Apa yang dimaksud dengan Kelembagaan?

Kelembagaan atau lembaga

Kelembagaan atau lembaga merupakan struktur sosial di mana orang bekerja sama yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku orang dan cara mereka hidup. Sebuah kelembagaan pasti memiliki tujuan. Kelembagaan bersifat permanen, yang berarti tidak berakhir ketika satu orang hilang. Suatu institusi memiliki aturan dan dapat menegakkan aturan perilaku manusia.

Untuk menggambarkan dan menganalisis suatu kebijakan dan program, maka aspek kelembagaan perlu mendapat perhatian, sebab pada kelembagaan itulah para aktor melakukan berbagai kegiatan secara individu maupun bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan. Semakin baik kegiatan yang dilakukan oleh para aktor dalam suatu kelembagaan maka semakin berkualitas pula tujuan lembaga tersebut.

Oleh sebab itu individu, kelembagaan dan tujuan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya merupakan suatu sistem, artinya satu unsur tidak berfungsi, maka yang lain akan mengalami disfungsi. Istilah kelembagaan seringakali disamakan dengan organisasi, padahal berbeda dalam konteksnya.

Kelembagaan menurut James (2008) adalah kesatuan(entity) perilaku birokrasi dalam melakukan koordinasi secara sadar melalui berbagai bentuk kerjasama dengan berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan bersama .

Sementara itu Robbins (2004) mengatakan bahwa organisasi adalah wadah yang melibatkan lebih dari dua orang yang memiliki kompetensi untuk melakukan berbagai kerjasama dalam berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan organisasi. Perbedaan yang jelas antara kelembagaan da organisasi terletak pada pelaku yang menjalankan aktivitas tersebut.

Pada kelembagaan dijalankan oleh orang-orang yang memiliki perilaku, sedangkan organisasi dijalankan oleh orang yang memiliki kompotensi. Robbins (2004) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah batasan tentang kesatuan perilaku dari orang yang berada dalam suatu organisasi, berinteraksi satu sama lainnya dalam menjalankan tugas dan kegiatan untuk mencapai tujuan lembaga yang terorganisir.

Inti dari teori kelembagaan adalah mengatur dan menata perilaku orang-orang yang terlembagakan untuk mencapai tujuan lembaga. Kesatuan perilaku dalam mencapai tujuan bersama penting supaya arah organisasi lurus dan bisa menghindari hambatan-hambatan, baik pisik maupun psikologis.

Jika dalam sebuah organisasi dimana para anggotanya mempunyai perilaku yang berbeda, maka dipastikan tujuan yang ingin dicapai akan jauh dari harapan, oleh sebab itu diperlukan penyesuaian-penyesuiana melalui kesadaran bersama untuk mencapai tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penyesuaian dimaksud di atas mencakup aturan-atuan organisasi, mana yang harus dan mana yang tidak bisa dilakukan.

Robbins (2004), lebih lanjut mengemukakan bahwa lembaga yang maju dan berkembang selalu menggunakan media implementasi kelembagaan untuk mewujudkan penguatan lembaga. Menurutnya bahwa lembaga adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif bekerja atas dasar kesinambungan untuk mencapai sebuah tujuan bersama atau kerangka tujuan kelembagaan.

Batasan dari pemahaman tentang kelembagaan secara sadar mengandung pengertian manajemen. Kesatuan kelembagaan berarti suatu unit yang terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang digunakan dalam satu lembaga pada dasarnya diselaraskan pada kepentingan, keuntungan, manfaat dan pencapaian sebuah tujuan. Sebuah lembaga yang kuat selalu dapat diidentifikasikan batasan-batasan kejelasan penguatan kelembagaan.

Lebih jauh mengenai kelembagaan, Winter (2003) menyatakan bahwa arti kelembagaan dalam konteks kebijakan berperan penting dalam melakukan sebuah formulasi , implementasi dan evaluasi berbagai program dan kegiatan nyata dari serangkaian pelaksanaaan tugas dan fungsi yang dimilki oleh pengemban perilaku birokrasi.

Pernyataan di atas mengandung arti bahwa kelembagaan mencakup secara keseluruhan proses kebijakan publik, baik dalam formulasi, implementasi sampai kepada evaluasi. Bahwa sebuah kebijakan tidak akan mungkin dlihat, apalagi dianaliais keberadaannya, fungsi keberhasilan dan kegagalannya tanpa ada lembaga yang mewadahinya.

Lembaga dengan demikian dapat menjadi indikator pelaksanaan kebijakan dan program. Semakin ideal suatu lembaga dengan berbagai perangkat yang harus dimilikinya, maka semakin berkualitas pula luaran atau out come lembaga tersebut. Oleh sebab itu lembaga harus baik, relevan dan serasi dengan tujuan kebijakan atau program yang akan dilakasnakan.

Lembaga yang baik dan benar bisa menciptakan formulasi kebijakan dan program yang baik, demikian juga lembaga yang baik bisa menjadi jaminan bagi \pelaksanaan atau implemntasi kebijakan dan selanjutnya lembaga yang baik memudahkan bagi implementor kebjakan untuk melakukan evaluasi, apakah kebijakan atau program itu perlu dilanjutkan, dikembangkan, dihentikan atau dilakukan terminasi.

Sebuah organisasi, termasuk di dalamnya organisasi pemerintahan, seringakali ada oknum yang mencoba melakukan tindakan menyimpang, melawan hukum seperti korupasi, kalusi dan nepotisme, penyimpangan seperti ini akan mudah diketahui dan mudah di atasi jika aspek kelembagaannya benar, sebab di dalam kelembagaan itulah diatur berbagai aktifitas dan perilaku orang-orang, siapa mengerjakan apa, dan akan kemana pekerjaan itu diarahkan.

Sebaliknya akan terjadi banyak penyimpangan jika aspek kelembagaan tidak baik, apalagi jika memang manusianya mengalami dekadensi moral. Kebijakan publik seringkali kita mendengan istilah penguatan kelembagaan, istilah ini relevan dengan upaya untuk mewujudkan berbagai program, agar tepat sasaran dan tujuan kebijakan dapat tercapai, oleh sebab itu antara implementasi kebijakan dan penguatan kelembagaan mempunyai hubungan yang signifikan dalam mencapai suatu tujuan. Semakin luas implementasi kebijakan secara kuantitas dan kualitas semakin mendorong penguatan kelembagaan terwujud.

Jeffrey (2008) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan bingkai penghubung dan pengerat terwujudnya penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan diperlukan jika program yang akan dilakasankan diperkirakan melebihi ambang batas kemampuan lembaga itu sendiri, sebab jika program itu besar dalam arti sasarannya banyak, luas apalagi waktunya sedikit, dan lembaganya tidak kuat maka program akan mengalami resistensi dan pada gilirannya implementasi kebijakan tidak tercapai.

Kelembagaan (institution) sebagai aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan. Menurut sahyuti (2006).

Kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi mengefisienkan kehidupan sosial Secara khusus. pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan paradigma baru model pengelolaan hutan yang bersama masyarakat lokal serta berorientasi pada pengelolaan seluruh sumberdaya dan ekosistem dalam skala kecil.

North (1990) mendefinisikan “kelembagaan sebagai batasanbatasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi” . North (1990). mengartikan “kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok”.

Sedangkan menurut Schotter (1981), “kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang”.

Veblen (1899) mengartikan “kelembagaan sebagai cara berfikir, bertindak dan mendistribukan hasil kerja dalam sebuah komunitas”.

Mirip dengan definisi ini diuangkapkan oleh Hamilton (1932) yang menganggap kelembagaan merupakan cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu”.

Menurut Knight (1992), kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interkasi dalam sebuah komunitas.
Djogo (2003) mencoba memberikan definisi mengenai kelembagaan antara lain sebagai berikut: Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10 unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif.

Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai berikut: Kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.

Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial.

Komponen Kelembagaan

Koentjaraningrat (1997) mencoba mendefinisikan Kelembagaan sebagai berikut : Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponenkomponen yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola. Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

  1. Aturan formal, meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

  2. Aturan informasi, meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan

  3. Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan

Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Menurut Deliarnov (2006) “Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan” .

Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Deliarnov (2006) menyebutkan bahwa “Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama". Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

Kelembagaan sebagai Aturan Main

Bogason (2000) mengemukakan “beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati”. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan : ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata, pada level ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Level aksi kolektif, mendefinisikan aturan untuk aksiaksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Adapun pada level konstitusi mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsipprinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi.