Apa yang dimaksud dengan isti’anah atau memohon pertolongan kepada Allah SWT ?

QS. Al-Fatihah [1] : 5

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

QS. Al-'A`raf [7] : 128

Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.

QS. Yusuf [12] : 18

Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”.

QS. Al-‘Anbya’ [21] : 112

(Muhammad) berkata: “Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami ialah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Yang dimohonkan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu katakan”.


Apa yang dimaksud dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT ?

QS. Al-Fatihah : 5


Secara etimologi atau bahasa, redaksi kalimat “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dengan maf’ul atau objek yang disebutkan terlebih dahulu daripada fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek) biasa disebut dengan istilah takhshish, sebuah redaksi kalimat yang menunjukkan sebuah pengkhususan.

Ada sedikit perbedaan makna antara kalimat “na’buduka” dengan kalimat “iyyaka na’budu”. Kalimat “na’buduka” mengandung arti, “Kami menyembah kepada-Mu”. Dengan didahulukannya maf’ul bih (objek), yaitu kalimat “iyyaka” dari fi’il dan fa’il-nya, yaitu kalimat “na’budu”, maka kalimat “iyyaka na’budu” memiliki penekanan makna yang sedikit berbeda.

Arti kalimat tersebut tidak lagi “Kami beribadah kepada-Mu” tetapi menjadi “Hanya kepada-Mu kami menyembah”.

Dengan demikian, “iyyaka na’budu”, merupakan sebuah pernyataan yang mengandung makna pengkhususan ibadah hanya kepada-Nya. Tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Disebutkan dalam al-Qur‟an,

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka mahasuci Allah yang mempunyai „Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Q.S. al- Anbiya(21):22)

Kata “Na’budu” pada ayat ini didahulukan menyebutkannya dari “Nasta‟iin”, karena menyembah Allah itu adalah suatu kewajibabn manusia terhadap Tuhannya. Pertolongan dari Tuhan kepada seorang hamba-Nya adalah hak hamba. Maka disini seakan-akan Tuhan mengajarkan kita supaya menunaikan kewajiban lebih dahulu, sebelum kita menuntut hak.

Kata “Na’budu” dan kata “Nasta’iinu” (Kami menyembah, Kami meminta pertolongan), bukan “a’budu” dan “asta’iinu” (Saya menyembah, Saya meminta pertolongan) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia, dan tidak selayaknya mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah, seakan-akan penunaian kewajiban menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah itu belum sempurna, hanya kalau di kerjakan bersama-sama. Allah menginginkan ketika kita menyembah atau meminta kita harus bersama-sama atau berjamaah.

Penggunaan bentuk jamak pada kata “Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Kata kami atau kekamian dan kebersamaan yang digunakan oleh ayat ini mengandung beberapa pesan.

  • Pertama, untuk menggambarkan bahwa ciri khas ajaran agama Islam adalah seseorang muslim harus selalu merasa bersama orang lain, tidak sendirian, atau dengan kata lain setiap muslim harus memiliki kesadaran sosial. Nabi bersabda: “Hendaklah kamu selalu bersama sama (bersama jamaah) karena serigala hanya menerkam domba yang sendirian”.

    Keakuan seorang muslim harus lebur secara konseptual bersama aku- aku yang lain. Sehingga setiap muslim menjadi seperti yang di gambarkan oleh Nabi “Bagaikan satu jasad yang merasakan keluhan, bila satu organ merasakan penderitaan.

    Kesadaran akan kebersamaan ini tidak terbatas hanya antara sesama manusia atau bangsa, tetapi mencakup seluruh manusia. Kesadaran tersebut ditanamkan dalam diri setiap pribadi, atas dasar prinsip bahwa Semua manusia adalah satu kesatuan, “Semua kamu berasal dari Adam sedang adam diciptakan dari tanah.

    Rasa inilah yang menghasilkan “Kemanusian yang adil dan beradab”. Sehingga pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh sementara ahli, “seseorang yang diperkaya dengan kesadaran menyangkut keterikatannya dengan sesamanya, tidak akan merasakan apa pun kecuali derita umat manusia, serta tidak akan berupaya kecuali mewujudkan kesejahteraan manusia. Ia akan berkawan dengan sahabat manusia, seperti pengetahuan, kesehatan, kemerdekaan, keadilan, keramahan dan dia akan berseteru dengan musuh manusia, seperti kebodohan, penyakit, kemiskinan, prasangka, dan sebagainya.

  • Kedua, yang dikandung oleh penggunaan kata “Kami” dalam ayat “Hanya kepada-Mu kami mengabdi” diatas, berkaitan dengan bentuk ibadah yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim, yaitu hendaklah ibadah harus dilakukan secara bersama, jangan sendiri-sendiri.

    Jika kita melakukannya sendiri-sendiri, maka kekurangan yang kita lakukan langsung disoroti dan kita sendiri yang akan mempertanggung jawabkannya. Tetapi, jika kita melakukannya secara bersama-sama maka orang lain yang bersama kita akan dapat menutupi kekurangan ibadah kita. Bukankah jika kita shalat berjamaah dan terlambat mengikutinya, sehingga tidak dapat membaca surat al-Fatihah, maka bacaan imam menutupi kekurangan itu. Bukankah jika membeli buah hanya sebiji, kita akan menelitinya dengan seksama, sehingga jika ada kekurangannya biar sedikitpun kita akan membatalkan pembelian atau meminta gantinya. Tetapi jika kita membeli sekilo atau dalam jumlah yang banyak, maka ketelitian memeriksanya tidak secermat membeli sebuah, kekurangan yang kita temukan pada satu atau dua buah dapat kita biarkan, karena sudah cukup banyak yang lainnya yang baik dari kumpulan buah yang kita beli. Ini bukan berarti ketelitian Allah berkurang. Dia tetap mengetahui kekurangan masing-masing, hanya saja dia mentoleransi kekurangan itu. Karena rahmat dan kasih sayang- Nya serta kecintaan-Nya kepada kebersamaan. Dengan berjamaah, jika bermohon kiranya kekeliruan kita dimaafkan karena adanya hal-hal yang sempurna yang dilakukan oleh mereka yang bersama kita.

Ibadah secara istilah adalah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari ridha Allah.

Dalam beribadah kepada Allah kita harus selalu melakukan yang diridhai Allah dan melakukan hal-hal yang membuat Allah ridha terhadap apa yang kita lakukan.
Imam Mutawally Sya‟rawi menegaskan dalam tafsirnya bahwa pada surat al-Fatihah ayat 5 ada dua bentuk penglihatan. Pertama, penglihatan mata dan kedua penglihatan iman atau hati.

  • Penglihatan mata terjadi atas hal-hal yang dapat ditangkap oleh mata, kita tidak perlu mengatakan “saya percaya karena saya melihat”. Penglihatan mata tidak perlu diyakini dan dipercayai, karena sudah pasti tapi penglihatan iman membutuhkan keyakinan karena kita melihat sesuatu yang ghaib. Penglihatan seperti ini lebih diyakini kebenarannya daripada penglihatan mata.

  • Penglihatan hati berdasarkan iman dan mata hati.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya dan apabila kamu tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.”

    Hadis ini merupakan keterangan penglihatan iman pada diri mukmin. Ketika manusia mengaku telah beriman, maka ia harus melihat setiap problem dengan kaca mata iman. Ketika membaca ayat-ayat surga, ia seolah-olah sedang mendapat nikmat, ketika membaca ayat-ayat tentang ahli neraka maka bergetarlah tubuhnya, seolah-olah ia melihat siksa api neraka.

Kaum sufi menjelaskan bahwa ada perbedaan antara ibadah (pengabdian) dan ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah. Ibadah adalah melakukan hal-hal yang meridhakan Allah, sedangkan ubudiyah adalah meridhai apa yang dilakukan Allah swt. Dengan demikian penghambaan diri kepada Allah lebih tinggi tingkatannya dari pada ibadah. Ibnu Sina membagi motivasi ibadah menjadi tiga tingkatan.

  • Pertama dan yang terendah, adalah karena takut akan siksaan-Nya. Motivasi yang demikian diibaratkan dengan seorang hamba yang melakukan aktivitas karena dorongan takut dan bila merasa dilihat tuannya.

  • Kedua, adalah karena mengharapkan surga yang diibaratkan seorang pedagang yang tidak melakukan jual beli kecuali guna meraih keuntungnan.

  • Ketiga, karena doronga cinta, bagaikan ibu terhadap bayinya, inilah yang dinamakan ubudiyyah.

Syaikh asy-Syanqithi menjelaskan dalam kitab tafsir Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an dalam ayat 5 surat al-Fatihah terdapat dua makna yang pertama makna nafi atau peniadaan dan yang kedua adalah makna isbath atau penetapan.

  • Makna nafi atau peniadaan adalah menghilangkan semua jenis penghambaan kepada selain Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah. Sebagaimana firman Allah.

    …Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah(2):22)

    Selanjutnya

    Dan sungguhnya Kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”… (Q.S. an Nahl(16):36)

    Pada ayat ini Allah telah menegaskan makna isbat atau makna penetapan dengan firman-Nya: (sembahlah Allah), lalu Dia menegaskan makna nafi atau makna peniadaan dari kalimat tersebut dengan firman-Nya: (dan jauhilah thaghut).

  • Makna isbat atau makna penetapan adalah menjadikan Tuhan langit dan bumi sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi tujuan semua ibadah. Allah lalu mengisyaratkan makna isbat atau makna penetapan dari kalimat lailahaillallah dalam firman-Nya: (kami menyembah). Allah telah menjelaskan secara rinci tentang makna yang terkandung dalam lafaz tersebut pada ayat-ayat lain, diantaranya:

    Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu … (Q.S. al-Baqarah(02):21)

    Selanjutnya dalam surat al-anbiya (21):25)

    Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Q.S. al- Anbiya(21):25)

Surat al-Fatihah diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Dalam beberapa riwayat menyebutkan al-Fatihah adalah surat pertama yang diturunkan secara lengkap. Oleh karena itu al-mushaf secara tertulis dan al- Qur‟an secara hafalan dan bacaan diawali dengan al-Fatihah, maka surat ini dinamai “Fatihatul Kitab” (Pembuka al-Qur‟an). Ia memperoleh juga nama-nama lain, masing-masing nama disesuaikan dengan maksudnya, seperti ; Ummul Kitab (Induk al-Qur‟an), As-Sab’ul Matsani (Tujuh yang terulang-ulang), Suratul Hamdi (Surat al-Hamdu) dan sebagainya.

Surat ini juga diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan shalat dan diwajibkan membacanya di dalam shalat. Karena itu, ia adalah surat pertama yang diturunkan secara lengkap. Dalam surat ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan al-Qur‟an.64

Meminta dengan Sabar dan Shalat - QS. Al-'A`raf [7] : 128


Kepada siapakah kita harus meminta dan bagaimanakah kita meminta agar yang kita mina dikabulkan. Dalam hal meminta kadang kala kita tidak pernah sabar. Ketika kita menginginkan sesuatu agar sesuatu tersebut menjadi milik kita tidak sabar, sabarlah yang harus kita lakukan agar apa yang kita peroleh mendapat nilai ibadah dan keberkahan. Kadang kita selalu terburu dalam melakukan perbuatan baik hal yang bernilai ibadah atau bukan. Allah menyuruh kita untuk selalu bersabar dalam meminta, sabar dalam menghadari cobaan, sabar dalam menghadapi godaan hawa nafsu, dan sabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Biasanya kesabaran seseorang itu tercermin ketika orang tersebut melakukan shalat. Sabar merupakan perbuatan yang sungguh berat dilakukan kecuali bagi orang-orang yang khusus‟.

Senada dengan firman Allah surat al-Baqarah ayat 45 yang berbunyi:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (Q.S. al-Baqarah(02):45)

Ayat ini ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah menyuruh kita untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Karena sabar merupakan perbuatan yang sangat sulit dilakukan. Dalam shalat seseorang membutuhkan kesabaran yang benar-benar karena perbuatan tersebut sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusus‟.

Dalam surat al-baqarah ayat 45 ini ada dua kata yang selalu bergandengan ketika didahului dengan kata isti‟anah. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Kalimat inilah yang menjadi sepasang kata yang selalu berdampingan dalam beristi‟anah kepada Allah.

Kata ash-shabr atau sabar, artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenaan di hati, ia juga berarti ketabahan. Sabar menahan diri dalam suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sabar adalah suatu kondiri mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama.

Sedangkan ash-shalah, dari segi bahasa adalah doa, dan dari segi pengertian syariat islam adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang di mulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunia-Nya, mengingat Allah dan mengingat karunia-Nya, mengantar seseorang terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta mengantarkannya tabah menerima cobaan atas tugas yang berat. Demikian shalat membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka.

Mutawally asy-Sya‟rawi menegaskan dalam kitab tafsirnya, dan mintalah pertolongan dengan sabar bahwa nanti akan terjadi sesuatu yang sulit dan membutuhkan perjuangan serta pengorbanan. Maka dibutuhkan kesabaran yang bisa membawa manusia untuk mampu mengatasi kesulitan itu.

Dan jadikanlah sabar dan shalat itu sebagai penolongmu. Mintalah pertolongan dengan dua hal yang selalu terkait satu dengan yang lain, yaitu sabar dan shalat. Mewujudkan sabar harus dengan shalat, dan pelaksanaan shalat harus dengan sabat. Sabat itu pada hakikatnya beban berat yang ditanggung oleh jiwa, dan untuk meringankannya laksanakanlah shalat. Demikian juga shalat itu adalah beban taklif, maka harus dilakukan dengan sabar.

Memohon pertolongan dengan sabar ini di ulang-ulang beberapa kali karena sabar ini merupakan bekal yang harus dimiliki di dalam menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Dan penderitaan yang pertama kali ialah lepasnya kekuasaan, kedudukan, manfaat, dan penghasilan demi menghormati kebenaran dan mengutamakannya, serta mengakui kebenaran dan tunduk kepadanya.

Shalat adalah hubungan dan pertemuan antara hamba dan Tuhan. Hubungan yang dapat menguatkan hati, hubungan yang dirasakan oleh ruh, hubungan yang dengannya jiwa mendapat bekal didalam menghadapi realitas kehidupan dunia. Rasulullah saw pabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera melakukan shalat. Sedangkan beliau adalah orang gyang sangat erat hubungannya dengan Tuhannya, dan ruhnya selalu berhubungan dengan wahyu dan ilham.

M. Quraish Shihab membagi kesabaran itu menjadi dua bagian. Yang pertama, sabar jasmani dan yang kedua adalah sabar rohani.

  • Sabar jarmani yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabat dalam peperangan membela kebenaran.

  • Sabar rohani yang menyangkut kemampuan kepada kejelekan, seperti sabar menahan amarah, atau menahan nafsu sexual yang bukan pada tempatnya.

Jadi ayat tersebut mempunyai makna bahwa meminta pertolongan kepada Allah dengan jalan tabah dan sabar dalam menghadapi segala tantangan serta dengan melaksanakan shalat. Bisa juga bermakna, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dalam arti jadikanlah ketabahan menghadapi segala tantangan bersama dengan shalat yakni doa dan permohonan kepada Allah sebagai sarana untuk meraih segala macam kebajikan.

Setelah Allah menerangkan bahwa iman itu berbentuk suri tauladan, dan setelah Allah menjelaskan bahwa taurat menuntut kaum yahudi agar beriman kepada Muhammad saw, disini Allah menuntut kaum muslim untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong, disisi lain selama kaum yahudi terbiada menukar ayat Allah dengan nilai yang rendah, dan juga terbiasa dengan praktek riba atau bunga bank dan lain sebagainya dari praktek yang diharamkan, maka mereka harus menjadikan sabar sebagai penolongan jika ingin kembali kejalan iman.

Dalam ayat lain ada yang memahaminya sebagai lanjutan tuntutan kepada orang-orang Yahudi atas dasar penyebutannya sesudah tuntutan dan kecaman diatas. Thalib Ibnu Asyam mengatakan : ayat ini ditujukan kepada Bani Israil sebagai petunjuk guna membantu mekera melaksanakn segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu.

Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh pada tempatnya, karena setelah mereka diajak disertai janji dan ancaman, maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan kedalam hati mereka, tidak ada juga tempat untuk mundur bahkan kini mereka telah bersiap untuk melaksanakan perintah Allah. Namun demikian, kebiasaan lama memberatkan langkah mereka. Ayat ini menyuguhkan resep yang amat ampuh agar mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep ini adalah sabar dan shalar.

Kemudian perintah Allah yang menyuruh kepada kita agar menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong terdapat pula pada surat al-Baqarah ayat 153 yang berbunyi :

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al- Baqarah(02):153)

Dalam ayat 153 ini juga kita diperintah oleh Allah untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Karena Allah lebih senang bersama orang- orang yang sabar dibandingkan orang yang terburu-buru atau tergesa-gesa dalam melakukan suatu tindakan.

Dalam kitab Tafsir al-Misbah kata sabar mencakup banyak hal, sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, sabar dalam petaka dan kesulitan, serta sabar dalam berjuang menegaskan kebenaran dan keadilan.

Allah menyuruh kita untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan cara sabar dan shalar, serta melaksanakan seluruh perintah-Nya. Kenapa mesti sabar? Karena sabar dapat menyangkat derajat manusia.

Sabar disebutkan di dalam al-qur‟an secara berulang-ulang. Hal ini karena Allah mengetahui bahwa dalam melaksanakan aktivitas secara istiqomah menurut usaha benar yang benar. Dan, hal ini pun biasanya masih sering diiringi dengan adanya desakan-desakan dan hambatan. Begitu juga dalam berdakwa dijalan Allah dimuka bumi akan menghadapi pergolakan-pergolakan tekanan jiwa sehingga memerlukan kesabaran lahir batin.

Sabar dalam taat kepada Allah, sabar dalam meninggalkan maksiat, sabar dalam arti tegar dalam menghadapi kesulitan karena Allah, sabar atas segala fitnah dan tipu daya, sabar atas lambatnya pertolongan, sabar dalam menghadapi tekanan, sabat atas sedikirnya penolonga, sabar atas panjangnya jalan orang yang membuat ragu, sabar atas sulitnya dan beratnya jiwa, sabar atas beratnya kedurhakaan, dan sabar atas serangan orang-orang yang berpaling.

Ketika usaha sedemikian sulit maka kadang-kadang kesabaran menjadi lemah. Karena itulah, diiringi dengan shalat dalam kondisi seperti ini. Sebab, shalart adalah penolong yang tidak akan hilang dan bekal yang tidak akan habis. Shalat juga merupakan penolong yang akan selalu memperbaharui kekuatan dan bekal yang selalu memperbaiki hati. Dengan shalar, kesabaran akan tetap ada dan tidak akan terputus. Justru shalat akan mempertebal kesabaran. Sehingga kita akan ridha, tenang dan yakin.

Minta pertolongan itu hanya kepada Allah. Dan bentuk pertolongan dalam pergaulan manusia adalah kebajikan dan ketakwaan. Shalat atau sembahyang adalah cara untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Di dalam shalat orang berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam shalat ada doa. Di dalam shalat orang merenungi batinnya dengan ayat-ayat dan doa. Sehingga terciptalah sebuah proses input, output, dan limbah. Inputnya adalah energi batin (energi metafisik) yang masuk bersama dengan ayat-ayat dan doa yang dibaca dalam shalat. Outputnya adalah bangkitnya kesadaran. Dan, yang dibuang adalah semua rekaman bahwa sadar yang menjadi limbah dalam batin manusia. Itulah sebabnya dalamshalat sering muncul ingatan bawah sadar yang sudah terlupakan. Limbah di dalam tubuh nafsani manusia harus dibuang agar tidak meracuni jiwa. Jika manusia bebas dari kotoran atau racun batin, maka jiwa manusia menjadi jernih atau cerah. Manusia yang tercerahkan adalah manusia yang hidup penuh kesadaran. Dan, manusia yang sadar tak akan melakukan sesuatu yang keji dan munkar.

Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa kita diperintahkan oleh yang maha kuasa untuk selau beribadah dan bersabar dalam menghadapi segala cobaan, baik berupa cobaan jasmani maupun cobaan rohani. Yang demikian akan menjadikan kita manusia yang bersabar dalam menjalankan semua perintah dan menjauhi larang-Nya. Dan Allah lebih mencitai dan menyayangi dan Allah lebih senang berada bersama orang-orang yang sabar.

Orang yang tidak berbuat kekejian dan kemungkaran, sama dengan orang yang berusaha menolong dirinya. Karena orang yang demikian ini berusaha hidup saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Sedangkan orang yang sabar adalah orang yang tidak mau berhenti dalam perjuangannya, orang yang tidak menyerah dalam upaya meraih cita-cita luhurnya. Dengan melaksanakan shalat dan sabar berarti telah memasuki tahap awal dalam mencari pertolongan. Jiwa yang jernih, dan upaya yang dilakukan dengan penuh kesabaran mengantarkan pencarinya ke tahap berikutnya yaitu mendapatkan petunjuk pemecahan masalah.

Shalat dan sabar yang dipraktikan dengan benar bisa mengantarkan pelaksananya ke situasi yang jernih. Dan, dalam situasi yang jernih, yang terang, yang tidak semrawut, yang tidak penuh hiruk pikuk, maka seseorang, masyarakat atau bangsa dapat mencari jalan yang lurus sehingga keluar dari krisis yang menimpanya. Jadi, kalau bangsa ini terus mengalami kesulitan, terus terjebak dalam krisis, berarti bangsa ini tidak menjalankan shalat dan kesabaran dengan benar. Hal ini jelas yang dilakukan oleh elit-elit dan kelompok-kelompok masyarakat kita adalah formalitas dari shalat dan kesabaran. Shalat dilakukan untuk hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatunya tidak dikerjakan sesuai dengan aturan atau ketetapan- ketetapan yang benar dan tepat.
Dari sini nampak jelaslah nilai shalat yang berarti pula hubungan langsung antara sesuatu yang lemah dan sesuatu yang maha besar dan abadi. Sungguh shalat merupakan waktu pilihan saat pelimpahan karunia dan kecintaan dari sumber yang tak kunjung kering. Ia merupakan kunci perbendaharaan yang kaya raya, yang amat banyak dan melimpah. Shalat adalah titik tolong dari dunia yang kecil dan terbatas ke dunia yang besar. Ia adalah ruh, salju, dan naungan dikala jiwa diterpa kepanasan. Ia adalah sentuan kasih sayang terhadap hati yang lelah dan letih.

Tentang keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya, bahwa pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang syukur. Pada ayat 153 ini Allah menjelaskan sabar, permintaan petunjuk dan pertolongan melalui sabar dan shalat. Karena bila seorang hamba mendapat nikmat, maka dia mensyukurinya, atau mendapat musibah bencana, maka dia bersabar menghadapinya. Allah menjelaskan sarana terbaik yang dapat digunakan untuk menghadapi berbagai musibah, yaitu sabar dan shalat.

Ayat ini mengajak orang-orang yang beriman, menjadikan shalat seperti yang diajarkan Allah dan dengan mengarah ke kiblat dan kesabaran sebagai penolong untuk menghadapi cobaan hidup

Allah Yang Maha Menolong - QS. Yusuf : 18


Siapakah yang maha segala-galanya, siapakah yang memilii kekuatan yang tak terbatas. Allah adalah tuhan yang menciptakan alam ini, yang mempunyai kekuatan tidak terbatas, yang mempunyai hari pembalasan. Allah mempunyai sifat pengasih dan penyayang kepada setiap ummat manusia. Dalam hal meminta pertolongan kita sering kali lupa bahwa hanya Allah yang berhak dimintai pertolongan bukan kepada yang lain. Sebagai mana Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 18 yang berbunyi:

Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Q.S. Yusuf(12):18)

Pada surat Yusuf ayat 18 ini Nabi Yusuf yang ketika kecilnya di dzalami oleh saudara-saudaranya yang ingin agar Nabi Yusuf itu lenyap dari muka bumi ini dengan dibuang kedalam sumur dan membohongi ayahnya dengan darah palsu sebagaimana yang telah Allah tetapkan di dalam al-Qur‟an “Mereka datang membawa gamisnya dengan darah palsu. Ya‟qub berkata: sebenarnya kamu sendiri yang memandang baik perbuatan itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku) dan, Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.

Allah ta‟ala menceritakan tentang tipu daya yang dilakukan oleh saudara- saudara Yusuf untuk menghadapi ayahnya setelah mereka melemparkan Yusuf ke dasar sumur. Mereka pulang pada malam hari sambil menampakkan kesedihannya atas Yusuf, dan mengemukakan alasan atas apa yang terjadi menurut versi mereka. Mereka berkata, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf didekat barang-barang kami,” yaitu baju-baju dan barang-barang kami, “lalu dia diterkam serigala”. Dan inilah yang dikhawatirkan Ya‟qub dan ditakutinya. Firman Allah, “Kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami sekalipun kami merupakan orang- orang yang benar”. Yakni, kami tahu bahwa engkau tidak akan membenarkan kami walaupun kami ini orang-orang yang benar. Mengapa engkau berprasangka buruk terhadap kami? Karena engkau mengkhawatirkan Yusuf akan diterkam serigala dan sekarang menjadi kenyataan. Kami maklum jika engkau tidak mempercayai kami karena kejadian itu aneh dan mengherankan. Sebab apa yang engkau khawatirkan bertepatan dengan apa yang kami alami.

Allah swt berfirman : “Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran darah) dengan darah dusta”, maksudnya, darah yang palsu. Ini termasuk perbuatan yang mereka pergunakan untuk meyakinkan tipu daya yang telah mereka sepakati. Mereka sengaja menangkap seekor anak kambing lalu menyembelihnya dan melumurkan darahnya kepakaian Yusuf, sambil berpura-pura mengatakan bahwa itulah baju yang dipakai Yusuf ketika dimakan serigala tersebut, dan baju tersebut terkena darahnya, akan tetapi mereka lupa mengoyak-ngoyaknya. Oleh karena itu jiwa Nabi Ya‟qub tidak terguncang. Bahkan beliau berkata kepada mereka, menunjukkan bahwa beliau berpaling (tidak mempercayai) ucapan mereka. Beliau mengatakan apa yang terdapat pada dirinya, berupa ketidak jelasan ucapan mereka terhadanya.

Kemudian Ya‟qub berkata sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Kata tersebut bisa berarti meminta kelonggaran, karena ketika urat saraf manusia tegang, dia berusaha merenggangkannya dengan sedikit istirahat. Setelah itu, dia akan mendapatkan dalam dirinya rasa lapang dan lega. Kata tersebut juga bisa berarti memudahkan. Selama hal ini telah memudahkan diri kalian, maka Ya‟qub hanya bisa bersabar menerima dengan penus rasa sabar.

Allah berfirman :

Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. al-Muzammil (73) : 10)

Selanjutnya

Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Q.S. Yusuf (12) : 86)

Pada ayat-ayat sebelumnya Allah menerangkan bahwa pada mulanya Ya‟qub enggan membiarkan Yusuf pergi bermain-main dengan saudaranya. Tetapi karena desakan dan jaminan yang kuat dari mereka atas keselamatannya ia mengijinkan juga Yusuf pergi bersama mereka. Pada ayat berikut ini, Allah menerangkan bahwa saudara-saudara Yusuf akan melaksanakan niat jahat mereka dengan memasukannya kedalam sumur dan menyatakan kepada Ya‟qub bahwa Yusuf telah dimakan serigala ketika mereka sedang bermain-main dan mereka membawa bajunya yang berlumuran darah.

Kemudian sifat Allah yang maha penolong pun terdapat pada surat al-Anbiya ayat 112 yang berbunyi:

(Muhammad) berkata: “Ya Tuhanku, berilah Keputusan dengan adil. dan Tuhan kami ialah Tuhan yang Maha Pemurah lagi yang dimohonkan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu katakan”. (Q.S. al- Anbiya (21) : 112)

Surat al-Anbiya ini sebenarnya sama bahwa Allah adalah maha penolong dalam segala hal. Karena Allah yang mempunyai kekuatan tidak terbatas. Berbeda dengan makhluk yang mempunyai kekuatan serba terbatas.

Setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan apa yang diperintahkan kepada beliau untuk disampaikan sebagaimana bunyi ayat 108-111, kini beliau bermohon kepada Allah. Dia berkata: “Wahai Tuhanku pembimbing dan pelimpah kasih sayang kepadaku dan semua ummatku, berilah keputusan terhadap kami yang berbeda aqidah dan pandangan, dengan hukum yang bersifat haq sehingga kami demikian juga para pendurhaka itu memperoleh secara adil apa yang berhak kami peroleh, kenikmatan atau siksa, kemenangan atau kekalahan. Dan Tuhan kami ialah ar-rahman, Tuhan yang maha pemurah, yang selalu melimpahkan rahmat walau kepada yang durhaka. Dialah yang dimohonkan pertolongannya yakni untuk mengatasi dan membatalkan kebohongan-kebohongan yang kamu wahai kaum musyrikin ucapan terhadap Allah dan rasul-Nya.

Muhammad Ali ash-Shabuny mengemukakan dalam tafsirnya. Setelah rasulullah saw melaksanakan amanat dan menyampaikan risalah, beliau berdoa, supaya Allah membuat keputusan antara beliau dengan musuh beliau dengan suatu keputusan yang adil.

Buatlah keputusan antara aku dan orang-orang musyrik yang mendustakan, buatlah ketetapan diantara kami dengan hukum-Mu yang adil. Engkau adalah rabb, sebaik-baik pemberi pertolongan dan sebaik-baik penolong. Maka Allah memperkenankan doa beliau pada perang Badar. Imam Qatadah berkata, “Para nabi dahulu berkata”

…Ya Tuhan kami, berilah Keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi Keputusan yang sebaik-baiknya. (Q.S. al-A‟araf : 89)

Oleh karena itu, alam memohon pertolongan kepada Allah kita harus selalu beribadah kepada-Nya. Dan ibadah ini tidak hanya pada ibadah ritual atau ibadah shalat melainkan melakukan sesuatu yang bernilai ibadah. Artinya tidak terpaku pada ibadah ritual saja.

Sumber : Mukhtarhafifi, Istı’anah dalam Al-Qur’an : Analisis terhadap Q.S. al-Fatihah : 5, Q.S. al-Baqarah : 45 & 153, Q.S. Yusuf : 18,Q.S. al-Anbiya : 112, UIN Syarıf Hıdayatullah

Referensi
  • Muhammad Mutawally as-Sya‟rawi. Tafsir Surah al-Fatihah. Penerjemah. Abdul Syukur Abdul Razak (Jakarta: Nahdhah Publiser, 2008).
  • Muhammad Mutawally Sya‟rawi. Tafsir Sya’rawi.
  • Abu Zahwa. Tafsir Surat al-Fatihah Menurut 10 Ulama Besar Dunia (Jakarta:Pustaka Azzam,2010).
  • M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah.
  • Muhammad Ali ash-Shabuny. Cahaya al-Qur’an Tafsir Tematik. Penerjemah. Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 201).
  • Sayyid Quthub. Tafsir fi Zhilall Qur’an dibawah Naungan al-Qur’an.
  • Muhammad Nasib ar-Rifai. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. (Riyadh: Maktabah Ma‟rifah,1989).
  • Ahmad Chodjim. Jalan Pencerahan. (Jakarta: Serambi,2002)
  • Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. Abu Ihsan al-Atsari. (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2006)
  • Muhammad Nasib ar-Rifai. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.

Term isti’anah sebenarnya tidak disebutkan secara langsung dalam Al- Qur’an. Tetapi, kata jadian darinya yang memunculkan istilah tersebut banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Isti’anah artinya meminta pertolongan atau bantuan Tuhan. Kata isti’anah berasal dari Q.S. al-Fatihah(1):5 Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in, yang artinya hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.

Kata isti’anah dalam kamus bahasa arab indonesia memiliki arti permintaan bantuan atau pertolongan. Dalam kamus Al-Qur‟an kata isti’anah memiliki arti meminta bantuan, pertolongan dan pendukung.

Dalam ber-isti’anah atau memohon pertolongan berarti kita tidak dapat atau terhalang, atau sulit meraih apa yang kita mohonkan itu oleh satu dan lain sebab kecuali bila dibantu. Dalam Tafsir al-Misbah dikemukakan bahwa bantuan adalah sesuatu yang dapat mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya, yaitu dengan jalan mempersiapkan sarana pencapaiannya, seperti meminjamkan alat yang dibutuhkan, atau partisipasi dalam aktivitas, baik dalam bentuk tenaga atau fikiran, nasihat atau harta benda.

Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh orang yang bermohon dengan upaya sendiri.

Dari penjelasan diatas bahwa permohonan bantuan itu bukan berarti berlepas tangan sama sekali, akan tetapi kita masih dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Muhammad Syaltuth mengemukakan dalam tafsirnya bahwa isti’anah adalah meminta pertolongan sesudah melakukan usaha sekuat kemampuan. Orang yang berakal sehat tidak akan meminta pertolongan melainkan kepada yang mampu memberikan pertolongan, tidak ada yang mampu memberikan pertolongan kecuali Allah Yang Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya menyeluruh, tidak dapat dilemahkan oleh apapun. Dia yang menciptakan sebab, Dia pula yang menyingkirkan halangan, dan dia yang memberi, menghendaki serta menolak.

Isti’anah adalah bagian dari ibadah. Karena itu tidak dibolehkan beristi’anah selain kepada Allah. Tidaklah mungkin mengharapkan isti’anah yang mutlak, yang meliputi segala sesuatu yang menyeluruh, melainkan hanya kepada Allah semata.

Sebagaimana firman Allah swt.

Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka Serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka mmperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. (Q.S Al-A‟raf (7):194)

Selanjutnya

Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. (Q.S Al-A‟raf (7):197)

Istilah ibadah sudah sangat populer di kalangan kita. Ibadah ini adalah bentuk penghambaan kepada Allah. Dalam Islam prinsip utama dalam beribadah adalah tauhid, jika terdapat syirik di dalam ibadah meskipun kecil maka ibadahnya akan tertolak dan batal. Tidak ada tawar menawar di dalam beribadah. Ketauhidan dan keikhlasan dalam beribadah adalah suatu yang pokok dan mutlak. Tauhid yang dimaksudkan di sini adalah kesadaran diri seorang hamba, bahwa apa yang ada pada dirinya bukan apa-apa karena semuanya bersumber dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Atau dengan pernyataan lain semua yang ada pada dirinya adalah milik Allah swt.

Makna ibadah yang sangat luas dalam islam mencakup empat hubungan yang berbeda baik antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan dirinya dan manusia dengan lingkungan alam sekitar. Masing-masing dari hubungan tersebut terdapat dua macam.

  • Hubungan manusia dengan Tuhannya diwujudkan dengan, “Melaksanakan perintah-perintah-Nya dan manjauhi larangan-larangan- Nya”.

  • Hubungan manusia dengan dirinya dapar diterjemahkan dengan pemenuhan hak diri, makan minum jangan berlebihan, menjaga diri dari kebinasanaa.

  • Hubungan sesama manusia dapat diwujudkan dalam bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa serta saling menjaga dari permusuhan dan dosa.

  • Hubungan manusia dengan alam dapat ditempuh dengan intifa‟, yaitu mengambil manfaat dari alam untuk kesejahteraan hidup dan tidak iththirar yaitu tidak menjadikan alam sebagai musuh yang membinasakan, dengan ishlah yaitu menjadikan alam sebagai harmoni, kedamaian dan tidak fasad atau berbuat kerusakan.

Secara tekstual term isti’anah dalam Al-Qur‟an terdapat pada 7 ayat dalam 5 tempat. Dua diantaranya dalam satu surat. Al-Qur‟an menyebutkan kata isti’anah pada beberapa bentuk.

  • Pertama, dalam bentuk fi’il amr (kata kerja perintah) yang terdapat pada tiga tempat yaitu Q.S. al-Baqarah (2) ayat 45 dan ayat 153, dan Q.S. al- A‟raf: 128. Yang dimaksud kata kerja perintah disini adalah perintah dari Dzat yang tinggi yaitu Allah kepada Dzat yang paling rendah yaitu manusia bukan sebaliknya perintah dari yang rendah ke yang tinggi derajatnya.

  • Kedua, dalam bentuk fi’il mudhori yaitu kata kerja yang menunjukkan masa sekarang dan yang akan datang. Yang hanya terdapat pada satu tempat yaitu Q.S. al-Fatihah (1):5. nasta’in yang berarti Kami memohon pertolongan. Berarti dalam kata nasta’in yang dalam bentuk fi’il mudhori mengindikasikan bahwa mulai sekarang sampai hinga waktu yang tidak bisa ditentukan untuk selalu beristi’anah memohon pertolongan hanya kepada Allah bukan kepada selain Allah.

  • Ketiga, dalam bentuk isim maf’ul yaitu musta’an dari kata kerja ista’ana-yasta’inu-isti’anan yang berarti minta pertolongan dan musta’an berarti dimohonkan pertolongannya. Kata tersebut di dalam Al-Qur‟an terdapat pada dua tempat yaitu Q.S. Yusuf:18 dan Q.S al-Anbiya:112.

Dalam Al-Qur‟an kata Isti’anah selau digandengkan dengan ibadah bahkan kata ibadah pun mengawali kata isti’anah itu sendiri. Penggandengan kedua kata tersebut tidak dapat dipisahkan karena ibadah dan isti’anah merupakan satu kesatuan yang utuh.

Isti’anah tidak bisa berdiri sendiri tanpa ibadah.

Ibnu QayyimAl-Jauziyyah memaparkan dalam kitab tafsrinya bahwa Isti’anah merupakan bagian dari ibadah tanpa ada pembalikan. Isti’anah merupakan permohonan dari Allah dan ibadah merupakan tuntutan bagi Allah. Ibadah tidak terjadi kecuali dari orang yang mukhlis. Sementara Isti’anah bisa berasal dari orang yang mukhlis dan tidak mukhlis.

Nabi Muhammad Saw adalah contoh tertinggi dalam ibadah dan beliau telah merealisasikan bentuk ibadah yang diinginkan dan dicintai Allah. Allah mengiringi ibadah yang ikhlas dengan minta tolong kepada-Nya. Ia berkata “Kami tidak menyembah selain-Mu.” Ketika manusia meminta bantuan kepada selain Allah, berarti ia telah meminta bantuan kepada Dzat yang memiliki kemampuan terbatas. Dengan meminta bantuan kepada Allah manusia telah terbebas dari kehinaan dunia, dan memiliki kekuasan tanpa batas.

Dalam kaitannya dengan memohon pertolongan kepada Allah haruslah didahului dengan ibadah atau melakukan segala perintah dan menjauhi segala larangannya dan mengesakan bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Hal ini berkaitan dengan tauhid rububiyyah, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh alam. Tidak ada sekutu dalam kekuasaann-Nya dan tidak ada hakim dalam hukum-hukum-Nya selain Dia.

Tauhid uluhiyyah yaitu mengesakan dalam beribadah, patuh dan taat secara mutlak kepada-Nya. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah dan tidak pula menyekutukan- Nya.

Dalam tauhid rububiyyah kita meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala makhluk. Allah berfirman:

Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu. (Q.S. az-Zumar(39):62).

Dia juga Tuhan maha pemberi rejeki bagi semua makhluk di muka bumi. Senada dengan firmannya:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah- lah yang memberi rezkinya… (Q.S. Huud(11):6)

Kemudian tauhid uluhiyyah yaitu mengesakan Allah sebagai Tuhan, menyembahnya dalam beribadah dan tidak menyekutukannya. Tauhid uluhiyyah ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir yaitu Muhammad saw.

Allah berfirman:

Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”… (Q.S. an-Nahl(16):36).

Isti’anah dan Istinshar

Istilah untuk pertolongan di dalam Al-Qur‟an ada dua yaitu: pertama, al-maunah dan memohonnya disebut isti’anah. Maunah ini diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki tanpa dibeda-bedakan apakah dia orang yang baik atau orang yang jahat. Hal ini berkaitan dengan urusan duniawi semata.

Kedua, an-nashr dan memohonnya disebut istinshar. Kata istinshar memiliki banyak arti ketika menjadi suatu kalimat bisa berarti “membantu, pertolongan, kemenangan”.

Pertolongan Allah yang menggunakan istilah an-nashr muncul di dalam Surat An-Nashr.

Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (Q.S.an- Nashr(110):1)

Hal tersebut merupakan pertolongan kepada orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang salah satunya adalah sabar. Dalam sejarah, ketika pada hari Jum‟at tanggal 17 Ramadhan, Rasulullah saw, dan pasukan muslimin menghadang pasukan kafir Makkah yang bermaksud menyerang kota Madinah. Pasukan ini tidak menunggu musuh sampai di kota Madinah, akan tetapi dihadang di suatu tempat yang bernama Badar. Peperangan terjadi dan karena berlangsung di Badar maka dalam sejarah disebut perang Badar. Dalam Al-Qur‟an disebutkan: “Allah telah menolong kamu di Badar”.

Badar merupakan bukit, jadi jauh sebelum sampai rombongan musuh sudah kelihatan dengan berkendaraan kuda dengan pasukan panahnya dan pasukan penombak, pasukan mereka 1000 orang, sedangkan Rasulullah saw, memimpin pasukannya yang hanya berjumlah 313 orang itu pun bukan tentara semua. Perlu diketahui bahwa perang Badar terjadi pada puasa yang pertama dan pada musim panas yang luar biasa. Pasukan muslim hanya menggunakan senjata seadanya dan jumlah sedikit. Mereka yang ikut berperang juga bukan orang yang terlatih sebagai tentara. Rasulullah saw, saat itu juga amat khawatir dengan keadaan tersebut. Beliau melihat pasukan musuh begitu besar dan para sahabatnya pun terlihat jelas dari rona wajah dan sorot mata mereka ada kecemasan, maka rasulullah saw, berkata kepada para sahabat,

“Tenang saja Allah pasti akan menolong kita dengan riabuan Malaikat yang akan diturunkan”.

Lalu Allah menurunkan ayat,

“Benar, jika kamu bersabar dan bertakwa lalu mereka menyerang kamu dengan tiba-tiba, maka Tuhan kamu akan membantu kamu dengan lima ribu malaikat yang diberi tanda.” (Q.S.Ali Imran:125).

Semula, Nabi saw. menjanjikan kepada para sahabat hanya dengan 3000 Malaikat, akan tetapi oleh Allah dikirim 5000 Malaikat dan kejadiannya spektakuler. 5000 Malaikat yang diutus oleh Allah itu kelihatan oleh musuh, akan tetapi para sahabat tidak melihatnya. Ketika melepaskan satu anak panah, musuh yang mati bisa langsung lima orang sekaligus. Ini yang membuat porak poranda pasukan musuh. Itulah kemenangan perang Badar dengan pertolongan Allah. Pertolongan jenis ini disebut nashr. Sesudahnya diberikan lagi oleh Allah ketika Makkah jatuh ke tangan kaum muslimin tanpa setets darah pun tercecer.

Jadi isti’anah dan istinshar merupakan pertolongan dalam bentuk ma’unah atau inayah berdoa dan bekerja. Salah satu dari bentuk ma’unah itu diberikan lewat doa, berdoa berarti permohonan dari bawah ke atas, dari yang kecil kepada yang besar, dari yang lemah kepada yang kuat, dari yang miskin kepada yang maha kaya, itulah hamba kepada Allah.

Dalam kaitannya dengan isti’anah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengelompokkan manusia menjadi empat bagian. Dia berkata: Manusia dalam kaitannya dengan dua perkara pokok yaitu isti’anah dan ibadah (doa dan memohon pertolongan) terbagi menjadi empat kelompok,yaitu:

  • Pertama, ahli ibadah (kelompok yang tertinggi dan paling utama). Kelompok ini memohon pertolongan kepada Allah atas ibadahnya itu, beribadah kepada Allah menjadi keinginan mereka yang paling utama, dan mereka memohon kepada Allah agar diberi keteguhan serta bimbingan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, hal yang paling utama diminta kepada Allah swt adalah ditolong untuk meraih keridhaan-Nya. Itulah yang diajarkan Nabi saw kepada orang yang dicintainya, Mu‟adz bin Jabal Ra mengatakan bahwa beliau bersabda:

    “Wahai Mu‟adz, demi Allah, aku sangat mencintaimu. Jadi janganlah engkau lupa untuk membaca doa ini pada setiap selesai shalat, “Ya Allah tolonglah aku dalam mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu serta beribadah kepada- Mu dengan baik.” (HR. Abu Daud dan Nasai dengan sanad shahih).

    Jadi, doa yang paling bermanfaat ialah memohon pertolongan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan pemberian yang paling afdhal adalah nikmat yang Allah berikan terhadap sesuatu yang dimintai.

  • Kedua, orang yang berpaling dari beribadah kepada-Nya dan tidak memohon pertolongan kepada-Nya. Jika salah seorang dari mereka beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan-Nya, maka itu dilakukan atas dasar kepentingan dan syahwatnya (keinginan duniawinya), bukan untuk meraih keridhaan-Nya serta menjalankan hak-hak-Nya.

    Sesungguhnya Allah swt dimintai oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, dimintai pula oleh para wali serta musuh-musuhnya, dan ia memberikannya kepada kelompok yang ini dan kelompok yang itu.

    “Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (Q.S. al-Israa(17):20)

    Demikianlah keadaan setiap orang yang memohon pertolongan kepada Allah pada suatu perkara dan meminta hal itu kepada-Nya, namun bukan untuk membantunya dalam rangka menaati-Nya. Jadilah hal itu sebagai perkara yang menjauhkannya dari keridhaan-Nya dan memutuskannya dari- Nya.

  • Ketiga, orang-orang yang memiliki nilai ibadah namun tidak isti’anah atau tidak memohon pertolongan. Di antara mereka adalah orang yang rajin melakukan ibadah dan mengamalkan wirid, tetapi dalam hal tawakal dan memohon pertolongan mereka masih tergolongan kurang. Hati mereka tidak menjangkau luas untuk mengaitkan sebab-sebab dengan kesanggupan dan meleburnya untuk itu serta melaksanakan sebab-sebab itu dengan kesanggupan.

    Jadi, mereka tidak memberdayakan kekuatan penglihatan dari sekadar sebagai sesuatu yang bergerak menjadi penggerak, dari sebab menjadi yang menyebabkan, dan dari alat menjadi pelaku, sehingga keinginan mereka menjadi lemah dan cinta-cinta mereka menjadi pendek. Dengan demikian, bagian yang mereka peroleh dari iyyak nasta’iin menjadi sedikit. Mereka tidak merasakan rasa atau dzuaq beribadah dan beristi’anah, meskipun mereka telah mendapatkan rasanya dengan mengamalkan wirid dan tugas-tugas.

  • Keempat, orang-orang yang menyaksikan kemahaesaan Allah dalam mendatangkan manfaat dan bahaya, dan bahwa semua yang Dia kehendaki akan terjadi, sedangkan semua yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tetapi ia tidak berjalan sesuai dengan hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya. Jadi, mereka bertawakal kepadanya dan memohon pertolongaan dengan-Nya untuk memenuhi keinginan duniawinya dan inters-inters pribadinya. Ia memintanya kepada Allah, lalu permintaannya itu diberikan dan ditolong dengannya, baik berupa harta, jabatan, kehormatan di kalangan manusia, keadan-keadaan berupa kasyaf atau dibukakan tabir ghaib, pengaruh, kekuatan, maupun kekuasaan. Tetapi ia tidak mendapat ganjaran pahala.

Referensi
  • Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Tahun 2004.
  • M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati,2007).
  • Muhammad Syaltuth. Tafsir al-Qur’anul Karim. Terj. Drs. Herry Noer Ali (Bandung: Dipenogoro, 1990)
  • Umay M. Dja’far Shiddieq, Pembuka Gerbang al-Qur’an Tafsir al-Fatihah dan Awal al-Baqarah (Jakarta: Taushia,2008)
  • Ibnu Qayyim. Tafsir Ayat-ayat pilihan (Jakarta: Darul Falah, 2000).
  • Syaikh Muhammad Mutawally Sya‟rawi. Tafsir Sya’rawi (Kairo, Akhbar al- Yaum,1991).
  • Yusuf al-Qardhawi. Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan (Surabaya: Pustaka Progresif,1992).
  • Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan. Kitab Tauhid (Yogyakarta: UII,2001).
  • Hani Kisyk. Menyelami Makna Iyyaaka nasta’iin. (Jakarta: Cendikia. 2006).