Apa yang dimaksud dengan kehendak (Voluntarism) atau Voluntarisme?

Volunterisme berasal dari bahasa Latin Voluntas, yang berarti berkehendak, kemauan, keinginan. Sedangkan menurut terminologi voluntarisme adalah kehendak yang merupakan faktor terpenting dalam hidup.

Voluntarisme adalah paham yang menyatakan bahwa kehendak adalah kunci untuk segala yang terjadi dalam hidup manusia.[1] Kehendak manusia memiliki kontrol penuh atas apa yang ia anggap baik dan benar.[2] Kehendak manusia menjadi dasar paling fundamental dalam pengambilan keputusan moral.[2][3] Kehendak dipandang lebih unggul dibandingkan hal-hal lain yang biasanya dalam etika dipandang sebagai sumber moral, seperti “suara hati”, kemampuan rasional, intuisi, tradisi, dan perasaan-perasaan manusia.[3][4]

Istilah ini berasal dari bahasa Latin voluntas yang artinya ‘kehendak’.[3] F. Toennies adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah ini pada tahun 1883.[3] Ketika itu, Tonnies sedang melakukan kajian atas pemikiran Spinoza.[3] Menurutnya, voluntarisme bertolak belakang dengan rasionalisme yang sedang berkembang saat itu.[3]

Jenis-Jenis Voluntarisme

  • Voluntarisme Metafisis

    Voluntarisme metafisis adalah paham voluntarisme yang memandang bahwa kehendak adalah inti terdalam dari realitas.[3] Filsuf yang mendukung pandangan ini misalnya Schopenhauer dan Eduard von Hartmann.[3] Schopenhauer mengatakan bahwa dasar paling fundamental yang mengatur segala hal di dunia bukanlah rasio atau moral melainkan kehendak.[2][5] Lebih jelasnya, Schopenhauer mengatakan bahwa kehendak untuk hidup adalah hakikat dari segala realitas di dunia.[5]

  • Voluntarisme Psikologis

    Paham voluntarisme model ini menyatakan bahwa kehendak memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan intelek manusia.[3] Misalnya saja, Yohanes Duns Scotus menyatakan bahwa intelek hanya merupakan tambahan bagi kehendak.[3]

  • Voluntarisme Teologis

    Paham ini percaya bahwa tatanan dunia dan segala hal di dalamnya bergantung mutlak pada kehendak Allah.[3] Contoh teolog yang termasuk jenis ini dalam taraf tertentu adalah Martin Luther dan William Ockham.[3] Mereka menjadikan seluruh hukum moral tergantung pada kemauan Allah.[3]

  • Voluntarisme Epistemologis

    Voluntarisme model ini berasal dari pemikiran Kant.[3] Kant mengatakan bahwa akal budi praktis lebih unggul ketimbang akal budi teoretis.[3]

  • Voluntarisme Etis

    Paham voluntarisme etis ini didasarkan pada pemikiran Friedrich Nietzsche.[3] Menurut Nietzsche, kehendak untuk berkuasa adalah nilai tertinggi yang harus dicapai oleh manusia.[3]

  • Voluntarisme Sejarah

    Voluntarisme sejarah menyatakan bahwa kehendak manusia adalah faktor utama berjalannya sejarah.[2] Pandangan model ini amat bertentangan dengan pandangan Marxisme terhadap sejarah.[2]

Referensi :

[1] A. Mangunhardjana. 1997. Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius. 237-239.
[2] Richard Foley.1995. ‘Voluntarism’. Robert Audi,ed. In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge:Cambridge University Press. 844-855.
[3] Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. 1160-1164.
[4] Albert E. Avey. 1954. Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnes & Noble. 292
[5] Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta:Kanisius. 330-332.

sumber : wikipedia

Istilah voluntalisme menunjuk kepada suatu aliran filsafat yang tokohtokohnya berkeyakinan bahwa kehendak nlanusia mengatasi akamya. Kata kehendak dalam bahasa Latin adalah voiuntas. Penekanan bahwa kehidupan manusia didominasi oleh kehendak menimbulkan aliran filsafat voluntalisme (Ali-Mudhafir, 1988). Para filosof yang tergabung dalam aliran ini berkeyakinan bahwa manusia dalam hidupnya tidak dikuasasi oleh rasio atau akal --sebagaimana yang diyakini oleh kaum rasionalis-- melainkan oleh kehendak, kemauan, atau disebut juga dengan nafsu.

Dinamika perkembangan sejarah kehidupan manusia didorong kehendak yang kuat, sehingga manusia senantiasa mengalami kemajuan dalam segala aspek kehidupannya. Para penganut aliran filsafat Voluntarisme memberikan tekanan yang berbeda tentang peran dan pengaruh kehendak bagi kehidupan manusia.

Kehendak menurut penganut voluntarisme merupakan unsur yang dominan dalam mengatur tindakan manusia. Jika kaum rasionalis atau intelektualis mengatakan bahwa akal manusia merupakan faktor dominan dalam tindakan manusia, maka kaum voluntaris berkeyakinan bahwa segala aspek kegiatan manusia didorong oleh kehendaknya. Kehendak merupakan hakekat manusia itu sendiri, hal ini berbeda dengan kaum rasionalis yang berpendapat bahwa akal yang tampak dalam proses berpikir merupakan hakekat manusia. Aliran voluntarisme biasanya dilawankan dengan intelektualisme atau rasionalisme. Intelektualisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa rasio atau akal manusia lebih menentukan tindakan manusia dibandingkan dengan kehendak. Voluntalisme berpandangan sebaliknya, kehendaklah yang menguasai akal atau rasio manusia. Kehendak menurut Penganut aliran voluntatirsme merupakan unsur pokok yang menguasai manusia, manusia tanpa kehendak tidak akan pemah mengalami perkembangan.

BERBAGAI PANDANGAN TENTANG KEHENDAK DALAM FILSAFAT BARAT


Plato (427-347 SM)

Filosof yang secara eksplisit membahas peranan kehendak dalam diri manusia pada masa Yunani Kuno ialah Plato. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia itu terdiri atas tiga bagian atau lapisan.

  • Pertama disebutnya akal atau rasio, yaitu bagian jiwa yang tertinggi. Akal atau rasio ini disebut juga bagian rasional. Bagian rasional ini merupakan unsur yang memimpin seluruh aktivitas manusia. Bagian rasional oleh Plato diibaratkan seperti kusir yang mengendalikan kuda dalam suatu rangkaian kereta.

  • Kedua, disebut kehendak, kehendak menurot Plato merupakan alat bagi akal atau rasio. Kehendak oleh Plato diibarakan seperti seekor kuda yang menarik gerobak atau pedati. Plato mengatakan bahwa di dalam kehendak ini bersemayam perasaan-perasaan yang lebih tinggi, seperti: keberanian, gila hormat, kemarahan, yang adil, dan sebagainya.

  • Ketiga, merupakan tempat bersemayamnya nafsu-nafsu liar atau nafsu kebinatangan manusia yang harus diatur oleh akal atau rasio (Harun-Hadiwijono 1980).

Dalam filsafat Plato ini, kehendak dibawah akal atau rasio manusia. Artinya dalam diri manusia yang berperana adalah rasionya atau akalnya, sedangkan kehendak menrupakan pelayan hati, akal atau rasio.

Aristoteles (384-322SM)

Aristoteles, sebagaimana halnya dengan Plato, juga menempakan kehendak sebagai bagian dari unsur kemanusiaan. Berbeda dengan Plato yang membagi jiwa manusia dalam tiga bagian, maka Aristoteles membaginya menjadi dua bagian. Pemikiran Aristoteles tentang kehendak dapat ditemukan dalam pembicaraan tentang kebahagiaan. Menurutnya manusia dapat memperoleh kebahagiaan apabila ia menjalankan aktifitasnya dengan baik. Artinya supaya manusia bahagia ia harus menjalankan aktivitasnya menurut keutamaan ( arefe ).

Hanya pemikiran yang disertai dengan keutamaan (arete) yang dapat membuat manusia bahagia Keutamaan itu tidak hanya menyangkut rasio, akan tetap juga manusia seluruhnya. Manusia bukan saja merupakan makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu dan lain sebagainya.

Dengan demikian dari pemikiran Aristoteles ini, kehendak mencakup perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu itu. Kehendak inilah yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aristoteles membagi keutamaan itu menjadi dua macam, yaitu; keutamaan intelektuil dan keutamaan moril. Keutamaan intelektuil bersumber dari rasio, sedangkan keutamaan moril bersumber dari kehendak manusia. Namun demikian Aristoteles tampaknya tetap meletakkan keutamaan intelektuil sebagai keutamaan tertinggi yang membimbing keutamaan moril.

Thomas Aquinas (1225-1274).

Filosof yang agak terang dalam membicarakan kehendak dalam filsafat abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas. Aquinas mengatakan bahwa dalam diri manusia itu terdapat unsur berpikir dan berkehendak yang melandasi setiap perbuatanya. Kedua hal ini menyatu dalam jiwa manusia sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, yaitu; bentuk rohani. Rohani ini dalam diri manusia membentuk hidup lahiriah sekaligus juga hidup batiniah.

Dengan demikian dalam filsafat Thomas Aquinas jiwa adalah satu dengan tubuh dan sekaligus menjiwai tubuh. Jiwa dan tubuh dalam diri manusia tidak terpisah akan tetapi dapat dibedakan menurut fungsinya. Berdasarkan pemikiran bahwa jiwa itu menjadi satu dengan tubuh, maka Thomas Aquinas dalam melihat unsurunsur dalam diri manusia itu juga bertitik tolak dan pengandaian bahwa jiwa lebih berperanan dalam diri manusia. Aquinas menegaskan bahwa jiwa itu memiliki 5 daya jiwani, yaitu;

  1. daya jiwani vegetatif yang bersangkutan dengan pergantian zat dengan pembiakan;

  2. daya jiwani yang sensitip adalah daya jiwani yang bersangkutan dengan keinginan;

  3. daya jiwani yang menggerakkan;

  4. daya jiwani untuk memikir dan

  5. daya jiwani untukmengenal.

Daya memikir dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal adalah daya yang tertinggi dan termulia yang lebih penting dari kehendak. Bagi Thomas Aquinas yang benar lebih tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah perbuatan yang lebih sempuma dibandingkan dengan menghendaki. Uraian di atas semakin mengukuhkan pendapat bahwa pemahaman para filsof tentang kehendak sejak Yunani Kuno sampai Abad Pertengahan disubordinasi dibawah akal atau rasio. Pandangan yang menempakan kehendak dibawah rasio atau akal masih berlanjut sampai jaman Modem dengan kemunculan aliran rasionalisme.

Rene Descartes

Pemikiran Filsafat Bared, terutama sejak dikemukakannya tesis "Cogito ergo sum"oleh Descartes, realitas dunia hanya difahami sebagai bagian dari ide (gagasan) manusia. Artinya dunia dikuasai dan dikendalikan oleh ide atau gagasan.

Cara pandang seperti itu semakin jelas pada filosof idealisme yang meredusi seluruh realitas ke dalam ide atau gasagan manusia. Hegel bahkan menyatakan dengan tegas bahwa ide yang dimengerti identik dengan kenyataan yang diamati.

Rene Descartes adalah seorang rasionalis yang menjadi acuan para filosof Barat Modem. la memandang kehendak manusia sebagai sesuatu yang hampir tidak terbatas, sedangkan rasio dihadapkan pada berbagai keterbatasan. la mengatakan bahwa kekuatan kehendaklah yang memungkinkan manusia memiliki kebebasan, dan dengan kehendak itu pula manusia menembus kebuntuan pemikiran.

Dengan demikian Descaltes mengakui bahwa di dalam diri manusia selain rasio, ada unsur lain yang mempengaruhi kehidupannya, yaitu kehendak.

Descartes meyakini bahwa kehendak memiliki kemampuan yang tidak terbatas, namun tetap berada di bawah pengaruh rasio yang bersifat terbatas. Hal ini tampak pada pemikirannya, bahwa hakikat manusia terletak pada rasio atau akalya. Ia bahkan menegaskan “Cogito ergo sum” yang berarti “saya berpikir maka saya ada”. Kendatipun Descartes mengakui adanya kehendak, akan tetapi ia tetap menempakan akal sebagai pembimbing tindakan manusia.

Maine de Biran (1766-1824)

Dalam jaman modem filosof yang membahas peranan dan kedudukan kehendak dalam diri manusia secara lebih jelas diawali oleh filosof Perancis Maine de Biran. Maine de Biran melihat manusia itu sebagai makhluk yang bertindak. Tindakan manusia ini dilangsungkan oleh kehendak yang mengalami hambatan.

Tindakan yang dilangsungkan oleh kehendak yang mengalami hambatan ini memerlukan suatu tenaga yang cukup besar. Tenaga inilah melahirkan penyadaran adanya aku. Karena suatu tindakan memerlukan gerakan tenaga, dengan adanya pertentangan antara kehendak dan hambatan, terjadilah penyadaran aku dengan jelas. Namun demikian aku ini bukanlah merupakan person atau pribadi.

Aku ini lebih merupakan suatu saat pada arus kehidupan kesadaran yang terikat oleh waktu dan tetap tergantung pada kemampuan untuk melangsungkan tindakan. Aku hanya merupakan satu saat pada kehidupan rohaniah. Dari pemikirannya ini Maine de Biran telah mengangkat peranan kehendak dalam diri manusia pada tataran aku (subyek) meskipun masih bersifat temporal. Kehendak menentukan eksistensi manusia atau keberadaan manusia.

Immanuel Kant

la mengatakan kehendak adalah suatu jenis kausalitas yang termasuk dalam kehidupan manusia yang bersifat rasional, dan unsur kebebasan menjadi ciri dari setiap kausalitas yang bersifat efisien, tidak tergantung pada faktor-faktor penyebab dari luar (Kant,1986). Kebebasan kehendak merupakan salah satu postulat dari rasio praktis. Pendapat Kant ini ditulisnya dalam buku Kritik der Praktischen Vemunft (Kritik atas rasio Praktis). Kritik atas rasio praktis ini hendak menjawab pertanyaan apa yang dapat saya perbuat.

Pertanyaan Kant ini dimaksudkannya untuk mencari jawaban dan menjelaskan dasar-dasar kaidah tindakan manusia. Dasar-dasar kaidah tindakan manusia itu oleh Kant dibedakan sebagai berikut,

  1. Maksim-maksim; kaidah-kaidah yang berlaku subyektif.

  2. Undang-undang; kaidah-kaidah yang berlaku secara umum, obyektif.

  3. Imperatif hipotetis; yang berlaku secara umum sebagai syarat untuk mencapai sesuatu.

  4. Impertatif kategoris; kaidah yang berlaku secara umum, selalu dan dimana-mana (Hamersma, 1983).

Kaidah yang paling memadai untuk mengatur norma-norma Moral menurut Kant adalah Imperatif kategoris. Kant mengatakan bahwa kaidah imperatif kategolis sebagai dasar perbuatan manusia dalam berbuat baik tidak ditentukan oleh alasan-alasan rasional, akan tetapi ditentukan oleh perbuatan baik itu senditi.

Akan tetapi hal ini menimbulkan masalah karena di dunia kebaikan, moral sering tidak menghasilkan kebahagian. Pada hal tujuan utama moral atau etika adalah kebaikan, kebaikan harus menghasilkan kebahagian sempuma. Oleh karena itu Kant mengemukakan adanya tiga postulat, yaitu tiga syarat atau tuntutan yang memungkinan terjalinnya hubungan antara kebaikan moral dan kebahagian sempuma.

Postulat sebagai dasar bagi kebaikan moral dan kebahagian sempuma itu ialah:

  1. kebebasan kehendak,

  2. keabadian jiwa,

  3. adanya Tuhan (Hamersma, 1983).

Di antara tiga postulat di atas, kebebasan kehendak merupakan syarat mutlak bagi perbuatan yang berdasarkan imperatif kategoris. Sebab, seseorang tidak mungkin dituntut tanggung jawabnya jika ia tidak memiliki kebebasan kehendak dalam melakukan suatu perbuatan moral.

G. Schopenhauer

Schopenhauer (1956) mengatakan bahwa kalau kita menerima dunia hanya semata-mata sebagai ide, maka ini merupakan pandangan sepihak yang ditimbulkan oleh abstraksi sewenang-wenang. Padahal kesadaran hanya merupakan sebagian dari hakikat manusia.

Bagian hakikat manusia yang lain itu ialah kehendak. Schopenhauer mengidentikkan kehendak dengan sesuatu dalam dirinya. Kehendak menurutnya adalah dorongan, insting, kepentingan, hasrat, dan emosi. Dalam setiap pengalaman hidup manusia, subjek dan objek bukan merupakan hal yang terpisah sebagaimana hal-hal yang lainnya (Parker, 1956).

Seluruh kehendak berasal dari keinginan yang tumbuh dari penderitaan manusia (Sahakian, 1966). Dalam diri manusia pikiran-pikiran hanya merupakan lapisan atas dari hakikat manusia. Watak manusia di tentukan oleh kehendaknya.

Kehendak tidak mengenal lelah, karena terjadi tanpa kesadaran, seperti hamya dengan jalannya jantung, pemafasan yang beraktifitas tanpa perlu kita pikirkan. Lebih jauh Schopenhauel juga menjelaskan bahwa kehendak itu tidak hanya menjadi pendorong bagi manusia, akan tetapi kehendak juga menjadi daya pendorong didalam seluruh dunia, yaitu sebagai kehendak dunia. Kehendak dunia juga berkembang dari yang tak sadar ke yang sadar. Demikianlah kehendak menampakkan diri sebagai asas dunia.

Disini kehendak seolah-olah berperan sebagai daya hidup dalam dunia, kehendaklah yang menghidupi dunia dan menjadi motor penggerak perkembangan dunia dan manusia. Oleh karena itu kehendak pada Schopenhauer menjadi daya pendorong hidup segala hal, sehingga pengertian kehendak diletakkan sebagai kehendak untuk hidup.

Berdasarkan landasan metafisik dalam filsafat Schopenhauer dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat manusia tidak terletak pada pemikiran, kesadaran atau rasio, melainkan pada kehendaknya. Kehendak sebagai hakikat terdalam di dalam diri manusia menjadi daya pendorong seluruh aktivitas kehidupannya.

Kehendak sebagai daya pendorong itu menampilkan diri sebagai kehendak yang lebih tinggi dan kehendak yang lebih rendah. Kehendak yang lebih tinggi tampak dalam proses berpikir yang melahirkan gagasan-gagasan tentang dunia.

Kehendak yang tampil sebagai kehendak yang lebih rendah tampak dalam perbuatan tubuh yang dapat diamati. Aktivitas tubuh adalah perbuatan kehendak yang telah diperagakan, yang telah diobjektivir dalam ruang dan waktu.

Kehendak sebagai hakikat manusia tidak hanya berperan sebagai penggerak sehingga manusia mampu bertindak dan berpikir, akan tetapi juga menjadi penggerak unsur elementer dalam tubuhnya.

Kehendak sebagai penggerak elementer berkembang dari keadaan yang tak sadar (yang tampak pada alam anorganis) menuju keadaan yang setengah sadar, untuk seterusnya menampakkan dili dalam kesadaran penuh pada manusia (kemampuan berpikir). Segala gejala atau penampakan yang mengelilingi manusia dalam ruang dan waktu harus dipandang sebagai penjelmaan kehendak. Artinya hidup atau dunia fenomena adalah cerminan atau bayang-bayang dari kehendak. Kehendak dan hidup ibarat badan dengan bayang-bayangnya, sehingga dapat dikatakan dimana ada kehendak, disana mestilah ada hidup, yang dapat diringkas menjadi “kehendak untuk hidup” (Schopenhauer,1956).

Kehendak yang paling nyata dalam hidup manusia adalah keinginan untuk melangsungkan keturunan (Hamersma,1983). Bagi Schopenhauer yang mendorong manusia untuk kawin adalah kehendak yang menampak pada cinta kasih antar jenis (laki belaki dengan perempuan).

Saling jatuh cinta laki-Iaki dan perempuan itu didorong oleh kehendak untuk hidup agar spesiesnya tidak punah (Schopenhauer, 1956). Saling jatuh cinta yang didorong oleh kehendak ini juga berlaku dalam dunia tumbuh-tumbuhan dan binatang. Pada umumnya setiap orang mencintai unsur-unsur yang ia sendiri tidak memilikinya. Hal ini berarti kehendak alam mencoba untuk mengoreksi atau saling melengkapi ketidak sempumaan genetis dari suatu partner atau pasangan melalui perkawinan.

Nietzsche

Senada dengan Schopenhauer yang mengatakan kehendaklah yang menjadi pendorong aktivitas manusia, Nietzsche juga menegaskan bahwa manusia dalam hidupnya dikuasai oleh kehendak. Bedanya, jika Schopenhauer mengatakan bahwa kehendak sebagai daya pendorong untuk hidup, maka Nietzsche menegaskan kehendak itu sebagai pendorong untuk berkuasa (Sudiardja,1982).

Kehendak untuk berkuasa ini terutama ditujukan Nietzsche untuk melepaskan diri dari segala kekuasaan yang melingkupi manusia selama ini. Dengan kehendak untuk berkuasa ini Nietzsche meniadakan segala pribadi yang lebih berkuasa dari manusia, termasuk kekuasaan Tuban atas manusia. Dengan kehendak untuk berkuasa inilah manusia dapat menjadi manusia unggul (Uebemlensch).

Kehendak untuk berkuasa hanya dapat diperoleh dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Sasaran akhir dari kehendak untuk berkuasa ini bagi Nietzsche adalah tercapainya tingkat manusia unggul. Tingkat manusia unggul ini hanya mungkin jika tidak ada kekuasaan di atas manusia, yaitu Tuhan, oleh karena itu manusia harus menyatakan bahwa Tuhan telah mati (Nietzsche). Untuk mencapai tingkat manusia unggul diperlukan waktu yang panjang dan bertahap yang didukung oleh dorongan kehendak yang terus menerus. Agar cita-cita menjadi manusia unggul itu tercapai, manusia haruslah berikhtiar dan merealisasikan diri secara terus menerus melampaui dirinya, dan. selalu berpikir bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai.

Manusia unggul itu diciptakan sendiri oleh dirinya, dengan membangun kemampuan cipta dan keunggulannya. Setiap nilai baru yang dibuat oleh manusia harus dapat memberikan arah yang berangkat dari kekurangannya sendiri menuju ke tingkatan yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan itu diperlukan kekuatan, kecerdasan dan kebanggan pada diri sendiri. Dengan demikian manusia unggul hanya dapat ditumbuhkan oleh gabungan tiga hal, yaitu; kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan.

Manusia unggul akan tercapai berdasarkan kemampuan individu itu sendiri. Manusia unggul adalah mereka yang dengan kekuatannya dapat mengatasi kumpulan-kumpulan manusia dalam massa, atau manusia yang dapat menguasai manusia lainnya.

Paul Ricouer

Pada abad ke-20, kehendak sebagai suatu kajian khusus dibahas oleh Paul Ricouer. Ricouer mengembangkan suatu pemahaman baru tentang pengertian kehendak yang disebutnya dengan fenomenologi kehendak. Arah filsafat kehendak dalam pandangan Ricouer dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

  1. eidetik, artinya kehendak yang disebabkan tugasnya sebagai suatu deskripsi fenomenologis tentang hakekat, yakni struktur keberadaan manusia di dalam dunia.

  2. empilik, artinya kehendak yang di arahkan untuk menggambarkan tugas refleksi yang menggerakkan kembali aspek eidetik.

  3. poetik, artinya kehendak yang dipergunakan untuk analisis secara intensif terhadap visi kemanusiaan dali aspek penjelasan empirik (Ricoeur, 1984).

Fenomena kehendak menurut deskripsi eidetik membedakan suatu tindakan atau kegiatan kehendak menurut tiga gerak yang dikehendaki, yaitu;

  1. aku menentukan;

  2. aku menggerakkan tubuh;

  3. aku menyetujui (Foeti Heraty, 1984).

Ketiga hal ini ditunjang oleh kegiatan kehendak. Setiap gerakan kehendak ini juga nlempunyai pasangan bukan-kehendakmasing-masing, dalam arti bahwa bukan-kehendak menjadi latar belakang sebab bagi kehendak dan sebaliknya kehendak memberi fokus kepada bukan kehendak, selalu ada hubungan timbal balik antara yang dikehendaki dengan yang tidak dikehendaki (Bertens,1985).

Pertentangan antara yang dikehendaki dengan yang bukan-dikehendaki dapat dipecahkan manusia menurut dua kemungkinan, ialah bahwa ia menggerakkan kehendak menuju Tuhan, atau dapat pula sampai pada kegagalan kehendak yang disebut dengan dosa. Demikianlah antara kedua kutub fenomenologi kehendak manusia pada satu pihak memiliki kemerdekaan, sedangkan di lain pihak manusia dibatasi oleh alamnya. Kedudukan manusia diantara kedua kutub tersebut menggambarkan, bahwa pada kehendak selalu ada faktor bukan-kehendak dalam berbagai bentuk (Tuti Heraty, 1984).

Manusia dengan kehendak itu bebas mengekspresikan dirinya, sementara itu dilain pihak temyata dalam hidupnya manusia sering berbuat sesuatu di luar kehendaknya.

BENTUK-BENTUK ALIRAN FILSAFAT VOLUNTARISME


Richard Taylor secara galis besar membagi aliran filsafat voluntarisme menjadi empat bentuk, yaitu:

  1. Psychological voluntarism, aliran ini berpendapat bahwa akal berada dibawah kehendak;

  2. Ethical voluntarism, menurut aliran ini perbuatan baik atau buruk didorong oleh kehendak manusia;

  3. Theological voluntarism, adalah teori yang menggambarkan keunggulan kehendak manusia atas akamya, kemudian konsepsi teologis yang menggambarkan keunggulan kehendak Illahi atas kehendak manusia;

  4. Methaphisycal voluntarism, suatu pandangan yang menekankan pentingnya konsep kehendak untuk memahami problem-problem hukum, etika, dan tingkah laku manusia pada umumnya (Taylor, 1966).

Aliran filsafat voluntarisme, selain yang dikemukakan Taylor adalah voluntarisme fenomenologis, yaitu suatu upaya untuk memahami kehendak melalui metooe fenomenologi (Bertens, 1985).

Berdasarkan bentuk-bentuk aliran tersebut di atas, maka suIit untuk menempakan secara pasti kedudukan seorang filosof ke dalam salah satu aliran. Kesulitan itu terutama disebabkan oleh Iuasnya pembahasan para filosof tentang peranan kehendak dalam diri manusia. Seorang filosof kadangkala membicarakan berbagai dimensi yang sekaligus dapat dimasukkan ke dalam kategori aliran-aliran tersebut.

Voluntarisme Psikologis

Filosof yang termasuk dalam aliran voluntarisme psikologis adalah Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa pada filsafat Nietzsche tidak memiliki akar metafisik, ungkapan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa semata-mata didorong oleh emosi psikis, yakni ketidakberdayaan yang dialaminya sejak kecil. Selain itu, kemuakannya terhadap berbagai nilai, norma, aturan main yang mengikat dirinya, yang dianggapnya sebagai siksaan, merupakan faktor pendorong bagi Nietzsche untuk membangun suatu kekuatan. Sasaran akhir kehendak untuk berkuasa pada Nietzsche adalah untuk membangun manusia unggul yang menghancurkan berbagai nilai-nilai yang selama ini berlalu.

Voluntarisme Etis

Filosof yang termasuk ke dalam aliran filsafat voluntalisme etis ada beberapa orang, antara lain Plato, Kant, dan Schopenhauer. Bagi Plato dan Kant, kehendak adalah kekuatan yang mendorong manusia melakukan tindakantindakan, baik tindak dalam bentuk perbuatan baik maupun yang buruk. Bagi Schopenhauer kekuatan kehendak yang tidak terbatas, sementara sarana untuk memenuhinya terbatas, melahirkan suatu filsafat moral yang didasarkannya pada moral Budhisme.

Moral Budhisme ini dipakai untuk menekan seminimal mungkin gejolak kehendak manusia.

Voluntarisme Theologis

Filosof yang termasuk aliran filsafat voluntarisme teologis adalah Paul Ricouer. Ia mengatakan ada sesuatu yang dapat dikehendaki manusia dan sesuatu yang di luar kehendaknya. Penelusuran Ricouer terhadap yang dikehendaki dan tidak-dikehendaki menggiringnya ke suatu pemahaman tentang misteri kejahatan.

Ricouer juga termasuk aliran voluntarisme fenomenologis. Kehendak di dalam diri manusia oleh Ricouer diselidiki dengan menerapkan metode fonomelogi.

Voluntarisme Metafisik

Filosof-filosof yang termasuk ke dalam aliran filsafat voluntarisme metafisis antara lain:

  1. Maine de Biran yang mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Descartes. Jika Descartes menegaskan bahwa substansi pokok itu adalah aku yang berpikir , atau aku ada karena berplkir, maka Maine de Biran justru mengatakannya dengan aku yang berkehendak , artinya aku ada karena berkehendak.

  2. Schopenhauer, filosof modem yang bersungguh meletakkan hakikat manusia bahkan alam semesta pada kehendak. Kehendak bagi Schopenhauer adalah inti dati segala realitas, tumbuhan, hewan,manusia atau alam seluruhnya lahir, tumbuh; berkembang karena dorongan kehendaK.

Bentuk-bentuk aliran filsafat voluntarisme juga dapat diklasifikasikan berdasarkan Slkap mereka memandang akibat-akibat peranan kehendak pada manusia. Bagi filosof yang melihat kehendak sebagai sumber penderitaan, seperti Schopenhauer, dapat disebut voluntarisme pesimistik. Filosof yang menempakan kehendak sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita manusia, seperti Nietzsche dengan manusia unggulnya, maka ini dapat dikategorikan sebagal voluntarisme optimistik.