Apa yang dimaksud dengan Jual beli Istishna'?

Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’).

Apa yang dimaksud dengan Jual beli Istishna’?

Istishna‟ secara bahasa berasal dari kata )صنع (yang mempunyai arti membuat sesuatu dar baha dasar. Kata يصنع – صنع mendapat imbuhan hamzah dan ta‟ (ت-ء (sehingga menjadi kata (-استصنع يستصنع .(Istishna‟ berarti meminta atau memohon dibuatkan.

Ibnu „abidin menjelaskan istishna‟ secara bahasa yaitu meminta dibuatkan suatu barang yaitu meminta seorang pengrajin untuk membuat suatu barang. Secara lesikal dikatakan bahwa „al-sana‟ah berati kerajinan tulisan seorang pengrajin dan pekerjaannya adalah seorang pengrajin. Lafaz „san‟ah‟ berarti pekerjaan seseorang pembuat barang atau kerajinan.

Secara istilah atau Secara terminology, istishna‟ yaitu sebagai berikut:

  1. Menurut Fatwa DSN MUI istishna‟ adalah akad jual beli dengan bentuyk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni‟) dan penjual (pembuat/shani‟)

  2. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah istishna‟ adalah akad pembiayaan barang barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pemesan/ pembeli (mustashi‟) dan penjual/ pembuat (shani‟)

  3. Menurut UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, istishna‟ adalah akad jual beli aset berupa objek penjualan antara para pohak dimana spesifikasi, cara dan ;jangka waktu penyerahan serta harga aset ditentukan berdasarkan kesepkatan para pihak

  4. Menurut kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Istishna‟ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antarav pihak pemesan dengan pihak penjual.

Jadi dalam suatu akad istishna, barang yang menjadi objek adalah barang-barang buatan atau hasil karya. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat hasil karya tersebut adalah berasal dari yang membuatnya, apabila barang tersebut dari orang yang memesan atau yang meminta dibuatkan, maka akad tersebut disebut akad ijaroh bukan akad istishna;. Akad Istishna‟ bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari penerima pesanan.

Dalam hal ini, pemesan adalah sebagai konsumen atau pembeli sedangkan penerima pesanan adalah sebagai penjual. Pada dasarnya, akad istishna‟ sama dengan akad salam, dimana barang yang menjadi objek akad belum ada. Hanya saja dalam akad istishna‟ tidak disyaratkan modal atau uang muka kepada penerima pesanan atau penjual. Selain itu, dalam akad istishna‟ tidak ditentukan masa penyerahan barang.

Dasar Hukum Istishna’

Dasar Hukum yang menjadi pertimbangan bolehnya akad istishna‟ adalah sebagai berikut:

  1. Firman Allah SWT yang terdapat pada surat Al baqarah ayat 275
    Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)

  2. Hadits Nabi SAW yang artinya ” Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

  3. Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi yang berbunyi: “perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari „Amr bin „Auf)

  4. Hadits Nabi yang berbunyi: “tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa‟id Al-Khudri)

  5. Kaidah Fiqh yaitu: “ pada dasarnya, semua bentuk muamallah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” Menurut madzhab Hanafi, istishna‟ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan masyarakat Muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Imam Malik, Imam syafi‟i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa istishna‟ diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.

Rukun dan ketentuan Istisna’

Rukun istishna‟ ada tiga yaitu:

  1. Transaktor (pembeli dan penjual)
    Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni’ (المستصنع (sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang menerima pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani’ (الصانع). Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih dan sedang tidak dalam kondisi tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan harga. Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna‟ dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna‟. Akan tetapi, apabila ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

  2. Objek/ Barang (mashnu‟)
    Barang yang diakadkan atau disebut dengan mashnu‟ adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi. Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
    Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :

a) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b) Penyerahannya dilakukan kemudian.
c) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
d) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f) Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
g) Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan.

  1. Pernyataan kesepakatan (shighat ijab kabul)
    Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu. Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna‟ dan pihak lain untuk membeli barang istishna‟.

Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi :

  1. Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
  2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

Sedangkan ketentuan dari istishna‟ itu sendiri Kalangan hanafiyah mensyaratkan tiga hal yang berkaitan dengan syarat istishna‟ agar akadnya sah. Tiga syarat ini apabila salah satunya tidak terpenuhi maka akad istisna‟ dianggap rusak atau batal. Tiga syarat itu yaitu:

  1. Barang yang menjadi objek istishna‟ harus jelas, baik jenis, macam, kadar maupun sifatnya. Dan apabila salah satu unsur tersebut tidak jelas, maka akad istishna‟ menjadi rusak. Karena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan barang, harus dijelaskan spesifikasinya yaitu meliputi: bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat, kualitas serta hal-hal yang berkaitan dengan barang yang menjadi objek akad. jangan sampai ada hal-hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan diantara pihak yang bertransaksi

  2. Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan pada masyarakat seperti: pakaian, perabot rumah tangga, furniture dll.

  3. Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan maka akan dikategorikan sebagai akad salam, bukan akad istishna‟.

Berakhirnya Jual beli Istishna’

Kontrak istishna‟ berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:

  1. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak,
  2. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
  3. Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.