Apa yang dimaksud dengan Keterangan Palsu?

Keterangan Palsu adalah keterangan yang diberikan dengan tidak jujur atau berbohong di dalam persidangan.

Apa yang dimaksud dengan Keterangan Palsu?

Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak benar atau bertentangan dengan keterangan yang sesungguhnya. ‘Keterangan atas sumpah’ berarti keterangan yang diberikan oleh orang (pembuat berita acara) yang sudah disumpah, yakni sumpah jabatan. Apabila ia belum melakukan sumpah jabatan, pada penutup berita acara yang dibuatnya, harus dibubuhi dengan kalimat : “berani mengangkat sumpah dikemudian hari”. (R. Sugandhi )

Jadi sebelum saksi memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, maka saksi tersebut wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agama yang dianutnya, sehingga sumpah di sini berfungsi sebagai suatu jaminan bahwa keterangan yang diucapkannya itu adalah yang sebenarnya dan tidak lebih dari yang sebenarnya.

Sehingga apabila saksi tersebut memberikan keterangan palsu di atas sumpah maka ia telah merusak jaminan yang telah diberikan dan sekaligus merusak kepercayaan dan dapat menyebabkan timbulnya kerusakan dalam masyarakat, dan berakibat lebih jauh yaitu dapat mengurangi dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa pengadilan.

Apabila kita mendengar seseorang memberikan keterangan yang tidak benar maka yang pertama-tama sebagai akibatnya ialah tersinggungnya perasaan. Reaksi terhadap tersinggungnya perasaan ini tidak sama bagi berbagai masyarakat. Seperti Hukum Jerman lama yang memandang hal tersebut sebagai kejahatan yang berat, Hukum Gereja memandangnya sebagai suatu perbuatan dosa, dan lain sebagainya. Jadi apabila seseorang memberikan keterangan di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, maka fungsi sumpah di sini adalah sebagai suatu jaminan bahwa apa yang diterangkan itu adalah yang sebenarnya dan tidak lebih dari yang sebenarnya.

Oleh karena itu apabila seseorang memberikan keterangan palsu di atas atau dikuatkan dengan sumpah, maka berarti bahwa pelaku tersebut telah merusak jaminan yang diberikan dan sekaligus juga merusak kepercayaan orang.

Mengenai apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan keterangan palsu itu, Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 25 Juni 1928, N. J. 1929, W. 11870 dan tanggal 22 Juni 1931, N. J. 1932, 90, W. 12546 antara lain telah memutuskan sebagai berikut :

suatu keterangan itu adalah palsu, jika sebahagian dari keterangan itu adalah tidak benar, walaupun yang sebahagian ini mempunyai arti yang tidak demikian pentingnya, yang tidak akan dapat dipikirkan terhadap kesengajaan untuk memberikan keterangan secara palsu.

Dalam arrestnya yang terbaru, Hoge Raad antara lain telah memutuskan bahwa :

Juga apabila beberapa bagian dari suatu keterangan itu adalah tidak palsu, hakim dapat menganggap keterangan itu sebagai suatu kesatuan dan menyatakan terbukti, bahwa keterangan itu adalah palsu tanpa pembebasan untuk sebahagian.

Pendapat dari Hoge Raad tersebut kiranya adalah senada dengan yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, yang mengemukakan sebagai berikut : ini berarti, bahwa keterangannya harus bohong atau tidak benar. Untuk sumpah palsu adalah cukup, bahwa sebagian dari keterangannya tidak benar, jadi tidak perlu semua keterangannya itu bohong.

Sedangkan keterangan di atas sumpah itu dapat diberikan dengan lisan ataupun dengan lisan. Keterangan dengan lisan ini berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan di muka seorang pejabat dengan disertai sumpah, yaitu memohon kesaksian Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, seperti misalnya seorang saksi di dalam sidang pengadilan dan cara sumpahnya adalah menurut peraturan agama masing-masing.

Pengucapan sumpah bagi seorang saksi di dalam sidang pengadilan merupakan syarat mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal 160 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :

Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

Sedangkan keterangan dengan tulisan itu berarti bahwa seorang pejabat menulis keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah jabatan, yang dulu diucapkan pada waktu ia mulai memangku jabatannya, seperti misalnya seorang pegawai polisi membuat proses verbal dari suatu pemeriksaan dalam menyelidiki perkara pidana.

Juga keterangan di atas sumpah itu dapat diberikan secara mandiri ataupun oleh wakilnya, dan kalau keterangan tersebut diberikan oleh wakilnya maka wakilnya tersebut harus diberi kuasa khusus, artinya dalam surat kuasa harus disebutkan dengan jelas isi keterangan yang akan diucapkan oleh wakil itu.

PENERAPAN PASAL 242 KUHPIDANA

Untuk menerapkan pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap seseorang yang sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, agar orang tersebut dapat dijatuhi hukuman, maka perbuatan pelaku harus memenuhi unsur-unsur pasal.

Adapun unsur-unsur pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah :

a. Unsur subjektif; dengan sengaja

Dalam pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “dengan sengaja” merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan secara sengaja, sehingga penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa tentang :

  • Adanya “kehendak” pada terdakwa untuk memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun lisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.

  • Adanya “pengetahuan” terdakwa bahwa keterangan di atas sumpah yang diberikan secara lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu adalah merupakan suatu keterangan palsu.

Jika “kehendak” ataupun “pengetahuan” ataupun salah satu dari kehendak dan pengetahuan terdakwa tersebut ternyata tidak dapat mereka buktikan, maka dengan sendirinya tidak ada alasan bagi mereka untuk menyatakan bahwa terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan delik yang didakwakan kepadanya, sehingga hakim harus memberikan putusan beban bagi terdakwa.

b. Unsur-unsur objektif;

  1. Barangsiapa;

    Unsur objektif pertama dari delik yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu adalah unsur barangsiapa. Kata “barangsiapa” itu menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari delik yang dimaksudkan dalam pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka ia dapat dipandang sebagai pelaku dari delik tersebut. Subyek dari pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini adalah barangsiapa, tapi jika diperhatikan rumusan selanjutnya yang berbunyi olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dapat timbul persoalan, apakah kuasa khusus tersebut mungkin dikualifikasikan sebagai subjek.

    Jawabannya adalah bahwa jika kuasa khusus tersebut mempunyai pengetahuan/kesadaran yang sama dengan subyek mengenai kepalsuan keterangan tersebut, maka dalam hal ini sang kuasa khusus itu dapat dikualifikasikan sebagai subjek. Dan sehubungan dengan perumusan tindakan terlarang dalam pasal ini maka kemungkinan yang dapat menjadi subyek tindak pidana antara lain adalah saksi, saksi ahli, juru bahasa, pemiutang, posisi yang membuat berita acara suatu perkara pidana.

    Menjadi saksi dalam suatu perkara di depan sidang pengadilan adalah merupakan suatu kewajiban setiap orang, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran dalam masyarakat, karena tegaknya keadilan dan kebenaran tersebut adalah untuk kepentingan bersama.

    Oleh karena itu setiap orang yang melihat suatu peristiwa atau mengetahui peristiwa tersebut diharapkan tidak akan menghindarkan diri dari kewajiban sebagai saksi bahkan dengan sukarela dan ikhlas mengajukan diri sebagai saksi, dan bukannya malah ketakutan apabila mendapatkan surat panggilan dari pengadilan untuk menghadap sebagai saksi seperti yang terjadi dewasa ini, dimana sebagian besar masyarakat memperlihatkan sikap ketakutan apabila di panggil sebagai saksi.

  2. Dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian.

    Unsur objektif kedua dari tindak pidana dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu ialah unsur “dalam hal undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian”. Di dalam bidang pidana, keterangan seperti itu ialah misalnya keterangan yang harus diberikan oleh seorang ahli didepan sidang pengadilan.

    Di dalam pasal 160 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah ditentukan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara dan agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada sebenarnya. Juga dalam pasal 160 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga telah ditentukan sebagai berikut :

    jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.

    Di dalam rumusan delik yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pembentuk undang-undang secara umum telah memakai kata “keterangan” atau “verklaring”, sehingga dapat dimasukkan juga ke dalam pengertiannya yakni bukan saja hanya keterangan-keterangan saksi di dalam perkara-perkara pidana dan perdata saja, melainkan juga setiap pemberitahuan yang disampaikan, misalnya keterangan yang diberikan oleh para pihak di dalam suatu perkara pidana, keterangan yang diberikan seseorang dalam masalah perpajakan dan lain sebagainya. Keterangan ini harus diberikan di atas sumpah, pengambilan sumpah mana dilakukan sebelum keterangan itu diberikan untuk menegaskannya.

  3. Memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.

    Unsur memberikan keterangan palsu di atas sumpah itu oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di belakang unsur dengan sengaja, sehingga unsur memberi keterangan palsu di atas sumpah itu diliputi oleh unsur dengan sengaja. Mengenai apakah yang dimaksudkan dengan kesengajaan memberikan keterangan palsu itu, di dalam beberapa arrestnya Hoge Raad antara lain memutuskan bahwa : kesengajaan untuk memberikan keterangan yang palsu adalah kesadaran, bahwa keterangan itu adalah palsu ataupun bertentangan dengan kebenaran. Didalam pemeriksaan di sidang pengadilan hal ini haruslah dapat dibuktikan.

    Karena pemberian keterangan palsu di atas sumpah itu seringkali diberikan oleh para saksi di bidang-bidang pengadilan, baik yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana, maka timbulah pertanyaan mengenai bilamana seseorang saksi itu dapat dipandang sebagai telah memberikan keterangan palsu di depan sidang pengadilan. Hakim Ketua Sidang oleh sesuatu alasan berpendapat bahwa keterangan seorang saksi itu disangka palsu, maka ia dengan sungguh-sungguh dengan mengemukakan ancaman hukuman apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu.

    Hal ini adalah berdasarkan ketentuan di dalam pasal 174 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut :

    apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

    Untuk lebih jelasnya perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan saksi tersebut di atas itu adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap seorang saksi, yakni saksi yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah sebagaimana yang dimaksudkan di atas. Untuk selesainya pemberian keterangan palsu di atas sumpah di depan sidang pengadilan itu diisyaratkan bahwa hakim ketua sidang telah menyatakan dapat terjadi bahwa setelah hakim ketua sidang menyatakan pemeriksaan terhadap seorang saksi selesai, saksi tersebut kemudian didengar kembali keterangannya, misalnya karena keterangan-keterangan yang telah diberikannya.

    Dan seandainya di dalam pemeriksaan yang terdahulu, saksi tersebut telah memberikan keterangan palsu di atas sumpah, apakah pemberian keterangan palsu tersebut dapat dicabut kembali di dalam sidang yang memeriksa didirinya kemudian ?

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang tidak terdapat petunjuk apa yang harus dilakukan oleh hakim, dalam hal hakim menjumpai peristiwa tentang diberikannya keterangan palsu oleh seorang saksi, maka hakim telah menyerahkan masalahnya kepada penuntut umum secara lisan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara seseorang terdakwa, dimana saksi tersebut oleh penuntut umum telah diajukan sebagai saksi korban.

    Di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pembentuk undangundang juga telah menyatakan bahwa keterangan palsu di atas sumpah itu dapat dilakukan dengan baik secara pribadi maupun melalui seorang kuasa, yang untuk maksud tersebut oleh orang yang harus memberikan keterangan di atas sumpah telah diberi kuasa khusus.

    Pemberian keterangan seperti itu hanya dapat dilakukan dalam perkara-perkara perdata saja sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur salam Bab ke-VI dari Buku ke-VI Burgelijk Wetboek (BW). Dalam pembahasan ini bila dikaitkan dengan kedua hal di atas tersebut maka yang dimaksudkan dengan keterangan palsu di atas sumpah itu adalah seperti yang ditentukan di dalam pasal 160 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu sebelum memberi keterangan saksi tersebut telah mengucapkan sumpah, sedangkan yang dimaksudkan dalam pasal 160 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu seorang saksi itu bersumpah atau berjanji sesudah selesai memberikan keterangan.

    Pada dasarnya kedua hal ini adalah sama dan kejahatan ini disebutkan dengan nama “Sumpah Palsu”. Keterangan lainnya ialah keterangan seorang ahli yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk diminta pendapatnya, dan ditentukan dalam pasal 120 ayat (2) KUHP yang berbunyi :

    Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucap janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

    Suatu keterangan saksi itu adalah merupakan keterangan yang diwajibkan, apabila seorang saksi dipanggil dimuka sidang, ia diwajibkan mengucapkan sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya berhubung pemberian keterangan di atas sumpah diperintahkan kepadanya oleh undangundang. Dan saksi itu diwajibkan untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya mengenai apa yang dilihatnya sendiri, apa yang didengarnya sendiri ataupun apa yang dialaminya sendiri terhadap kasus atau perkara itu.

    Dan pelanggaran terhadap kewajiban itu adalah merupakan perbuatan yang dapat dihukum. Inilah sumpah yang diharuskan oleh undang-undang seperti yang dimaksudkan di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana.

    Di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Pidana itu telah ditentukan jika keterangan palsu di atas sumpah itu telah diberikan di dalam suatu perkara pidana dengan merugikan orang yang diadukan atau terdakwa, maka pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.

    Mengenai pemberian keterangan palsu tersebut dalam suatu perkara pidana adalah tidak perlu bahwa pemberian keterangan tersebut telah mempengaruhi bagi jalannya pemeriksaan di sidang pengadilan mana keterangan palsu di atas sumpah palsu itu diberikan, akan tetapi agar pemberatan pidana seperti yang dimaksud di dalam pasal 242 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu dapat diberlakukan bagi pelaku, maka keterangan palsu di atas sumpah itu harus ia berikan dengan merugikan terdakwa.

    Di dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 242 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pembentuk itu undang-undang telah menyamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembentuk undang-undang menentukan bahwa jika orang tersebut bersalah telah melakukan kejahatan seperti yang dimaksudkan di dalam ketentuanketentuan pidana yang diatur dalam pasal 242 (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 35 angka 1 – angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masing-masing yakni :

    1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
    2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
    3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturanaturan umum;
    4. Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang atau bukan anak sendiri.

Sumber : Justino Armando Mamuaja, Penerapan Pasal 242 KUHPidana terhadap Pemberian Keterangan Palsu di atas Sumpah.

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang sah ialah:

  • keterangan saksi;
  • keterangan ahli;
  • surat;
  • petunjuk;
  • keterangan terdakwa.
    Dari segi urutan alat bukti, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini menunjukkan bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum acara pidana.

Pengertian keterangan saksi, menurut rumusan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Berdasarkan rumusan tersebut, suatu keterangan saksi haruslah memenuhi syarat yaitu apa yang saksi:

  • dengar sendiri;
  • lihat sendiri; atau,
  • alami sendiri.

Tindak Pidana Kesaksian Palsu Dalam Pasal 242 KUHPidana


Buku II Bab IX KUHPidana yang berjudul “Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu” atau “Keterangan palsu di bawah sumpah dan keterangan palsu”, semula terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 242 dan Pasal 243. Tetapi dengan Staatsblad 1931 No. 240, Pasal 243 KUHPidana ditiadakan. Dengan demikian yang masih berlaku tinggal Pasal 242 KUHPidana saja. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal dalam Buku I Bab IX tersebut.

Pasal 242 KUHPidana ini diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai berikut,

  • Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

  • Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

  • Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

  • Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.

Terjemahan yang dibuat oleh P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, yaitu,

  • Barangsiapa di dalam hal-hal di mana peraturan undang-undang menghendaki suatu keterangan diberikan diberikan di bawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat-akibat hukum, telah dengan sengaja memberi keterangan palsu di bawah sumpah, baik secara lisan maupun tulisan, baik oleh orang itu sendiri ataupun oleh seorang kuasa yang secara khusus dikuasakan untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
  • Apabila keterangan palsu yang diberikan di bawah sumpah itu di dalam suatu perkara pidana telah merugikan orang yang diadukan atau orang yang dituduh, maka orang yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya sembilan tahun.
  • Dipersamakan dengan sumpah adalah janji atau pembenaran, yang diminta berdasarkan peraturan- peraturan umum atau yang diminta untuk menggantikan sumpah.
  • Hukuman berupa pencabutan hak-hak seperti yang diatur di dalam pasal 35 No. 1-4 dapat dijatuhkan.

Tindak pidana pokok dalam Pasal 242 KUHPidana adalah tindak pidana yang dirumuskan dalam ayat (1). Dalam ayat (2) diatur mengenai penberatan pidana, dalam ayat (3) diatur mengenai apa yang disamakan dengan sumpah, sedangkan dalam ayat (4) diatur mengenai pidana tambahan. Mengenai tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 KUHPidana ini diberikan keterangan oleh S.R. Sianturi antara lain sebagai berikut, Nama dari kejahatan ini disebut “sumpah palsu”.

Intinya ialah, menurut Sanutri(1983), seseorang memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah (ia bersumpah lebih dahulu baru dikuatkan dengan sumpah) atau di bawah sumpah (ia memberikan keterangan lebih dahulubaru dikuatkan dengan sumpah).

Oleh Sianturi tindak pidana ini dinamakan tindak pidana (kejahatan) “sumpah palsu”. Nama ini untuk memperjelas bahwa di dalam peristiwa itu tersangkut sumpah dan ada sesuatu yang palsu di dalam peristiwa itu. Jika tindak pidana ini dinamakan tindak pidana “keterangan palsu”, orang tidak dapat langsung paham bahwa di dalam peristiwa itu tersangkut suatu sumpah. Juga tindak pidana ini tidak dapat dinamakan tindak pidana “kesaksian palsu” sebab kesaksian palsu hanyalah salah satu peristiwa yang tercakup di bahwa tindak pidana ini, yaitu berkenaan dengan pengucapan sumpah pada waktu hendak memberikan kesaksian.

Walaupun demikian, sebagaimana yang dapat dibaca dari kutipan di atas, yang palsu sebenarnya bukanlah sumpah itu melainkan keterangan yang diberikanlah yang palsu. Dengan demikian, untuk keperluan praktis tindak pidana tersebut dapat dinamakan tindak pidana sumpah palsu. Mengenai pembedaan istilah “di atas sumpah” dan “di bawah sumpah” sebagaimana yang digunakan oleh Sianturi, pembedaan seperti itu dapat membingungkan orang. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional menggunakan terjemahan “di atas sumpah” sedangkan Lamintang dan Samosir menggunakan terjemahan “di bawah sumpah”. Penerjemah-penerjemah ini sudah tentu tidak bermaksud untuk membatasi pengertiannya sebagaimana pembedaan yang dilakukan oleh S.R. Sianturi.

Dengan mengikuti terjemahan Lamintang dan Samosir dapat digunakan istilah “keterangan palsu di bawah sumpah” sebagai istilah umum yang mencakup pengambilan sumpah sebelum maupun sesudah diberikan keterangan.

Unsur-unsur dari tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana, yang diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, adalah sebagai berikut:

  • Dalam keadaan di mana undang- undang menentukan supaya memberi keterangan di atas/di bawah sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian;
  • Dengan sengaja;
  • Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.

Unsur-unsur Pasal 242 ayat (1) KUHPidana tersebut akan dibahas satu demi satu berikut ini.

  • Dalam keadaan di mana undang- undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian.

Oleh S.R. Sianturi diberikan contoh-contoh dari peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang harus mengucapkan sumpah sebagai berikut,

  • Pasal 147 HIR untuk perkara perdata yang berbunyi: “Jika tidak diminta mengundurkan diri atau kalau permintaan itu ditentukan tidak beralasan, maka saksi itu, sebelum memberi keterangan disumpah dahulu menurut agamanya”.

  • Pasal 1911 KUHPerdata: “Saksi wajib bersumpah atau berjanji sesuai dengan agama yang dianutnya, bahwa mereka akan menerangkan yang sebenarnya”.

  • Pasal 115 (2) Undang-undang Kepailitan: “…ataupun menuntut supaya siberpiutang menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya…”.

  • Pasal 160 (3) dan (4) KUHAP di bidang perkara pidana yang berbunyi:

“sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya”; “(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu memberi keterangan”.

Pasal 242 Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh R. Soesilo dirumuskan sebagai berikut :

  1. Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut peraturan Undang-Undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberikan keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama- lamanya tujuh tahun.

  2. Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberkan dalam perkara pidana dengan merugikan terdakwa atau tersangka, maka tersalah itu dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

  3. Yang dimaksud dengan sumpah yaitu janji atau penguatan, yang menurut undang-undang umum menjadi penganti sumpah.

  4. Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4.

Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan suatu ketentuan pidana yang telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melarang tindakan sengaja memberikan keterangan palsu diatas sumpah oleh Barangsiapa yang menurut Peraturan Undang-Undang dituntut untuk memberikan keterangan dengan sumpah.
Sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah ini, apabila dilakukan dengan pemeriksaan dalam suatu perkara pidana di sidang pengadilan oleh seorang saksi, tentu akan sangat merugikan pihak-pihak yang berperkara dan dapat menyebabkan hakim keliru dalam mengambil keputusan. Uraian di atas telah mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul “Penerapan Pasal 242 KUHPidana Terhadap Pemberian Keterangan Palsu di Atas Sumpah.”

Mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan perbuatan memberikan keterangan palsu di atas sumpah ternyata tidak terdapat kesamaan pendapat di dalam berbagai sistem hukum yang dapat dicatat dalam sejarah hukum pidana. Menurut para ahli hukum Italia, perbuatan memberikan keterangan palsu di atas sumpah itu merupakan suatu perbuatan pidana, akan tetapi perbuatan memberikan suatu atau kesaksian palsu adalah merupakan perbuatan yang membuat pelakunya dipidana.

Menurut Hukum Jerman lama, perbuatan mengucapkan suatu ‘ meineed’ atau sumpah palsu itu merupakan kejahatan yang berat, sedangkan hukum gereja telah memandang perbuatan seperti itu sebagai suatu dosa. Mengenai tempat dari perbuatan pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah itupun terdapat perbedaan pendapat diantara para penulis dan diantara pembentuk undang- undang, yakni apakah perbuatan pidana tersebut termasuk dalam kriteria ” bedrog ” (penipuan) ataukah termasuk dalam apa yang disebut “ valsheid ” (kepalsuan). Di dalam Crimineel Wetboek voor het Koninkrijk Holland, para pembentuknya telah mengatur masalah perbuatan memberikan keterangan palsu di atas sumpah itu di dalam bab yang mengatur masalah “ valsheid ” (sumpah palsu) itu sebagai perbuatan yang membahayakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk memelihara kepercayaan umum.

Menurut S. R. Sianturi, pada pokoknya pasal ini adalah sebagai berikut : nama dari kejahatan ini disebut “sumpah palsu”. Intinya ialah, seseorang memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah (ia bersumpah dahulu baru memberi keterangan palsu) atau di bawah sumpah (ia memberi keterangan lebih dahulu baru dikuatkan dengan sumpah).

R. Sugandhi dalam penjelasannya mengatakan, bahwa keterangan palsu adalah keterangan yang tidak benar atau bertentangan dengan keterangan yang sesungguhnya. ‘Keterangan atas sumpah’ berarti keterangan yang diberikan oleh orang (pembuat berita acara) yang sudah disumpah, yakni sumpah jabatan. Apabila ia belum melakukan sumpah jabatan, pada penutup berita acara yang dibuatnya, harus dibubuhi dengan kalimat : “berani mengangkat sumpah dikemudian hari”

Mengenai apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan keterangan palsu itu, Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing- masing tanggal 25 Juni 1928, N. J. 1929, W. 11870 dan tanggal 22 Juni 1931, N. J. 1932, 90, W. 12546 antara lain telah memutuskan sebagai berikut : suatu keterangan itu adalah palsu, jika sebahagian dari keterangan itu adalah tidak benar, walaupun yang sebahagian ini mempunyai arti yang tidak demikian pentingnya, yang tidak akan dapat dipikirkan terhadap kesengajaan untuk memberikan keterangan secara palsu.