Apa yang Dimaksud dengan Kerja Sama dalam Ilmu Sosiologi?

Dalam ilmu Sosiologi terdapat istilah kerja sama.

Apa yang dimaksud dengan kerja sama dalam ilmu Sosiologi?

Beberapa sosiolog mendefinisikan kerja sama sebagai bentuk interaksi sosial yang pokok. Kemajuan yang dilakukan dari hasil kerja sama lebih elok dibandingkan lewat permusuhan dan persaingan. Pandangan ini memang terlalu etis dan normatif. Karena sosiologi bukan ilmu soal “apa yang seharusnya terjadi”, melainkan “apa yang terjadi”.

Kerja sama dipandang sebagai proses dan interaksi sosial yang benar-benar terjadi. Bisa dilihat apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana akibat dari terjadinya proses itu bagi dinamika sosial di masyarakat. Kerja sama merupakan fenomena yang nyata dalam kehidupan kelompok. Sejak zaman peradaban kuno, manusia melakukan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup, menggunakan alat-alat produksi bersama, dan hasilnya dipakai bersama-sama. Ini adalah bentuk masyarakat kuno yang hidupnya sangat komunistis dan kolektif.

Hal tersebut terjadi salah satunya karena teknologi masih sangat sederhana, sedangkan ancaman alam sangatlah besar, mulai dari kontradiksi alam, seperti angin topan, gunung meletus, medan wilayah yang sulit, hingga ancaman binatang buas. Oleh karenanya, mereka membagi tugas dan bekerja sama untuk menghadapi alam.

Seiring dengan terjadinya perubahan dalam ranah material, model semacam itu lambat laun akan berkurang dan bahkan menghilang. Dapat dikatakan bahwa kolektivitas dan pola kerja sama dalam hubungan ekonomi makro lambat laun menghilang, terutama di era sekarang yang kian kapitalistis, individualisliberalis, yang berpilar pada kompetisi. Artinya, kerja sama yang terinstitusionalisasi melalui hubungan produksi (ekonomi makro) yang dalam masyarakat kuno menjadi model komunisme atau sosialisme purba, telah digerogoti oleh munculnya kekuatan material baru yang bernama (pemilik modal) sebagai kekuatan dominan yang menginginkan persaingan tanpa hambatan-hambatan kolektivitas negara . Kapitalisme lanjut, neoliberalisme, benar-benar menggugat dan berusaha menghabisi setiap upaya kolektif (dari negara) untuk menolong nasib rakyatnya pada ranah ekonomi.

Oleh karenanya, para kapitalis menginginkan agar semuanya diserahkan pada “pasar” dan persaingan harus bebas. Asumsinya adalah bahwa dengan kebebasan ini (dan tanpa bantuan negara berupa subsidi atau pengaturan distribusi, produksi, harga, dan lain-lain) tiap-tiap individu justru akan kreatif dan tak akan malas. Ternyata, yang terjadi malah pemiskinan dan pengisapan yang keterlaluan, persaingan, dan kemiskinan membuat mereka yang kalah bersaing melakukan hal-hal yang menunjukkan tindakan “destruktif ” dalam mempertahankan kehidupan. Orang-orang miskin yang tak lagi punya modal dan alat produksi, terpaksa harus bertahan hidup dengan cara memandang orang lain sebagai “mangsa”. Mereka mencuri, melacur, mengemis, dan lain-lain. Kemiskinan juga membuat mereka kian marah dan gagalnya pemenuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup dilampiaskan dengan berbagai macam reaksi seperti kekerasan, terorisme, dan lain-lain.

Bukan berarti tidak ada pola-pola kerja sama dalam masyarakat. Ada, tetapi sifatnya mikro dan tidak mencerminkan suatu model kerja sama yang terlembagakan dalam ranah makro. Banyak yang mengatakan jika ini adalah konsekuensi masyarakat modern yang kompleks. Dikatakan kompleks karena pranata-pranata sosial baru bermunculan. Akan tetapi, bukan berarti sistem persaingan yang terlembagakan dalam tatanan sosial (negara ) kapitalis itu adalah satusatunya pilihan. Juga, masih bermunculan penataan sistem ekonomi kerja sama di berbagai negara.

Pada ranah institusi mikro, kerja sama merupakan polapola yang terjadi. Pada basis paling bawah, masih ada dua orang yang membangun kerja sama. Mereka menikah dan membangun keluarga. Ini adalah institusi paling kecil dalam masyarakat yang masih established. Di dalam masyarakat modern (lagi-lagi yang kapitalistis), tentu saja juga mendapatkan tantangan. Jadi, ada juga yang menunjukkan bahwa keluarga kadang menjadi ajang dominasi dan persaingan antara suami dan istri. Ini akan membawa kita pada analisis tentang model interaksi dalam hubungan antara suami dan istri. Yang tergantung pada latar belakang sosial ekonomi dan budaya masing-masing pihak yang menjalin hubungan sebagai pernikahan.

Kerja sama membutuhkan perpaduan peran dan kemampuan yang berbeda dalam mencapai tujuan. Peran-peran yang telah digariskan oleh sejarah juga mengalami perubahan. Jika menurut pakem kuno istri berperan pada wilayah domestik (urusan rumah mulai merawat anak, masak, membersihkan rumah, hingga melayani kebutuhan seksualitas suami), sedangkan laki-laki bekerja mencari uang (kebanyakan di luar rumah), untuk ukuran sekarang keadaan seperti itu telah mengalami perubahan. Tergesernya pembagian peran kadang juga bertentangan dengan nilai-nilai lama yang masih dipegang para pelaku pernikahan, kadang juga diterima.

Akan tetapi, ingin penulis katakan bahwa konfl ik dan pertikaian rumah tangga yang sering muncul (dan tak sedikit yang berujung pada perceraian) tak semata-mata dapat dijelaskan dari pergeseran nilai, tetapi juga mungkin lebih banyak karena keluarga sebagai lembaga sosial mikro lahir dari adanya kontradiksi pertentangan yang ada dalam masyarakat makro (kapitalis) yang ingin melangsungkan penindasan terhadap kaum perempuan dan buruh (pekerja). Logika ini akan jelas ketika kita menganalisis perkembangan munculnya keluarga seiring dengan munculnya sistem kepemilikan pribadi, kelas sosial, dan negara —sebagai mana dibahas dalam buku The Origin of Family, State, and Private Property karya Frederich Engels. (Penulis akan membahasnya di bab lain yang bertopik ‘Sosiologi Seks dan Gender’). Jadi, pada lembaga apa pun, baik pada level makro atau mikro, pola-pola interaksi, baik kerja sama ataupun konfl ik, itu mungkin terjadi.

Ada beberapa bentuk kerja sama yang dapat ditemukan dalam masyarakat, antara lain:

  1. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih. Dalam hal ini, kerja sama terjadi karena adanya tawar-menawar yang dilakukan, masing-masing sudah memperhitungkan mendapatkan apa dengan pertimbangan apa yang dimiliki sebagai “modal” untuk bekerja sama. Yang punya daya tawar lebih kuat biasanya akan mendapatkan hasil yang lebih baik atau lebih banyak;

  2. Ko-optasi (Co-optation), yaitu suatu proses penerimaan unsurunsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan dalam stabilisasi organisasi yang bersangkutan. Kerja sama terjadi karena ada kekuatan yang “mencengkeram” yang mampu mendefinisikan seolah-olah kepentingan dan tindakannya dalam kelompok/organisasi/ lembaga/kerja sama menjadi kepentingan bersama; dan

  3. Koalisi (Coalition), yaitu kerja sama yang dilakukan antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi biasanya dilakukan atas kepentingan sesaat sehingga bentuk kerja samanya bisa dikatakan tidak stabil. Hal ini terjadi karena secara mendasar kepentingannya berbeda, hanya saja koalisi terjadi karena ada kepentingan jangka pendek yang bisa dijadikan alasan untuk melakukan kerja sama. Contoh kegiatan koalisi biasanya menunjuk pada kerja sama antara partai politik yang berbeda dalam rangka memenangkan pemilu lima tahunan. Mereka bersatu untuk mendapatkan kekuasaan yang dipandang lebih efektif jika dilakukan dengan membangun kerja sama.

Kerja sama adalah salah satu macam bentuk dari interaksi sosial. Interaksi sosial sendiri adalah sebuah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang berkaitan dengan hubungan antara individu dengan individu, atau antara individu dengan kelompok, ataupun kelompok dengan kelompok sosial lain. Merujuk kepada pendapat yang diberikan oleh Abdulsyani, kerja sama merupakan suatu bentuk proses sosial, yang di dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan guna mencapai tujuan yang dimiliki bersama, dan aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan saling membantu satu sama lain dan saling memahami aktivitas masing-masing. Roucek dan Waren turut menjelaskan bahwa kerja sama itu berarti secara bersama-sama mencapai tujuan bersama. Soerjono Soekanto turut mengemukakan pendapatnya akan makna dari kerja sama itu sendiri. Baginya kerja sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama . Sejalan dengan hal tersebut Baron & Byane menyatakan bahwa kerja sama adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil .

Dari berbagai penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kerja sama menggambarkan sebuah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara bersamaan oleh berbagai pihak untuk mencapai suatu tujuan yang dimiliki bersama .

Kerja sama dianggap sebagai salah satu proses sosial yang paling dasar, yang di dalam pelaksanaannya biasanya melibatkan pembagian tugas. Di mana setiap orang bertanggung jawab dalam mengerjakan tiap-tiap pekerjaannya masing-masing agar dapat tercapainya tujuan bersama yang hendak diraih. Selain itu kerja sama menurut ahli dapat timbul dikarenakan manusia memiliki berbagai kepentingan yang sama, hal tersebut dijelaskan oleh Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati sebagai berikut:

“Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut”

Dasar dilaksanakannya kerja sama menurut Baron & Byane sejatinya dikarenakan manusia yang pada dasarnya tidaklah dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dengan demikian dalam menjalani kehidupan sehari-harinya manusia akan dihadang dengan berbagai permasalahan atau dilema sosial, disinilah kerja sama berperan yaitu untuk saling bantu satu sama lain dalam menjalani kehidupannya.

Pada masyarakat Indonesia terdapat bentuk kerja sama yang sudah menjadi tradisi di tanah air kita, yaitu gotong royong. Tradisi ini pada masyarakat dikenal oleh semua suku bangsa yang ada, seperti :

  • Masyarakat Sunda mengenal istilah Sambat Sinambat, ketika mereka mengadakan pesta, pengerjaan sawah, membangun rumah dan lain-lainnya
  • Masyarakat Jawa mengenal istilah Gugur Gunung, merupakan istilah kerja sama yang dikenal dalam kegiatan pengerjaan sawah, memperbaiki rumah dan lainnya.
  • Masyarakat Bali mengenal istilah Subak, yaitu merupakan kerja sama dalam mengatur sistem irigasi.
  • Masyarakat Minahasa mengenal organisasi pertanian yang disebut sebagai Mapalus, yang di dalamnya mengatur sistem irigasi.

Dijelaskan oleh Soerjono Soekanto sendiri terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi atau mendukung timbulnya kerja sama, yaitu sebagai berikut :

  • Adanya tujuan bersama.
  • Adanya kewajiban situasional.
  • Asanya motif atau dorongan dari orang lain.
  • Adanya keinginan untuk mencapai nilai.
  • Adanya musuh bersama.

Selain itu terdapat 5 (lima) bentuk dari kerja sama, sebagai berikut :

  • Kerukunan, yang mencakup gotong royong dan tolong menolong.
  • Bargaining, merupakan pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
  • Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan.
  • Koalisi (coalition), merupakan sebuah tindakan atau proses kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.
  • Joint Venture, adalah kerja sama yang dilaksanakan dalam penrusahan proyek-proyek tertentu.
Referensi

Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

R. Baron & D. Byane, Social Pyschiology, Ninth Edition, Printed in the United States of America.

Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Kerjasama adalah sebuah sikap mau melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama tanpa melihat latar belakang orang yang diajak bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Samani (2012) bahwa kerjasama yaitu sifat suka kerjasama atau gotong royong adalah tindakan atau sikap mau bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan keuntungan bersama. Karakter kerjasama perlu diterapkan pada anak sejak kecil, karena karakter dapat menjadi bekal bagi kehidupan anak di masa yang akan datang.

Kerjasama menurut Johnson (2011) dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit, sehingga akan mungkin untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama. Bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan dapat membuat sebuah masalah menjadi tantangan yang harus dipecahkan secara bersama.

Kerjasama adalah sesuatu yang terjadi secara alami, kelompok dapat maju dengan baik apabila ada kerjasama yang baik pula antar sesama anggota kelompok. Kerjasama tersebut tidak dibuat-buat, melainkan antar anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini sesuai dengan pendpat Johnson,

Elaine B (2011) yang menyatakan bahwa setiap bagian kelompok saling berhubungan sedemikan rupa sehingga pengetahuan yang dipunyai seseorang akan menjadi output bagi yang lain, dan output ini akan menjadi input bagi yang lainnya.

Kerjasama adalah terjadi secara alami yang berupa sebuah tindakan atau sikap mau melakukan kerjasama dengan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Bekerjasama dapat membuat pikiran seseorang menjadi luas sehingga ia mampu mengetahui kelemahan yang ada pada dirinya dan mau untuk menghargai, mendengarkan pendapat orang lain, dan mengambil keputusan secara bersama.

Tujuan Kerjasama

Kerjasama mempunyai tujuan agar keseluruhan anggota kelompok mampu mengatasi masalah kecil baik yang datang didirinya maupun kelompoknya dan dapat bertanggung jawab untuk tugas yang harus diselesaikan sehingga keseluruhan anggota kelompok dapat mencapai tujuannya secara bersama.

Indikator Kerjasama

Indikator dalam kemampuan kerjasama menurut Kemendiknas (2010) adalah:

  1. Memberikan pendapat dalam kerja kelompok di kelas.
  • Berdiskusi dalam memecahkan permasalahan bersama kelompoknya
  • Memberi pendapat pada saat berdiskusi
  1. Memberi dan mendengarkan pendapat dalam diskusi kelas.
  • Membantu teman kelompoknya yang merasa kesulitan
  • Menerima pendapat dari temannya dalam berdiskusi
  1. Ikut dalam kegiatan sosial dan budaya sekolah.
  • Dapat beradaptasi dengan kelompoknya
  • Kompak dalam tim mereka
  • Menunggu giliran pada saat turnamen

Kerja sama merupakan jaringan interaksi antar individu atau kelompok yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Kerja sama berdasarkan sifatnya

  • Kerja sama langsung , yaitu kerja sama yang dilakukan karena perintah otoritas atau atasan.
  • Kerja sama spontan , yaitu kerja sama yang terjadi tanpa direncanakan.
  • Kerja sama kontrak , yaitu kerja sama yang dilakukan atas dasar kesepakatan hitam di atas putih.
  • Kerja sama tradisional , yaitu kerja sama yang dilakukan dalam rangka menjaga nilai-nilai kultural.

Berdasarkan pelaksanaannya

  • Gotong-royong , yaitu kerja sama dalam bentuk tolong-menolog untuk mencapai tujuan bersama.
  • Penawaran , yaitu kerja sama dalam bentuk pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa.
  • Kooptasi , yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan sebagai upaya menghindari konflik yang bisa mengguncang organisasi.
  • Koalisi , yaitu kerja sama antara dua atau lebih organisasi dengan tujuan yang sama.
  • Joint-venture , yaitu kerja sama yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan dalam proyek tertentu.