Apa yang dimaksud dengan kehilangan dan berduka?

Berduka

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan.

Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.

Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan.

Apa yang dimaksud dengan kehilangan dan berduka ?

Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain sebagai berikut.

Tabel Kehilangan yang Potensial pada Penyakit Kronis
Kehilangan yang Potensial pada Penyakit Kronis

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan sebagai berikut.

  1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
  2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian kehilangan.
  3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
  4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
  5. Mengalami perasaan berduka.
  6. Mudah tersinggung dan marah.

RENTANG RESPONS EMOSI

RENTANG RESPONS EMOSI berduka

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam rentang yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.

TAHAPAN PROSES KEHILANGAN DAN BERDUKA

Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.

1. Fase akut

Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.

  • Syok dan tidak percaya
    Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.

  • Perkembangan kesadaran
    Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.

  • Restitusi
    Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang

  • Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
  • Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan alkohol.

Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal, pertengahan, dan pemulihan.

  1. Fase awal
    Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.

  2. Fase pertengahan
    Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.

  3. Fase pemulihan
    Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

Tahapan Proses Kehilangan

Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.

Tahap Penyangkalan (Denial)

Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang.

Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.

  1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
  2. “Diagnosis dokter itu salah.”
  3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.
  4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
  5. Pasien perlu waktu beradaptasi.
  6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
  7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.

Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.

Tahap Marah (Anger)

Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya.

Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.

  1. Emosional tak terkontrol. “Mengapa aku?”
    “Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
  2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau lingkungan.
  3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik. “Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
    “Perawat tidak becus!”
  4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang keluarga dan staf rumah sakit.
  5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

Tahap Penawaran (Bargaining)

Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “…seandainya saya tidak melakukan hal tersebut… mungkin semua tidak akan terjadi …” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu
… pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya.

Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.

  1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.

  2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.

  3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
    “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”
    “Bila saya sembuh, saya akan…….”

  4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.

Tahap Depresi

Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.

Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?”

Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting
dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.

Tahap Penerimaan (Acceptance)

Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya…”

Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.

BENTUK KEHILANGAN

  1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau dipenjara.

  2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.

  3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.

Sumber :
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati , Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Penerbit Salemba Medika