersebut yakni:

  1. Konflik dikaitkan dengan pra-kondisi yang disebutnya communal content . Pra-kondisi yang memicu terjadinya konflik adalah hubungan yang tidak harmonis antara kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan negara. Negara cenderung tidak mengakui eksistensi kelompok identitas tersebut dan bahkan berusaha mengeliminasinya demi kepentingan eksistensi dan keutuhan negara. Akibatnya, terjadi alienasi terhadap kelompok identitas tertentu dan mendorong para anggotanya untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan negara atau lembaga-lembaga yang merepresentasikannya.

  2. Konflik juga dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses pemiskinan secara sistematis. Proses deprivation secara ekonomi telah menciptakan kantong-kantong kemiskinan sementara kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati surplus ekonomi sebagai hasil eksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah yang dilanda konflik.

  3. Pra-kondisi terjadinya konflik selanjutnya disebabkan berkaitan dengan karakteristik pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi dari akar rumput. Penekanan pada stabilitas politik dan keamanan secara kaku telah mengabaikan hak sipil dan politik dari kelompok etnis tertentu sehingga mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang mendalam. Dalam hal ini pula penggunaan kekuatan militer digunakan untuk menindas setiap bentuk protes atau perlawanan terhadap kekuasaan yang korup dan otoriter.

Buku yang secara spesifik membahas dimensi internasional dari konflik internal merupakan kumpulan makalah yang diedit oleh Michael E. Brown. Dalam bukunya berjudul The International Dimension of Internal Conflict menyebutkan beberapa alasan mengapa studi tentang konflik internal penting untuk dilakukan. Pertama, konflik internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksi kekerasan di mana-mana. Kedua, konflik internal telah mnyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik. Pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pengusiran, merupakan metode yang banyak dipakai untuk mengalahkan pihak musuh. Jutaan manusia terbunuh atau terpaksa menjadi pengungsi merupakan pemandangan yang bisa ditemukan di wilayah-wilayah konflik. Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi yang menyeberang ke wilayah negara tetangga atau pemberontak yang mencari perlindungan kenegara yang berbatasan langsung menimbulkan masalah baru yang tidak mudah untuk diselesaikan karena tidak hanya bernuansa politik tetapi juga ekonomi, etnis, budaya, dan keagamaan. Bahkan masalah pelanggaran perbatasan ini memicu konflik bersenjata antara negara yang bertetangga. Keempat, konflik internal juga penting karena sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang terancam kepentingannya dan organisasi internasional. Kelima, komunitas internasional terus berusaha menggalang kerjasama guna menyelesaikan konflikkonflik internal agar menjadi lebih efektif demi keamanan internasional .

Selain itu, Brown mengemukakan teorinya yang menegaskan bahwa kompleksitas konflik internal tidak bisa dijelaskan hanya oleh satu faktor atau variabel. Untuk itu Brown membedakan the underlying causes of conflict dari the proximate causes of conflict . Secara lebih spesifik Brown memberikan penekanan pada pengaruh kebijakan atau perilaku elit pemimpin sebagai pemicu terjadinya ledakan konflik di suatu daerah. Brown tidak membantah bahwa faktor-faktor struktural, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan perceptual menjadikan suatu daerah rentan terhadap konflik tetapi kita tidak boleh mengabaikan peran dari elit pemimpin yang memicu terjadinya konflik. Di bawah ini peneliti akan mengutip secara lengkap tabel yang dikemukakan oleh Brown di mana ia membedakan dengan jelas penyebab-penyebab konflik yang pokok dan pemicu langsung dari konflik internal.

image
image

Secara eksplisit Brown menyebutkan bahwa faktor perilaku pemimpin merupakan yang terpenting dibandingkan faktor pemicu lainnya . Dari berbagai macam konflik yang terjadi, konflik dapat diselesaikan dengan cara diplomasi untuk meresolusi konflik tersebut. Cara diplomasi dengan meresolusi konflik adalah cara terbaik agar eskalasi konflik dapat ditekan dan konflik yang terjadi dapat berubah menjadi perdamaian, dimana dengan jalan diplomasi ini penyelesaian konflik diselesaikan di atas meja perundingan.