Apa yang dimaksud dengan kalus?


Zat pengatur tumbuh dari golongan auksin berperan antara lain dalam pembentukan kalus, morfogenesis akar dan tunas serta embriogenesis. Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan antara lain oleh tipe pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang dikehendaki. Biasanya struktur kalus menggambarkan daya regenerasinya membentuk tunas dan akar. Kalus yang berbentuk globular (nodul-nodul) dan berwarna bening biasanya mempunyai kemampuan lebih tinggi untuk membentuk tunas daripada kalus yang bersifat kompak dan berwarna coklat kehitaman. Dalam hal ini media yang digunakan untuk memacu regenerasi kalus akan sangat menentukan.

Ruang lingkup teknologi modern dalam budidaya tanaman menjadi semakin luas. Penerapan sistem konvensional? Mungkin akan semakin tertinggal lebih jauh dengan apa yang sedang dicapai oleh negara maju lainnya. “Tapi kita negara berkembang, terlalu sulit untuk meniru teknik budidaya yang dilakukan negara maju”. Baik, pernyataan ini merupakan hal yang bisa dilihat dari dua sisi, satu sisi memang benar jika sulit melakukan budidaya di luar lanskap lahan dan lebih mengutamakan teknik dengan bantuan laboratorium serta teknologi, bioteknologi misalnya?. Di sisi lain, tekanan populasi dunia, tekanan kebutuhan pangan dengan kualitas yang unggul, tekanan perbanyakan tanaman secara cepat, dan teknologi untuk menghasilkan tanaman yang steril menuntut pertanian untuk semakin melakukan riset dan teknologi yang efektif serta efisien untuk melakukan budidaya tanaman yang didasarkan pada peningkatan kualitas riset atau penelitian.

Sudah cukup pengantar mengenai bagaimana pentingnya teknologi dalam budidaya tanaman, pada akhirnya salah satu fokus utama adalah penelitian yang mana penelitian dilakukan secara bertahap dari lingkup kecil pada laboratorium. Berbicara mengenai laboratorium, teknik budidaya yang modern, dan bioteknologi, sudah seharusnya para peneliti maupun akademisi yang fokus studinya mengenai pertanian khususnya budidaya tidak asing dengan istilah “kalus” (penulisan dalam bahasa inggris “callus”), atau masih terlalu asing? Mungkin istilah ini masiih kalah dengan beberapa teori budidaya yang mengandalkan peran serta lahan dalam lanskap alias budidaya konvensional dengan mengandalkan penyemaian benih, pemindahan bibit, dan segala prosesnya. Sepertinya informasi terkait kalus dan keterkaitannya dengan bioteknologi hanya sekitar 5% dari total teori budidaya pertanian.

Sedikit membahas mengenai bioteknologi sebagai perantara teori sebelum masuk pada informasi tentang kalus. Bioteknologi menjadi salah satu ilmu yang terkait dengan ruang lingkup pemuliaan tanaman. Ruang lingkup ini terfokus pada penggunaan teknologi dan riset dalam pengembangan budidaya tanaman dengan memanfaatkan bagian-bagian tanaman untuk dikembangbiakan maupun dilakukan rekayasa genetika. Sudah seharusnya bidang keilmuan ini dikembangkan untuk mengatasi permasalahan semakin tingginya konversi lahan dan semakin sulitnya konservasi yang dilakukan. Dandin dan Naik (2004) dalam penelitiannya terkait dengan pengembangan tanaman Mulberry dengan peranan bioteknnologi menyatakan bioteknologi memiliki harapan besar dalam peningkatan budidaya tanaman terutama dalam penelitian konvensional yang belum mencapai hasil dan kesuksesan yang diinginkan. Lebih mengerucut lagi, bioteknologi dapat dikembangkan dalam skala in vitro dimana dalam lingkup ini regenerasi tanaman “salah satunya” ditentukan oleh perkembangan kalus.

Apa itu kalus?

Dalam bioteknologi dikenal salah satu teknik budidaya kultur dengan berbagai macam atau jenis kultur seperti kultur jaringan, kultur embrio, kultur meristem, kultur endosperm, dan kultur kalus. Jadi apa sebenarnya definisi kalus?. Ikeuchi et al. (2013) menyatakan, istilah “kalus” berasal dari kata Latin “callum” yang memiliki arti keras, dan dalam dunia kedokteran mengacu pada penebalan jaringan kulit. Intinya, kalus mengacu pada pertumbuhan dari sel dan akumulasi kalosa (callose) yang berkaitan dengan luka. Menurut Chawla (2004) dalam bukunya Introduction to Plant Biotechnology, pada dasarnya, kalus merupakan jaringan tumor yang kurang lebih tidak terorganisis, umumnya muncul pada luka jaringan dan organ yang terdiferensiasi, jadi prinsipnya adalah jaringan yang tidak teroganisir dan sedikit terdiferensiasi.
image
Gambar 1. Ilustrasi beberapa tipe kalus pada tanaman
(Sumber : Ikeuchi et al. , 2013)
Dalam skala kultur, kultur kalus bukan massa sel yang homogen karena biasanya terdiri atas dua jaringan yang terdiferensiasi (perkembangan suatu struktur organisasi makhluk hidup misalkan jaringan dan sel yang mengalami perkembangan fungsi yang lebih khusus/lebih spesifik) dan tidak terdiferensiasi. Jaringan kalus pada berbagai tanaman kemungkinan memiliki perbedaan struktur dan pertumbuhan. Perbedaan dapat berkaitan dengan perkembangan warna (bisa putih ataupun warna lain), struktur halus atau kasar, ataupun mudah tidaknya intuk terpisah menjadi sel (friable or compact). Warna kalus mengindikasikan adanya pengaruh klorofil dalam jaringan, semakin hijau warna suatu kalus, maka semakin banyak pula kandungan klorofil dalam jaringan kalus tersebut (Sholikhah, 2014).

Pembentukan Kalus secara In Vitro

Pembentukan kalus yang dilakukan secara in vitro memerlukan keterlibatan berbagai zat yang dapat menginduksi munculnya kalus pada bagian tanaman khususnya saat dilakukan kultur kalus. Namun, secara alami kalus ini dapat terbentuk ketika adanya luka pada organ tanaman. Secara in vitro, kalus dapat terbentuk pada bekas-bekas luka irisan karena sebagian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi (Fauziyyah et al., 2012). Beberapa peran dan fungsi zat seperti auksin dan sitokinin yang diaplikasikan secara eksogen dapat menginduksi kalud pada berbagai jenis tumbuhan. Berbagai tingkat rendah tingginya rasio zat auksi dan sitokinin yang digunakan dapat memberikan dampak yang berbeda seperti induksi akar maupun regenerasi pucuk. Beberapa hormon lain yang dapat berfungsi dalam pebentukan kalus secara in vitro dalam beberapa tanaman adalah brassinosteroid atau asam absisat dapat menjadi alternatif lain selain sitokinin dan auksin dalam pembentukan kalus (Ikeuchi et al. , 2013).
image
Gambar 2. Berbagai formasi kalus pada beberapa tanaman dalam in vitro
(Sumber : Ikeuchi et al. , 2013)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fauziah yang berkaitan dengan pembentukan kalus pada tanaman kedelai (Glycine max L.), peranan zat sukrosa dalam media kultur in vitro juga berfungsi dalam pembentukan kalus. Dalam bidang fisiologi dan biokimia tanaman, sukrosa berperan sebagai komponen karbohidrat yang akan digunakan dan dimanfaatkan tanaman sebagai sumber energi dalam melakukan metabolisme seperti salah satunya adalah pembelahan maupun penyusunan dinding sel dan jaringan pada organ-organ tanaman secara bertahap. Konsentrasi sukrosa yang diperlukan berbeda-beda pada beberapa penelitian dikarenakan adanya faktor perbedaan eksplan yang digunakan. Pada kultur yang dilakukan secara in vitro, penggunaan zat seperti sitokinin dapat mempengaruhi warna dari kalus. Konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat menyebabkan perombakan klorofil yang mampu mengaktifkan proses metabolisme maupun proses sintesis protein dalam tanaman, kalus dengan warna putih juga mengindikasikan jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas namun memiliki kandungan pati yang tinggi (Sholikhah, 2014). Dalam pembentukan kalus secara in vitro ini, penggunaan auksin termasuk dalam salah satu golongan dari penggunaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dengan zat yang paling sering dan umum digunakan adalah Indole Aceti Acid (AAA).

Induksi Kalus melalui Luka

Kalus dapat terjadi karena adanya luka apda jaringan tanaman secara alami atau pada saat dilakukan kultur. Induksi kalus yang disebabkan oleh luka atau irisan eksplan merupakan sebagai adanya respon terhadap hormon baik secara eksogen maupun endogen (Triana, 2015). Kalus yang diakibatkan oleh luka dapat berasal dari berbagai jenis sel termasuk sel vaskular, kortikal sel, dan inti sel yang mana dalam beberapa kasus, induksi kalus melalui luka meregenerasi organ baru atau jaringan yang baru. Beberapa aspek pembentukan kalus yang diinduksi luka didorong melalui peningkatan regulasi pensinyalan sitokinin (Ikeuchi et al. , 2013).

Tipe-Tipe Kalus

Kalus yang terbentuk dapat memiliki tipe dan sifat yang berbeda-beda. Tipe kalus menurut Sugiyono dalam penelitian Fauziyyah et al. (2012) antara lain adalah kalus embriogenik, kalus poliferatif, dan kalus senesen. Kalus embriogenik merupakan sifat dari kalus yang dapat berkembang menjadi embrio somatik setelah kalus dilakukan transfer pada medium yang sesuai, sedangkan kalus proliferatif merupakan kalus dengan memiliki kemampuan untuk terus membelah yang mana sebagian selnya bersifat embrionik (Rusdianto dan Indrianto, 2012). Untuk tipe kalus senesen merupakan kalus yang mengalami proses penuaan yang terjadi pada sel-selnya. Adanya pencoklatan (browning) seringkali menjadi ciri khas adanya pertumbuhan kalus yang terhambat yang dapat berakhir dengan kematian pertumbuhan kalus. Fauzy et al. (2016) menyatakan terjadinya pencoklatan ini kemungkinan dikarenakan adanya keterlambatan proses subkultur atau kemungkinan juga disebabkan oleh lamanya kontak kalus dengan udara luar saat akan dilakukan kultur.

Kesimpulan

Kalus erat kaitannya dengan perkembangan sistem pertanian secara modern. Bidang ilmu bioteknologi yang terfokus pada perbanyakan dan produksi tanaman secara kultur dapat menghasilkan tanaman yang lebih seragam dengan sifat yang sama dengan tetua serta lebih steril. Dalam teknik budidaya tanaman dan penelitian skala laboratorium khususnya adanya perlakuan kultur melibatkan kalus sebagai salah satu faktor yan menentukan keberhasilan suatu kultur. Kalus dapat muncul atau tumbuh secara in vitro menggunakan berbagai zat maupun tumbuh pada luka yanga da pada bagian tanaman. Keterkaitan kalus dengan perkembangan bidang ilmu pertanian secara modern menjadikan hal ini salah satu aspek penting yang harus diketahui tentang bagaimana sifat kalus dalam berbagai tanaman dan perlakuan yang berperan dalam pembentukannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chawla, H. S. 2004. Introduction to Plant Biotechnology (second edition). Enfield : Science Publishers Inc.

Dandin, S. B., V. G. Naik. 2004. Biotechnology in Mulberry ( Morus spp.) Crop Improvement : Research Direction and Priorities. New Delhi : Kluwer Academy Publishers.

Fauziyyah, D., T. Handayani., Kamsinah. 2012. Upaya Memacu Pembentukan Kalus Eksplan Embrio Kedelai ( Glycine max (L.) Merril) dengan Pemberian Kombinasi 2.4-D dan Sukrosa Secara Kultur In Vitro. J. Pembangunan Pedesaa. Vol 12(1) : 30-37.

Fauzy, E., Mansyur., A. Husni. 2016. Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog (MS) dan Vitamin terhadap Tekstur, Warna dan Berat Kalus Rumput Gajah ( Pennisetum purpureum ) CV. Hawaii Pasca Radiasi Sinar Gamma Pada Dosis LD50 (In Vitro). Students e-Journals. 5(4) : 1-22.

Ikeuchi, M., K. Sugimoto., A. Iwase. 2013. Plant Callus : Mechanisms of Induction and Repression. J. of The Plant Cell. Vol 25 : 3159 – 3173.

Rusdianto., A. Indrianto. 2012. Induksi Kalus Embriogenik pada Wortel (Daucus Carota L.) Menggunakan 2,4 – Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D). J. Bionature. 13(2) : 136-140.

Sholikhah, L. L. 2014. Pengaruh Fe2+ pada Media MS Dengan Penambahan 2,4-D yang Dikombinasikan dengan Air Kelapa terhadap Perkembangan dan Kandungan Metabolit Sekunder Asiatikosida dan Madekasosida Kalus Pegagan ( Centella asiatica L.Urban). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Triana, F. 2015. Induksi Kalus pada Eksplan Daun Tanaman Binahong ( Anredera Cordifolia ) Secara In Vitro dengan Konsentrasi 2,4-D dan BAP yang Berbeda. Artikel Publikasi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.