Apa yang dimaksud dengan Kesiapan Menikah?

menikah

Pernikahan didefinisikan sebagai hubungan yang diakui secara hukum dan sosial antara seorang wanita dan seorang pria yang mencakup hubungan seksual, ekonomi, dan hak-hak sosial, serta tanggung jawab terhadap pasangan (Seccombe, K., Warner, R. L., 2004).

Apa yang dimaksud dengan kesiapan menikah?

Kesiapan menikah didefinisikan Larson (1988, dalam Badger, 2005) sebagai evaluasi subjektif individu terhadap kesiapan dirinya untuk memenuhi tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan. Selain itu, Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) mempercayai bahwa kesiapan menikah berhubungan erat dengan kompetensi pernikahan, dimana kompetensi pernikahan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjalankan perannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan dalam kehidupan pernikahan. Dari kedua definisi kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Stinnett dan Larson tersebut, Holman dan Li (1997) menyimpulkan bahwa kesiapan menikah sebagai berikut :

“a preceived ability of an individual to perform in marital roles, and see it as an aspect of mate selection/relationship development.”

Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa kesiapan menikah merupakan kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan.

Kesiapan menikah ini dapat menjadi prediktor kepuasan pernikahan (Larson, 2007, dalam Nelson, 2008), karena :

Semakin tinggi tingkat kesiapan menikah, maka diharapkan setelah menikah tingkat kepuasan pernikahan individu juga semakin tinggi, begitupun sebaliknya.

Selain itu, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Fowers & Olson, 1986; Holman, Larson, & Harmer, 1994). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, ialah :

  • Usia saat menikah
  • Level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah
  • Waktu menikah, motivasi untuk menikah
  • Kesiapan untuk eksklusivitas seksual
  • Emansipasi emosional dari orangtua
  • Tingkat pendidikan dan pekerjaan.

Selain itu, beberapa aspek demografi, seperti pendidikan, pendapatan, dan usia berkorelasi dengan kesiapan untuk menikah (Holman & Li, 1997).

Kesiapan menikah merupakan konsep yang kurang mendapatkan banyak perhatian dalam dunia penelitian. Menurut Holman & Li (1997), hanya terdapat dua tokoh yang secara khusus membahas mengenai kesiapan menikah, yaitu Larson & Stinnett. Larson (1988, dalam Badger, 2005) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai evaluasi subjektif individu terhadap kesiapan dirinya untuk memenuhi tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan.

Sedangkan Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) mempercayai bahwa kesiapan menikah berhubungan erat dengan kompetensi pernikahan. Kompetensi pernikahan merupakan kemampuan seseorang untuk menjalankan perannya dalam pernikahan untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan di dalam sebuah pernikahan.

Area-area Dalam Kesiapan Menikah

Dalam program-program persiapan pernikahan, terdapat dua alat ukur yang paling sering digunakan untuk menguji kesiapan menikah pada individu yang hendak melaksanakan pernikahan. Kedua alat ukur tersebut adalah PREPARE yang dikembangkan Olson, Larson, Olson (2009) dan PREP-M yang dikembangkan oleh Holman, Busby & Larson (1989, dalam Holman, Larson, & Harmer, 1994). PREPARE terdiri dari tiga belas skala yaitu komunikasi, resolusi konflik, gaya dan kebiasaan pada partner; teman dan keluarga; pengaturan keuangan; aktivitas waktu luang, ekspektasi seksual/hubungan seksual; spiritualitas; ekpektasi terhadap pernikahan; peran dalam hubungan; peran dan tanggung jawab; karakter dan trait ; dan pemaafan.

Dari skala-skala dan subskala yang ada pada kedua alat ukur tersebut disimpulkan oleh Wiryasti (2004) bahwa kesiapan menikah terdiri dari delapan area utama, antara lain:

  1. Komunikasi, merupakan kemampuan individu untuk mengekspresikan ide dan perasaannya, dan mendengarkan pesan yang disampaikan kepadanya.

  2. Keuangan, merupakan area yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah pengaturan ekonomi rumah tangga yang akan dilakukan oleh pasangan.

  3. Anak dan pengasuhan, berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan atau didikan yang akan diberikan.

  4. Pembagian peran suami-istri, berkaitan dengan persepsi dan sikap dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga (domestik) dan publik, serta kesepakatannya dalam pembagiannya.

  5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, berkaitan dengan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (asal) yang membentuk karakter individu dan relasi antar anggota keluarga.

  6. Agama, merupakan aplikasi nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan.

  7. Minat dan pemanfaatan waktu luang, merupakan sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan.

  8. Perubahan pada pasangan dan pola hidup, merupakan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan dan pola hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah

Degenova (2008) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Usia saat menikah

Pasangan yang menikah pada usia remaja (belasan) biasanya menikah dikarenakan hamil diluar pernikahan, sehingga biasanya mereka mengabaikan pendidikan dan menerima status sebagai pegawai rendahan.

2. Level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah

Remaja biasanya tidak cukup dewasa untuk menghadapi hubungan pernikahan dikarenakan kurangnya kemampuan komunikasi, rasa cemburu atau kurangnya rasa percaya.

3. Waktu menikah

Beberapa pasangan menikah pada waktu yang tidak sesuai dengan waktu yang telah mereka rencanakan, sehingga mereka terkadang merasa kurang bergairah dengan perkawinan itu sendiri.

4. Motivasi untuk menikah

Kebanyakan individu menikah dengan alasan pemenuhan cinta, companionship , dan keamanan namun ada pula yang menikah dengan tujuan untuk dapat terbebas dari situasi hidup yang tidak menyenangkan, untuk menyembuhkan ego yang rusak dalam hal rebound.

5. Kesiapan untuk eksklusivitas seksual

Biasanya pasangan memiliki keinginan terhadap eksklusivitas seksual. Jika seseorang tidak memiliki kesiapan terhadap hal ini maka kemungkinan mereka tidak siap untuk menikah.

6. Emansipasi emosional dari orangtua

Individu harus sudah siap untuk memberikan penghasilan dan afeksi kepada pasangannya bukan kepada orangtua.

7. Tingkat aspirasi dan derajat pemenuhan pendidikan dan vokasional

Pada umumnya, seseorang dengan tingkat aspirasi pendidikan dan vokasional yang rendah akan menikah lebih awal. Jika seseorang memiliki aspirasi yang tinggi, biasanya mereka akan menunda waktu menikah sampai mereka menyelesaikan sekolahnya dan akan melakukan penundaan untuk memiliki anak setelah menikah.

Kesiapan adalah tingkat perkembangan kematangan atau kedewasaan individu, sehingga akan menguntungkan yang bersangkutan untuk mempraktekan sesuatu (Chaplin 1989). Kesiapan juga didefinisikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam mempersiapkan diri untuk belajar dan menghadapi tugas perkembangan (Corsini 2002). Kesiapan bisa berupa keahlian khusus yang diperoleh melalui dukungan perkembangan fisik dan intelektual yang terjadi dalam pergaulan sosial yang menyediakan saat-saat untuk dapat belajar.

Kesiapan menikah adalah keadaan siap berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap berhubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan mengasuh anak (Puteri 2010). Duvall (1971) mengatakan bahwa kesiapan menikah adalah kondisi ketika seorang wanita maupun laki-laki telah menyelesaikan masa remajanya, dan secara fisik, emosi, pendidikan, finansial, dan kepribadian, telah siap untuk memikul tanggung jawab dan hak-hak istimewa setelah menikah.

Kesiapan menikah bagi wanita dianggap lebih penting dibandingkan dengan laki-laki karena dua pertimbangan sebagai berikut: pertama, wanita sebagai istri yang akan menentukan asupan gizi makanan bagi keluarganya. Pakar ekonomi Inggris, Alfred Marshall (1890) telah mengingatkan mengenai isu penting ini dengan mengatakan:

Much depends on the proper preparation of food; and a skilled housewife with ten penny a week to spend on food will often do more for the health and strength of her family than an unskilled housewife with twenty penny. The great mortality of infants among the poor are largely due the lack of care and judgment in preparing their food;…”

“Banyak hal bergantung pada persiapan makanan yang tepat; dan ibu rumah tangga yang terampil dengan uang sepuluh sen untuk belanja makanan selama seminggu, akan berbuat lebih banyak untuk kesehatan dan kekuatan bagi keluarganya dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak terampil dengan uang dua puluh sen. Tingginya angka kematian bayi pada masyarakat miskin terutama disebabkan oleh kurangnya perawatan dan penilaian dalam menyiapkan makanan mereka…”

Pertimbangan yang kedua, berkaitan dengan status wanita yang akan menjadi calon ibu baik menjelang kehamilan, selama masa kehamilan, dan setelah melahirkan. Kondisi kesehatan baik fisik dan mental seorang calon ibu, senantiasa akan berhadapan dengan gangguan eksternal, misalnya gangguan penyakit, sehingga janin yang dikandung akan memiliki peluang terkena efek samping penyakit yang diderita ibunya.

Selain itu, perubahan fisik janin yang begitu cepat selama masa kandungan membutuhkan keterampilan ibu yang mengandung untuk mengatur kecukupan asupan gizi sehingga kesehatan ibu dan janin bisa terjaga dengan baik.

Faktor-faktor kesiapan menikah

Seseorang yang hendak menikah harus memiliki hal-hal sebagai berikut: kematangan emosi yang baik, kedewasaan, perilaku komunikasi yang empati dan terbuka, kemandirian, aktivitas keagamaan yang baik, self-esteem yang baik, selfdisclosure yang baik, dan umur yang cukup (Holman, Harmer, & Larson 1994).

Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985), menyajikan kemampuan pribadi seseorang yang dinyatakan siap menikah yaitu: mampu mengendalikan perasaan diri sendiri, mampu berhubungan baik dengan orang banyak, mampu menjadi pasangan yang baik dalam berhubungan seksual yang intim, mampu menyayangi orang lain, tanggap (sensitive) terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain, mampu berbagi rencana dan kasih sayang dengan orang lain, mampu menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, mampu menerima keterbatasan orang lain, mampu menghadapi masalah terutama yang berhubungan dengan ekonomi, mampu berkomunikasi mengenai pemikiran, perasaan, harapan, dan terkahir mampu menjadi suami-istri yang bertanggung jawab.

Mengacu hasil Sunarti (2001), terdapat prasyarat minimal untuk calon pasangan yang ingin menikah dan membangun keluarga. Prasyarat minimal tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu: memiliki kemampuan untuk memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) maupun kebutuhan perkembangan anggota keluarga, memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem mikro, dan memiliki kematangan kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga.

Blood (1978) membagi kesiapan menikah menjadi beberapa kesiapan yaitu:

  1. Kesiapan emosi, adalah kemampuan membangun dan merawat hubungan baik dengan orang lain, mampu berbagi (sharing), menerima kekurangan serta kelebihan orang lain, mampu mencintai, berempati kepada orang lain, sensitif pada kebutuhan orang lain, dan mau memikul tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut.

    Goleman (1997), membagi dimensi kecerdasan emosi kedalam lima dimensi yaitu:

    • Kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang dirasakan, mengetahui kemampuan diri, dan penyebab munculnya perasaan,

    • Pengaturan diri, yaitu kemampuan mengelola emosi, mampu mengendalikan amarah dan cepat pulih dari tekanan,

    • Motivasi, yaitu kemampuan memanfaatkan emosi sehingga menjadi pribadi yang produktif, fokus pada tugas, dan bertanggung jawab,

    • Empati, yiatu peka dan mampu membaca perasaan orang lain. Mereka yang mampu berempati biasanya mudah menyelarasakan diri dengan orang lain, dan

    • Keterampilan sosial, yaitu kemampuan membangun hubungan baik dengan orang lain, menyelesaikan masalah, dan bekerja dalam tim.

  2. Kesiapan usia biologis, biasanya mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku disuatu Negara. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 dan 7, menjelaskan usia minimal yang diizinkan untuk menikah adalah untuk laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun, dan jika usia keduanya dibawah 21 tahun maka disyaratkan harus mendapatkan izin kedua orang tua.

    Usia bisa mempengaruhi kedewasaan seseorang, karena untuk menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, namun hitungan usia biologis manusia tidak selalu berbarengan dengan kedewasaan emosi. Hal tersebut karena kematangan emosi seseorang juga berkaitan dengan banyaknya peluang untuk belajar dan bersikap terhadap kehidupan. Banyaknya peluang sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan tempat seseorang berada.

  3. Kesiapan sosial, terbagi menjadi dua:

    • Pengalaman berkencan yang cukup (enough dating), yaitu kondisi ketika individu siap berkomitmen hanya kepada satu orang yang terbaik baginya yaitu pasangannya dan tidak merasa penasaran untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan;

    • Pengalaman hidup sendiri (enough single life), yaitu pengalaman individu memiliki waktu yang memadai untuk dirinya sendiri dalam kehidupan yang mandiri. Manfaat hidup sendiri adalah mengetahui identitas pribadi secara jelas sebelum melakukan pernikahan.

  4. Kesiapan model peran adalah siap menjalankan tugas dan peran dalam rumah tangga. Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dengan mencermati sosok (figure) yang paling dekat dengan mereka, yaitu orang tua mereka sendiri.

    Lord Chesterfield (1750) mengatakan: “We are, in truth, more than half what we are by imitation. The great point is, to choose good models, and to study them with care…” “Sesungguhnya, lebih dari separuh apa yang ada diri kita adalah hasil meniru. Pokok masalahnya adalah, bagaimana memilih model yang baik untuk ditiru secara benar…”

    Penting untuk mengetahui apa saja peran dan tugas sebagai suami istri, sehingga pasangan yang hendak menikah bisa menyadari hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan dan membina rumah tangga.

  5. Kesiapan finansial, berhubungan dengan jumlah minimum pendapatan yang harus dimiliki seseorang yang akan menikah bergantung pada nilai-nilai yang dipegang calon pasangan karena setiap pasangan memiliki standar minimum bagaimana cara untuk hidup. Umumnya standar minimum seseorang dimulai pada level yang diraih orang tua mereka.