Apa yang dimaksud dengan kode bahasa, kode sastra dan kode budaya dalam karya sastra?

kode bahasa, kode sastra dan kode budaya dalam karya sastra

Apa yang dimaksud dengan kode bahasa, kode sastra dan kode budaya dalam karya sastra?

Sastra dan bahasa keduanya merupakan sistem tanda, tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Lotman menyebut bahasa sebagai tanda primer yang membentuk model dunia bagi pemakainya. Model itulah yang mewujudkan perlengkapan konseptual manusia guna menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya. Adapun sastra merupakan sistem tanda sekunder yang membentuk model, yang bergantung pada bahasa, yakni sistem tanda primernya (dalam Teeuw, 1984:99). Ditegaskan oleh Teeuw (1991), bahwa membaca dan menilai karya sastra itu bukan pekerjaan yang mudah, sebab diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem kode yang rumit, kompleks, dan beraneka ragam.

Dalam rangka pemahaman makna karya sastra, pembaca harus mengenal kode bahasa, kode sastra (Lotman dalam Fokkema, 1977) dan kode budaya yang terserap dan terpadu ke dalam sistem model tersebut (Teeuw, 1983). Kode pertama yang berlaku bagi tiap teks sastra adalah kode bahasa yang dipakai sebagai media karya sastra. Menurut Teeuw (1984) bahasa sebelum digunakan oleh pengarang sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik. Setiap tanda dalam unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu yang secara konvensional disetujui, diterima, dan mengikat masyarakat; tidak hanya dalam arti bahwa tanda itu merupakan berian, tetapi yang lebih penting lagi, di dalam sistem tanda itu tersedia perlengkapan koseptual yang sukar dihindari. Perlengkapan itu merupakan dasar pemahaman dunia nyata dan sekaligus dasar komunikasi yang terpenting di dalam masyarakat.

Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca, agar dirinya berhasil dalam mengapresiasi karya sastra tersebut, sebab pada dasarnya setiap karya sastra itu memiliki keunikan yang sebagian diantaranya diungkapkan melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami maknanya, seseorang perlu memahami dahulu konvensi bahasa yang umum, yang dimungkinkan oleh kaidah tersebut.

Selain kode bahasa diperlukan pula kode sastra dan kode budaya. Sebagai karya sastra, novel memiliki kode sastra dalam hal ini adalah konvensi sastra, bukan sebagai sistem yang beku dan ketat, melainkan sistem yang luwes dan penuh dinamika. Konvensi itu sifatnya berbeda-beda, ada yang umum; tetapi ada yang sangat khusus dan spesifik, dan yang terbatas pada jenis atau golongan karya sastra tertentu (Teeuw, 1984). Pengetahuan yang memadai mengenai konvensi itu merupakan alat yang diperlukan untuk menaturalisasikan dan memahami makna (Culler, 1977). Dengan kemampuan itu, pembaca sebagai manusia yang hidup dalam berbagai konvensi dapat memberi makna terhadap karya sastra.

Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991), sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.

Kode sastra tak dapat dilepaskan dari kode budaya. Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Pradopo (2001), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.

Kadang-kadang antara kode sastra dank kode budaya tidak mudah dipisahkan, tetapi pada prinsipnya keduanya harus dibedakan. Pembaca yang tidak mengetahui latar belakang atau kode budaya novel yang dibacanya akan kesulitan menangkap makna, meskipun kata-katanya sudah dipahaminya. Dengan kode budaya pembaca sastra akan dapat menguraikan unsur-unsur karya sastra sebagai suatu komunikasi sistem tanda. Karena adanya beragam konvensi budaya dalam objek pengkajian, maka konvensi budaya sosial keagamaan dalam karya sastra yang menjadi fokus pembahasan tanpa melepaskan konvensi dan unsur lain yang membangun karya pada tataran analisis yang lebih luas. Dengan cara demikian pengungkapan makna karya sastra, apa pun bentuknya baik puisi, fiksi (cerita pendek dan novel), maupun drama, akan dapat lebih kaya

1 Like

Simbol dan Makna dalam Kajian Semiotik A. Teeuw

Membaca dan menilai karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca puisi, baik modern maupun klasik, pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan atau dimaksudkan oleh pengarangnya. Begitu juga dengan Serat Wira Wiyata yang memerlukan proses pemaknaan untuk mengetahui ajaran patriotisme yang terkandung di dalamnya. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah proses pembacaan karya sastra tersebut. Proses membaca yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu yang memerlukan pengetahuan tentang sistem kode yang rumit, kompleks, dan beraneka ragam. Semiotik sastra mempelajari bahasa alami yang dipakai dalam sastra, tetapi juga sistem-sistem tanda lainnya, untuk menemukan kode-kodenya. Setiap karya sastra bercirikan pemakaian berbagai kode. A. Teeuw membagi simbol dalam tiga kode, yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

  1. Kode Bahasa
    Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks tersebut. Kode bahasa dipakai untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Secara garis besar, kode bahasa menjelaskan makna-makna kebahasaan. Penjelasan isi teks secara harfiah yaitu dengan menjelaskan arti kata secara leksikal atau arti yang paling mendasar, bukan turunan. Kode bahasa ini terdapat dalam kamus-kamus dan tata bahasa. Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca agar dirinya berhasil dalam mengapresiasi karya sastra tersebut sebab pada dasarnya setiap karya sastra memiliki keunikan yang sebagian di antaranya diungkapkan melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami maknanya, seseorang perlu memahami konvensi bahasa yang umum.

  2. Kode Sastra
    Kode sastra menjelaskan isi teks yang dikaitkan dengan unsur-unsur sastra. Kode sastra memaparkan estetika sastra. Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan kebenaran imajinatif dalam sastra. Kode sastra tidak seperti kode bahasa yang bisa dipahami secara langsung. Dalam menganalisis kode sastra, harus bisa berimajinasi, dan membayangkan apa yang dibayangkan oleh pengarangnya. Dalam Serat Wira Wiyata harus diketahui kode tembang Jawa agar dapat memberi makna yang sebenarnya. Tembang Jawa memiliki urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi, dan unsur tata bahasa yang tidak dapat ditentukan oleh kode bahasa maupun kode budaya, tetapi merupakan kode khas sastra Jawa.

  3. Kode Budaya
    Kode budaya menjelaskan isi teks yang dikaitkan dengan keberadaan kebudayaan yang ada saat karya sastra itu dibuat. Kode budaya merupakan pemahaman tehadap latar belakang kehidupan, konteks dan sosial budaya kemasyarakatan. Oleh karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Menganalisis kode kebudayaan membutuhkan pemahaman tentang kebudayaan yang menyelimuti teks karya sastra itu.