Meski perbedaan fisik perempuan merupakan takdir dengan istilah Freud yang terkenal Anatomi is destiny, tetapi tidak meniscayakan relasi antar jenis kelamin yang berbeda itu menimbulkan kesenjangan dan bersifat hirarkhis, karena relasi antar kedua makhluk Tuhan itu bukan takdir, tetapi dikonstruksi secara sosial. Sinergi dari dua karakteristik fisik yang berbeda dari perempuan dan laki-laki itu akan melahirkan kehidupan harmoni yang saling mendukung satu sama lain, ibarat tangan kiri dan kanan yang bergantian menjuntai ke depan dan ke belakang dalam berjalan, sehingga perjalanan akan sampai kepada satu tujuan, tanpa diartikan bahwa tangan kanan lebih penting dari tangan kiri, atau sebaliknya.
Terdapat perbedaan bersifat internal dan substansial yang jelas antara perempuan dan laki-laki ditinjau dari segi fisik, seperti dalam pertumbuhan tinggi badan, payudara, rambut, organ genitalia internal dan eksternal, serta jenis hormonal yang mempengaruhi variasi ciri-ciri fisik dan biologisnya. Terjadinya perbedaan secara fisik antara perempuan dan laki-laki ditentukan sejak masa konsepsi, yaitu saat sel telur (ovum) yang mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan sepasang kromosom seks XX bergabung dengan sel sperma (spermatozoa) yang mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan sepasang kromosom seks XY. Jika kromosom seks dari perempuan bergabung dengan kromosom seks X dari laki-laki, melahirkan bayi perempuan, dan jika kromosom seks dari perempuan bergabung dengan kromosom seks Y dari laki-laki, melahirkan bayi laki-laki. Berdasarkan perbedaan jenis kromosom seks yang dimiliki perempuan dan yang dikeluarkan oleh laki-laki, menghasilkan jenis kelamin tertentu.
Dengan demikian, kromosom yang dimiliki ibu dan ayah berbeda, demikianpun anak yang dihasilkan dari jenis kromosom berbeda dari ayah dan ibunya akan menghasilkan perbedaan struktur fisiologis dan biologis yang kemudian berkembang sebagai genitalia perempuan dan laki-laki pada sekitar minggu keenam masa dalam kandungan (pranatal). Kromosom dari ayah dan ibu yang sudah bergabung itu membentuk sel yang disebut testis. Awal berkembangnya testis hanya terjadi pada embrio yang mengandung kromosom seks XY. Testis tersebut mulai memproduksi hormon seks. Pada testis yang mengadung kromosom XX memproduksi hormon progesteron dan estrogen, dan testis yang mengandung kromosom XY menghasilkan hormon androgen. Ketiadaan hormon androgen pada testis yang mengandung kromosom XX menghasilkan telur dan kelenjar gonad yang membentuk menjadi indung telur dan perkembangan genitalia eksternal dan internal janin perempuan, dan pada testis yang mengandung kromosom XY mengembangkan organ eksternal dan internal janin laki-laki.
Dengan demikian, hormon memegang peranan penting dalam perkembangan genitalia perempuan dan laki-laki, termasuk mempengaruhi organisasi otak dan kelenjar pituatari yang mengendalikan sekresi hormon gonad pada masa pubertas.
Keberadaan hormon androgen yang memiliki karakteristik berbeda dengan hormon lainnya telah menarik perhatian para ahli untuk melakukan penelitian eksperimen pada hewan dan pada manusia yang mengalami anomali genetik atau hormonal selama masa pranatal.
Menurut penelitian Parson (1980), janin hewan selama pranatal yang diberi hormon androgen memperlihatkan kegiatan bermain yang kasar, agresif, dan aktivitas yang tinggi, baik pada hewan jantan maupun betina.
Dalam kasus anomali genetik terjadi mutasi jumlah kromosom seks yang terkandung dalam sel janin, atau janin mungkin tidak cukup mendapat hormon yang sesuai. Ada individu yang terlalu banyak kromosom seks dengan konfigurasi XXX, XXY, atau XYY. Individu dengan konfigurasi kromosom XXX secara anatomis adalah perempuan yang subur, sedangkan konfigurasi kromosom XXY secara anatomis laki-laki tetapi kurang perkasa dan agak gemulai, dan konfigurasi kromosom XYY adalah laki-laki perkasa (Stockard & Johnson, 1992). Para peneliti menduga, individu dengan kromosom Y ekstra memiliki testoteron yang lebih besar dalam tubuhnya, sehingga mereka lebih agresif, namun hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan karena dengan menggunakan sampel yang terbatas.
Kasus anomali genetik yang lain dikenal dengan sindrom Turner. Pada kasus ini, umumnya memiliki kromosom tunggal (XO), memiliki organ kelamin eksternal perempuan, seperti vagina dan payudara, tetapi tidak memiliki indung telur, sehingga mereka yang mengalami sindrom Turner adalah perempuan yang mandul yang biasanya tidak dapat melahirkan keturunan (Parson, 1980). Ada beberapa bukti para perempuan yang mengalami sindrom Turner ini menampakkan sifat feminin, sangat pemalu, serta memiliki kemampuan dalam bidang spasial dan matematika yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa disposisi hormonal masa pranatal secara genetis dapat mempengaruhi perbedaan sifat feminin dan maskulin seseorang. Perkembangan genetis janin juga dapat dipengaruhi oleh ketidak-teraturan hormon yang dapat disebabkan oleh kerusakan kelenjar adrenal selama masa pranatal atau ibu yang mengkonsumsi suplemen hormon laki-laki ketika hamil, dan jika pengaruhnya cukup besar anak akan terlahir dengan genitalia ambigu. Dalam beberapa kasus, anak dengan genitalia ambigu terkadang tidak terdeteksi sejak kecil, dan baru tampak setelah masa puber. Contohnya kasus anak waktu kecil berkelamin perempuan, tetapi setelah puber ditemukan ada perubahan kelamin menjadi laki-laki.
Sebagaimana tersebut di atas bahwa perbedaan hormonal telah menimbulkan perkembangan organ internal dan eksternal yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan secara fisik tampak khas dan berbeda dengan laki-laki. Fisik perempuan umumnya lebih lemah, tetapi sejak bayi hingga dewasa, perempuan memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat dan cenderung memiliki umur yang lebih panjang daripada laki-laki.
Ciri fisik lain yang membedakan antara perempuan dengan lakilaki adalah fakta bahwa perempuan mengalami haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui dengan Air Susu Ibu (ASI). Meskipun demikian, tidak semua perempuan mengalami haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, hamil, melahirkan dan menyusui bukanlah tugas perempuan, melainkan potensi yang dimiliki oleh sejumlah perempuan, sementara sejumlah perempuan lain yang tidak memiliki potensi tersebut tetap dipandang sebagai perempuan yang “normal’ dalam batas tertentu, dan tetap berbeda secara fisiologis dan biologis dengan laki-laki umumnya. Memperhatikan uraian di atas jelas bahwa genetika dan hormonal masa pranatal berpengaruh terhadap manifestasi perbedaan seks perempuan dan laki-laki yang bersifat fisiologis dan biologis, dan perbedaan tersebut merupakan potensi yang diberikan Tuhan (given), sehingga Freud menyebut disposisi fisiologis dan biologis tersebutCiri fisik lain yang membedakan antara perempuan dengan lakilaki adalah fakta bahwa perempuan mengalami haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui dengan Air Susu Ibu (ASI). Meskipun demikian, tidak semua perempuan mengalami haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, hamil, melahirkan dan menyusui bukanlah tugas perempuan, melainkan potensi yang dimiliki oleh sejumlah perempuan, sementara sejumlah perempuan lain yang tidak memiliki potensi tersebut tetap dipandang sebagai perempuan yang “normal’ dalam batas tertentu, dan tetap berbeda secara fisiologis dan biologis dengan laki-laki umumnya.
Memperhatikan uraian di atas jelas bahwa genetika dan hormonal masa pranatal berpengaruh terhadap manifestasi perbedaan seks perempuan dan laki-laki yang bersifat fisiologis dan biologis, dan perbedaan tersebut merupakan potensi yang diberikan Tuhan (given), sehingga Freud menyebut disposisi fisiologis dan biologis tersebut sebagai takdir (anatomy is destiny).
Berakar dari pandangan bahwa karakteristik fisiologis antara perempuan dan laki-laki itu berbeda menimbulkan pandangan diskriminatif terhadap perempuan dalam segala segi yang sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali dengan aspek fisiologis dan biologis sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Oleh karena itu terjadilah kontroversi dalam memandang eksistensi perempuan. Para ahli terus mencari tahu dan mencari buktibukti seberapa besar disposisi fisiologis dan biologis berpengaruh terhadap perbedaan gender dalam kepribadian feminin dan maskulin. Menurut pandangan para ahli kontemporer yang telah melakukan penelitian terhadap psikologi perempuan diketahui bahwa perbedaan kepribadian perempuan dan laki-laki banyak dipengaruhi oleh ekspektasi dan sosialisasi dari orangtua daripada oleh faktor fisiologis. Faktor fisiologis dan biologis hanya mempersiapkan berlangsungnya tahapan-tahapan penting yang mempengaruhi kepribadian. Faktor biologis bukanlah penyebab semua perbedaan gender seseorang.
Citra fisik tidak meniscayakan citra non fisik antara perempuan dan lakilaki. Oleh karena itu, kita wajib menyingkirkan citra bias gender yang hanya didasarkan pada perbedaan biologis semata yang simplistik. Hendaknya manusia menerima perbedaan fisik tanpa pembedaan perlakuan. Itulah cita-cita perempuan dalam pencitraan terhadap sosoknya.