Apa yang dimaksud dengan ketidakadilan?

Ketidakadilan

Ketidakadilan pada hakikatnya adalah terjadinya kerugian dari segmen yang tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dari segmen yang memiliki keunggulan komparatif, dimana bentuk ketidakadilan antara lain berlangsungnya eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi secara struktural dan sistemik dalam berbagai bidang.

Inspirasi tertua dalam sejarah untuk merumuskan “keadilan” nampaknya berasal dari Konfusius (Kongzi, 551-479 SM) yang mengemukakan gagasan mengenai “ ” yang berarti keadilan, kebenaran, tetapi lebih luas berarti “apa yang sebaiknya dilakukan pada suatu situasi tertentu.”

Konfusius mengajukan dua pemahaman dasar mengenai keadilan.

  • Pertama: “Apa yang orang tidak mau terjadi pada dirinya, jangan orang itu melakukannya pada orang lain; apa yang orang inginkan bagi dirinya, itu juga yang dia harus berikan kepada orang lain.“ Doktrin pertama ini 23 abad kemudian diajukan kembali oleh Immanuel Kant (Prusia, 1724-1804) dalam bentuk maxim yang tersohor sebagai “kategori imperatif.“

  • Kedua : “Balaslah yang jahat dengan keadilan, dan balaslah kebaikan dengan kebaikan.“

Doktrin Konfusius ini mungkin merupakan upaya yang tertua yang hendak menjelaskan, apa itu keadilan.

Orang memang tidak bisa mengharapkan “definisi” dalam konteks filsafat Tiongkok kuno seperti yang menjadi obsesi filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno. Filsafat Barat yang bertumpu pada filsafat Yunani selalu terobsesi untuk mencari dan merumuskan apa itu kebenaran yang terdalam dan terakhir, yang menurut Konfusius: “bukanlah urusan kita.” Dalam filsafat Tiongkok kuno suatu konsep pada umumnya tidak akan dirumuskan, melainkan direlasikan dengan kebalikannya, misalnya: berkata benar adalah adil, sedangkan berbohong adalah tidak adil. Doktrin Konfusius di Timur kemudian diimbangi di Barat oleh ajaran Platon (Athena, 428/427 atau 424/423– 348/347 SM), yang merumuskan konsep keadilan dalam Politea sebagai: “Setiap orang memiliki dan melakukan apa yang dimilikinya dan apa yang patut dilakukannya.” Dengan demikian, sudah sejak Platon soal keadilan itu lekat dengan konsep “milik” dan “perbuatan”.

Tujuh abad kemudian ahli hukum Romawi, Domitius Ulpianus (170-223) mengajukan pemahaman yang lebih tajam:

“Keadilan adalah kehendak yang teguh dan sinambung untuk memberikan kepada siapapun apa yang menjadi haknya. Keharusan hukum itu adalah sebagai berikut: hidup terhormat, tidak melukai orang lain, dan memberikan kepada siapapun apa yang menjadi haknya.”

Pernyataan inilah yang kemudian menjadi terkenal melalui rumus singkatnya: “ suum quique tribuere ” atau: berikanlah kepada siapapun apa yang menjadi haknya. Dengan begitu Ulpianus maju satu langkah dari Platon dengan menjadikan konsep “hak” sebagai batu pijak bagi keadilan.

Kemudian terbukti, bahwa definisi Ulpianus tidaklah mengunci perdebatan mengenai masalah keadilan sehingga menjadi topik perenial dalam wacana mengenai negara. Tak kurang dari Aurelius Augustinus (Tunesia, 354-430) yang dua abad kemudian menyatakan bahwa

In the absence of justice, what is sovereignty but organized robbery ?”

Tetapi Augustinus juga mencatat apa yang dikatakan oleh seorang bajak laut kepada Sang Penakluk Alexander Akbar dari Macedonia (356–323 SM), murid dari Aristoteles (Athena, 384–322 SM), kurang lebih begini:

“Apa yang kau pikirkan, sehingga kau membuat dunia ini menjadi tidak aman? Tentu saja, karena aku berkeliaran dengan kapal kecil, aku disebut perampok. Sedangkan kamu melakukannya dengan armada besar dan disebut Sang Penguasa.”

Augustinus memperlihatkan bahwa perbedaan kedua despotisme itu bisa bersifat hanya gradual saja. Begitu juga halnya dengan ketidakadilan: ada yang sistematis, terstruktur dan masif yang menyengsarakan orang banyak, ada juga yang medioker dan terjadi sehari-hari tetapi terus menerus.

Di Indonesia abad ke-20 Satjipto Rahardjo (1930-2010) masih mengingatkan kita pada delapan rumus mengenai keadilan dalam bukunya, masing-masing dari perspektif yang berbeda, antara lain dari Kaisar Yustinianus I (Byzantium, 483–565), Roscoe Pound (Amerika, 1870-1964), Hans Kelsen (Austria, 1881-1973) dan John Rawls (John Bordley Rawls, Amerika, 1921- 2002).Namun yang menarik untuk saya adalah justru rumus yang dikutipnya dari Serat Sasangka Jati , yaitu bahwa:

” … adil adalah tegak, tidak berat sebelah, oleh karena itu juga bisa diberi arti lurus atau benar, sedang benar itu juga berarti nyata, dan nyata itu adalah jujur…”

Teranglah bahwa rumus ini lebih kompleks dari apa yang biasanya kita fahami dari “keadilan” itu dan bukanlah semata-mata sebagai proses give and take yang timbal-balik dan seimbang. Dalam konteks Serat Sasangka Jati bukan hanya soal ukur-mengukur berat sebelah atau tidak berat sebelah yang menghasilkan keadilan, melainkan pada akhirnya adalah sikap jujur yang nota bene bersemayam dalam hati nurani manusia dan tidak bisa dilihat atau dibaca oleh siapa pun. Padahal, kita tahu bahwa suara hati nurani tidaklah berperan dalam pelaksanaan hukum positif, seperti kata doktrin hukum Romawi di abad ke-3 TM: “ De internis non iudicat praetor ” (hakim tidak mengadili hati nurani), karena niat yang belum menjadi aktus sebagai perbuatan belumlah menyentuh kepentingan dari subjek hukum lain.

Kendati segala maksud baiknya, Ulpianus dan Serat Sasangka Jati bukannya tidak mewariskan tanda-tanya. Kehendak baik saja di dunia ini memang tidak cukup, atau lebih sering lagi: sangat tidak cukup. Hans Kelsen dan Bernd Rüthers (Jerman, 1930-) misalnya melancarkan kritik terhadap doktrin Ulpianus dengan argumen, bahwa rumus mengenai “hak” yang menjadi pijakannya itulah yang justru paling kontroversial. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa rumus “berikanlah kepada siapapun apa yang menjadi haknya” adalah rumus yang hampa, terutama karena kita tidak pernah bisa tahu apa yang menjadi hak sebenarnya dari siapa.

Kelsen adalah mantan hakim agung di Austria dan Rüthers adalah mantan hakim agung di Jerman, sehingga kritik itu tidak bisa dipandang ringan. Masalahnya adalah, keduanya meninggalkan kebuntuan yang diwariskannya kepada umat manusia, karena Hans Kelsen berujar untuk menutup booklet -nya:

“saya tidak tahu dan tidak dapat mengatakan, apa itu keadilan, keadilan absolut, impian indah kemanusiaan”

dan juga Bernd Rüthers:

“Apa itu keadilan? Saya pikir, kita tidak bisa mengatakannya, paling sedikit kita tidak mengetahuinya dengan pasti.”

Masalahnya adalah, untuk meminjam gagasan Ernst Bloch (1885- 1977): “… manusia itu merindukan tempat, di mana dia belum pernah berada,” dan topos keadilan merupakan salah satu tempat utama yang dirindukan manusia itu. Karena itu menjadi kodrat manusia, bahwa dia akan terus berusaha menggapai keadilan, betatapun “ debatable ”-nya konsep itu.

Karena kompleksitasnya, keadilan sebagai topos memang mudah sekali terperosok menjadi jurang ketidakadilan, seperti sudah diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero (Romawi, 106-43 SM): “ Summum ius, summa iniuria, ”(dalam keadilan tertinggi, bersemayamlah ketidakadilan tertinggi) sehingga menjadi penting untuk menelusuri penyebabnya. Sembilan belas abad kemudian, dalam observasi dari Karl Heinrich Marx (Jerman, 1818-1883), ketidakadilan itu lahir dari ketidak-setaraan sosial yang dihasilkan oleh Revolusi Industri yang disaksikannya di tempat pelariannya di Inggris.

Teori Keadilan dan Ketidakadilan


Dalam Zur Kritik der politischen Ökonomie yang terbit di tengah maraknya Revolusi Industri (1859) yang membuahkan kapitalisme, Marx menjelaskan bahwa hubungan produksi yang berat sebelah merupakan basis (yang lebih terkenal sebagai “ Unterbau ”) bagi struktur ekonomi yang nyata, di atas mana terbangun suprastruktur ( Überbau ) hukum dan politik, dan dengan demikian juga ditegakkan institusi negara. Hubungan produksi di zaman Marx yang tidak adil itu menghasilkan Überbau yang menindas mereka yang tidak berdaya dalam hubungan produksi, sehingga terjadilah konflik laten di antara mereka yang menghamba pada tataran Unterbau (infrastruktur) dan mereka yang menguasai Überbau (suprastruktur).

Hubungan sosial yang demikian itu sarat dengan pertentangan antar-kelas yang pada giliran berikutnya pasti bermuara dalam ketegangan laten jika bukannya konflik yang timbul-tenggelam, dan jika keadaan memungkinkan: pecah sebagai revolusi. Pola hubungan produksi itu nota bene masih merupakan tumpuan utama bagi bangunan struktur sosial yang industrial dalam abad ke-21. Akibatnya, dalam abad ke-21 kita belum dapat membebaskan diri dari jurang antara yang kaya dan umumnya menguasai proses produksi di satu sisi dan di sisi lain mereka yang terjebak dalam eksploitasi industrial dan terpaksa menghamba dalam proses produksi, sehingga di mana-mana mereka dihantui oleh “PHK” dan kemiskinan struktural yang menyertainya.

Untuk mengatasi ketidakadilan itu Marx mengajarkan bahwa struktur sosial harus dibongkar, supaya rakyat dibebaskan dari penindasan dan kesengsaraan. Untuk mencapai tujuan itu, kaum proletar atau rakyat yang tidak bermodal itu harus merebut infrastruktur produksi untuk kemudian mendirikan masyarakat tanpa kelas. Cita-cita ini tadinya hendak diwujudkan terutama melalui Uni Soviet (1921-1991) dan Republik Rakyat Tiongkok (1949-), namun gagal, karena dua sebab utama: Pertama, ternyata di kedua negara itu tetap berlaku juga kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Dan kedua: doktrin masyarakat tanpa kelas terbukti tidak mendatangkan kemakmuran dan dengan demikian membuktikan kegagalan sosialisme sebagai sistem ekonomi. Karena itu selekas bebas dari tirani Mao Zedong (1893-1976), dengan gesit Deng Xiaoping (1904- 1997) melancarkan langkah strategisnya “Modernisasi Yang Empat” pada tahun 1978, yang faktual mengawinkan sistem politik sosialis dengan sistem ekonomi kapitalis. Uni Republik Soviet Sosialis bubar pada tahun 1991 dan digantikan oleh Republik Federasi Rusia yang juga membuka pintu bagi kapitalisme.

Kendati doktrin masyarakat tanpa kelas terbukti gagal, doktrin pertentangan antar-kelas Marx malahan menjadi semakin relevan, karena kapitalisme yang mendatangkan kemakmuran ternyata mempertajam ketidakadilan sehingga membina letusan ketidaktertiban dalam sekam. Joseph E. Stiglitz (1943-) adalah seorang ekonom Amerika yang sudah di awal abad ke-21 sangat jengkel dengan ketidak-setaraan sosial di sana, sehingga memelintir semboyan Revolusi Amerika dari “ Of the people, by the people, for the people ” dalam artikelnya menjadi “ Of the 1%, by the 1%, for the 1% .” Dia mengemukakan konstatasi yang kemudian menjadi selebriti dengan istilah “ the one percent ”:

“Dalam demokrasi kita, 1% rakyat mengambil hampir seperempat dari pendapatan nasional … dalam hal kekayaan ketimbang pemasukan, puncak yang 1% mengendalikan 40% … dan sebagai akibatnya, puncak yang 1% itu memiliki rumah-rumah yang paling bagus, pendidikan yang paling baik, para dokter yang paling hebat, dan gaya hidup yang paling semarak. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dibeli dengan uang: yaitu suatu pemahaman bahwa nasib mereka juga terikat pada masalah, bagaimana yang 99% lainnya itu hidup. Di sepanjang sejarah, ini merupakan urusan dari puncak yang 1% yang pada akhirnya menyadarinya, (namun) sangat terlambat.”

Itulah yang saya maksudkan sebagai kekuatan ekonomi yang menjadi tumpuan dari supra struktur kekuasaan politik dan faktor penentu ketidaksetaraan sosial. Wanti-wanti dari Stiglitz dalam kalimat terakhir itu tidak hanya berlaku untuk Amerika Serikat, tetapi malahan lebih-lebih untuk Indonesia. Pengamatan dari Stiglitz itu kemudian diperlebar oleh Michael Sandel (Amerika, 1953-) yang menerbitkan Justice: What’s the Right Thing to Do? (2009) sebagai kritik terhadap A Theory of Justice (1970, 1991) dari John Rawls. Sandel tidak membatasi diri dalam kritik ekonomi Stiglitz melainkan juga menyoal aspek-aspek ras, gender, masalah disabilitas, agama, dan sebagainya, dari ketidaksetaraan sosial. Dari buku Sandel saya menarik kesan bahwa dia sebenarnya mengajukan revisi terhadap kapitalisme untuk menjadi semacam “Kapitalisme Pancasila” – tanpa menyebut istilah “Pancasila”- supaya kemakmuran disertai dengan kesetaraan sosial dan pemerataan kesejahteraan sehingga kehidupan bersama bisa menjadi semakin adil.

Sesudah Marx, struktur kekuasaan dalam masyarakat antar kelas dijelaskan oleh Gaetano Mosca (Italia, 1858-1941) terutama dalam bukunya The Ruling Class (1884), di mana dia mendalilkan bahwa kapanpun, suatu negara dikuasai oleh suatu kelas penguasa, sehingga demokrasi itu hanya merupakan proses pergantian rezim penguasa dengan cara yang “lebih sopan” saja.29 Melalui apa yang dikenal sebagai “Teori Elitisme” itu Mosca seolah hendak menyatakan bahwa masyarakat tanpa kelas seperti yang diangankan oleh Marx itu adalah ilusi belaka. Jadi dalam satu hal itu secara historis terbukti bahwa Mosca lebih benar ketimbang Marx jika bukannya memang benar.

Dalam satu hal yang lain Marx dan Mosca sama-sama benar, yaitu bahwa kendati lebih berhasil dalam membawa kemakmuran ketimbang sistem sosialis, masyarakat industrial kapitalis itu memang cenderung tidak adil, meskipun mereka tidak menyatakan bahwa masyarakat pra-industrial itu niscaya adil sehingga boleh mengajak kita kembali ke zaman pra-industrial. Napak tilas seperti itu memang tidak mungkin karena berlawanan dengan rasionalitas evolusi manusia yang menghasilkan modernisasi yang terus-menerus. Karena itu Marx dan Mosca juga sama-sama benar mengenai ketidakadilan yang juga akan menghimpit masyarakat zaman kita yang sedang menuju tahap post-industrial , post-modern dan post-globalisation , baik di Indonesia maupun di kebanyakan manca negara.

Teori Marx yang memperlihatkan betapa struktur sosial masyarakat industrial cenderung menghasilkan struktur politik yang ditunjang oleh kekuatan ekonomi, pada sisi lain didukung oleh teori Mosca yang menyatakan bahwa kekuasaan politik itu selalu berada pada suatu golongan elite yang cenderung tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Padahal, seperti didalilkan oleh Max Weber (Jerman, 1864–1920), politik itu adalah memang interes untuk merebut, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan, untuk tujuan apa saja: bisa baik maupun tidak baik untuk kehidupan bersama.

Dengan begitu selalu ada risiko bahwa kekuasaan politik diselenggarakan untuk mendatangkan manfaat yang parsial dengan cara apapun, termasuk juga dalam demokrasi yang hanya alih-alih melibatkan rakyat banyak dalam pembuatan keputusan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan bersama. Apa yang dialami oleh rakyat Indonesia sejak Reformasi 1998 membuktikan konstatasi itu. Dalam hingar-bingarnya proses demokratisasi sejak reformasi, kita tidak menyadari bahwa demokratisasi politik tidaklah niscaya berarti juga demokratisasi ekonomi, seperti yang sudah didalilkan oleh Jürgen Habermas: “kekuasaan bisa didemokratisasi, tetapi uang tidak bisa.” Di ranah politik bisa berlaku kaidah “satu orang, satu suara”, tetapi di pasar modal ada orang yang bisa memiliki jutaan saham, dan bisa juga banyak orang tidak memiliki saham apapun.

Di segala zaman dan tempat, memang selalu terdapat segelintir orang yang seperti dilahirkan dengan bakat-bakat untuk selalu lekat dengan kekuasaan politik. Padahal seperti ditekankan oleh Hannah Arendt, kekuasaan politik selalu digoda oleh dorongan untuk menjadi tidak rasional, karena bagaimanapun juga kekuasaan itu selalu merupakan hasrat untuk menguasai, baik dengan cara dan tujuan yang “baik” maupun dengan cara dan tujuan yang “tidak baik”. Kerepotannya adalah: soal baik dan buruk itu pada akhirnya merupakan soal selera buatan manusia belaka, seperti dinyatakan oleh Friedrich Nietzsche (Jerman, 1844–1900). Pada giliran berikutnya kekuasaan politik yang tidak rasional cenderung menghasilkan absolutisme dan despotisme yang dengan sendirinya menghasilkan hukum yang tidak adil.

Kaum penguasa absolut dan despotik nyaris sepenuhnya memenuhi gambaran dari Han Feizi (Tiongkok, 280-233 SM) yang menyatakan bahwa karakter dasar manusia pada dasarnya adalah jahat dan Niccolo Machiavelli yang kemudian menyatakan bahwa manusia itu cenderung berbuat jahat jika tidak dipaksa untuk berbuat baik. Dalam sejarah memang tidak kurang penguasa-penguasa seperti itu yang tidak terbatas pada Louis XIV (Prancis, 1638– 1715) yang dalam abad ke-17 menyatakan dengan angkuh: “ L’État, c’est moi ” (negara adalah saya); Perdana Menteri Iosif Vissarionovich Stalin (Uni Soviet, nama aslinya: Iosif Vissarionovich Dzhugashvili, 1878-1953) yang pernah bilang kepada Perdana Menteri Winston Churchil (Inggris, Sir Winston Leonard Spencer- Churchill, 1874–1965): jika ada satu orang yang meninggal, itu adalah tragedi, tetapi jika ada seribu orang yang mati, itu adalah statistik; atau Perdana Menteri Saloth Sar (Kamboja, lebih terkenal sebagai Pol Pot, 1925–1998)37 yang membantai 1,4 juta rakyatnya sendiri untuk mengembalikan Kamboja ke zaman pra-agraris.

Jadi, jika orang berkuasa, hiduplah kecenderungannya untuk menguasai orang lain, dan jika hasrat itu tidak dikendalikan, dia akan berkembang menjadi nafsu yang absolut atau malahan despotik, paling sedikit dengan membenarkan pikirannya sendiri, baik dengan cara yang mentah dalam otokrasi maupun sopan dalam demokrasi.

Di zaman post-industrial nafsu berkuasa itu mengalami pengendalian melalui impersonalisasi dan menjelma sebagai sistem, baik yang demokratis maupun yang otoriter. Dalam sistem yang tidak demokratis kekuasaan politik itu dimonopoli oleh suatu oligarki dan tampil sebagai feodalisme modern. Di negara- negara yang demokratis kekuasaan politik ditransfer kepada institusi-institusi kenegaraan yang seyogianya menjadi pagar terhadap absolutisme dan despotisme. Namun tetap saja di banyak negara yang demokratis, apalagi yang baru melek rasionalitas, institusi-institusi kenegaraan yang alih-alih mewakili aspirasi rakyat banyak itu dengan satu dan lain cara mengalami pemelintiran untuk lantas dikuasai oleh suatu besaran kekuasaan yang menggaris-bawahi kepentingannya sendiri, dan dengan demikian secara samar-samar tampil sebagai absolutisme dan bisa juga sebagai despotisme oligarkis yang baru.

Dengan begitu pemilihan umum yang merupakan tulang punggung demokrasi itu sebenarnya hanya merayakan pergantian oligarki kekuasaan, baik di Indonesia, maupun di Amerika Serikat atau di negara-negara demokratis yang lain.

Tidak bisa dihindarkan, bahwa dengan merujuk kepada Han Feizi dan Machiavelli, oligarki politik yang absolut dan despotik itu, baik yang modern tetapi apalagi yang kuno, akan lebih memantapkan oligarki ketidakadilan yang dapat mereka nikmati buahnya. Itulah pangkal dari kekalahan hukum terhadap korupsi di Indonesia yang berlarut-larut, karena memang ada kalangan yang secara ekonomis menjadi semakin kuat karena korupsi dan semakin menikmati buahnya, seperti sudah dikonstatasi oleh Mosca. Jika harga sebidang tanah di kawasan SCBD di Jakarta sekarang sudah 250 juta rupiah per meter perseginya, dan ternyata masih ada yang sanggup membelinya kecuali rakyat, kita mendapatkan kenyataan yang membenarkan teori Han Feizi, Machiavelli, Marx, Mosca dan Vilfredo Pareto (Italia, 1848–1923) sekaligus.

Kita tahu dari sejarah bahwa absolutisme dan despotisme Louis XIV menghidupkan ketidakadilan yang masif dan membuat rakyat Prancis menderita sengsara yang luar biasa. Ketidakadilan yang dipelihara itu lantas menghasilkan Revolusi Prancis yang meletus pada tahun 1789 dan melahirkan Republik Prancis yang pertama. Terjadilah “ Umwandlung der Werte ” (Deu: penjungkir-balikan nilai- nilai) seperti yang kerap disinggung oleh Presiden Soekarno (nama aslinya: Kusno Sosrodihardjo, 1901–1970), dan kemudian menggelinding ke Asia dan Afrika untuk membongkar ketidakadilan dari kolonialisme, seperti yang juga dijangkarkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Seperti banyak konstitusi lainnya, juga UUD 1945 tadinya hendak mengibaskan hukum yang tidak adil yang bertumpu pada kekuasaan yang tidak rasional dan rentan menghasilkan ketidaktertiban dan kesengsaraan, serta menggantikannya dengan hukum yang adil untuk mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Namun hasilnya antara lain adalah “fenomena SCBD” yang membuat saya teringat pada pembicaraan perpisahan dengan promotor utama saya di Jerman pada tahun 1982, yang mengatakan dengan dingin:

“Apa yang terjadi di negara anda itu cuma pergantian kekuasaan dari kaum kolonialis kulit putih kepada kaum kolonialis kulit coklat.”

Tadinya saya ingin protes pernyataan itu, tetapi tidak punya bahan yang cukup untuk membantahnya. Sekarang menjadi giliran kita semua untuk menyanggah, bahwa konstatasi dari Gerhard Ritter (Gerhard Friedrich Ritter, 1915-2013 itu adalah tidak benar.

Referensi

Agamben, Giorgio, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1995); State of Exception. Homo Sacer II, 1 (2003); [ State of Exception (2005)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000

Kusumohamidjojo, Filsafat Politik: Kotak Pandora Abad ke-21 , Jalasutra, Yogyakarta, 2015.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1991

Mosca, Gaetano, The Ruling Class, New York/Toronto/London: McGraw-Hill, 1939