Apa yang dimaksud dengan Kekuasaan Politik?

kekuasaan politik

Kekuasaan dan politik, saat ini, adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, apa makna dari kekuasaan politik itu sendiri ?

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Kekuasaan Politik adalah “kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri”.

Pada dasarnya kekuasaan politik adalah kemampuan individu atau kelompok untuk memanfaatkan sumber-sumber kekuatan yang bisa menunjang sektor kekuasaannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Sumber-sumber tersebut bisa berupa media massa, media umum, mahasiswa, elit politik, tokoh masyarakat ataupun militer.

Jenis-jenis kekuasaan yang kita ketahui pada umumnya sekiranya dapat dibagi beberapa jenis kekuasaan sebagai berikut:

  • Kekuasaan eksekutif, yaitu yang dikenal dengan kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis menjalankan roda pemerintahan,

  • Kekuasaan legislatif, yaitu sesuatu yang berwenang membuat, dan mengesahkan perundang-undangan sekaligus mengawasi roda pemerintahan,

  • Kekuasaan yudikatif, yaitu sesuatu kekuasaan penyelesaian hukum, yang didukung oleh kekuasaan kepolisian, demi menjamin law enforcement/ pelaksanaan hukum.

Unsur-unsur kekuasaan, ada tiga komponen dalam rangkaian kekuasaan yang akan mempengaruhi penguasa atau pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya. Komponen ini harus diikuti,dipelajari, karena saling terkait didalam roda kehidupan penguasa.

Tiga komponen ini adalah pemimpin (pemilik atau pengendali kekuasaan), pengikut dan situasi.

image

Dari gambar tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Pemimpin, sebagai pemilik kekuasaan, bisa mempengaruhi pengikutnya. Bahkan menciptakan pengikut, menggiring pengikut, menjadi provokator pengikut, sehingga kepengikutan si pengikut akan membabi buta, tidak rasional lagi.

Pengikut sebaliknya juga bisa mempengaruhi pemimpin, bisa memberikan bisikan kepada pemimpin, bisa menyuruh untuk mempertahankan kekuasaan dan bahkan bisa menjatuhkan kekuasaannya.

Pemimpin juga bisa menciptakan suatu situasi, merekayasa situasi. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dari situasi itu juga maka sang pemimpin bisa mujur, bisa untung dan karena situasi itu pula sang pemimpin pada akhirnya akan jatuh dan menghabiskan riwayat kekuasaannya sendiri.

Dalam hal ini dibutuhkan figur pemimpin yang benar-benar cerdas dalam memperhitungkan situasi yang diciptakannya.

Dari gerak tiga komponen diatas, maka kekuasaan juga mempunyai unsur influence, yakni menyakinkan sambil beragumentasi, sehingga bisa mengubah tingkah laku. Kekuasaan juga mempunyai unsur persuation, yaitu kemampuan untuk menyakinkan orang dengan cara sosialisasi atau persuasi (bujukan atau rayuan) baik yang positif maupun negatif, sehingga bisa timbul unsur manipulasi, dan pada akhirnya bisa berakibat pada unsur coersion, yang berarti mengambil tindakan desakan, kekuatan, kalau perlu disertai kekuasaan unsur force atau kekuatan massa, termasuk dengan kekuatan militer.

Dengan begitu penjelasan tentang kekuasaan diatas para kandidat bisa menggunakan tiga komponen yaitu diantara influence, persuation, dan coercion.

Menurut teori kekuasaan Max Weber dan teori fungsional struktural talcoot parsons. weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai dengan kehendaknya.

Politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi pertama berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan.

Max weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Yang dimaksudkannya dengan wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat.

Jenis authority yang disebutnya dengan rational legal authority sebagai bentuk hierarki wewenang yang berkembang didalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang sedemikian ini dibangun atas dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.

Dalam politik kekuasaan diperlukan untuk mendukung dan menjamin jalannya sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat.

Keterkaitan logis antara politik dan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan tentang politik, selalu melibatkan kekuasaannya didalamnya. Itulah sebabnya membahas sekularisasi kekuasaan.

Sekularisasi politik secara implisit bertujuan untuk mendesakralisasi kekuasaan untuk tidak dilegimitasi sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau suci. Kekuasaan sebagai aktivitas politik harus dipahami sebagai kegiatan manusiawi yang diraih, dipertahankan sekaligus direproduksikan secara terus menerus.

Kekuasaan diartikan sebagai kemungkinan mempengaruhi tingkah laku orang–orang lain sesuai dengan tujuan–tujuan sang actor. Oleh karen itu, Politik tanpa kegunaan kekuasaan menjadi tidak masuk akal, yaitu selama manusia menganut pendirian politik yang berbeda–beda, apabila hendak diwujudkan dan dilaksanakan suatu kebijakan pemerintah, maka usaha mempengaruhi tingkah laku orang lain dengan pertimbangan yang baik.

Kekuasaan senantiasa ada didalam setiap masyarakat baik masih bersahaja maupun yang sudah besar dan rumit susunannya. Akan tetapi selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan atau mempengaruhi sesuatu atau apapun. Kekuasaan dalam konteks ini berhubungan dengan agency, bahawa hal itu untuk kemampuan seseorang melakukan perubahan/perbedaan di dunia. Kekuasaan adalah kemampuan yang legal, kapasitas atau kewenangan untuk bertindak, khususnya pada proses mendelegasikan kewenangan. Kekuasaan dalam pemahaman ini merujuk pada kewenangan atau hak yang oleh sebahagian orang harus mendapatkan pihak lain untuk melakukan segala yang mereka anggap sebagai wewenang.

Referensi :

  • Imam Hidayat, Teori-Teori Politik, (Malang: SETARA press, 2009)
  • Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (jakarta : Rieneka Cipta, 2001)
  • A. Hoogerwerf, Politikologi (Jakarta : Penerbit Erlangga,1985)

Talcot Parson dalam Bottomore (1983) mengemukakan bahwa

“kekuasaan adalah kapasitas umum untuk menjamin pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit di dalam suatu sistem organisasi kolektif ketika kewajiban-kewajiban itu diabsahkan sehubungan dengan sikap mereka demi mencapai tujuan bersama."

Dalam definisi ini, kekuasaan diartikan sebagai wewenang yang sah, dan wewenang ini sendiri dianggap berasal dari kesepakatan saling mengisi demi tujuan bersama.

Budiardjo (1983) memberikan definisi kekuasaan politik sebagai

“kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri”.

Kekuasaan politik merupakan sebagian saja dari kekuasaan sosial, yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administrasi, legislatif, dan yudikatif.

Menurut Budiardjo, suatu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaan ( machtsuitoefening ). Kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai “kontrol” (penguasaan/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan, dan harus ada alat/sarana kekuasaan ( machtsmiddelen ) agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik. Pada kebanyakan negara-negara baru di mana kesetiaan lokal ( primordial attachment ) tampak masih lebih kuat dibandingkan dengan kesetiaan nasional, serta banyak suku, golongan, dan aliran, maka soal keabsahan ( legitimacy ) perlu digalang. Keabsahan adalah konsep bahwa kedudukan seseorang atau sekelompok penguasa diterima baik oleh masyarakat, karena sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang berlaku dan dianggap wajar.

Selanjutnya, Budiardjo mengemukakan bahwa Ossip K. Flechtheim membedakan dua macam kekuasaan politik, yaitu:

  • Bagian dari kekuasaan sosial yang khususnya terwujud dalam negara (kekuasaan negara atau state power ), seperti lembaga-lembaga pemerintahan, DPR, Presiden, dan sebagainya,

  • Bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara. Yang dimaksud ialah aliran-aliran dan asosiasi-asosiasi baik yang jelas-jelas bersifat politik (seperti misalnya partai politik), maupun yang pada dasarnya tidak tetapi pada saat-saat tertentu mempengaruhi jalannya pemerintahan, yaitu organisasi ekonomi, organisasi mahasiswa, organisasi agama, organisasi minoritas, dan sebagainya.

Kekuasaan politik antara satu negara dengan negara lainnya berbeda. Contoh; di Indonesia, terutama di masa lampau, banyak organisasi wanita merupakan kekuatan politik. Di Filipina dan Jepang biasanya tidak bersifat politik; begitu pula organisasi kesarjanaan, organisasi pemuda, dan sebagainya.