Apa yang Dimaksud dengan Kajian Budaya dan Media?

image
“Cultural Studies” atau kajian budaya merupakan bidang yang majemuk dengan perspektif dan produksi teori yang kaya dan beraneka ragam.

Apa yang dimaksud dengan kajian budaya dan media?

Dalam ranah keilmuan para pengkaji budaya meyakini bahwa tidaklah mudah untuk menentukan batas-batas dan wilayahwilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif, terlebih ditengah perkembangan globalisasi diberbagai bidang dimana batasan-batasan kultural, politik, dan ekonomi semakin kabur, selain juga karena wilayah kajian budaya bersifat multidisipliner/interdisipliner atau pascadisipliner sehingga mengaburkan batas-batas antara kajian budaya dengan subyek-subyek lain. Suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dipergunakan dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender, dan ras, dengan demikian Cultural Studies adalah suatu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memadang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik.

Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa, dan untuk tujuan apa? Maka merupakan pekerjaan rumit dan butuh keseriusan yang mendalam untuk dapat menguraikan kajian budaya secara komprehensif, apalagi menentukan wilayah pokok penyelidikan intelektual dan argumenargumen utamanya. Permasalahan inilah yang coba dipaparkan dan dijawab oleh Chris Barker, ia ingin menguraikan secara komprehensif tentang kajian budaya, termasuk ringkasan dan pembahasan mengenai argumen-argumen utama dan wilayah-wilayah pokok penyelidikan intelektualnya.

Bagi Barker menguraikan kajian budaya secara komprehensif berarti melakukan kontruksi terhadap kajian budaya. Melakukan konstruksi dalam hal ini dimaknai dengan mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teks-teks tentang kajian budaya maupun teori-teori yang layak disebut sebagai kajian budaya atau yang mempengaruhi kajian budaya. Dalam menguraikan dan membahas kajian budaya Barker menggunakan versi yang benar-benar berbeda dibanding dengan para pengkaji budaya lainnya. Ia lebih memusatkan diri pada teori-teori pascastrukturalisme terutama tentang bahasa, representasi, makna, dan subyektivitas. Tidak seperti kajian budaya versi lainnya yang lebih banyak berkutat pada wilayah etnografi, peristiwa-peristiwa hidup, atau kebijakan budaya. Barker menggunakan tiga kategori untuk menguraikan kajian budaya versinya yaitu menentukan dan mengkaji dasar-dasar kajian budaya, perubahan konteks kajian budaya, dan situs-situs kajian budaya. Menurut Barker melakukan Kajian Budaya berarti mengkaji kebudayaan sebagai “praktik-praktik pemaknaan” dalam konteks kekuasaan sosial, dengan mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan dalam kebudayaan? yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak maknamakna apa saja yang didistribusikan? oleh siapa? untuk siapa? dengan tujuan apa? dan atas kepentingan apa?.

Sementara dalam ranah praktiknya kajian budaya berpusat pada tiga pendekatan:

  1. Pertama: Etnografi, yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan kulturalis dan penekanan pada “pengalaman hidup sehari-hari.”
  2. Kedua: pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika, pasca strukturalisme, dan dekonstruksi derridean.
  3. Ketiga: kajian resepsi, yang akar teoritisnya bersifat eklektik.

Etnografi merupakan pendektan empiris dan teoritis yang diwarisi dari antropologi yang berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan atas kerja lapangan secara intensif.

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir. Cultural Studies etnografis terpusat pada eksploitasi kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks cara hidup, yaitu pertanyaan tentang kebudayaan, dunia-kehidupan, dan identitas.

Pendekatan tekstual, menggunakan tiga cara analisis yaitu : semiotika, teori narasi, dekonstruksionisme. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks didapat melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya, analisis tersebut banyak mengambil ide dari ideologi, atau mitos teks. Narasi adalah penjelasan yang tertata urut yang mengklaim sebagai rekaman peristiwa. Narasi merupakan bentuk terstruktur dimana kisah mengungkapkan penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Dekonstruksionisme diasosiasikan sebagai pelucutan yang dilakukan Derrida atas oposisi biner dalam filsafat barat, mendekonstruksi berarti ambil bagian, membongkar kembali, demi menemukan dan menampilkan asumsi suatu teks. Tujuan dekonstruksi bukan hanya membalik urutan oposisi biner tersebut, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka saling berimplikasi, saling berhubungan satu sama lain. Dekonstruksi berusaha menampakkan titik-titik kosong teks, asumsi yang tak dikenal yang melandasi gerakan sistem kerja mereka. Kajian resepsi /kajian konsumsi, menyatakan bahwa apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan didapat oleh pembaca / audien / konsumen, dimana audien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks.

Menurut Barke, r kajian budaya memberi perhatian khusus terhadap budaya, dimana budaya sangatlah erat kaitannya dengan makna-makna sosial yang dimunculkan lewat tanda yang disebut “bahasa”. Bahasa berperan memberi makna pada objek-objek material dan praktik sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya bahasa, dan proses produksi makna ini kemudian disebut dengan “praktik-praktik pemaknaan”. Sementara dalam representasi, kajian budaya berhadapan dengan pertanyaan mengenai bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial.

Untuk mengetahui secara teoritis bagaimana hubungan antar komponen dalam sebuah formasi sosial kajian budaya menggunakan konsep artikulasi. Dimana kekuasaan menjadi alat yang menentukan tingkat sebuah hubungan sosial. Teks dan pembaca dalam kajian budaya tidak hanya dimaknai sebatas teks-teks tertulis, walaupun ini juga bagian kajian budaya namun pada seluruh praktik pemaknaan yang disebut dengan teks-teks kultural seperti citra, bunyi, benda, aktivitas, dan sebagainya karena hal itu dianggap juga mengandung sistem-sistem yang sama dengan mekanisme bahasa.

Selain itu identitas juga menjadi konsep kunci dalam kajian budaya, dengan identitas kajian budaya berusaha mengeksplorasi diri kita kini, bagaimana diproduksi sebagai subjek, bagaimana subyek tersebut diidentifikasi dengan melakukan penilaian baik bersifat fisik maupun lainnya seperti melalui gender, ras, usia, mapun warna kulit. Serta masih banyak konsep-konsep teoritis lainnya seperti permainan bahasa, politik, posisionalitas, formasi sosial dan sebagainya yang semua itu digunakan dalam kajian budaya untuk menjelajahi dan mengintervensi dunia sosial. Ide-ide yang bersifat filosofis juga menjadi sorotan Barker dalam kajian budaya, dalam ranah Marxisme misalnya kajian budaya telah tertarik dan belajar banyak dari isu-isu tentang struktur, praksis, determinisme, ekonomi, dan ideologinya. Dimana kajian budaya memiliki kesamaan dengan marxisme dalam hal semangat melakukan perubahan dengan kendaraan manusia lewat teori dan aksi.

Kajian budaya juga mengambil pelajaran dari kapitalisme pada keberhasilan kapitalisme, transformasi, dan ekspansinya yang diraih atas kemenangannya dalam pertarungan kesadaran dalam ranah kebudayaan. Sementara strukturalisme dan kulturalisme dipakai dalam kajian budaya untuk meneropong pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya, ideologi, dan hegemoni. Pada Pasca strukturalisme kajian budaya menganut idenya mengenai makna yang bersifat labil selalu berproses, bersifat intertekstualitas, tidak terbatas pada makna atau teks tertentu. Dan menentang adanya struktur dalam membentuk sebuah makna sebagaimana diyakini kaum strukturalisme. Selain ide-ide filosofis itu Barker juga memaparkan adanya perubahan dan perkembangan konteks dalam kajian budaya, terutama perkembangan pandangan manusia, masyarakat dan dunia sosial dari dunia moderen menuju postmoderen. Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa Barker berusaha memaparkan konsep-konsep kunci dan teori-teori dalam kajian budaya secara tuntas menuju kajian budaya yang lebih komprehensif.

Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat.

‘Tugas’ cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.

Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya televisi – namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran, majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal kaitan antararepresentasi dan media yang digunakan.