Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan dan perlindungan anak?

Sistem perlindungan anak yang efektif melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran. Dalam tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak saling berkaitan.

Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan dan perlindungan anak ?

Kesejahteraan Anak

Menurut Child and Family Services Review process, terdapat tiga variabel kesejahteraan, yaitu:

  • Pertama, kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anak-anak, orangtua, dan orangtua asuh serta keterlibatan anak-anak, remaja, dan keluarga dalam perencanaan pemecahan masalah.

  • Kedua, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.

  • Ketiga, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental

Dalam kenyataannya, variabel yang pertama adalah yang paling umum dan paling luas cakupannya. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979, diamanatkan bahwa

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Perlindungan Anak

Perlindungan Anak di Indonesiadiatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sedangkan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Azas dan Tujuan Perlindungan Anak

Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Sejalan dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak Indonesia adalah perlindungan keberlanjutan, karena merekalah yang akan mengambil alih peran dan perjuangan mewujudkan citacita dan tujuan bangsa Indonesia. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS)

Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program inti di semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan keselamatan anak bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih luas, CPS “mengacu pada perangkat hukum yang sangat khusus, mekanisme pendanaan, respon lembaga bersama pemerintah untuk melaporkan penyalahgunaan dan penelantaran anak” (Waldfogel, 1999).

Dasar program CPS berasal dari hukum yang dibentuk di setiap negara yang mendefinisikan kekerasan dan penelantaran anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus menanggapi laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga CPS memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan, menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak dan remaja aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta bekerjasama dengan keluarga untuk mencegah kemungkinan terjadinya penganiayaan di masa yang akan datang (Depanfilis & Salus 2003, Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia US, 1988).

Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja para penulis (Altman; Cohen, Hornsby, and Priester; Kemp, Allen- Eckard, Ackroyd, Becker, and Burke; and Chahine and Higgins) dalam tulisannya Systemic Issues in Child Welfare, fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja dengan keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan masyarakat dalam proses asesmen melalui konfrensi tim.

Filosofi layanan perlindungan anak menurut De Panfilis dan Salus 2003, Lembaga Layanan Perlindungan Anak bekerja berdasarkan keyakinan filosofis bahwa setiap anak memiliki hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan bebas dari penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum melindungi anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan fisik, mental, emosional, dan kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara memadai. Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak harus campur tangan ketika orangtua meminta bantuan atau gagal, atau lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menjaga mereka agar aman dari penyalahgunaan atau penelantaran, seperti yang didefinisikan oleh undang-undang negara sipil (Gerald P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005).

Penyalahgunaan dan Penelantaran Anak

Penelantaran dapat didefinisikan sebagai kelalaian dalam pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua atau pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugian signifikan atau risiko bahaya yang signifikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz, 2000).

Penelantaran lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan fisik, pengawasan, dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan. Kekerasan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau risiko cedera tersebut (Dubowitz, 2000).

Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).

Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual tanpa kesepakatan, motivasi perilaku seksual yang melibatkan anak dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000) oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak.

Pelecehan seksual anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau alat kelamin, digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan payudara anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi, pornografi, kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003).

Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional Amerika tentang Penyalahgunaan Anak, 1995).

Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi atau merusak (misalnya, mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal); menyangkal respon emosional (misalnya, mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang), dan mengisolasi (misalnya, membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan) (Brassard & Hart, 2000).

Tahapan proses Layanan Perlindungan Anak

Untuk memenuhi tujuan perlindungan anak, CPS menerima laporan penganiayaan anak yang dicurigai, menilai risiko 20 Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak dan keamanan anak-anak dan remaja, dan menyediakan atau mengatur layanan untuk meningkatkan keamanan, kestabilan dan kesejahteraan anak-anak dan remaja yang telah disalahgunakan atau diabaikan atau yang beresiko disalahgunakan atau ditelantarkan. Setiap penanganan masalah dilakukan melalui satu atau lebih rangkaian tahapan proses CPS yaitu:

  1. Penerimaan,
    Keputusan kunci pada tahap ini adalah:

    • menentukan apakah informasi yang dilaporkan sesuai kriteria yang ada dalam pedoman lembaga untuk penganiayaan anak yang didasarkan hasil kontak tatap-muka dengan anak atau remaja dan keluarganya dan
    • untuk menentukan urgensinya, lembaga harus menanggapi laporan tersebut.

    Petugas penerimaan mewawancarai orang yang menelepon tentang laporan pelecehan atau penelantaran anak yang dicurigai untuk membuat keputusan.

  2. Asesmen awal/investigasi,
    Setelah menerima laporan, CPS melakukan penilaian awal/ penyelidikan dengan mewawancarai anak atau remaja, saudara, orangtua atau pengasuh lainnya, dan individu lain yang mungkin memiliki informasi mengenai dugaan penganiayaan. Jika informasi menunjukkan bahwa kejahatan mungkin telah dilakukan, kontakkontak dengan CPS biasanya dikoordinasikan dengan penegak hukum. Dua penilaian utama yang dilakukan pada tahap ini adalah penilaian terhadap keselamatan anak (misalnya, apakah ada risiko besar akan kerusakan parah) dan penilaian risiko penganiayaan (yaitu, kemungkinan penganiayaan anak di masa depan).

    Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan:

    • apakah penganiayaan anak terjadi seperti yang didefinisikan oleh hukum negara,
    • apakah kelangsungan keselamatran anak atau pemuda mengkhawatirkan dan, jika demikian, intervensi yang akan dilakukan untuk menjamin perlindungan anak,
    • apakah ada risiko penganiayaan masa depan dan tingkat resikonya, dan
    • apakah jasa keagenan terus diperlukan untuk membantu keluarga menjaga keamanan anak, mengurangi risiko penganiayaan di masa depan, dan mengatasi efek penganiayaan anak.

    Beberapa kasus ditutup pada tahap ini jika tidak ada dasar untuk memberikan layanan kepada anak atau remaja dan keluarga.

  3. Penilaian keluarga,
    Asesmen keluarga adalah suatu proses yang komprehensif untuk mengidentifikasi, mengingat, dan mencari faktor yang mempengaruhi keselamatan, kestabilan dan kesejahteraan anak atau remaja. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mengembangkan kemitraan dengan keluarga, rencana pelayanan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak (Department Kesehatan dan Layanan Manusia US, 2000).

    Pada tahap ini, pekerja CPS melibatkan anggota keluarga dalam proses untuk memahami kekuatan, risiko, dan kebutuhan intervensi. Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan:

    • faktor risiko yang menyebabkan kekhawatiran bahwa anak dapat dianiaya di masa depan,
    • faktor-faktor protektif atau kekuatan yang dapat mengurangi kemungkinan penganiayaan masa depan,
    • efek penganiayaan yang diamati pada anak dan/atau anggota keluarga lainnya, dan
    • tingkat motivasi atau kesiapan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam intervensi yang akan mengurangi risiko penganiayaan dan mengatasi efek penganiayaan.
  4. Perencanaan intervensi
    Untuk mencapai hasil program CPS yaitu, keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak, serta keluarga, intervensi harus direncanakan dan bertujuan. Hasil ini dicapai melalui tiga jenis rencana:

    • rencana keselamatan, yang dikembangkan berdasarkan bahwa anak berada pada risiko kerusakan parah dalam waktu dekat,
    • rencana kasus, yang mengikuti asesmen keluarga dan menetapkan hasil dan tujuan dan menjelaskan bagaimana keluarga bekerja menuju hasil tersebut, dan
    • jika seorang anak atau remaja telah ditempatkan dalam pengasuhan luar rumah (out-ofhome care), dalam waktu bersamaan disusun rencana kasus dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk alternatif bagaimana penyatuan kembali atau keajekan dengan orangtua baru dapat tercapai jika usaha untuk menyatukan kembali gagal.

    Keputusan penting pada tahap perencanaan kasus adalah untuk menentukan:

    • hasil kasus yang menjadi target intervensi (misalnya, fungsi keluarga ditingkatkan, mengontrol perilaku emosi, meningkatkan harga diri, meningkatkan interaksi orangtua-anak),
    • tujuan kasus yang akan membantu anggota keluarga berhasil,
    • intervensi terbaik yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan dan hasil, dan
    • penyedia terbaik intervensi.
  5. Penyediaan layanan
    Tahap di mana rencana kasus diimplementasikan. Pada tahap ini peran pekerja CPS adalah untuk mengatur, memberikan, dan/atau mengkoordinasikan pelayanan kepada anak-anak yang teraniaya, orangtua atau pengasuh lainnya, serta keluarga. Pelayanan selektif untuk membantu keluarga mencapai manfaat dan tujuan berdasarkan kesesuaian pelayanan dengan tujuan dan prinsip-prinsip praktak terbaik.

    Keputusan penting pada tahap ini meliputi:

    • mengidentifikasi layanan khusus yang akan diberikan dan intensitas serta durasi pelayanan,
    • menentukan siapa yang terbaik diposisikan untuk memberikan layanan ini,
    • menentukan interval yang tepat untuk mengevaluasi kemajuan keluarga, dan
    • menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan para penyedia layanan (misalnya, mengembangkan berbagi informasi, jadwal pertemuan tim).
  6. Evaluasi kemajuan kasus
    Evaluasi kemajuan Penilaian adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan kontak dengan klien dan berlanjut sepanjang penanganan kasus. Kemajuan pencapaian hasil dan tujuan harus dievaluasi secara resmi setidaknya setiap 3 bulan.

    Keputusan kunci yang harus dibuat selama tahap proses ini mencakup penilaian:

    • status keamanan anak atau remaja saat ini,
    • tingkat pencapaian manfaat keluarga,
    • tingkat pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sesuai rencana kasus,
    • perubahan risiko dan faktor perlindungan yang telah diidentifikasi, dan
    • tingkat keberhasilan dalam mengatasi salah satu dari efek penganiayaan pada anak atau remaja dan anggota keluarga lainnya.
  7. Penutupan kasus.
    Penutupan kasus Proses mengakhiri hubungan antara pekerja CPS dan keluarga dengan melibatkannya dalam proses penilaian kemajuan kasus sejak dari awal, tengah, dan akhir. Secara optimal kasus ditutup ketika keluarga telah mencapai manfaat dan tujuan mereka, yaitu anakanak atau remaja aman, dan risiko penganiayaan telah dikurangi atau dihilangkan.

    Kasus kadang-kadang ditutup, namun keluarga masih membutuhkan bantuan. Bila kebutuhan masih jelas, upaya lain dilakukan untuk membantu keluarga menerima layanan melalui lembaga masyarakat yang sesuai. Untuk mengukur keberhasilan perlindungan anak menurut ASFA (1997) lembaga CPS merancang pengukuran pencapaian hasil program perlindungan anak yaitu:

    • anak dan remaja dalam keadaan aman,
    • anak dan remaja stabil hidup dalam keluarga,
    • anak dan remaja sejahtera, dan
    • keluarga sejahtera (Courtney, 2000).

KESEJAHTERAAN ANAK


Di dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak diberikan batasan-batasan, sebagai berikut :

  1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial (Pasal 1 butir 1 huruf a).

  2. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Pasal 1 butir 1 huruf b).

  3. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 2).

    Penjelasan Pasal 1 butir 2 :

    Batas umur 21 th ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.
    Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku”

  4. Anak yang tidak mempunyai orang tua adalah anak yang tidak ada lagi ayah & ibu kandungnya (Pasal 1 butir 5)

  5. Anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik secara rohani, jasmani, maupun sosial dengan wajar (Pasal 1 butir 6)

  6. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial (Pasal 1 butir 7)

  7. Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat (Pasal 1 butir 8).

  8. Anak cacat adalah yang mengalami hambatan rohani dan atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Pasal 1 butir 9).
    Pengaturan usaha kesejahteraan anak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah :
    Pasal 1 butir 1 menyatakan : Anak yang mempunyai masalah adalah anak yang antara lain tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak cacat.

PERLINDUNGAN ANAK


Batasan-batasan

Di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diberikan batasan-batasan, sbb:

  1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir ke-1)

  2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin & hak- haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat & martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan di kriminasi (Pasal 1 butir ke-2)

  3. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekuasaan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Pasal 1 butir ke-15).

  4. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara (Pasal 1 butir ke-12).

  5. Dst.

Asas, Landasan, Prinsip – Prinsip Dasar

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila berlandaskan UUD Negara RI Tahun 1945 serta prinsip-perinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

  1. Non diskriminasi;
  2. kepentingan yang terbaik bagi anak;
  3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
  4. penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002)

Tujuan Perlindungan Anak

Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulai, dan sejahtera (Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002)

Hak-Hak Anak

Dalam Pasal 4 s/d 18 UU No. 23 Tahun 2002 antara lain :

  1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat & martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002).

  2. Hak mendapat perlindungan dari perlakuan :
    a. diskriminasi;
    b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
    c. penelantaran;
    d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
    e. ketidakadilan;
    f. perlakuan salah lainnya (Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf f : tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak, selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan).

  3. hak untuk memperoleh perlindungan dari : penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UU No. 23 Tahun 2002)

  4. hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002)

  5. hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 ayat
    (2) UU No. 23 Tahun 2002)

  6. penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002)

  7. anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
    a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi & penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
    b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku (Penjelasan Pasal 17 ayat (1) huruf b UU No.23 Tahun 2002 : bantuan lainnya misal : bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikologi atau psikiater, bantuan dari ahli bahasa)
    c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

  8. anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002)

  9. anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Penjelasan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 bantuan lainnya, misal : bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, pendidikan)

  10. dst

Kewajiban anak terdapat dalam Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002 Kewajiban dan Tanggung jawab Penyelenggaraan :

Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002).

Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia

  1. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

  2. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002)

Perlindungan Khusus kepada Anak

  1. Anak dalam situasi darurat :
    a. anak yang menjadi pengungsi
    b. anak korban kerusuhan
    c. anak korban bencana alam
    d. anak dalam situasi konflik bersenjata

  2. Anak yang berhadapan dengan hukum

  3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi

  4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,

  5. Anak yang diperdagangkan

  6. Anak yangmenjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA)

  7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan

  8. Anak korban kekerasan fisik dan / atau mental

  9. Anak yang menyandang cacat

  10. Anak korban perlakuan salah atau penelantaran

Perlindungan Khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :

  1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.

  2. penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini.

  3. penyediaan sarana dan prasarana khusus

  4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak

  5. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum

  6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga

  7. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro