Apa yang dimaksud dengan Kearifan Lokal ?

Kearifan Lokal atau sering disebut Local Wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Lalu apa yang menyebabkan kearifan lokal terbentuk, teradopsi, dan juga terpelihara hingga mengakar pada suatu tatanan masyarakat?

Kearifan berasal dari kata arif. Arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti kedua cerdik, pandai dan bijaksana. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Kata arif yang jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral, jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya.

Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal, 2006).

Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional” suku-suku bangsa.

Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya.

Dalam arti yang luas itu maka diartikan, “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible (Edy Sedyawati, 2006).

Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya. Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli, ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat.

Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai- nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012).

Menurut Wales, sebagaimana dikutip oleh Nasiwan, dkk (2012) kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak belakang. Yakni extreme acculturation dan a less extreme acculturation.

  • Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional.

  • Less extreme acculturation adalah proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan local genius adanya. Yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.

Selebihnya, nilai-nilai kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Oleh karena itu kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya.

Kedudukan lokal genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut.

Menurut Edi Sedyawati (2006) setiap masyarakat tradisional, yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada masa Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai bahasa resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kegiatan pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun tekstual. Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang bersifat formal, nonformal, dan informal.

Yang disebut pendidikan formal pada masa kini adalah yang ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem evaluasi yang jelas juga baku. Disamping itu untuk setiap program dan jenjang studi diberikan keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah maupun diploma. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah tidak diikat oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang standar.

Sedangkan pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum memberikan informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilai-nilai budaya ataupun keagamaan. Segala pertemuan insidental, maupun segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong kategori ini. Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat dicontohkan oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief di candi-candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius.

Kearifan Lokal: Perspektif & Tantangan

  • Wacana kearifan lokal ( local wisdom ) mendapat perhatian lebih serius ketika muncul kecenderungan mengendornya nilai-nilai moral sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan kebudayaan yang menyertainya; sekaligus lahirnya pemahaman tentang pentingnya nilai-nilai tersebut. Realitas ini juga melahirkan kesadaran tentang betapa rapuh dan fananya dunia kita ini, suatu pengakuan tentang batas-batas sampai dimana bumi ini akan bertenggang rasa terhadap campur tangan manusia (Prior, 2008).

  • Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan dan kesadaran akan perubahan kebudayaan. Kebudayaan adalah “warisan yang diturunkan tanpa surat wasiat”. Bersadarkan pikiran Rene Char ini, Ignas Kleden menjelaskan bahwa kebudayaan adalah “nasib” dan baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas (Saptawasana, dkk. dalam Sutrisno, 2005) dan tanpa budaya manusia akan sangat sukar untuk bertahan hidup (Danesi, 2010). Kearifan lokal yang lahir dari kebudayaan sebagai tugas, sebagai nasib, sebagai blue print perlu dicermati. Tujuannya agar kearifan lokal sebagai local genius dapat menjadi salah satu pegangan utama dalam menghadapi hegemoni globalisme.

Upaya Kearifan Lokal dalam Mengadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan Pengertian Kearifan Lokal

  • Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di tengah masyarakat (Haba, 2007; Abdullah, 2008). Quaritch Wales merumuskan kearifan lokal atau local genius sebagai “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life” .
    Pokok pikiran yang terkandung dalam definisi tersebut adalah (1) karakter budaya, (2) kelompok pemilik budaya, serta (3) pengalaman hidup yang lahir dari karakter budaya.

  • Kearifan lokal bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian (Sibarani, 2013:22). Kearifan lokal digali dari produk kultural yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, etos kerja, bahkan bagaimana dinamika itu berlangsung (Pudentia, 2003:1; Sibarani, 2013:21-22).

  • Kearifan lokal memiliki signifikasi serta fungsi sebagai berikut.

  1. penanda identitas sebuah komunikas;
  2. elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan;
  3. unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat ( bottom up );
  4. warna kebersamaan sebuahkomunitas;
  5. akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground /kebudayaan yang dimiliki;
  6. mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercaya dan disadari tumbuh di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi (haba, 2007) melalui Abdullah, 2010).
  • Fungsi-fungsi tersebut menyadarkan akan pentingnya local genius atau kearifan lokal dalam menghadapi berbagai bentuk konflik yang terjadi sebagai akibat dari perubahan kebudayaan.

Kearifan Lokal Menghadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan

  • Kemajuan teknologi dan mobilitas fisik, misalnya, telah dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan intensif. Media komunikasi yang semakin canggih telah menyebabkan masyarakat terintegrasi ke dalam suatu tatanan yang lebih luas, dari yang bersifat lokal menjadi global (Featherstone, 1991; Miller, 1995; Strathern, 1995 melalui Abdullah, 2010: 3). Kondisi ini justru melahirkan kegamangan karena teknologi secara radikal mengubah cara hidup, cara pikir, dan pola relasi antarsesama.

  • Perubahan kebudayaan menunjukkan adanya suatu periode transisional pola- pola ekonomi, sosial, dan kultural yang terus berubah dan membentuk kontur masa depan, mengindikasikan „struktur perasaan‟ yang gamang dari serangkaian praktek kultural (Barker, 2010). Barker menyebutkan contoh penampilan dan status budaya pop yang dipercepat oleh media elektronik mempertegas terbukanya sekat- sekat yang menambah kegamangan.

  • Beberapa hal yang mempertegas kegamangan ini menurut Prior adalah sebagai berikut:

  1. hilangnya tapal-tapal batas;
  2. tidak ada lagi batas waktu dan jarak;
  3. kehidupan dikendalikan oleh pasar global;
  4. tidak ada kepastian dan kejelasan hidup;
  5. kecenderungan menuju individualisme yang semakin besar dan sukar untuk dibalik kembali;
  6. kecenderungan tradisi-tradisi besar menafsir tradisi-tradisi kecil dan mendepaknya; 6) adanya kompetensi;
  7. kewenangan, administrasi, dan birokrasi telah didesakralisasi (Prior, 2008).
  • Dalam pemahaman yang hampir sama Barker merumuskan perubahan tersebut dengan menjelaskan sebagai inti dari “struktur perasaan” postmodern adalah:
  1. suatu pengertian tentang sifat kehidupan yang fragmentaris, mendua, dan tidak menentu;
  2. kesadaran tentang sentralitas ketakmenentuan;
  3. pengakuan adanya perbedaan kultural; dan percepatan dalam perjalanan hidup (Barker, 2010)
  • Untuk menghadapi derasnya arus globalisasi yang mengaburkan batas budaya serta sebagai tantangan perubahan kebudayaan, kerja sama berdasarkan keberagaman dan kebhinekaan Indonesia perlu diupayakan. Di tingkat lokal keberagaman itu mewujud pada peran budaya lokal sebagai soko guru kehidupan masyarakat (lokal). Pada tataran ini senantiasa berlangsung gejala budaya dua arah, yakni gejala budaya glokal (dari global menjadi lokal) dan gejala budaya lobal (dari lokal menjadi global) (Mulyana, 2005). Apa peran kearifan lokal menghadapi sistem nilai tradisional (lokal) yang mulai digantikan sistem nilai modern (global).

  • Ada upaya-upaya untuk memperbaiki keadaan seperti peningkatan kualitas hidup, kemandirian ekonomi, peduli lingkungan, HAM, kesetaraan dan keadilan gender, dan sebagainya. Oleh Prior, upaya memperbaiki keadaan ini dirumuskan:

  1. perhatian sedang bergeser dari penumpukkan harta kekayaan kepada peningkatan mutu hidup;
  2. kepedulian lingkungan melalui gaya hidup yang sederhana serta ekonomi mandiri;
  3. martabat dan hak-hak asasi manusia menjadi landas pijak dari suatu masyarakat madan yang dibangun di atas hukum;
  4. kepekaan gender;
  5. kepekaan yang semakin tajam menyangkut hak untuk hidup, perdamaian dan keamanan, menyangkut kerja dan ruang perorangan (Prior, 2008).
  • Pandangan di atas membuat sebuah relasi yang damai antara perubahan kebudayaan yang terasa lebih radikal dengan adanya kemajuan teknologi –terutama teknologi media- di semua lini kehidupan pada satu sisi; dan kesadaran untuk memposisikan kembali dan memberi ruang bagi nilai-nilai budaya atau kearifan lokal pada sisi lainnya. Salah satu upaya yang perlu dilakukan demi mewujudkan relasi yang damai antara perubahan kebudayaan dan kearifan lokal adalah dengan menyikapi kebudayaan dan kearifan lokal di dalamnya secara diferensial.
Referensi

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adullah, Irwan, dkk. Ed. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktek (terj. Noerhadi dan Sihabul Millah) Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Poespawardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam
Modernisasi” (dalam *Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius),*Ayatrohaedi, ed. Jakarta: Pustaka Jaya).

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Disamping itu kearifan lokal dapat pula dimaknai sebagai sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal sifatnya dinamis, kontinu, dan diikat dalam komunitasnya.

Kearifan lokal dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran termaksud dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal, akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur.

Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:

  1. mampu bertahan terhadap budaya luar,
  2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
  3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
    budaya asli,
  4. mempunyai kemampuan mengendalikan,
  5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.