Apa yang Dimaksud dengan Industri Budaya?


Budaya saat ini telah berkembang dengan aktif menjadi industry budaya.

Apa yang dimaksud dengan insdustri budaya?

Horkheimer dan Adorno (1976) berpendapat bahwa gagasan budaya saat ini telah berkembang menjadi industri yang aktif, yang berkembang sesuai dengan tren ekonomi. Mereka khususnya mengamati bahwa produksi barang secara besar-besaran merupakan sebuah sarana kepuasan terhadap kebutuhan yang akibatnya memberikan kendali kekuasaan terpusat dan manipulasi terhadap seseorang. Penggandaan pilihan yang disediakan bagi konsumen memperkuat suatu keyakinan bahwa tiap-tiap kebutuhan dapat dipenuhi (dipuaskan) dengan sebuah produk tertentu, dengan menciptakan sebuah kesadaran produsen untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan konsumen melalui produk mereka. Produksi barang dalam jumlah besar diterjemahkan menjadi produksi ide besar-besaran, yang membuat budaya hanya sebagai sebuah industri yang menyokong perkembangan ideologi-ideologi orang-orang yang memegang kekuasaan atasnya. Horkheimer dan Adorno (1976) menggambarkan pemberian label atas gagasan-gagasan melalui paham konsumeris ini sebagai industri budaya. Proses terjadinya hal ini ditandai dengan beberapa faktor, yang kesemuanya menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki kuasa, namun hanya sedikit berkuasa, sedang beberapa pemimpin menjadi makin berkuasa.

Industri budaya memiliki ciri utama sebagai sebuah monopoli; kendali atas pilihan konsumen jatuh di tangan kaum minor, kekuasaan terpusat. Secara ekonomis, kekuasaan ini dikenal sebagai elit perusahaan. Proses pembuatan makna, gagasan dan kesadaran melalui ketersediaan produk dan paham konsumeris produk mencerminkan minat pasar terhadap perusahaan. Dalam hal teknologi sebagai sarana dimana industri budaya berkembang sendiri, Horkheimer dan Adorno (1976) menyatakan ‘dasar dari pernyataan bahwa teknologi berkuasa atas masyarakat adalah orang-orang yang berkuasa atas masyarakat, kemampuan ekonominya paling besar’.

Penciptaan dan perluasan industri budaya ditentukan oleh kekuatan secara ekonomi. Selain itu, produk yang tersedia juga ditentukan oleh sedikitnya pilihan. Holzer membantah bahwa keyakinan konsumen pada diri sendiri berpengaruh terhadap produk yang tersedia di pasar, namun kenyataan yang nampak hanyalah diabadikan oleh kekuatan secara politis demi mempertahankan ilusi bahwa seseorang juga berpengaruh. Holzer menyatakan “konsumen pada akhirnya hanya mempunyai ‘hubungan sekunder’ dengan barang dan jasa yang mereka beli. Para konsumen bergantung pada orang lain yang menghasilkan komoditas untuk mereka – dan oleh karenanya bergantung pada pilihan yang dibuat oleh produsen”. Konsumen secara relatif tidak memiliki kuasa ketika dibandingkan dengan orang-orang yang benar-benar menghasilkan produk.

Yang kedua, industri budaya memiliki ciri adanya produksi komoditas, yang berperan sebagai ungkapan atau perwakilan atas realita bagi konsumen. Seseorang menjadi pakar atau ahli minuman anggur atau opera juga seni kontemporer bukan karena tiap hal ini memperkaya dan memperluas cita rasa dan kepandaian mereka, namun lebih pada minat terhadap budaya yang mengesahkan sebuah gaya hidup tertentu yang dipandang sebagai hal yang sangat diinginkan. Horkheimer dan Adorno (1976) menjelaskan lebih lanjut tentang poin ini:

Yang disebut dengan menggunakan nilai dalam menangkap komoditas budaya digantikan oleh pertukaran nilai; pada posisi kenikmatan, terdapat kunjungan galeri dan pengetahuan sesungguhnya: orang yang mengagungkan gengsi menggantikan pakar. Konsumen menjadi ideology industri plesir, yang kelembagaannya tidak bisa terelakkan. Budaya dan paham konsumeris dikawinkan menjadi sebuah proses, dimana komoditas memegang nilai hanya untuk perluasan bahwa komoditas tersebut mengesahkan status yang diinginkan oleh konsumen. Budaya popular sama dengan sebuah pabrik yang menghasilkan barang-barang budaya berstandard untuk memanipulasi rakyat menuju kepasifan; kenikmatan yang mudah dan tersedia lewat konsumsi budaya popular membuat rakyat menjadi patuh dan puas, tak peduli bagaimana sulitnya keadaan ekonomi mereka. Horkheimer dan Adorno melihat budaya yang diproduksi secara besar-besaran ini sebagai berbahaya bagi seni budaya yang sedikit lebih tinggi dan sulit. Industri budaya dapat meyebabkan adanya kebutuhan yang salah, yaitu kebutuhan yang dibuat dan dipuaskan oleh paham kapitalis. Kebutuhan yang sebenarnya, sebaliknya, adalah kebutuhan akan kebebasan, kreativitas atau kebahagiaan sejati.

Masyarakat disuguhi dengan ilusi sehingga budaya dan pilihan konsumen dikawinkan menjadi kesatuan tak terpisahkan dan akibatnya paham konsumeris melambangkan peluang untuk melatih paham individualis yang sesungguhnya. Kenyataan ini diamati di hampir semua situasi dimana sebuah produk berada. Google memberi contoh bagaimana pilihan seseorang dapat menciptakan aura individualitas sambil tetap menyokong kekuasaan terpusat sebuah perusahaan. Dan ketika iklan berusaha mengesahkan identitas budaya, iklan ini pun hampir tidak mungkin mampu dicurigai sebagai usaha mempromosikan agenda penganut paham fasis.

Pada model ‘Kajian Budaya’, “budaya” merupakan sebuah bidang perselisihan dan persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai. Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan atau mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif demi kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai sebuah ‘akibat’ model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis dan badan hukum terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas individu, kelompok dan cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna media.

Pendekatan “Marxisme Budaya”-nya Stuart Hall membangun model yang lebih kompleks berdasarkan perluasan teori hegemoni, ekonomi sosial memproses “persetujuan perusahaan” diantara kelas-kelas yang lebih rendah (masyarakat “mampu-tidak mampu” atau “mampu-kurang mampu” ) untuk menerima pandangan yang dikembangkan oleh kelas-kelas berpemilikan (masyarakat mampu).

Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya membuat sandi (secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas sebuah ideologi dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis diberi kode sehingga memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang “mampu-tidak mampu” untuk “bertahan pada program ini” dan mengabadikan status quo dari distribusi kemakmuran dan kekuasaan.

Hegemoni ideologi yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang yang kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang dominan, demi melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas. Contoh-contoh ideologi umum yang beredar di media dan melindungi kekuatan hegemonis:

  1. Kebebasan berbicara (sebagai sebuah keyakinan, saat beberapa orang memiliki kekuasaan atas apa yang mereka suarakan)
  2. Individualitas (bagus untuk pemasaran, karena paham konsumeris membutuhkan presentasi berkelanjutan atas pilihan maupun identitas serta kebutuhan personal yang unik untuk melihat dan membeli seperti halnya orang lain dalam sebuah kelompok identitas)
  3. Kebebasan memilih (bagian dari keyakinan perseorangan, juga gagasan utama dalam pemasaran dan budaya konsumen: ideologi tempat belanja).

Menurut pandangan hegemoni dan budaya, perilaku sosial sangat ditentukan oleh faktorfaktor identitas gandaseperti ras, kelas sosial, jenis kelamin dan kebangsaan, yang dilambangkan dalam hirarkis kekuasaan, kepentingan dan nilai ekonomis. Namun Hall dan pengamat lain seperti Dick Hebidge menunjukkan bahwa orang-orang memiliki banyak strategi berhubungan dengan keinginan media: bekerja dalam kode dominan, menggunakan sebuah kode yang dapat dirundingkan (meski menerima namun mengubah makna berdasarkan posisi penonton maupun komunitas penonton tersebut), atau mengganti kode yang berlawanan (dengan menggunakan kesadaran kritis, memusnahkan hal-hal yang membingungkan, ironis, subversi, drama, parody, seperti sampling DJ). Dalam hal ini, banyak cabang budaya dibentuk di sekitar kelompok yang menggunakan media, gambar dan musik yang menciptakan identitas dan perbedaan dari pendapat umum atau budaya yang dominan.

Wilayah yang mungkin bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota:

  1. Subkultur (subculture)
  2. Gaya (style)
  3. Budaya mode (fashion)
  4. Budaya Berbelanja (shopping culture)
  5. Budaya Selebritis dan Penggemar (celebrity and fandom)
  6. Budaya Cyber (dunia maya) dan Paham Cyborgis (cyber culture and cyborgism)
  7. Budaya dan Teknologi
  8. Budaya Remaja

Semakin susah sesuatu diproduksi ulang, maka sesuatu itu akan semakin dipuja dan dipertahankan. Sebagaimana budaya yang digunakan oleh paham kapitalis untuk mengendalikan kesadaran individu, oleh sebab itu budaya tersebut benar-benar di’industrialisasi’kan dan dijadikan komoditas. Seni dulu juga pernah dijadikan sebagai komoditas, menurut paham kapitalis seni secara keseluruhan dijadikan komoditas, dan seringkali sukses dengan mengumpulkan dan memanipulasi hasrat.