Apa yang dimaksud dengan Kista Nasolabial?

Penyakit gigi

Penyebab utama munculnya kista gigi sebagian besar dikaitkan dengan infeksi pada gigi yang tidak segera diobati. Karena dibiarkan begitu saja gigi menjadi busuk dan mati sehingga tidak bisa berfungsi secara maksimal. Penyakit ini jarang sekali terjadi karena kondisi yang berhubungan dengan faktor penyakit atau genetik.

Kista nasolabial merupakan suatu pembengkakan ektodermal yang bermanifestasi sebagai suatu massa pada setengah lateral dari lantai vestibulum nasi di dasar ala nasi. Menurut classification of cyst of the orofacial region berdasarkan WHO tahun 1992, kista ini termasuk kista epitelial yang non-odotogenik.

Kista ini pertama kali diperkenalkan oleh Zukerkandl pada tahun 1882.3,4 Selain kista nasolabial, juga dikenal dengan nama Klestadt’s cyst , kista nasoalveolar, kista vestibulum nasi, nasal wing cyst dan kista mukoid hidung. Bila kista ini tidak mengenai alveolus, maka lebih dikenal dengan nama kista nasolabial.

Kista nasolabial sangat jarang ditemukan. Lee HM (2002)1 dalam penelitiannya selama 12 tahun hanya ditemukan 18 kasus kista nasolabial. Begitu juga Zahirrudin dkk (2009) dalam studinya melaporkan terdapat 5 kasus kista ini selama periode 7 tahun. Meskipun kista berasal dari epitel embrionik, kista sangat jarang terlihat pada masa kanak-kanak. Umumnya kista ditemukan pada dekade keempat dan kelima. Kista lebih sering ditemukan pada wanita dibanding laki-laki dengan perbandingan 3:1. Predileksi biasanya unilateral dan tidak bisa dibedakan predileksi pada kedua sisi kavum nasi. Pada beberapa kasus juga ditemukan bilateral sekitar 10-11,2% kasus.

Patogenesis Kista Nasolabial


Patogenesis terjadinya kista nasolabial dapat diterangkan oleh 3 teori, dimana ketiga teori tersebut mengatakan bahwa kista nasolabial terbentuk secara embriogenik, yaitu :

  1. kista terbentuk secara embriogenik akibat kegagalan penyatuan sel pada daerah maksilla, dinding medial dan lateral nasal,

  2. kista terbentuk secara embriogenik dari sisa duktus nasolakrimal yang terperangkap,

  3. kista terbentuk secara embriogenik dari sel endodermal duktus nasolakrimal.

Teori ketiga, yang menyatakan bahwa kista terbentuk secara embriogenik dari sel endodermal duktus nasolakrimal, akibat rangsangan trauma sewaktu mencabut gigi rahang atas dan ditambah lagi dengan penggunaan gigi palsu akan merangsang terbentuknya kista. Teori ini dikemukakan oleh Bruggemann pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa kista nasolabial ini berasal dari duktus nasolakrimal, teori ini didukung oleh Penelitian Roed-Petersen tahun 1969.

Gejala Kista Nasolabial


Menurut Lee HM gejala klinis dari kista nasolabial yang tersering adalah pembengkakan pada daerah nasolabial (55,6%) diikuti oleh obstruksi hidung (27,8%) dan nyeri (16,7%). Hal ini sama dengan hasil penelitian Zahirrudin dkk dimana gejala pembengkakan pada wajah ditemukan sekitar 80% dari kasus kista nasolabial. Zahirrudin dkk5 juga mengatakan bahwa lamanya onset gejala sampai kunjungan pertama ke klinik berkisar antara 1-5 tahun (rata-rata 2,8 tahun).

Diagnosis Kista Nasolabial


Diagnosis kista nasolabial ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tomografi komputer dan pemeriksaan patologi anatomi. Dari anamnesis didapatkan adanya pembengkakan pada dasar hidung kiri bagian depan, pembesarannya lambat, tidak nyeri dan adanya riwayat pencabutan gigi seri rahang atas serta penggunaan gigi palsu pada tempat bekas pencabutan gigi tersebut.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya asimetri pada wajah, rinoskopi anterior ditemukan pembengkakan pada bagian anteroinferior dari vestibulum nasi kiri, tidak nyeri tekan dan fluktuatif. Menurut Patil K dkk 7 mengatakan bahwa kista ini akan mengangkat ala nasi sehingga lipatan nasolabial akan menghilang. Kista juga dapat menyebabkan pembengkakan pada mukosa sulkus labialis dan mengakibatkan ketidaknyamanan dalam menggunakan gigi sedangkan vitalitas gigi tetap baik. Kista teraba lunak, fluktuatif dan dapat dipalpasi secara bimanual dengan meletakan satu jari pada dasar hidung dan satu jari lagi pada sulkus labialis.

Meskipun diagnosis kista ini telah dapat ditegakan dengan pemeriksaan palpasi bimanual, untuk menyingkirkan diagnosis banding dan melihat adanya destruksi tulang di sekitar kista, kita lakukan pemeriksaan tomografi komputer. Gambaran yang didapatkan pada tomografi komputer kista nasolabial menunjukan adanya lesi hipodens, berbatas tegas pada regio nasolabial dan tidak ditemukan erosi tulang. Foto panoramik dapat membedakan antara kista nasolabial dengan kista odontogenik lainnya.

Disamping pemeriksaan tomografi komputer, MRI juga merupakan modalitas yang penting dalam mengevaluasi kista karena kemampuannya dalam memberikan resolusi kontras yang baik untuk jaringan lunak. MRI ini dapat mengidentifikasi dan melokalisasi lesi pada jaringan lunak.

Pada kista nasolabial setelah pemberian zat kontras, tidak ditemukan enhancement baik pada dinding kista maupun isi kista. Zahirrudin dkk menyatakan bahwa MRI dapat membedakan antara kista nasolabial dengan tumor pada kelenjer ludah minor dimana pada tumor kelenjer ludah minor ditemukan enhancement pada lesi setelah pemberian zat kontras.

Cure dkk mengatakan pemeriksaan tomografi komputer lebih dipilih dibandingkan pemeriksaan MRI dalam mendiagnosis kista nasolabial karena biayanya yang lebih murah.

Hasil pemeriksaan patologi anatomi sesuai dengan gambaran kista nasolabial dimana kista dengan permukaan dilapisi epitel respiratorius (pseudostratified columnar), epitel berlapis gepeng dan sebagian epitel kuboid rendah, dibawahnya terdapat jaringan fibrokolagen dan pembuluh darah yang melebar.

Hal ini sesuai dengan Lee HM1 yang mengatakan bahwa kista nasolabial ini terbentuk oleh rongga yang dilapisi oleh epitel dan dikelilingi oleh jaringan penyambung. Sebagian besar dinding kista dilapisi oleh epitel kolumnar bertingkat. Pada Penelitian Roed-Petersen juga didapatkan hal yang sama sekitar 83% kista nasolabial ini dilapisi oleh epitel kolumnar bertingkat.

Dari 64 kasus yang dievaluasi didapatkan 26 kasus hanya dilapisi oleh epitel kolumnar bertingkat, 15 kasus dilapisi oleh epitel kolumnar dan kuboid, 9 kasus dengan epitel kolumnar dan squamous, 7 kasus dengan epitel squamous dan kuboid, 4 kasus hanya dengan epitel kuboid saja dan 3 kasus dengan epitel kolumnar, squamous dan kuboid.6 Selain itu pada kista ini juga dapat ditemukan sel goblet (60%), perdarahan dan inflamasi kronik.

Penatalaksanaan Kista Nasolabial


Penatalaksanaan kista nasolabial dilakukan dengan ekstirpasi kista melalui pendekatan sublabial. Selain teknik di atas, dapat dilakukan teknik baru yaitu marsupialisasi endoskopi transnasal. Teknik ini pertamakali dilaporkan oleh Su dkk (1999) dan merupakan teknik yang mudah dan efisien dalam penatalaksanaan kista nasolabial.

Teknik ini dibagi dua yaitu marsupialisasi endoskopik transnasal konvensional (dengan menggunakan pisau, gunting atau forsep) dan marsupialisasi endoskopi transnasal dengan bantuan mikrodebrider.

Teknik ekstirpasi kista dengan pendekatan sublabial ini merupakan standar penatalaksanaan kista nasolabial. Teknik ini sering digunakan dibanding eksisi eksternal karena dapat mengangkat kista secara komplit sehingga rekurensinya berkurang dan dari segi kosmetik hasilnya baik.

Menurut Lee JY dkk yang membandingkan teknik konvensional ekstirpasi kista melalui pendekatan sublabial dengan teknik baru marsupialisasi endoskopi transnasal mendapatkan bahwa pasien yang ditatalaksana dengan insisi sublabial cenderung untuk memilih anestesi umum dengan alasan takut sedangkan pada teknik marsupialisasi endoskopi transnasal umumnya dilakukan dengan anestesi lokal.

Perdarahan intraoperatif lebih sulit terkontrol pada teknik insisi sublabial, disamping itu Lamanya waktu operasi dan nyeri pasca operasi yang diukur dengan visual analog scale (VAS) juga lebih meningkat pada teknik ini. Selama follow-up lebih dari 1 tahun, ditemukan komplikasi operasi berupa pembengkakan, nyeri dan memar pada wajah serta rasa kebas pada gusi dan gigi. Semua komplikasi ini biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam 4 minggu pasca operasi, hanya sebagian kecil pasien mengalami komplikasi yang permanen terutama rasa kebas pada gusi dan gigi.

Teknik insisi sublabial ini juga memerlukan pemasangan tampon untuk mengurangi pembengkakan pada jaringan lunak. Setelah 2 hari perawatan pasien dipulangkan. Komplikasi lain yang dapat timbul akibat pengangkatan kista ini adalah perforasi pada mukosa hidung. Perforasi ini biasanya terjadi pada kista yang telah meluas ke dasar hidung. Perforasi yang besar seharusnya dilakukan penjahitan mukosa.

Teknik marsupialisasi endoskopi transnasal mempunya banyak kelebihan dibandingkan teknik insisi sublabial. Teknik ini dapat memperpendek waktu operasi, mengurangi nyeri pasca operasi dan mengurangi komplikasi tindakan. Disamping itu teknik ini tidak membutuhkan tampon hidung pasca operasi, kehilangan darah selama operasi juga sangat minimal dan resiko perdarahan pasca operasi kecil.

Chen CN dkk melaporkan bahwa setelah tindakan marsupialisasi transnasal, kista nasolabial ini akan diganti dengan sinus yang berisi udara dan terbuka ke dasar kavum nasi. Sinus yang baru terbentuk ini mempunyai epitel respiratorius bersilia sehingga dapat bertindak sebagai sinus paranasal assesorius dan dapat melakukan fungsi ventilasi dan drainase melalui stoma tersebut. Resiko yang dapat terjadi pada teknik ini adalah tertutupnya stoma (stenosis stoma).
Pada teknik marsupialisasi endoskopi transnasal dengan menggunakan mikrodebrider, stenosis stoma pasca operasi sangat jarang dilaporkan sehingga rekurensinya rendah dan mikrodebrider ini juga dapat mempercepat pembukaan kista.

Kista ini jarang dilaporkan menimbulkan rekurensi dan malignansi. Tiago dkk melaporkan tidak terdapat rekurensi selama ± 1 tahun follow up pasca operasi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Lee JY dkk, selama 1 tahun follow up tidak terdapat rekurensi baik pada penatalaksanaan dengan teknik insisi sublabial maupun dengan teknik marsupialisasi endoskopi transnasal yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik, endoskopi dan tomografi komputer.

Referensi :

  1. Lee HM. Nasolabial cyst : a retrospective analysis of 18 cases. (Original Article). Seoul;The Free Library; 2002.
  2. Coulthard P, Horner K, Sloan P et al. Cyst and odontogenic tumours in: Oral and Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology and Oral Medicine 2 nd Ed. New York;Elsevier;2008: p157-73
  3. Abou-Elhamd KA. A case of nasolabial cyst with features. The internet Journal of Otorhinolaringology; 2009;9(1).
  4. Tanimoto K, Kakimoto N, Nishiyama H, et al.MRI of Nasoalveolar cyst: Case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2005;99:221-4.
  5. Zahirrudin Z,Gendeh BS, Tan MPath GC, et al. Nasolabial cyst: Presentation and Management. The Internet Journal of Otorhinolaringology; 2009;9(2).
  6. Shear M, Speight P. Nasolabial (Nasoalveolar) cyst in: Cyst of the Oral and Maxillofacial Region 4th Ed. Australia; Blackwell Munksgaard 2007:p119-21.
  7. Patil K, Mahima VG, Divya A. Klestadt’s cyst: A rarity. India; Indian Journal of Dental Research;2007;18:23- 26
  8. Yanagisawa E, Scher DA. Endoscopic view of a nasoalveolar cyst-Rhinoscopic Clinic-Brief Article. England;On CHOW;2002
  9. Sahin C. Case Report Nasolabial Cyst. Turkey;Hindawi Publishing Corporation;2009
  10. Filho P, Silva AC, Moreira RW, et al. Nasolabial Cyst: Case Report. Brazil;Braz Dent J: 2002;13(3): 212-214
  11. Nixdorf DR, Peters E, Lung KE. Clinical Presentation and Differential Diagnosis of Nasolabial Cyst. Minneapolis;Journal of Canadian Dental Association;2003;69(3):146-9
  12. Lee JY, Baek BJ, Byun JY, et al. Comparison of Conventional via a Sublabial Approach and Transnasal Marsupialization for the Treatment of Nasolabial Cyst: A Prospective randomized Study. Korea; Clin Exp Otorhinolaryngol;2009;2(2): 85-9
  13. Chen CN, Su CY, Lin HC, et al. Microdebrider-assisted endoscopic marsupialization for the nasolabial cyst: Comparisons between sublabial and transnasal approaches.USA; Am J Rhinol Allergy;2009;23:232-6
  14. Chao WC, Huang CC, Chang PH, et al. Management of Nasolabial Cyst by Transnasal Endoscopic Marsupialization.Taiwan; Arch Otolaryngol Head Neck Surg; 2009;135(9):932-5
  15. Tiago RSL, Maia MS, NascimentoGM, et al. Nasolabial cyst: diagnostic and therapeutical aspects. Sao Paulo; Rev Bras Otorrinolaringol, 2008;74