Apa yang dimaksud dengan Infeksi cacing pita atau Taeniasis?

Taeniasis

Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing pita babi, sementara Taenia saginata dikenal juga sebagai cacing pita sapi.

Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.

Apa yang dimaksud dengan Infeksi cacing pita (Taeniasis) ?

Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.

Taenia saginata adalah cacing yang sering ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi lebih mudah terjadi bila cara memasak daging setengah matang.

Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan di daging babi. Penyakit ini ditemukan pada orang yang biasa memakan daging babi khususnya yang diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak dipelihara kebersihannya, dapat berperan penting dalam penularan cacing Taenia solium. Untuk T. solium terdapat komplikasi berbahaya yakni sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun yang paling berbahaya jika terjadi di otak.

Taeniasis

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain:

  1. Rasa tidak enak pada lambung
  2. Mual
  3. Badan lemah
  4. Berat badan menurun
  5. Nafsu makan menurun
  6. Sakit kepala
  7. Konstipasi
  8. Pusing
  9. Pruritus ani
  10. Diare

Faktor Risiko

  1. Mengkonsumsi daging yang dimasak setengah matang/mentah, dan mengandung larva sistiserkosis.
  2. Higiene yang rendah dalam pengolahan makanan bersumber daging.
  3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan kandang dan makanannya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

  1. Pemeriksaan tanda vital.
  2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga dapat terjadi jika cacing membuat obstruksi usus.

Pemeriksaan Penunjang

  1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam spesimen tinja segar.
  2. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja.
  3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding:-

Komplikasi:

Sistiserkosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

  1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
    • Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak.
    • Menggunakan jamban keluarga.
  2. Farmakologi:
    • Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, atau
    • Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.

Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan berhasil bila ditemukan skoleks pada tinja, sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya dapat dilakukan dengan melakukan eksisi.

Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:

  1. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak
  2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.

Kriteria Rujukan
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis.

Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang dapat mengakibatkan kematian.

Referensi

  1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang
    Pedoman Pengendalian Kecacingan.
  3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.