Apa yang dimaksud dengan kekuasaan sosial?


Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Lalu, apa yang dimaksud dengan kekuasaan sosial?

A post was merged into an existing topic: Apa saja tipe kekuasaan yang anda ketahui?

A post was merged into an existing topic: Apa yang dimaksud dengan Kekuasaan?

Kekuasaan sosial ( social power ) adalah salah satu bentuk dari konsep sosiologis yang disebut “ social control ”.

Tujuan dari kontrol sosial adalah untuk mendisiplinkan para anggota kelompok terhadap aturan atau norma-norma kelompok. Ossip K. Flechtheim dalam Budiardjo (1983) mengemukakan bahwa

“kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari fihak lain … untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.

Robert M. MacIver mengemukakan bahwa

“kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia”.

Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.

Selanjutnya, Budiardjo mengemukakan bahwa kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) , dalam arti bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada fihak yang diperintah ( the ruler and the ruled ). Tidak ada persamaan martabat , selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Pelaksanaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.

Setiap manusia sekaligus merupakan subjek dari kekuasaan dan objek dari kekuasaan. Contoh: seorang presiden membuat undang-undang (subjek dari kekuasaan), tetapi di samping itu dia juga harus tunduk kepada undang- undang (objek dari kekuasaan). Pokoknya jarang sekali ada orang yang tidak pernah memberi perintah dan tidak pernah menerima perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat hierarkis di mana seorang prajurit diperintah oleh komandannya, sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasannya.

Robert M. Mac Iver seperti disebut sebelumnya melihat kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida. Ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul daripada lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu lebih kuat dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainnya itu. Atau dengan perkataan lain struktur piramida kekuasaan itu terbentur oleh kenyataan dalam sejarah masyarakat, bahwa golongan yang berkuasa (dan yang memerintah) itu relatif selalu lebih kecil jumlahnya daripada golongan yang dikuasai (dan yang diperintah).

Dalam hubungan dengan kelompok-kelompok sosial, Peter M. Blau dalam Polama (1987) mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada, dengan melakukan sanksi negatif”.

Menurut Blau hanya perintah-perintah kekuasaan sah yang dapat dipatuhi. Istilah lain dari kekuasaan yang sah adalah otoritas. Kelompok secara sukarela bersedia menerima kekuasaan atau otoritas yang sah, dengan demikian membuat wewenang tersebut sebagai pengikat anggota-anggota kelompok.

Apakah kekuasaan akan cenderung memperoleh keabsahan atau oposisi sebagian tergantung pada apakah ukuran atau nilai-nilai yang mengatur hubungan-hubungan sosial dengan kelompok bersifat khusus atau umum.

Ukuran yang bersifat khusus menurut Blau menunjuk pada atribut-atribut status yang hanya dinilai oleh in-group, seperti kepercayaan politik atau keagamaan, sedangkan ukuran-ukuran yang bersifat umum menunjuk kepada atribut-atribut yang biasanya dinilai, oleh orang yang tidak memiliki maupun yang memiliki kekayaan atau kompetensi.

Contoh Kasus Kekuasaan Sosial


Sebuah ilustrasi dikemukakan oleh Blau, bahwa sampai bulan Januari 1973 permohonan untuk abortus di sebagian negara bagian Amerika Serikat tetap dilarang. Larangan ini dapat dilihat sebagai suatu nilai umum yang didukung oleh hukum. Tetapi ada kekuatan-kekuatan tertentu yang bergerak untuk mengubah situasi yang sah ini. Dua yang terpenting di antara kekuatan- kekuatan itu ialah gerakan kaum wanita serta keprihatinan terhadap ledakan penduduk dunia yang sedang mengalami kekurangan sumber daya. Tindakan kekuatan-kekuatan tersebut dianggap melawan hukum, dan pada tahap itulah berlangsung pertentangan antara dua kelompok dengan sistem nilai yang saling bertentangan: yaitu mereka yang menginginkan undang-undang abortus, dan mereka yang menolak abortus, seperti kelompok Pendukung Hak Kelahiran dan Hak untuk Hidup. Oposisi terus berlangsung ketika amandemen diketengahkan untuk menghentikan abortus yang sah.

Selanjutnya, Blau mengemukakan bahwa dinamika kehidupan sosial yang terorganisir, bersumber dari kekuatan-kekuatan penantang. Kekuasaan individu-individu yang dominan dapat dilaksanakan secara moderat dan adil, sehingga orang lain merasa beruntung untuk tetap berada di bawah perlindungan pengaruh mereka. Akan tetapi kekuasaan juga dapat menjurus pada penghisapan. Bilamana orang terpaksa tunduk pada kekuasaan yang bersifat menghisap dan tidak adil, maka keadaan tersebut dapat menimbulkan oposisi yang menantang kekuasaan yang dominan. Di sinilah kita melihat bibit-bibit perkembangan konflik, ketika nilai-nilai yang sah berhadapan dengan cita-cita oposisi.

Blau mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat banyak kekuatan kontradiktoris yang dikenal sebagai dialektika. Resiprositas ( reciprocity ) adalah kekuatan yang mampu menimbulkan keseimbangan struktur sosial, akan tetapi adalah suatu paradok bahwa “resiprositas yang terjadi di tingkat tertentu dapat menciptakan ketidakseimbangan di tingkat lain”. Oleh karena itu kekuatan-kekuatan sosial tersebut dapat dikatakan memiliki berbagai implikasi yang bersifat kontradiktoris.

Proses ini dapat digambarkan oleh usaha membenarkan tindakan yang salah, misalnya tekanan terhadap kelompok minoritas dalam suatu masyarakat. Bilamana anggota kelompok minoritas (misalnya negro atau kaum wanita) memperoleh perlakuan istimewa dalam promosi jabatan atau pekerjaan maka hal ini dapat menyebabkan berkembangnya oposisi yang serius di antara anggota kelompok mayoritas yang sedang bersaing untuk memperoleh sumber- sumber yang langka itu. Usaha yang terus-menerus dilakukan untuk mendepak kaum wanita atau negro itu dari segmen angkatan kerja akan menjurus pada lahirnya oposisi dari berbagai kolektivitas yang memiliki kepentingan-kepentingan kelompok minoritas.