Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut hukum?

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan keluarga.

Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut hukum?

Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

###Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Yang dimaksud dengan kekerasaan dalam rumah tangga adalah :

“Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:

  1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :

a. suami, istri dan anak.
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaima dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwakilan yang menetap dalam rumah tangga; dan
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

  1. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan

Adapun asas dan tujuan disusunnya undang-undang ini tercantum dalam pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut :

Bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:

a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. non diskriminasi; dan
d. perlindungan korban.

Di awal telah disebutkan bahwa kaum perempuan mempunyai hak asasi yang sama dengan hak asasi kaum laki-laki. Adapun yang dimaksudkan dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi manusia dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.

Selanjutnya asas yang ke-3 adalah nondiskriminasi. Dengan diratifikasinya konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan kemudian dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, diharapkan masyarakat tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan ,baik di ranah domestik,maupun diranah publik.

Diskriminasi terhadap wanita (perempuan) berarti setiap pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

Selanjutnya, asas ke-4 menyebutkan adanya perlindungan korban, yang dimaksud dengan perlindungan adalah:

“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban. Yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan , pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang tujuan disusunnya undang-undang tersebut, yaitu:

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

  1. Mencegah segala bentuk kekerasaan dalam rumah tangga;
  2. Melindungi korban kekerasaan dalam rumah tangga;
  3. Meninndak pelaku kekerasaan dalam rumah tangga; dan
  4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sosial, bukan masalah keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam aturan yang tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi :

“Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.”

Untuk mewujudkan ketentuan pasal 11 tersebut, pemerintah :

  1. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga.
  2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kemudian untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:

  1. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian ;
  2. Penyediaan aparat ,tenaga kesehatan,pekerja sosial,dan pembimbing rohani;
  3. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban;
  4. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi , keluarga dan teman korban (Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kererasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, sehingga diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

  1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
  2. Memberikan perlindungan kepada korban;
  3. Memberikan perlindungan darurat;
  4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Dalam hal ini disebut dengan perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban

###Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokat dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban.

####1. Peran Kepolisian( Pasal 16-20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga ,aparat kepolisian harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasaan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehinga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban.

Setelah menerima laporan dari korban mengenai terjadinya kekerasaan dalam rumah tangga, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah:

a. memberikan perlindungan sementara pada korban.
b. Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari korban.
c. Melakukan penyidikan.

Sehingga dengan adanya jaminan seperti ini hendaknya para korban dari kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi takut untuk mengungkapkan kekerasan yang sebenarnya menimpanya. Dan segera untuk melapor kepada pihak kepolisian agar kekerasan yang menimpanya dapat segera diselidiki sesuai dengan peraturan.

Sehingga tidak lagi menjadi suatu yang disimpan-simpan dan tertutup dari masyarakat. Tidak menganggap bahwa aparat kepolisian akan menimbulkan permasalah baru dalam rumah tangga yang mengalami konflik tersebut.

Polisi sebagai aparat kepolisian juga harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan dalam penaganan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 16 sampai 20 Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Apabila aparat kepolian sudah menjalankan fungsinya dengan baik, maka diharapkan korban dari kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi malu untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi terhadap dirinya.

####2.Peran Advokat ( pasal 25)

Advokat sebagai profesi yang membela masyarakat yang bermasalah atau berbenturan dengan hukum juga harus selalu siap dalam menyelesaikan masalah atau perkara mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.

Hal ini diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, dimana dalam hal memberikan perlindungan pelayanan bagi korban maka advokat wajib:

a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan ;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan ,penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagai mana mestinya.

Sehingga dalam hal ini advokat juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses terciptanya kebenaran dan penegakan hukum dalam perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga. Advokat membantu korban untuk mengatakan yang sebenar-benarnya tentang kekerasan atau hal-hal apa saja yang menimpanya, sehingga dapat mempermudah bagi korban untuk menyelesaikan masalah yang menimpanya.

####3.Peran Pengadilan

Peran Pengadilan dalam penyelesian kekerasaan dalam rumah tangga sangat dibutuhkan, sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak luput mengatur bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.

Seperti telah disebutkan diawal tadi, bahwa kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari peradilan. Maka setelah menerima permohona itu, pengadilan harus;

a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama ,larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan,maka korban dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan yang ditunjukkan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya ( Pasal 38 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004)

Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara tegas telah di uraikan dalam Pasal 21 sampai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyampaikan adanya peran - peran profesi tambahan selain peran dari aparat kepolisaan ,advokat dan peran pengadilan. Dimana dalam peran ini berguna bagi proses peradilan dan juga proses kepentingan pemulihan korban (pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Korban dapat memperoleh pelayanan dari:

1) Peran Tenaga Kesehatan
Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti.

2) Peran Pekerja Sosial
Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial :

a. Melakukan konseling untuk menguatkan korban;
b. Menginformasikan mengenai hak-hak korban;
c. Mengantarkan korban kerumah aman( shelter);
d. Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban.

  1. Peran Pembimbing Rohani
    Demi kepentingan korban, maka Pembimbing Rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa.

  2. Peran Relawan Pendamping.
    Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah diaturnya mengenai perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan Pendamping, yakni :

a. menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;
c. mendengarkan segala penuturan korban;
d. memberikan penguatan korban secara psikologis maupun fisik.

###Efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.

Efektipitas Undang-Undang ini juga dipengaruhi oleh jumlah dan keinginan masyarakat untuk melaporkan dan tidak lagi merasa malu membuka permasalahan kekerasan dalam rumah tangga kepada lingkungannya.

Ada yang menarik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dimana dalam satu pasal ( satu jenis perbuatan pidana )sekaligus terdapat delik biasa dan (umum) dan delik aduan. Hal ini memudahkan kepada pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena tidak hanya korban yang harus langsung melaporkan tindakan kekerasan yang diterimanya, namun dapat juga dilaporkan oleh masyarakat yang melihat dan menyaksikan tindak pidana kekerasan tersebut.

Karena sebagai warga masyarakat yang baik dan peduli akan terjadinya suatu perbuatan yang melanggar hukum dapat melaporkan ke aparat kepolisian. Karena menurut pasal 1 ke 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Hal tersebut terdapat dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Masing-masing pasal dikemukakan sebagai berikut :

Bunyi pasal 44 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diamaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

(2) Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan kekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Kemudian pasal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 51 dari undang-undang yang sama, yang berbunyi :

“tindak pidana kekerasan fisik segagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.”

Selanjutnya, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berbunyi:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah).

Kemudian Pasal 45 ini, perlu dikaitkan dengan Pasal 52 dari undang-undang yang sama , yang berbunyi :

“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.”

Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 berbunyi :

“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 46 tersebut berkaitan dengan Pasal 53 dari undang-undang yang sama, yang berbunyi :

“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh seseorang terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan.”

Kiranya apa yang telah dicantumkan dalam peraturan tersebut merupakan pedoman bagi para aparat penegek hukum agar lebih mantap dalam menjalankan tugasnya dan bagi korban sendiri merupakan jaminan akan ditegakkannya keadilan dibidang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Namun, kalau kita amati justru tindak kekerasan pada istri ( yang dilakukan oleh suami), dijatuhi pidana yang lebih ringan dari pada kalau tindak kekerasan tersebut dilakukan terhadap mereka (selain istri) yang ada dalam lingkup rumah tangga. Tindak dijelaskan apa dasar pertimbangan adanya pidana yang lebih ringan tersebut.

Masyarakat dan penegak hukum yang akan menguji Efektipitas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, diiringi dengan waktu dan mampunya masyarakat menerima dan menerapkan secara baik dan benarnya undang-undang tersebut.

Pada Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah:

“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemasaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Menurut Zakariah Idris (1988) kekerasan adalah:

“perihal yang berciri atau bersifat keras adan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain”.

Menurut Sukri (2004) kekerasan dalam rumah tangga adalah:

“setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atauperampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang terjadi dalam lingkup rumah tangga”.

Kekerasan dalam rumah tangga biasa dianggap sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Tindak kekerasan yang dilakukan akan memberikan dampak dan resiko yang sangat besar bagi perempuan atau istri. Jadi dapat didefinisikan kekerasan terhadap perempuan atau istri adalah tindakan yang melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia, karena melukai secara fisik dan psikologis seorang perempuan atau istri.

Lingkup Rumah Tangga

Ruang lingkup rumah tangga diatur dalam Pasal 356 KUHP, yaitu: ibunya, bapaknya yang sah, istri atau anaknya.

Ruang lingkup dalam rumah tangga diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan UU PKDRT, yaitu:

  1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:

    • Suami, istri, anak

    • Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau.

    • Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

  2. Orang yang sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Unsur-unsur Tindak Pidana

Setiap perbuatan harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.

  1. Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar diri pelaku yang dapat berupa:

    • Ada perbuatan (mencocoki rumusan delik). Van Hamel (Amir Ilyas, 2012) menunjukkan tiga pengertian perbuatan, yakni:

      1. Perbuatan = terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejahatan beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan- perbuatan itu dikemudian dari yang lain.

      2. Perbuatan = perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh seseorang dituntut melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian, kemudian ternyata ia sengaja melakukan pembunuhan, maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang menyababkan kematian”. Van tidak menerima pengertian perbuatan dalam arti yang kedua ini.

      3. Perbuatan = perbuatan material, jadi perbuatan itu tidak terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.

    • Ada sifat melawan hukum

      Amir ilyas (2012:53) menyatakan bahwa setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum. Adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:

      1. Sifat melawan hukum formil
        Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualiaan-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.

      2. Sifat melawan hukum materil
        Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis) tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.

  2. Unsur pembuat (unsur subyektif), adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana, yaitu:

    • Dapat dipertanggungjawabkan
      Dapat dipertanggungjawabkan yang dimaksud disini adalah si terdakwa dapat mempertanggungjawabkan secara hukum akan kesalahannya, yaitu umur si pelaku antara 12 tahun sampai 18 tahun sebagaimana yang ditetapkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010. Selain dari pada batasan umur si pelaku tersebut juga harus dalam keadaan sehat secara akal (tidak idiot, gila, dan sebagainya).

    • Ada kesalahan
      Adanya kesalahan disini dimaksud adalah memang dari si pelaku tindak pidana tidak ada alasan pembenar seperti halnya perintah jabatan, keadaan meksa dan lain sebagainya.

Jenis-Jenis Kekerasan Rumah Tangga

Pada umumnya, pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah suami dan korbannya adalah istri dan anaknya-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.

  • Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melikai dengan senjata tajam, dll.

  • Secara psikologis, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-lain.

  • Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual.

  • Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi (Ende Hutabarat, 2004).

Selanjutnya jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:

1. Tindakan Kekerasan Fisik

Yaitu tindakan yang bertujuan untuk melukai, menyiksa, atau menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan,kaki) atau dengan alat-alat lain. Bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, mendorong secara kasar, penginjakan, pencekikan, pelemparan benda keras, penyiksaan dengan benda-benda tajam seperti: pisau, gunting, setrika, serta pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, dan luka berat bahkan sampai meninggal dunia.

Ancaman pidana bagi yang melakukan kekerasan fisik diatur dalam Pasal 44 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:

  1. Dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Apabila mengakibatkan korban mendapatkan jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  3. Apabila mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
  4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

2. Tindakan Kekerasan Psikis

Yaitu tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan dan ancaman) yang menekan emosi perempuan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya dirinya, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Ancaman pidana bagi yang melakukan kekerasan psikis diatur dalam Pasal 45 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

  2. Dalam hal perbuatan sebgaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

3. Tindakan Kekerasan Seksual

Yaitu kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seksual yang disebut perkosaan. Bila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah diluar rumah, bagi perempuan faktanya tidak demikian. Perempuan justru lebih dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain.

Tindakan kekerasan seksual menurut pasal 5 Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi:

  • Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

  • Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang anggota dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Ancaman pidana bagi yang melakukan kekerasan seksual diatur dalam Pasal 46 – 48 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:

Pasal 46:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dpada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Padal 47:

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48:

Dalam hal perbuatan sebagaimana dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kewajiban sekurang- kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4. Penelantaran Rumah Tangga

Yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi nafkah secara rutin atau dalam jumlah yang cukup, membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.

Ancaman pidana bagi yang melakukan penelantaran rumah tangga diatur dalam Pasal 49 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

  • Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
  • Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).