Apa yang dimaksud dengan Jin?

Jin

Jin (Janna) secara harfiah berarti sesuatu yang berkonotasi “tersembunyi” atau “tidak terlihat”. Bangsa Jin dahulu dikatakan dapat menduduki beberapa tempat dilangit dan mendengarkan berita-berita dari Allah, setelah diutusnya seorang nabi yang bernama Muhammad maka mereka tidak lagi bisa mendengarkannya karena ada barisan yang menjaga rahasia itu.

Apa yang dimaksud dengan Jin ?

Kata jin berasal dari kata kerja janna yang artinya menjadi gelap, menutupi, atau bersembunyi. Oleh karena itu bayi yang dikandung dalam perut ibu disebut janin, karena tertutup dari pandangan manusia.

Jin berarti mahluk gaib yang diciptakan oleh Allah sebelum Nabi Adam as.

Firman Allah swt. dalam Q.S. al- Hijr ayat 27:14

Dan Kami telah menciptakan jin sebelum Adam dari api yang sangat panas.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa jin itu diciptakan dari api. Makna nar as-samum adalah angin panas pada siang dan malam hari yang mengandung api yang sangat panas. Api tersebut berasal dari neraka jahannam. Atau dinamakan as-samum karena angin tersebut sangat halus sehingga bisa menembus ke dalam pori-pori melalui celah-celah pembuluh darah tubuh manusia. Sementara Ibnu Mas`ud berpendapat bahwa as-samum merupakan satu bagian dari tujuh puluh macam angina panas, as-samum merupakan materi asal penciptaan jin oleh Allah swt.

Dalam pembahasan jin, para ulama terbagi menjadi dua pendapat.

  • Pertama, bahwa sesungguhnya jin dan setan itu asalnya satu. Keduanya merupakan anak-anak iblis sebagaimana manusia semuanya merupakan anak-anak Adam. Di antara mereka ada yang mukmin dan ada juga yang kafir. Yang mukmin adalah jin yang taat kepada Allah sedangkan yang kafir adalah jin yang menentang perintah Allah dan selalu berbuat maksiat yang disebut dengan setan. Yang berpendapat demikian adalah Imam Hasan al-Bashri.

  • Kedua, Jin adalah anak keturunan jin juga. Mereka bukanlah setan. Di antara mereka ada yang mukmin dan ada pula yang kafir. Mereka makan, minum, menikah dan mati. Adapun setan, mereka adalah anak-anak iblis dan tidak mati kecuali bersamaan dengan matinya iblis pada hari kiamat, asal jin itu berbeda dengan asal setan. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah, setan adalah manusia dan jin yang durhaka, dan semua jin adalah anak-anak iblis.

Perbedaan tersebut bukanlah hal yang mendasar, karena sesungguhnya ada benang merah yang sama di antara perbedaan tersebut, yaitu bahwa jin yang beriman adalah jin mukmin, sedangkan jin yang kafir itulah yang disebut dengan setan.

Allah menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada-Nya. Jadi jelas jin yang berarti mahluk gaib yang berada di luar diri manusia bukanlah jin yang pekerjaanya menggoda dan menyesatkan manusia, tapi jin yang mempunyai tanggung jawab yang sama dengan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jin ini takut dengan manusia. Dia tidak dapat mendatangkan manfaat dan juga tidak bisa membuat madharat bagi manusia.

Kalau kita berasumsi bahwa jin yang berada di luar diri manusia semua adalah setan, maka sudah pasti manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa karena jumlah jin yang ada di luar diri manusia itu sangat banyak lebih banyak dari jumlah manusia. Maka tidak mungkin jin yang ada di luar diri manusia itu yang disebut sebagai setan semua yang menjadi musuh manusia. Jin yang menjadi musuh manusia adalah jin yang kafir yang selalu menggoda manusia untuk berbuat maksiat kepada Allah swt. jadi jin yang muslim adalah jin yang mendengar seruan dari Nabi Muhammad untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt.

Jin juga sebagaimana manusia, ia memerlukan makanan dan juga tempat tinggal, karena ia adalah makhluk Allah. Makanan bagi jin adalah tulang. Hal ini dijelaskan dalam suatu riwayat, bahwa para jin bertanya kepada Rasulullah tentang makanan bagi mereka dan bagi ternak mereka, maka Rasulullah membekali mereka dengan tulang yang disebut nama Allah atasnya, dan menjadikan kotoran onta sebagai makanan bagi ternak mereka. Oleh karena itu kita dilarang untuk beristinjak dengan tulang dan kotoran onta, karena tulang adalah makanan bagi jin dan kotoran onta adalah makanan binatang mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Aku mengikuti Nabi saw. lalu Rasul keluar untuk buang hajat, Rasul tidak menoleh sedangkan aku berada di dekatnya. Kemudian Rasul bersabda: “Tolong carikan batu untukku buat beristinjak dan jangan lah engkau berikan padaku tulang atau kotoran binatang.

Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa telah datang utusan jin kepada Rasulullah saw. kemudian mereka berkata:

“Hai Muhammad, laranglah umatmu dari beristinjak dengan tulang atau kotoran, atau hamamah (adalah kayu atau sebangsa kayu yang dibakar) , karena sesungguhnya Allah telah menjadikan rizki bagi kami darinya.”

Imam Muslim ra. meriwayatkan di dalam Kitab Shahihnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Bagi kalian (jin) adalah tulang yang disebut nama Allah padanya yang jatuh ke tanganmu, dan setiap kotoran untuk binatangmu. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Maka janganlah kalian beristinjak dengan kedua benda itu, karena keduanya merupakan makanan saudara kamu dari bangsa jin.”

Sedangkan tempat tinggal jin itu sama dengan manusia, yaitu di muka bumi ini, namun jin yang jahat yang disebut sebagai setan itu banyak terdapat di tempat-tempat yang rusak, di padang sahara, di tempat-tempat najis seperti kamar mandi, wc, comberan tempat- tempat pembuangan sampah dan di tempat-tempat keramaian seperti pasar.

Jin kafir, yang berarti setan atau iblis, ifrit dan marid.

Jenis yang pertama setan atau iblis dari bangsa jin adalah jin kafir yang selalu menggoda manusia, mendorong manusia untuk melakukan perbuatan tercela yang dapat merendahkan martabat manusia di sisi Allah swt. dan ia berada dalam diri manusia. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam Q.S. al-A’raf: 20-21:

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan Setan berkata, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)”. Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua”.

Juga dalam Q.S. Taha: 120 yang artinya:

“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata, “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohoh khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?”.

Setan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah iblis. Sedangkan iblis itu dari golongan jin. Jin tersebut berbisik-bisik tentang kejahatan di hati setiap manusia, termasuk Nabi Adam. Bahkan Rasulullah saw. menegaskan bahwa tiada kelahiran manusia tanpa disertai jin. Dan unsur jin tersebut berada di dalam tubuh manusia dan bergerak mengikuti aliran darah. Inilah jin yang bermakna setan. Karena ia selalu mendorong manusia untuk berbuat kejahatan.

Bagian kedua dari bangsa jin yang kafir adalah ifrit. Kata ifrit mempunyai arti tercela, menjijikkan dan membuat makar. Begitu pula dengan jin ifrit adalah jin pembuat makar, penipu, sangat tercela dan memiliki sifat licik yang dominan. Mengenai jin ifrit ini telah disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 38-39.

Jenis yang ketiga dari golongan jin kafir adalah marid. Kata marid berarti sangat sombong dan bertindak sewenang-wenang. Kelompok marid ini umumnya tinggal di padang sahara dan gunung- gunung. Mereka suka mempermainkan orang-orang yang melalui tempat tersebut.

Jin mempunyai pengertian orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Hal ini disebutkan dalam Q.S. al-Ah}qāf ayat 29-30 yang artinya:

“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan bacaan al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri pembacaannya, mereka berkata, “Diamlah kamu! (untuk mendengarkannya)”. Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran, dan kepada jalan yang lurus.”.

Demikian juga dalam Q.S. al-Jinn ayat 1-3:

“Katakanlah (Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan bacaan,” lalu mereka berkata, “Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al-Qur’an). Yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Tuhan kami. Dan sesungguhnya Mahatinggi keagungan Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak beranak.”.

Sebutan serombongan jin pada surat al-Ahqāf sebenarnya ditujukan kepada para pemimpin kabilah Yahudi dari Nashibin dan dari Harran yang berjumlah tujuh orang. Ada juga yang mengatakan kabilah Yahudi dari Maushal atau Ninewe yang ada di negeri Iraq berjumlah dua belas ribu orang. Yang pasti serombongan jin yang dimaksud bukan jin yang berwujud mahluk halus atau setan yang berada di luar diri manusia. Tetapi sebutan tersebut adalah sebutan yang ditujukan untuk para pemimpin kabilah Yahudi.

Oleh karena itu pada ayat ke-30 dari surat al-Ahqāf dinyatakan bahwa setelah mereka selesai mendengarkan bacaan al-Qur’an, mereka kembali dan menceritakan kepada kaumnya bahwa al-Qur’an itu merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah setelah Nabi Musa. Dan al-Qur’an juga disebutnya sebagai kitab yang mengonfirmasi dan menggarisbawahi kitab yang telah diwahyukan kepada Nabi Musa. Kenapa kitab Nabi Musa yang disebut-sebut bukan Nabi Isa? Karena mereka adalah kaum Yahudi yang masih berpegang kepada kitabnya Nabi Musa yaitu kitab Taurat.

Sedangkan yang dikisahkan dalam surat al-Jinn adalah para pemimpin kabilah yang beragama Nasrani. Mereka datang kepada Nabi Muhammad pada waktu malam hari dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari pencegatan dan penangkapan oleh orang-orang Quraisy. Dugaan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani ini diperkuat oleh ayat ke-3 dari surat al-Jinn yang menyebutkan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak beristri dan juga tidak beranak. Sebuah keyakinan yang dimiliki oleh orang-orang Nasrani yang mempunyai konsep trinitas. Dan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik Mekah yang menganggap bahwa malaikat itu adalah anak-anak Tuhan.

Namun pendapat ini dianggap tidak mempunyai landasan yang kuat. Karena tidak ada ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dapat dijadikan landasan terhadap penafsiran tersebut. Sebaliknya, banyak penafsiran yang menyatakan bahwa makna jin dalam surat al-Ahqaf dan juga dalam surat al-Jinn adalah benar-benar mengandung pengertian bangsa jin yang merupakan mahluk gaib yang hidup dalam dimensi yang berbeda dengan manusia. Mereka benar benar mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi Muhammad, dan mereka takjub sehingga mereka menyatakan memeluk agama Islam dan akan mengabarkan al-Qur’an tersebut kepada komunitasnya agar mereka beriman kepada Allah swt.

Ibnu Abdilbarr berkata: tidak ada perbedaan pendapat dikalangan mufassir tentang diutusnya Nabi Muhammad untuk memberikan kabar gembira dan juga peringatan kepada manusia dan juga jin. Hal itu merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi yang lain. Bahkan menurut al-Waqidy, bahwa Rasulullah saw. didatangi oleh segolongan jin itu pada bulan Rabi`ul Awwal yaitu pada tahun ke-11 dari kenabian.

Jin berarti orang yang mempunyai banyak ilmu atau mempuni dalam penguasaan terhadap ilmu dan teknologi (IPTEK).

Sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. ar-Rahman ayat 33 yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu ayat yang berkaitan dengan tantangan Allah kepada manusia dan jin untuk melintasi penjuru langit dan bumi (membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar). Hal itu tidak bisa ditempuh kecuali dengan ilmu pengetahuan.

Jin dalam konteks ini bukanlah jin yang berupa mahluk halus atau setan yang berada di luar diri manusia, tapi mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Oleh karena makna jin dalam Q.S. ar-Rahman ayat 33 ini bisa berarti genius (orang yang pandai), karena tidak mungkin Allah mengeluarkan tantangan kepada mahluk yang tidak mempunyai potensi dalam ilmu pengetahuan. Kalau jin di sini diartikan sebagai mahluk halus, bagaimana mungkin ia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang sifatnya adalah knowledge yang melahirkan industri material.

Allah juga memberikan tantangannya kepada jin untuk membuat surat yang sebanding dengan surat yang ada dalam al- Qur’an. Yaitu pada Q.S. al-Isra` ayat 88.36 Allah berfirman yang artinya:

“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”

Ayat tersebut menyatakan bahwa jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat ayat atau surat yang sebanding dengan al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan dapat membuatnya, sekalipun mereka saling membantu. Tidak mungkin yang dimaksud jin di sini adalah mahluk halus karena ia tidak tahu menahu tentang ilmu sastra. Pada hal al-Qur’an itu lebih dari sekedar sastra.

Dalam sejarah, pada masa pra Islam (sebelum Islam lahir) yaitu pada masa jahiliyah masyarakat Arab sangatlah terkenal dengan kebanggaannya terhadap karya-karya sastra. Para ahli sastra adalah orang-orang yang sangat dibanggakan oleh kaumnya. Oleh karena itu Allah menurunkan al-Qur’an sebagai mu`jizat bagi Nabi Muhammad yang mempunyai nilai sastra yang sangat tinggi, jauh melampaui karya-karya sastra pada saat itu. Oleh karena itu jika al-Qur’an memerintahkan orang untuk membuat ayat atau surat yang sebanding dengan al-Qur’an, tentu yang diperintah itu adalah para sastrawan Arab. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan jin dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang memiliki berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk pengetahuan tentang sastra Arab.

Makna jin yang berarti orang yang memiliki pengetahuan ini diperjelas dalam 3 ayat lain yang mengandung pengertian yang sama, yaitu surat al-Baqarah ayat 23, tidak dengan menggunakan kata jin tetapi menggunakan kata Syuhadā`: )… yang artinya: … Dan ajaklah penolong-penolongmu ….

Kemudian dalam surat Yunus ayat 38, dengan menggunakan kata man: yang artinya: … Dan ajaklah siapa saja diantara kamu orang yang mampu (membuatnya) ….

Dalam surat Hud ayat 13 menggunakan kata man sama dengan kata yang terdapat dalam surat Yunus ayat 38.

Dalam surat al-Baqarah ayat 23 kata syuhadā` diartikan dengan penolong-penolong, mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan khususnya di bidang sastra. Bukan hanya sebatas paham terhadap sastra Arab, tapi juga memahami karakter dan budaya orang Arab. Namun pengetahuan tentang sastra mereka tidak mampu untuk menandingi al-Qur’an yang sangat indah uslubnya, sangat fasih dan baligh perkataannya. Karena al-Qur’an adalah wahyu dari Allah yang tidak akan mampu ditandingi oleh manusia.

Makna jin yang berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan ini dipandang sangat lemah bahkan sangat tidak mendasar karena tidak didasari dengan argumentasi yang jelas sumbernya. Yang tepat adalah bahwa tantangan Allah itu dialamatkan untuk orang-orang kafir yang mengingkari ayat-ayat Allah dan Allah memerintahkan mereka untuk mencari atau mengajak orang-orang, baik dari golongan manusia ataupun jin. Ini mengandung makna sebagai ketidakmampuan manusia menandingi ayat-ayat Allah tersebut.

Adapun ayat 33 surat Ar-Rahman yang dijadikan landasan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sebagian cendekiawan, sesungguhnya tidaklah membicarakan persoalan luar angkasa. Tapi ayat ini membicarakan keadaan di akhirat kelak, yang menyampaikan tantangan Allah kepada manusia dan jin. Ayat tersebut berarti: menunjukkan ketidakmampuan kedua golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Yaitu ketidak mampuan manusia dan jin keluar dari langit dan bumi untuk menghindar dan melarikan diri dari hisab dan perhitungan Allah swt.

Al-Qur’an akan bisa dipahami secara komprehensif, ketika menggunakan pemahaman yang seimbang dan proporsional antara tekstual dan kontekstual. Termasuk dalam memahami tentang makna setan dalam al-Qur’an. Bahwa keberadaan jin, setan, dan iblis itu ada disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits adalah suatu kebenaran yang harus diyakini. Tapi bagaimana kita memahaminya, maka perlu melakukan kajian mendalam tentang hal itu dari berbagai sumber, mengingat bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah teks yang hidup.

Hal ini perlu mendapatkan perhatian, mengingat ada sebagian golongan yang mengingkari keberadaan jin, di sisi lain banyak yang menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan jin dengan penafsirannya yang justru mengarah kepada dekadensi teologis. Yaitu penafsiran yang melahirkan suatu keyakinan yang menyesatkan. Seperti meyakini bahwa jin adalah sosok mahluk halus yang memiliki kekuatan yang luar biasa dan selalu memusuhi manusia. Banyak masyarakat di sekitar kita meyakini itu. Sehingga ada yang dihantui rasa takut, ada pula yang meminta pertolongan jin dan sebagainya. Padahal keyakinan tersebut tidak benar.

Referensi
  • Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mujam al-Mufahros li Alfāz|i al-Qurān al-Karīm, cet. 2 (Lebanon: Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H)
  • Al-Qurt}ubi, al-Jāmi` li Ahkām al-Qur’ān, cet. 2, Juz. 19 (Beirut: Dār Al- Kutub Al-Arabi, 1967).
  • Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatāwā Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyyah, Juz. 15 (Kairo: An-Nahdhah al-Hadātsah, 1404 H).
  • Jalāluddīn As-Suyūti, Laqtu al-Marjān fī Ahkām al-Jān.
  • Abdul Azīz Muhammad Faishal, Al-Adab al-Araby wa Tārikhīhi, (Saudi Arabia: Jamiah al-Imām Muhammad Ibn Suūd al-Islāmiyyah, 1402 H).
  • 32 Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsīr Rūh al-Bayān, cet. 1 (Beirut: Dār al- Kutub al-Ilmiyyah, 1985).

Kata jin secara bahasa adalah nama jenis kelompok, kata tunggalnya artinya menutup diri dan bersembunyi. Mereka dinamakan demikian karena menutup diri dan tersembunyi dari pandangan mata manusia sehingga tidak terlihat.

Secara istilah, jin adalah jenis ruh yang berakal dan memiliki keinginan, yang diberikan beban (taklif) sama seperti manusia. Mereka tidak bersifat materi, tertutup dari panca indera, tidak terlihat dalam tabi’at dan rupa asli mereka. Mereka makan, minum, menikah, dan memiliki keturunan. Amal-amal mereka kelak di akhirat juga akan dihisab.

Dari Ibnu Abbas, dia berkata,

“Jin merupakan penghuni bumi dan malaikat penghuni langit. Merekalah yang memakmurkannya. Di setiap langit ada para malaikat yang mendirikan shalat, bertasbih dan berdoa. Para malaikat di setiap tingktan langit yang lebih tinggi memiliki ibadah, tasbih, dan doa yang lebih banyak dari pada tingkatan di bawahnya. Jadi, para malaikat merupakan penghuni langit dan jin penghuni bumi.”

Jin adalah makhluk ciptaan Allah swt yang hidup di alam ghaib. Mereka diciptakan dari api, yang penciptaannya lebih dulu dari pada penciptaan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah swt :

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (adam) dari api yang sangat panas." (Q.S; Al Hijr : 26-27).

Mereka (seperti manusia) diberikan ditaklif (beban) untuk beribadah kepada Allah swt dan ditujukan kepada mereka pula perintah dan larangan-Nya. Di antara mereka ada yang beriman dan ada pula yang kafir, sebagaimana pula di antara mereka ada yang ta’at dan ada pula yang bermaksiat.

Allah swt juga berfirman :

"Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda." (Q.S; Al Jin : 11).

Yakni kami (jin) berkelompok-kelompok dan bersekte-sekte yang banyak, sebagaimana yang terjadi pada manusia. Dan jin yang kafir akan masuk ke dalam neraka sesuai dengan ijma’ (konsensus) para ulama’. Demikian pula jin yang beragama Islam, maka mereka akan masuk ke dalam surga.

Allah swt berfirman :

" Dan bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua surga. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?. " (Q.S; Ar Rahman : 46-47).

Kedzaliman merupkan hal yang haram yang bisa terjadi di antara sesama mereka (jin), sebagaimana pula terjadi di antara sesama manusia .sebagaimana firman Allah swt dalam hadits Qudsi :

" Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan dzalim atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, (oleh karena itu) janganlah kalian saling berbuat dzalim." (H.R; Muslim).

Meskipun demikian terkadang mereka (jin) berbuat jahat (dzalim) kepada manusia, sebagaimana pula manusia terkadang berbuat jahat (dzalim) kepada mereka.

Di antara bentuk kejahatan manusia terhadap jin adalah istijmarnya (bebersih dari buang hajat besar atau kecil) dengan menggunakan tulang atau kotoran hewan.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud , bahwasanya jin pernah dating dan meminta kepada Rasulullah bekal (makanan), lalu Rasulullah bersabda :

"Bagi kalian setiap tulang yang (ketika penyembelihannya) disebut nama Allah, apa yang ada pada tangan kalian itu lebih lengkap dari pada daging, dan juga bagi kalian setiap kotoran hewan." (H.R; Muslim).

Juga sabda Rasulullah saw:

“Jangan kalian beristinja (bebersih dari buang hajat besar maupun kecil) dengan kedua hal di atas (tulang dan kotoran hewan), karena keduanya itu adalah makanan saudara kalian (jin)."

Di antara bentuk kejahatan jin terhadap manusia adalah :

  • Selalu menjatuhkan keragu-raguan di hati manusia.

  • Menakut-nakuti manusia, dan menjatuhkan di hati manusia perasaan takut, khususnya ketika manusia berlindung diri (meminta pertolongan) kepada mereka. Allah swt berfirman :

    Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. " (Q.S; Al Jin : 6).

  • Membuat manusia kesurupan (kesurupan jin). Dan kesurupan ini terbagi menjadi dua. Pertama : kesurupan jin dan kedua : kesurupan karena penyakit di anggota tubuh.

Dari segi etimologi, kata al-jin merupakan lawan kata dari al-ins (manusia). Jika dikatakan anastu asy-syai’a itu berarti saya melihat sesuatu. Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Qashash/28: 29

Artinya: Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan Dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: "Tunggulah (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan".

Dalam ayat itu disebutkan kata anastu naran yang diartikan dengan aku melihat api. Berbeda dengan al-ins, dalam kosa kata bahasa Arab, sesuatu yang terdiri dari huruf jim dan nun dengan berbagai bentukannya, memiliki makna benda atau makhluk yang tersembunyi. Al-Janin, disebut demikian karena ketersembunyiannya dalam perut seorang ibu, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Najm/53: 32

Artinya: (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu…

Demikian juga kata junnat al-layl, artinya ketersembunyian oleh kegelapan malam dan tertutup tabir hitamnya, seperti firman Allah Q.S. al-An’am/6: 76

Artinya: ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."

Jannah mempunyai arti kebun yang lebat pepohonannya sehingga menutupi pandangan. Kita juga mengenal istilah majnun yaitu orang yang tertutup akalnya (gila). Perisai dinamai al-junnah karena dia menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik gangguan fisik maupun non-fisik. Kalbu manusia juga disebut janan karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan serta pandangan.

Begitu juga kata jinn, ia memiliki arti tersembunyi dan tertutup.

Jin Menurut Terminologi


Ulama berbeda pendapat tentang pengertian istilah jin. Muhammad Abduh, seorang mujtahid akhir abad ke-19, berpendapat bahwa jin adalah virus atau kuman-kuman penyakit. Pendapat Abduh ini diikuti juga oleh muridnya, Rasyid Rida. Selain pendapat Abduh tersebut, Ahmad Khan, seorang pemikir asal India menyatakan bahwa jin adalah sejenis manusia liar yang belum berperadaban. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa jin adalah malaikat. Ini dilihat dari kata jinn yang bermakna yang tersembunyi dan malaikat merupakan makhluk yang tersembunyi dari penglihatan.

Orang-orang Arab menamakan semua binatang yang menyengat, binatang buas dan yang buruk lainnya dengan jin atau setan. Bahkan, segala sesuatu yang buruk rupanya mereka katakan rupanya seperti jin. Semua makhluk yang tak tampak oleh mata pun mereka sebut dengan jin.

Muhammad Farid Wajdi menyatakan bahwa jin dalam pandangan kaum muslim adalah makhluk yang bersifat hawa (udara) atau api, berakal, tersembunyi, dapat berbentuk dengan berbagai bentuk dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan- pekerjaan berat. Berbeda dengan Farid, Sayyid Sabiq mendefinisikan jin sebagai sejenis ruh yang berakal, berkehendak, mukallaf (dibebani tugas oleh Allah) sebagaimana bentuk materi yang dimiliki manusia, yakni luput dari jangkauan indera, tidak dapat terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang ssungguhnya, dan mereka mempunyai kemampuan untuk muncul dalam berbagai macam bentuk.

Pakar kontemporer Mesir dalam bidang bahasa dan Qur’an, Aisyah Abdurrahman atau dikenal dengan Bint asy-Syathi’, berpendapat bukanlah suatu keharusan membatasi pengertian jin pada hal-hal yang secara umum kita mengenalnya sebagai hantu-hantu yang tidak tampak kepada kita kecuali dalam kegelapan yang menakutkan atau berupa gambaran wahm dan ilusi. Jin sesuai dengan pengertian kebahasaan yakni ketertutupan dan sesuai juga dengan kebiasaan al-Qur’an memperhadapkan penebutaanya dengan ins (manusia), dapat mencakup semua jenis makhluk selain manusia yang hidup di alam yang tidak terlihat atau terjangkau dan yang berada di luar batas alam tempat manusia hidup, serta yang tidak terikat dengan hukum-hukum alam yang mengatur kehidupan kita sebagai manusia. Dengan pandangan seperti itu, Bint al-Syathi’ tidak menutup kemungkinan bahwa yang dinamai UFO termasuk jin.

Referensi :

  • Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995)
  • M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan & Malaikat dalam Al-Qur’an- As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  • Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, tth.)
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2003)
  • Hasbi as-Shiddieqy, al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).