Apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak?

kepatuhan pajak

Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Rakyat yang membayar pajak tidak akan merasakan manfaat dari pajak secara langsung, karena pajak digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.

Lalu, apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak ?

Kepatuhan Pajak diartikan sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi ketentuan peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilannya secara akurat dan jujur.

Dari kondisi ideal tersebut, Kepatuhan Pajak didefinisikan sebagai suatu keadaan wajib pajak yang memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya, dalam bentuk kepatuhan formal dan kepatuhan material.

  • Kepatuhan formal adalah suatu keadaan ideal wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang undang perpajakan, seperti melaporkan surat pemberitahuan pajak sebelum batas waktu yang ditetapkan.

  • Kepatuhan material adalah suatu keadaan ideal wajib pajak yang mengisi surat pemberitahuan pajak dengan jujur, lengkap dan benar sesuai ketentuan. Konsep kepatuhan perpajakan diatas sesuai dengan pendapat Yoingco yang menyebutkan bahwa kepatuhan pajak sukarela memiliki tiga aspek yang terdiri dari : aspek formal, material (honestly), dan pelaporan (reporting ).

Pada umumnya, ukuran kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan biasanya diukur dan dibandingkan dengan besar kecilnya penghematan pajak (tax saving), penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion) yang kesemuanya bertujuan untuk meminimalkan beban pajak.

Penghematan pajak (tax saving) adalah usaha memperkecil jumlah utang pajak yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan. Bentuk penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh wajib pajak dalam mengelakkan hutang pajaknya antara lain dengan cara menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya, mengurangi jam kerja atau bahkan tidak mempekerjakan karyawan sama sekali.

Penghindaran pajak sering dianalogikan dengan upaya perencanaan pajak (tax planning) yang merupakan proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajak baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.

Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak dan / atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus.

Menurut Bernard P. Herber, sebagaimana dikutip Nurmantu pengertian tax evasion dan tax avoidance adalah sebagai berikut :

Tax evasion involves a fraudulent or deceitful effort by a taxpayer to escape his legal tax obligation. This is a direct violation of both the ‘spirit’ or ‘intent’ and the ‘letter’ of tax law. On the other hand, tax avoidance may involve a violation of the spirit of tax law, but it does not violate the letter of the law….

Tax avoidance is lawful, while tax evasion is unlawful.

Dari kutipan diatas, dapat dipahami bahwa tax avoidance adalah upaya wajib pajak dalam memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak lebih rendah. Perbuatan ini secara harfiah tidak melanggar undang-undang perpajakan, namun dari sudut pandang jiwa undang- undang perpajakan, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar jiwa undang-undang.

Tax evasion merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang, baik secara harfiah maupun secara jiwa dan moral undang-undang perpajakan.

  • Bentuk tindakan tax avoidance diantaranya adalah transfer pricing dan akuisisi terhadap anak perusahaan yang mengalami kerugian.

  • Bentuk tax evasion diantaranya adalah : wajib pajak tidak mengisi formulir pajak (non-filling income tax returns), wajib pajak melaporkan pendapat lebih rendah (underreporting of one’s income), wajib pajak melebih-lebihkan pengeluaran (overstating expenses), dan wajib pajak menggunakan deduksi pajak secara tidak benar (improper use of deductions), memalsukan alokasi pendapatan dan pengeluaran di antara sesama wajib pajak (false allocation of income and expenses among related tax payers), dan menggunakan kreditor fiktif (use of fictitious creditors).

Perbedaan tindakan antara tax avoidance dan tax evasion adalah pada karakter legalitasnya. Meskipun kerugian yang ditimbulkan terhadap pemungutan pajak adalah sama, tindakan tax evasion adalah cenderung illegal atau melawan hukum. Hal ini seperti dijelaskan oleh Holmes:

“When the law draws a line, a case is on one side of it or the other, and if on the safe side is none the worse legally that a party has availed himself to the full of what the law permits. When an act is condemned as evasion, waht is meant is that it is on the wrong side of the line…”

Berdasarkan uraian diatas, tax avoidance jelas mempunyai karakter yang bersifat legal dan tidak bermaksud menghindari pajak, misalnya, ketika peraturan perpajakan berubah dan seorang wajib pajak merespon pilihan konsumsi yang lebih menguntungkan dari segi pajak yang harus dibayar.

Cara-cara yang dilakukan oleh wajib pajak untuk menghindar pajak dengan cara legal adalah dengan menemukan celah-celah hukum pada peraturan-peraturan perpajakan, yang memungkinkan jumlah pajak yang harus dibayar lebih kecil daripada yang seharusnya seperti pilihan untuk menggunakan metode pencatatan persediaan dan metode penyusutan aktiva tetap.

Menurut Stiglitz, untuk menghindari pajak, wajib pajak dapat menempuh tiga cara :

  1. menunda pembayaran,
  2. arbitrasi pajak (tax arbitration) individu-individu yang berbeda paket pajak (tax brackets) atau individu yang sama dengan tarif marjinal yang berbeda pada waktu yang berbeda, dan
  3. arbitrasi pajak melalui aliran pemasukan yang mendapat perlakuan pajak yang berbeda.

Adapun, arbitrasi pajak dilakukan jika secara ekonomis wajib pajak memperoleh tax savings dari pilihan kegiatan yang dilakukan.

Meskipun pada hakikatnya penghindaran pajak adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi hutang pajak dan bukan mengurangi kesanggupan / kewajiban wajib pajak dalam melunasi pajak-pajaknya sebagaimana pengertian penyelundupan pajak, akan tetapi seringkali hal tersebut menimbulkan beda persepsi atau bahkan sengketa antara wajib pajak dan fiskus.

Oliver Oldman sebagaimana yang ditulis kembali oleh Zain42 menegaskan bahwa pengertian penyelundupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh :

  1. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut,

  2. Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah dalam menghitung datanya,

  3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,

  4. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti-buktinya secara lengkap.

Dengan demikian penyelundupan pajak dapat pula didefinisikan sebagai suatu tindakan atau sejumlah tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan seperti43 :

  1. tidak dapat memenuhi pengisian SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) tepat pada waktunya
  2. tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat pada waktunya
  3. tidak dapat memenuhi pelaporan penghasilan dan pengurangannya secara lengkap dan benar
  4. tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan
  5. tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan pajak penghasilan karyawan yang dipotong dan pajak-pajak lainnya yang telah dipungut
  6. tidak dapat memenuhi kewajiban membayar taksiran utang pajak
  7. tidak dapat memenuhi permintaan fiskus akan informasi pihak ketiga
  8. pembayaran dengan cek kosong
  9. melakukan penyuapan terhadap aparat pajak
Ringkasan
  • Yoingco, Angel Q. 1997. “Taxation in the Asia Pacific Region: A Salute to the Years of Regional Cooperation in Tax Administration and Research”. Dalam Study Group in Asian Tax Administration & Research. Manila.
  • Zain, Mohammad. 2007 , Manajemen Perpajakan, Salemba Empat Jakarta.
  • Oliver Wendell Holmes dalam J. Slemrod and Yitzakhi Shlomo. 2000. “Tax Avoidance, Evasion, and
    Administration
    ”, Working Paper (Nation Bureau of Economic Research, 2000,
  • Stiglitz, Joseph E. 1985. “The General Theory of Tax Avoidance”, National Tax Journal, Vol.38.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. ”Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan” (Badudu dan Zain, 1994).

Kepatuhan adalah motivasi seseorang kelompok; atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi (Robbins, 2001).

Internal Revenue Servise (IRS) (dalam Mustikasari 2007) mendefinisikan Tax Compliance sebagai ”accurate, timely and fully paid return without IRS enforcement effort”. Dengan demikian Tax Compliance dapat didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan; mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak pada waktunya tanpa ada tindakan pemaksaan.

Permasalahan tentang Tax Compliance merupakan permasalahan lama dalam bidang perpajakan. Dalam membahas permasalahan ini dapat menggunakan berbagai perspektif. Menurut James et al (1998) dalam Mustikasari (2007), perspektif tersebut diantaranya keuangan publik, penegakan hukum, persediaan tenaga kerja, etika dan kombinasi dari perspektif tersebut.

Data tingkat kepatuhan di tiap Kantor Pelayanan Pajak, yang dipublikasikan sebagai kepatuhan Wajib Pajak merupakan jumlah Wajib Pajak yang lapor SPT (Surat Pemberitahuan) dibagi jumlah Wajib Pajak yang ada. Dalam SE- 18/PJ/2011 tanggal 18 Februari 2011 menyebutkan bahwa Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh pada Tahun 2011 adalah perbandingan antara jumlah seluruh SPT Tahunan PPh dari WP terdaftar yang diterima selama tahun 2011 (tanpa memerhatikan tahun pajak namun tidak termasuk pembetulan SPT Tahunan PPh) dengan jumlah WP Terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh per 31 Desember 2010; Rasio Kepatuhan SPT Masa PPN adalah perbandingan antara jumlah SPT Masa PPN yang diterima DJP dalam suatu bulan kegiatan (tanpa memerhatikan masa pajaknya, namun tidak termasuk pembetulan SPT Masa PPN, dan SPT Masa PPN Pemungut eks. Pasal 16A UU PPN 1984) dengan jumlah PKP Terdaftar pada akhir bulan kegiatan sebelumnya.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak , syarat Wajib Pajak mendapatkan fasilitas tertentu berupa pengembalian pendahuluan adalah Wajib Pajak patuh. Yang dimaksud Wajib Pajak patuh adalah :

  • Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

  • Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

  • Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

  • Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembangunan negara yang diharapkan dalam pemenuhannya dilakukan secara sukarela.

Menurut Zain dalam Wijoyanti (2010) kepatuhan pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi dimana wajib pajak paham dan berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar dan membayar pajak tepat pada waktunya.
Ada dua jenis kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan materiil:

  • Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.

  • Kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substansif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai undang-undang.

Sedangkan menurut Fidel (2010) mendefinisikan wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu antara lain:

  1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, meliputi :
  • Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
  • Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
  • Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak berikutnya.
  1. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.

  2. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bagian perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

  1. Indikator Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi

Menurut Chaizi Nasucha dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:111), kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari:

a. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri.

b. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan.

c. Kepatuhan dalam menghitung dan membayar pajak terutang.

d. Kepatuhan dalam pelaporan dan pembayaran tunggakan Identifikasi indikator-indikator kepatuhan wajib pajak orang pribadi
tersebut sesuai dengan kewajiban pajak dalam self assessment system yaitu:

  • Mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak untuk mendapatkan NPWP. Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak, dan dapat melalui e-register (media elektronik online) untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

  • Menghitung pajak oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajaknya, sedangkan memperhitungkan adalah mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment). Selisih antara pajak yang terutang dengan kredit pajak dapat berupa kurang bayar, lebih bayar atau nihil.

  • Membayar pajak dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Membayar pajak yaitu melakukan pembayaran pajak tepat waktu sesuai jenis pajak, misal: angsuran PPh 25 dilakukan setiap bulan oleh wajib pajak sendiri, PPh 29 pelunasan pada akhir tahun dan sebagainya. Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil diKPP atau KP2KP terdekat atau e-payment.

  • Pelaporan dilakukan wajib pajak sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Pelaporan yang dimaksud adalah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), dimana SPT tersebut berfungsi sebagai sarana bagi wajib pajak di dalam melaporakan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.Selain itu, untuk melaporkan pembayaran dan pelunasan pajak, baik yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga, serta melaporkan harta dan kewajiban wajib pajak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) dalam Devano dan Rahayu (2006), “Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual”.
Berdasarkan teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa kapatuhan adalah suatu sikap yang akan muncul pada seseorang yang merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang ada dalam peraturan yang harus dijalankan.

Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak

Berbagai definisi kepatuhan wajib pajak yang dikemukakan oleh para ahli, semuanya mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Di bawah ini akan diuraikan definisi-definisi tersebut.

  • Menurut Keputusan Direktorak Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ/2003 Pasal 1, menyatakan bahwa: Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak yang dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003.

  • Menurut Nasucha yang dalam Devano dan Rahayu (2006), “Kepatuhan wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah”. Menurut Nurmantu dalam Devano dan Rahayu (2006:110), “Kepatuhan Wajib Pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana Wajb Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”.

Dari beberapa pendapat menurut para ahli di atas, maka pengertian kepatuhan wajib pajak menurut penulis adalah tindakan wajib pajak untuk memenuhi semua hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.

*** Kriteria Wajib Orang Pribadi Patuh

Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan diubah dengan UU Nomor 28 tahun 2007 sebagaimana terkakhir telah diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2009 yang merupakan perubahan kelima dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa kewajiban- kewajiban wajib pajak adalah sebagai berikut:

  • Mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya,

  • Mengambil dan mengisi SPT secara benar, lengkap, jelas serta menandatangani dan menyampaikannya ke KPP pada waktunya,

  • Menyampaikan penghitungan sementara pajak terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak menyampaikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan, dalam hal Wajib Pajak adalah badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi,

  • Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus,

  • SPT Tahunan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba serta keterangan lain bagi Wajib Pajak yang melakukan pembukuan,

  • Membayar sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,

  • Membayar kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya yang berkenaan dengan Pasal 38 kepada pemeriksa pajak,

  • Membayar pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar,

  • Membayar kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak,

  • Melunasi surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan,

  • Membayar atau menyetor pajak yang terutang di Kas Negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri,

  • Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi Wajib Pajak yang melakkukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia,

  • Melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto,

  • Menyimpan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, di Indonesia selama 10 tahun,

  • Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan harus dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,

  • Meminta persetujuan kepala KPP atas perubahan terhadap metode pembukan dan/atau tahun buku,

  • Untuk wajib pajak yang diperiksa: memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau obyek yang terutang pajak; memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; memberikan keterangan yang diperlukan. Meskipun Wajib Pajak terikat oleh kewajiban untuk merahasiakan,

  • Wakil sebagaimana dimaksud pada pasal 32 ayat (1) Undang- Undang Nomor 28 tahun 2007 bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat dibuktikan,

  • Pembeli atau penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam UU PPN bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak sepanjang tidak dapat menunjukan bukti pembayaran pajak. Indikator kepatuhan wajib pajak adalah ketepatan waktu dalam menyetorkan serta melaporkan SPT Masa PPh.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Memenuhi Kewajiban Pajak

  1. Persepsi Wajib Pajak tentang Pelayanan Fiskus

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain”. Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan yang dilayani, yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Pengertian lebih luas disampaikan Daviddow dan Uttal dalam Sutopo dan Suryanto (2003), ”Pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan”. Adapun karakteristik pelayanan adalah sebagai berikut:

    • Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi.

    • Pelayanan pada kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang bersifat tindakan sosial.

    • Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya terjadi dalam waktu dan tempat bersamaan.

    Menurut Arabella Oentari Fuadi dan Yenni Mangoting (2012), beberapa ketentuan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan petugas pajak kepada Wajib Pajak yaitu: Pegawai yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak harus menjaga sopan santun, ramah, tanggap, cermat dan cepat serta tidak mempersulit layanan, akan lebih baik bila petugas dapat menjelaskan berapa lama Wajib Pajak harus menunggu atau apabila masih terdapat layanan yang perlu dilakukan konfirmasi sehingga Wajib Pajak tidak menunggu terlalu lama petugas dapat meminta nomor telepon Wajib Pajak untuk dihubungi kembali dan bila petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan atau surat yang disampaikan oleh Wajib Pajak misalnya karena kurang lengkap maka petugas harus menjelaskannya secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak memahami dengan baik.

    Menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, “Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pelayanan ini sesuai dengan prinsip: lebih mudah, cepat, tepat, akurat, jelas, jujur, ramah, nyaman dan sesuai dengan harapan pelanggan. Menurut Hadi (2004) mengenai pelayanan fiskus bahwa, “Fiskus/Petugas pajak adalah pihak yang menegakkan aturan perpajakan”. Petugas pajak diharapkan, bersifat membantu wajib pajak bila mengalami kesulitan, memberikan informasi, memberikan pelayanan yang memuaskan, dan tidak mengecewakan. Keprimaan atau pengoptimalan dalam pemberian layanan pada gilirannya akan mendapatkan pengakuan atas kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat. Tanpa ada pelayanan petugas pajak diatas dalam petugas pajak, maka sulit menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakannya dalam hal ini membayar pajak. Pelayanan fiskus bertujuan memberdayakan masyarakat, bukan memperdayakan atau membebani, sehingga akan meningkatkan kepercayaan (trust) terhadap KPP.

    Fiskus atau petugas pajak berkewajiban melakukan pembinaan, penyuluhan, pengawasan, dan penindakan hukum supaya hak dan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan benar oleh wajib pajak atau wajib pajak pelaksanan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran SPT, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya.

    Indikator pelayanan fiskus ditunjukkan dengan pelayanan yang diberikan fiskus terhadap wajib pajak, pelayanan ini dicerminkan dalam petugas yang sopan santun, ramah, tanggap, cermat, cepat, tidak mempersulit, petugas menjelaskan berapa lama Wajib Pajak harus menunggu atau meminta nomor telepon Wajib Pajak untuk dihubungi kembali jika ada layanan yang masih memerlukan konfirmasi dan petugas menjelaskan secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak memahami dengan baik jika petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan atau surat dari wajib pajak.

  2. Persepsi Wajib Pajak tentang Komunikasi Fiskus

    Selain keprimaan dalam pelayanan fiskus, komunikasi fiskus juga dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakan. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, “Komunikasi adalah hubungan atau kontak atau pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yg dimaksud dapat dipahami”. Menurut Muhammad (2009:2), “Komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain”. Menurut Parasuraman (1996:69) tentang komunikasi aparat:

    Komunikasi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kualitas jasa, komunikasi artinya aparat memberikan informasi kepada pelanggan dalam komunikasi yang baik, dapat dipahami, dan selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Komunikasi yang baik oleh fiskus akan memberikan kenyamanan bagi para wajib pajak, karena citra kualitas komunikasi fiskus yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi dari aparat pajak, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi dari wajib pajak. Sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa dari aparat perpajakan. Menurut Widjaja (2008:66-67), tujuan komunikasi antara lain, yaitu:

    1. Supaya yang kita sampaikan dapat mengerti, sebagai komunikator kita harus menjelaskan kepada komunikan (penerima) dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga mereka dapat mengerti dan mengakui apa yang kita maksud.

    2. Memahami orang lain. Kita sebagai komunikator harus mengerti benar aspirasi masyarakat tentang apa yang diinginkan kemauannya.

    3. Supaya gagasan dapat diterima orang lain. Kita berusaha agar gagasan kita dapat diterima orang lain dengan pendekatan persuasive bukan memaksakan kehendak.

    4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu, menggerakan sesuatu itu dapat bermacam-macam, mungkin berupa kegiatan. Kegiatan dimaksud di sini adalah kegiatan yang lebih banyak mendorong, namun yang penting harus diingat adalah bagaimana cara baik untuk melakukan.

    Indikator komunikasi fiskus ditunjukkan dengan komunikasi dari fiskus yang memberikan informasi kepada wajib pajak dalam komunikasi yang baik, dapat dipahami, dan selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.