“Jika kita tidak mampu mendefinisikan kinerja sama halnya kita tidak mampu mengukur dan memanaj kinerja – if you can’t define performance, you can’t measure or manage it.” Armstrong & Baron (2005)
Kinerja merupakan konstruk multifaceted (Hubbard, 2009) dimana masing-masing pihak yang berkentingan terhadap kinerja cenderung mendefinisikan kinerja sesuai dengan pemahaman dan kepentingannya. Demikian juga kinerja sering dianggap sebagai konstruk multidimensi (Bates & Holton, 1995) yang tidak hanya dikaitkan dengan keseluruhan organisasi tetapi juga dengan bagian-bagian dalam organisasi termasuk unit aktivitas, proses dan individu karyawan. Karena itulah sangat tidak mengherankan jika kinerja didefinisikan secara beragam.
Secara harfiah kinerja (performance) adalah kata benda yang pengertiannya sama dengan hasil atau prestasi, kinerja dalam literatur manajemen dan organisasi memiliki makna yang lebih luas dan beragam; bukan sekedar hasil atau prestasi.
Makna kinerja seperti yang dirangkum oleh Lebas & Euske (2004) adalah sebagai berikut.
-
Kinerja merupakan sesuatu yang dapat diukur, baik diukur menggunakan angka atau menggunakan sebuah ekspresi yang memungkinkan terjadinya komunikasi
-
Kinerja berarti berupaya, sesuai dengan maksud tertentu, untuk menghasilkan sesuatu (misal upaya menciptakan nilai)
-
Kinerja adalah hasil dari sebuah tindakan
-
Kinerja adalah kemampuan untuk menghasilkan atau potensi untuk menciptakan hasil (sebagai contoh, kepuasan pelanggan bisa dilihat sebagai potensi bagi organisasi untuk menciptakan penjualan di masa yang akan datang)
-
Kinerja adalah perbandingan antara hasil dengan benchmark (patokan) tertentu baik yang ditetapkan secara internal maupun patokan eksternal
-
Kinerja adalah hasil yang tidak diduga (mengejutkan) dibandingkan dengan yang diharapkan
-
Dalam disiplin psikologi, kinerja adalah bertindak ( acting out )
-
Kinerja adalah pergelaran, khususnya dalam seni pertunjukan, yang melibatkan para aktor, peran mereka dan bagaimana peran dimainkan serta melibatkan orang luar yang menonton pergelaran tersebut.
-
Kinerja adalah judgmen t (sebuah keputusan atau penilaian) yang didasarkan pada sesuatu yang lain sebagai pembanding. Persoalannya adalah siapa yang harus menjadi pengambil keputusan dan bagaimana kriterianya.
Neely et al. (1995) misalnya mengatakan bahwa kinerja sama dengan efektifitas dan efisiensi. Efektivitas dan efisiensi tidak lain adalah hasil dari suatu tindakan. Namun demikian kelompok kedua memahami kinerja bukan sebagai kata benda melainkan sebagai kata kerja. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Baird (1986) seperti dikutip oleh Lebas & Euske (2004) yang menegaskan bahwa kinerja bukan sebuah kejadian melainkan sesuatu yang berorientasi tindakan. Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan kinerja adalah upaya untuk menghasilkan sesuatu, bukan hasilnya.
Kinerja juga dapat diartikan sebagai upaya atau tindakan (kinerja sebagai kata kerja) dan hasil atau prestasi (kinerja sebagai kata benda) yang terjadi secara bersamaan. Corvellec, (1995) misalnya menganggap kinerja sebagai peristiwa yang terjadi secara simultan yang melibatkan tindakan, hasil dari tindakan tersebut dan perbandingan antara hasil dari sebuah tindakan dengan ukuran atau patokan tertentu (benchmark).
Pendapat yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Armstrong & Baron (2005), menurutnya kinerja merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh seseorang atau organisasi. Hanya saja untuk memahami kinerja, proses untuk menghasilkan kinerja juga perlu diperhatikan karena proses tersebut merupakan bagian dari kinerja itu sendiri. Di sisi lain Brumback (1988) mendefinisikan kinerja sebagai akumulasi prilaku dan hasil. Menurut Brumback prilaku harus dibedakan dari hasil. Dalam penilaian kinerja, yang dinilai bukan hanya hasilnya, prilakunya juga harus dinilai tersendiri. Penyebabnya karena prilaku itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah produk. Menurut Brumback prilaku adalah hasil dari upaya mental dan fisik seseorang yang timbul selama proses aktivitas berlangsung.
Berdasarkan ragam pemahaman kinerja seperti ini (kinerja sebagai tindakan, prilaku, hasil dan gabungan antara tindakan dan hasil), Lebas & Euske (2004) selanjutnya menawarkan definisi kinerja yang lebih komprehensif, yaitu:
“Performance is the sum of all processes that will lead managers to taking appropriate actions in the present that will create a performing organization in the future (i.e., one that is effective and efficient)”. Artinya kinerja adalah sekumpulan proses yang mendorong seorang manajer untuk mengambil tindakan yang tepat pada hari ini sehingga mampu menghasilkan performansi organisasi di masa yang akan datang (yakni efektivitas dan efisiensi organisasi).
Elaborasi lebih detail dari pengertian diatas adalah sebagai berikut.
-
Pertama , kinerja merupakan sekumpulan proses. Hal ini menandakan bahwa kinerja bukan kegiatan tunggal, bukan pula hanya sebagai akibat. Sebaliknya kinerja merupakan serangkaian tindakan mulai dari rencana tindakan, proses melakukan tindakan dan evaluasi hasil tindakan yang melibatkan berbagai macam unsur termasuk prilaku manusia dan organisasi serta lingkungan yang mempengaruhi proses tersebut. Dalam bahasa sistem dengan demikian kinerja melibatkan input, proses dan output serta lingkungan yang melingkupi input-proses-output.
-
Kedua , kinerja pada dasarnya bergantung pada keputusan dan tindakan yang diambil oleh seorang manajer. Keputusan seorang manajer tentu saja tidak akan berarti apa-apa (tidak menimbulkan kinerja) jika tidak diikuti oleh tindakan-tindakan lain baik yang dilakukan manajer itu sendiri maupun para karyawan. Demikian juga, dampak dari keputusan manajer tidak bisa dilihat pada saat keputusan tersebut dibuat melainkan baru beberapa waktu sesudahnya. Artinya, meski keputusan manajer merupakan rangkaian dari kinerja dan merupakan unsur penting dari kinerja, kita tidak bisa mengatakan bahwa keputusan manajer adalah sebuah kinerja. Keputusan manajer hanyalah sebuah pemicu ( driver ) yang memungkinkan terciptanya kinerja organisasi.
-
Ketiga , sebuah organisasi dikatakan berkinerja jika organisasi tersebut menghasilkan sesuatu di waktu yang akan datang sebagai akibat dari tindakan saat ini. Penjelasan ini menggambarkan adanya proses sebab akibat dalam penciptaan kinerja. Tindakan adalah sebab yang menimbulkan kinerja dan hasil adalah akibat dari sebuah tindakan – keduanya terjadi secara sekuensial dan kontinyu secara berulang-ulang.
-
Keempat , indikator yang paling umum untuk mengetahui kinerja sebuah organisasi bisa dilihat dari efektifitas dan efisiensi organisasi. Efektif berarti organisasi mampu bertindak dan menghasilkan sesuatu sesuai atau lebih baik dari yang ditetapkan sebelumnya. Sedangkan efisien adalah penggunaan sumberdaya organisasi sehemat mungkin sepanjang hasil yang diinginkan bisa dicapai. Meski kedua ukuran ini bisa disebut sebagai ukuran umum, tidak jarang organisasi berbeda menggunakan indikator berbeda. Bagi organisasi nir laba misalnya, kualitas layanan dianggap sebagai indikator utama kinerja organisasi, sementara ukuran penting bagi organisasi bisnis adalah “ maximizing value of the firm” atau sering disebut sebagai meningkatnya kesejahteraan pemilik. Bahkan dalam satu lingkup organisasi sekalipun menjadi hal biasa untuk menggunakan ukuran kinerja berbeda. Ukuran kinerja paling utama bagi departemen akuntansi adalah ukuran- ukuran berbasis financial (Otley, 2004). Sementara itu departemen pemasaran akan dikatakan berkinerja baik jika mampu memberi kepuasan bagi konsumen dan konsumen loyal kepada perusahaan (Clark, 2004). Di sisi lain, depertemen produksi boleh jadi akan dinilai kinerjanya berdasarkan inovasi produk, kelancaran proses produksi dan kemapuannya untuk mendesain produk baru (Neely & Austin, 2004).
Model Kinerja
Dari penjelasan tentang pengertian kinerja seperti diuraikan diatas, Lebas & Euske (2004) lebih lanjut mengatakan bahwa konsep kinerja yang sangat kompleks akan lebih mudah dipahami jika diujudkan dalam sebuah model.
Model yang ditawarkan Lebas & Euske disebut sebagai causal model . Model ini kemudian divisualisasikan dalam bentuk sebuah pohon – juga disebut sebagai performance tree atau pohon kinerja.
Gambar Pohon kinerja Lebas & Euske
Pohon kinerja ( performance tree ) pada Gambar diatas mengilustrasikan bagaimana sebuah organisasi berproses menciptakan kinerja. Unsur-unsur pembentuk kinerja tampak begitu kompleks sehingga terkesan sulit untuk dimengerti. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa performance tree terdiri dari tiga bagian: outcomes, proses dan fondasi. Ketiga bagian tersebut berproses secara berkesinambungan yakni fondasi mempengaruhi proses dan selanjutnya proses mempengaruhi outcomes.
Pada Gambar tersebut, outcomes , hasil atau output dibedakan menjadi dua kategori yakni hasil menurut konsep tradisional (TRADITIONAL VISION) dan hasil menurut konsep lain (OTHER VISION OF CUSTOMERS). Menurut konsepsi tradisional hasil dinyatakan dalam satuan uang (menggunakan perspektif akuntansi). Kategori ini biasanya menjadi perhatian utama para pemilik atau pemegang saham. Mereka mendirikan dan memiliki organisasi (terutama organisasi bisnis) agar kesejahteraannya (yang diukur dalam satuan uang) terus meningkat. Sementara itu menurut konsepsi lain, hasil bukan hanya untuk kepentingan pemilik tetapi juga untuk kepentingan stakeholders (pemangku kepentingan selain pemegang saham), misalnya karyawan, konsumen, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Mereka mengaharapkan agar organisasi tidak hanya peduli terhadap pemilik atau pemegang saham tetapi mampu menciptakan capaian-capaian lain untuk memenuhi kepentingan mereka, diantaranya adalah: kemampuan organisasi menjaga lingkungan; kontribusi organisasi terhadap kesejahteraan masyarakat, buruh, iklim sosial masayrakat; dan kepatuhan organisasi terhadap hokum, aturan-aturan lain yang relevan. Kepentingan kedua kelompok yang berbeda ini sekaligus menggambarkan bahwa organisasi dituntut untuk menghasilkan kinerja yang beragam meski tidak bisa dipungkiri jika kepentingan pemilik atau pemegang saham biasanya menjadi prioritas.
Dari sisi proses aktivitas, hasil yang direpresentasikan oleh buah dari sebuah pohon sesungguhnya merupakan dampak dari atribut produk. Atribut ini merupakan elemen-elemen produk yang menjadi perhatian konsumen (CUSTOMERS) dan menyebabkan konsumen atau pemangku kepentingan lain merasa puas. Termasuk kedalam atribut ini secara tradisional adalah: harga, ketersediaan produk, layanan dan kualitas. Sedangkan atribut produk non tradisional misalnya: inovasi produk, fleksibilitas, dan komitmen organisasi untuk tidak mempekerjakan anak dibawah umur. Atribut-atribut ini, baik tradisional dan non tradisional, merupakan hasil dari proses bisnis (PROCESS) yang pada Gambar 1 direpresentasikan oleh batang pohon. Atribut-atribut tersebut sudah tentu harus terus dimonitor dan dijaga agar organisasi mampu memberikan yang terbaik bagi kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Yang menarik dari causal model ini, biaya (COST) tidak dianggap memiliki peran penting dalam proses penciptaan kinerja. Meski biaya diakui menjadi sumber terciptanya kinerja keuangan, peran biaya dianggap sebagai variable kedua ( secondary variable ) – variable bayangan yang menyebabkan terciptanya atribut produk dan proses penciptaan kinerja. Menurut Lebas & Euske, yang lebih penting untuk diperhatikan justru kualitas proses penciptaan kinerja.
Sumber kualitas proses berasal dari kesuburan tanah tempat pohon tersebut tumbuh. Termasuk didalamnya adalah elemen-elemen seperti: kompetensi para karyawan; brand awareness – menjaga citra merek dagang; jejaring – baik dengan konsumen maupun pemasok; kejelasan struktur tanggungjawab organisasi; kebijakan organisasi tentang maintenance, dsb. Karena elemen-elemen ini tidak kasat mata – tersembunyi didalam tanah, sistem akuntansi cenderung tidak mampu menangkap elemen-elemen tersebut sebagai elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan kinerja secara tradisional. Sebaliknya bagi seorang manajer memelihara kesuburan tanah, atau memperhatikan lingkungan organisasi menjadi faktor yang teramat penting untuk menjaga agar organisasi terus berkinerja.
Causal model seperti dipaparkan Lebas &Euske (2004) diatas, sekali lagi, memberikan gambaran bahwa memahami kinerja tidak sesederhana seperti gambaran awal dimana kinerja hanyalah sebuah hasil atau prestasi. Kinerja adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, melibatkan proses panjang dan membutuhkan waktu untuk menghasilkan kinerja. Demikian juga apa yang dilakukan hari ini hasilnya belum tentu diperoleh hari ini pula. Sangat boleh jadi hasilnya baru didapat beberapa waktu kemudian karena ada variable waktu yang dibutuhkan.
Wal hasil seperti dikatakan Lebas & Euske, kinerja adalah sebuah social construct yang bersifat multidimensi dan tidak jarang kinerja memunculkan kontradiksi. Salah satunya adalah dalam mengukur indikator kinerja. Seperti disebutkan sebelumnya, meski efektifitas dan efisiensi merupakan indikator umum, menjadi hal biasa di dalam sebuah organisasi menggunakan indikator berbeda untuk kepentingan berbeda. Contohnya adalah desakan agar organisasi menciptakan beragam hasil – kinerja keuangan, kinerja lingkungan, dan kinerja-kinerja lain berbasis etika dan moralitas. Perbedaan ini tentu saja tidak menjadi masalah jika kita memahami kinerja sebagai sebuah proses yang menghasilkan beragam hasil dan manajer mampu mengelola kontradiksi tersebut dengan baik, yakni dengan berpedoman pada keseluruhan tujuan jangka panjang organisasi.
Dimensi Kinerja
Menurut Fitzgerald et al. (1991), terdapat enam dimensi untuk mengukur kinerja. Keenam dimensi tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori pertama merupakan dimensi hasil yang terdiri dari daya saing organisasi dan keberhasilan organisasi secara financial (financial success). Sedangkan kategori kedua adalah determinan keberhasilan yang terdiri dari kualitas, fleksibilitas, pemanfaatan sumberdaya dan inovasi. Sementara itu Atkinson et al. (1997) membedakan dimensi kinerja menjadi dua yaitu dimensi keberhasilan organisasi sebagai tujuan utama organisasi dan dimensi kedua adalah determinan keberhasilan organisasi yang diposisikan sebagai tujuan kedua organisasi. Atkinson et al. (1997) selanjutnya mengatakan bahwa yang dimasud dengan tujuan utama organisasi adalah orientasi organisasi yang bersifat eksternal dalam pengertian tujuan yang ingin dicapai organisasi biasanya bersifat jangka panjang sesuai dengan pernyataan visi/misi organisasi. Sebaliknya, yang dimaksud dengan tujuan kedua organisasi, sering juga disebut sebagai tujuan operasional, adalah orientasi organisasi yang bersifat internal yakni sejauh mana organisasi mampu menghasilkan produk dan jasa dan mampu menyerahkannya kepada konsumen.
Kedua pendapat tentang dimensi kinerja, baik yang dikemukakan oleh Fitzgreal et al. dan Atkinson et al., sesungguhnya tidak jauh berbeda. Keduanya menyatakan bahwa dimensi kinerja terdiri dari dua yakni dimensi internal (dimensi operasional) yang menjadi determinan bagi dimensi kedua yaitu keberhasilan organisasi yang bersifat jangka panjang. Berdasarkan penjelasan ini, bisa diartikan bahwa pengukuran kinerja organisasi bisa difokuskan pada pengukuran yang bersifat internal atau operasional seperti kinerja karyawan, dan atau pengukuran yang bersifat eksternal atau jangka panjang seperti kinerja financial, pertumbuhan organisasi dan kepuasan konsumen.
Berbeda dengan dua pendapat diatas, Kaplan & Norton (1992, 1996) mengatakan bahwa organisasi bisa dinilai kinerjanya berdasarkan empat dimensi berbeda namun saling terkait dan keempat dimensi ini harus dikaitkan pula dengan visi dan strategi organisasi. Keempat dimensi yang dimaksud adalah dimensi keuangan, konsumen, internal proses, dan dimensi inovasi (pertumbuhan organisasi) dan pembelajaran. Keempat dimensi kinerja seperti dikemukakan Kaplan & Norton popular dengan nama Balanced Scorecard atau biasa disingkat BSC.
Gambar Balanced Scorecard – Empat Dimensi Kinerja Menurut Kaplan & Norton
Seperti terlihat pada Gambar diatas, masing-msaing dimensi memiliki perspektif berbeda. Sebagai contoh, dimensi finansial berorientasi pada kepentingan pemegang saham (stockholder). Artinya setiap organisasi harus mampu memenuhi kebutuhan pemagang saham dalam bentuk misalnya tingkat pengembalian investasi, peningkatan harga saham, dsb. Sedangkan dimensi konsumen orientasinya adalah kepuasan konsumen yang kepentingannya tentu saja berbeda dengan pemilik atau pemegang saham.
Meski masing-masing dimensi memiliki kriteria berbeda, keempat dimensi ini tidak bisa serta merta dipisahkan satu dengan yang lain. Keempat dimensi ini saling berkaitan yang titik simpulnya ada pada visi dan strategi jangka panjang organisasi. Disamping itu, agar visi organisasi bisa dicapai masing-masing dimensi perlu dijabarkan lebih lanjut masing-masing menjadi empat (4) sub-dimensi yakni: objectives (tujuan yang ingin dicapai masing-masing dimensi), measures (ukuran standar pencapaian), targets (sasaran jangka pendek), dan initiatives (upaya-upaya yang perlu dilakukan organisasi).
Sumber : Achmad Sobirin, MBA, Ph.D., Konsep Dasar Kinerja dan Manajemen Kinerja