Apa yang Dimaksud dengan Perilaku Imitasi dalam Ilmu Sosiologi?

image

Dalam ilmu Sosiologi terdapat istilah imitasi. Apa yang dimaksud dengan imitasi dalam ilmu sosiologi?

Imitasi menurut Gabriel Tarde (dalam Santoso, 2010) merupakan bentuk dari contoh-mencontoh yang dilakukan antara satu indvidu dengan individu lainnya dalam kehidupan, sehingga perilaku imitasi dapat dikatakan sebagai keinginan dari sesorang untuk menjadi orang lain.

Dalam praktiknya terdapat syarat-syarat yang mengikutinya seperti adanya perhatian suatu hal yang akan di imitasi, menghargai hal yang akan ditiru, adanya penghargaan sosial dari perilaku imitasi tersebut, dan pengetahuan bagi seseorang yang akan melakukan imitasi atau peniruan.

Imitasi juga dapat disebut sebagai sebuah perilaku meniru seseorang diluar dirinya sendiri. Biasanya seseorang melakukan imitasi kepada orang yang dianggapnya penting, contohnya artis idola. Pada banyak kasus, pelaku imitasi adalah usia remaja, dimana remaja digambarkan sebagai sosok yang sedang mencari jati dirinya.

Imitasi sendiri ada yang bersifat tertutup seperti, cara berpikir dan juga ada yang bersifat terbuka seperti, cara berpenampilan. Imitasi dapat terjadi secara sadar ataupun tidak. Imitasi juga seringkali didasari oleh khayalan yang muncul setelah menonton sebuah tayangan atau membaca sebuah novel.

Dalam lingkup komunikasi sebenarnya imitasi ini merupakan hal yang wajar, misalnya dalam kehidupan sehari-hari, anak belajar untuk meniru orang tuanya solat meskipun masih belum sempurna. Imitasi juga identik dengan pembentukan identitas, oleh karena itu apabila seseorang ingin melakukan imitasi haruslah diarahkan kepada halhal yang positif agar nantinya juga mampu membawa dampak positif. Imitasi tidak berlangsung secara begitu saja. Imitasi memerlukan sikap menerima dan juga sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu (Nurhayati, 2009).

Untuk berimitasi setidaknya ada syarat -syarat yang harus di penuhi, menurut Sarwono (2004) ada syarat – syarat tertentu imitasi, antara lain :

  1. Harus menaruh minat terhadap sesuatu yang akan diimitasi. Minat merupakan syarat dasar dari tiap individu untuk melakukan imitasi. Mustahil melakukan imitasi kepada objek yang tidak kita sukai.

  2. Langkah selanjutnya adalah mengagumi hal-hal yang akan diimitasi. Makna mengagumi adalah sebuah langkah yang lebih tinggi tingkatan dibanding dengan hanya menyukai.

  3. Harus memberikan penghargaan sosial yang tinggi terhadap objek yang akan menjadi objek imitasi kita.

  4. Syarat yang terakhir, pihak yang akan melakukan imitasi harus memiliki pengetahuan tentang pihak atau sesuatu yang akan diimitasi.

Perilaku imitasi adalah proses meniru yang dilakukan oleh individu dengan cara mengenali individu lain sebagai model. Model yang ditiru biasanya seseorang yang menjadi idola dan cukup digemari. Model tersebut dapat muncul dari suatu tayangan di televisi maupun film yang dilihat atau dengan kata lain imitasi adalah proses meniru yang dilakukan oleh individu dengan cara mengamati individu lain sebagai modelnya.

Perilaku Imitasi Dalam Interaksi Sosial


Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Contoh bahwa imitasi sangat penting bagi proses interaksi sosial adalah seorang anak belajar berbicara. Cara yang dilakukan pertama-tama adalah menirukan kata-kata orang lain. Kata-kata itu juga diartikan dengan cara meniru bagaimana orang lain menggunakan kata itu untuk maksud tertentu.

Anak kecil melihat orangtuanya mengambil sesuatu sebelum makan, sesuatu itu untuk memungut nasi dan lauk yang ada di piring orangtuanya. Suatu ketika, orangtua menyebutkan nama “sendok” dan memberitahukannya pada si anak, si anak tahu bahwa arti kata yang ditirukannya (‘sendok’) adalah suatu alat yang digunakan untuk makan.

Jadi, imitasi bukan hanya pada tahap kata, melainkan juga makna dan tindakan atau tingkah laku tertentu yang kadang juga ditirukan. Tingkah laku tertentu yang ditirukan, misalnya cara memberikan hormat, cara menyatakan terima kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan lain-lain.

Negatifnya adalah apabila sesuatu yang ditiru itu merupakan tindakan yang ditolak oleh kolektif (masyarakat). Juga, munculnya kebiasaan hanya meniru tanpa mengkritisinya. Hal ini akan menghasilkan watak malas berpikir dan memperlambat kreativitas dan independensi, padahal interaksi sosial harus memajukan dan mengembangkan sifat kemajuan masing-masing pihak, maju bersama dalam kreativitas dan mempertukarkan hasil karya masing-masing agar saling berguna.

Dalam konteks ini, harus kita pahami bahwa imitasi merupakan suatu segi proses interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku di antara orang banyak.

1 Like

Imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan gaya hidup, bahkan apa saja yang dimiliki oleh orang lain (Sasmita, 2011). Sarsito (2010) mengatakan imitasi adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang telah dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsangan, dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Pandangan Barlow (dalam Muhibbin, 2003) menyatakan, sebagian besar dilakukan manusia melalui penyajian contoh perilaku (modeling), yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru tingkah laku orang lain.

Menurut Bandura (dalam Carole, 2007) imitasi adalah perilaku yang dihasilkan ketika seseorang melihat model atau orang lain melakukan sesuatu dalam cara tertentu dan mendapatkan konsekuensi dari perilaku tersebut. Secara garis besar, imitasi merupakan suatu tindakan atau perilaku manusia yang mengobservasi dan meniru apa yang dimiliki orang lain dengan melibatkan berbagai indera dan mendapatkan konsekuensi dari perilaku tersebut.

Faktor dalam Melakukan Imitasi


Imitasi tidak berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima terhadap apa yang diamati. Ada beberapa faktor sehingga seseorang mengadakan perilaku imitasi, sebagai berikut:

Faktor psikologis

Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor psikologi lain yang berperan salah satunya adalah aspek kognitif, bagaimana manusia memikirkan sesuatu dan melakukan interpretasi terhadap berbagai pengalaman yang diperoleh. Di samping itu aspek ini juga menjelaskan bahwa perilaku yang baru dan kompleks dapat diciptakan dengan observasi atau melihat suatu model yang dilihatnya secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga seseorang melakukan suatu imitiasi tersebut.

Menurut Mussen dan Conger (1984) Imitasi dapat terjadi sebagai tanggapan suatu keinginan untuk mirip dengan orang lain atau keinginan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sikap yang ditiru selama tiga tahun pertama dalam hidup, tergantung sebagian pada tingkat perkembangan kognitif anak yang menentukan perilaku apa saja yang ditangkap seorang anak sebagai suatu tantangan yang bukan tidak mungkin. Motivasi untuk mirip dengan yang lain dan tingkat timbulnya emosi yang dipengaruhi orang lain, menentukan siapa yang akan ditiru oleh anak itu, serta motivasi dalam mencapai tujuan menentukan apa saja yang akan ditiru.

Lingkungan Keluarga

Imitasi sudah berlangsung sejak individu masih kecil dan dimulai dari lingkungan keluarga. Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh, setelah itu sekolah, baru kemudian masyarakat. Keluarga adalah lingkungan terkecil yang dibangun oleh orang tua bersama anggota keluarga lainnya.

Pembentukan sifat atau karakter anak berhubungan dengan sosialisasi atau suatu proses penanaman nilai dan aturan dari orang tua kepada anak. Penanaman nilai tersebut, seperti faktor yang memotivasi anak berperilaku keagamaan. Awalnya anak melihat aktivitas yang dilakukan oleh orang tuanya. Ketika anak menyenangi hal itu maka anak akan mengimitasikan tanpa mengetahui esensi dari perbuataan yang dilakukan, sehingga timbullah motivasi anak untuk meniru. Hal itu tentu saja terjadi karena pada masa anak peniru ulung, anak telah memiliki minat dan keinginan namun belum mampu mengungkapkan minat dan keinginan tersebut secara baik (Jalaludin, 2010). Minat dan keinginan anak hanya dapat dilihat melalui gerak gerik dan tingkah lakunya

Media Masa

Imitasi akan terus berkembang ke lingkungan yang lebih luas, yaitu masyarakat. Imitasi dalam masyarakat semakin cepat dengan berkembangnya media masa, seperti tayangan televisi. Dalam era komunikasi dapat ditambahkan media masa sebagai faktor yang sangat berpengaruh lebih dari yang lain, karena dilihat terus menerus dan berulang-ulang. Tayangan adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, berbentuk grafik, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerimaan pesan dan siap untuk dipertunjukkan (Day dalam Kurniasih: 2004).

Interaksi Sosial dengan Teman Sebaya

Tidak hanya melalui media masa saja, namun interaksi sosial atau teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam imitasi anak. Interaksi dengan teman sebaya dalam proses interaksi memiliki peranan penting, terutama pada imitasi dalam aspek perilaku keagamaan.

Syarat terjadinya Perilaku Imitasi


Syarat yang ada dalam proses terjadinya imitasi, antara lain adalah sebagai berikut;

  • Adanya minat dan perhatian yang cukup besar terhadap hal yang akan ditiru.
  • Adanya sikap mengagumi hal-hal yang diimitasi;
  • Hal yang akan ditiru cenderung mempunyai penghargaan sosial yang tinggi

Secara harafiah arti dari Imitasi Ialah meniru, Imitasi sendiri merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung terjadinya interaksi sosial. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai suatu hubungan sosial yang dinamis. Jadi Interaksi sosial merupakan suatu proses dimana seorang individu memperhatikan serta meresponsi berbagai individu lainnya, sehingga mendapat balasan tingkah laku tertentu atau reaksi. Dengan begitu, reaksi yang didapatkan terjadi karena ada seorang individu yang memperhatikan individu lain yang telah memberi stimulus, sehingga terbentuklah hubungan yang disebut sebagai interaksi sosial.

Apabila merujuk ke dalam pengertian yang dikemukakan oleh Soekanto [1], maka ia menjelaskan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Selain itu ia pun menjelaskan bahwa interaksi sosial itu merupakan kunci semua kehidupan sosial. Agar interaksi sosial dapat terjadi, maka harus dipenuhi dua syarat utama, yaitu: adanya kontak sosial dan juga adanya komunikasi [2]. Selain memiliki syarat, interaksi sosial juga memiliki berbagai bentuk interaksi yang terdiri dari:

  • Kerja sama ( coorperation );
  • Akomodasi ( accommodation );
  • Asimilasi ( assimilation ).

Setelah membahas arti dari interaksi sosial, syarat serta berbagai bentuknya, maka kita akan membahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor dari interaksi sosial itu sendiri. Faktor-faktor dari interaksi sosial terdiri dari 4 (empat) macam yaitu:

  • Faktor imitasi;
  • Faktor identifikasi;
  • Faktor simpati dan empati;
  • Faktor sugesti.

Terlihat di atas bahwa salah satu dari keempat faktor-faktor interaksi sosial adalah faktor imitasi. Dengan demikian, imitasi yang dimaksud dalam pertanyaan ini, merupakan salah satu faktor dari terjadinya interaksi sosial. Lantas apa arti dari imitasi dalam faktor interaksi sosial? Apabila merujuk ke dalam pendapat yang diberikan Tarde [3], maka imitasi dalam sosiologi merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat yang manifestasinya terlihat dalam penciptaan-penciptaan hal-hal baru dan peniruan (imitasi) dari penemuan baru itu. Dijelaskan secara lebih lanjut pula oleh Tarde [4], bahwa imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Karena masyarakat itu sejatinya merupakan sebuah pengelompokkan manusia dimana individu-individu yang satu mengimitasi individu-individu yang lain dan sebaliknya. Bahkan masyarakat baru dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sebenarnya apabila manusia telah mulai melakukan imitasi kegiatan manusia yang lainnya. Dengan demikian, Tarde berkata bahwa “ la societe e’est l’imitation ”.

Selain itu apabila merujuk kepada pendapat yang diberikan oleh Tim Sosiologi dalam buku yang dituliskan oleh Dyah Ayu M [5], maka imitasi merupakan proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa saya yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa imitasi itu merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk menirukan tingkah laku pekerti dari manusia lain yang berada di sekitarnya. Imitasi sendiri banyak dipengaruhi oleh tingkat jangkauan indranya, yaitu sebatas dilihat, didengar ataupun dirasakan [6].

Imitasi sendiri dapat dibedakan ke dalam berbagai macam bentuk, yaitu terdiri dari tiga kategori yaitu [7] :

  • Same behavior (perilaku sama): merupakan sebuah perilaku yang terjadi ketika ada dua atau lebih individu merespons kepada situasi yang sama dengan cara yang sama pula.

  • Copying behavior (perilaku yang menyalin atau meniru): adalah sebuah perilaku yang terjadi ketika seseorang melakukan perilaku yang sesuai dengan perilaku orang lain.

  • Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian): kategori bentuk ini dapat dilihat ketika ada seseorang yang berperan sebagai pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan yang dipaparkan oleh seorang model.

Selain itu Bandura, berpendapat bahwa imitasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  • Inhibitory-disinhibitory effect : kuat lemahnya perilaku dikarenakan pengalaman tidak menyenangkan atau vicarious reinforcement . Misalnya: ada seorang anak yang melihat temannya dihukum karena temannya telah bolos sekolah. Maka anak tersebut akan mengamati apa yang dialami oleh model tadi, dan ia pun akan mengurangi kemungkinan untuk mengikuti perilaku yang sama dengan temannya. Sedangkan disinhibitory effect terjadi ketika seseorang melihat seorang model diberi penghargaan atau imbalan setelah melakukan perilaku tertentu.

  • Eliciting effect : yaitu ditunjangnya suatu respons yang pernah terjadi dalam diri, sehingga timbul respons yang serupa. Hal ini terjadi ketika seorang individu menunjukkan respons yang sama dengan apa yang ia pernah alami sebelumnya. Contoh: ketika ada seorang anak yang pernah menjadi korban bullying, maka anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying.

  • Modelling effect : merupakan pengembangan respons-respons baru melalui observasi terhadap suatu model perilaku. Jadi dari proses observasi akan suatu model, maka seseorang individu dapat memperoleh repons-respons baru yang ia belum pernah ketahui sebelumnya. Misal: seorang anak yang sedang belajar berbicara tentunya akan mengeluarkan kata-kata baru sebagai hasil pengamatannya terhadap perkataan yang ada di sekitarnya.

Menurut Sunaryo [8], bentuk perilaku imitasi dapat dibagi berdasarkan sifatnya pula. Apabila dibagi berdasarkan sifat dan dampaknya, maka imitasi dapat dibagi menjadi dua bentuk sebagai berikut:

  • Perilaku imitasi positif: yaitu merupakan perilaku imitasi yang mendorong individu untuk mematuhi berbagai kaidah, nilai serta norma yang sedang berlaku.

  • Perilaku imitasi negatif: merupakan perilaku imitasi yang mendorong seorang individu untuk mencontoh suatu tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindakan menyimpang.

Referensi

[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Sutau Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm 53.

[2] Ibid, hlm 58.

[3] Soegarda Poerbakawatja & H.A.A. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm 142.

[4] Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogtakarta: Andi Offset, 2003, hlm 66-67

[5] Dyah Ayu Maharasta, Interaksi Sosial ATL Tipe Agresif dalam Kegiatan Outbond di SLB E Prayuwana Yogyakarta, Skripsi, PLB, FIB, UNY, 2012, hlm 15.

[6] Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: teori, Aplikasi, dan Pemecagannya), Jakarta: Kencana, 2011, hlm 67

[7] B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), Jakarta: Kencana, 2010, hlm 357-358.

[8] Sunaryo, Psikologi untuk Keperawatan, Jakarta: EGC, 2004, hlm 277.

Kata imitasi biasa hanya digunakan untuk sebuah benda mati seperti emas imitasi, produk bermerk imitasi, atau alat-alat kendaraan imitasi, namun imitasi berkembang merambah kehidupan social masyarakat sekarang ini. Kita sebut dengan perilaku imitasi, perilaku imitasi merupakan perilaku yang dihasilkan setelah melewati banyak proses dan biasanya berkiblat pada artis idola dan kebanyakan peniru itu adalah kaum remaja yang masih mencari jati diri dewasanya.

Menurut Sarwono (2009) perilaku mempunyai arti yang lebih kongkret dari pada “jiwa“. Karena lebih kongkret itu, maka perilaku lebih mudah dipelajari dari pada jiwa dan melalui perilaku kita tetap akan dapat mempelajari jiwa. Termasuk dalam perilaku disini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun yang tertutup (covert).

Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang kasat mata, dapat diamati langsung oleh pancaindera, seperti cara berpakaian, atau cara berbicara. Perilaku yang tertutup hanya dapat diketahui secara tidak langsung, misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dsb.

Menurut Gabriel Tarde (dalam Ahmadi, 2007) perilaku imitasi adalah seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja. Walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil.

Gabriel Tarde (1903) juga berpendapat bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan peningkatan dalam peniruan perilaku secara timbal balik.

Perilaku imitasi itu terjadi karena adanya tokoh idola yang dijadikan sebagai model untuk ditiru. Ketika keterpesonaan sekedar menjadi sarana melepaskan diri dari kenyataan menuju impian yang termanifestasikan pada diri seseorang, maka kita masih berada pada wilayah kewajaran. Tapi, manakala dalam keterpesonaan tersebut, kita menyingkirkan batas antara kenyataan dan impian, dan berupaya mencampuradukan keduanya, itulah awal mala petaka dari sebuah keterpesonaan.

Proses peng-imitasian diri itu sendiri berlangsung lebih dalam, peniruannya tidak cukup sebatas aspek-aspek penampilan simbolis, tapi meliputi totalitas kepribadiannya, termasuk hal-hal yang secara prinsipil perlu dihindari. Meniru perilaku destruktif berupa hedonis (pemuasan diri diluar batas kepatutan), memamerkan kemewahan, merongrong sendi-sendi moralitas, mempertontonkan keberanian yang tidak diperlukan, maupun tindakan yang mengarah kepada keinginan melakukan bunuh diri, merupakan bentuk kekaguman yang membahayakan.

Perilaku imitasi adalah segala macam kegiatan yang ditiru atau dicontohkan oleh orang yang melihatnya. Perilaku imitasi ini bisa dalam wujud terbuka dan tertutup.


Imitasi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya interaksi sosial. Imitasi sendiri secara harafiah berarti juga meniru. Terdapat beberapa pendapat ahli dari berbagai sudut pandang yang menjelaskan mengenai definisi imitasi. Imitasi dalam ilmu jiwa diartikan sebagai suatu gejala pada seseorang yang melakukan sesuatu karena pengaruh orang lain. Imitasi dalam sosiologi menurut Tarde (dalam Soegarda, 1982) merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat yang manifestasinya terlihat dalam penciptaan-penciptaan hal-hal baru dan peniruan (imitasi) dari penemuan baru itu. Menurut Tim Sosiologi (dalam Dyah Ayu M, 2012) imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa saja yang dimiliki oleh orang lain.

Menurut Tarde (dalam Bimo Walgito, 2003) imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Masyarakat itu tiada lain dari pengelompokkan manusia di mana individu-individu yang satu mengimitasi dari yang lain dan sebaliknya. Selain itu, Bimo Walgito (2003: 67) menyebutkan bahwa “imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya, sehingga individu yang satu akan dengan sendirinya mengimitasi individu yang lain, demikian sebaliknya. Dengan kata lain, imitasi tidak berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan, sehingga seseorang mengadakan imitasi”. Dapat disimpulkan bahwa imitasi merupakan proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa-apa yang dimilikinya.

Bentuk-bentuk Perilaku Imitasi


Perilaku imitasi dibedakan atas beberapa bentuk diantaranya adalah menurut Miller dan Dollard. Miller dan Dollard (dalam B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, 2008: 357-358) membagi perilaku imitasi (tiruan) menjadi tiga kategori, yakni:

  • Same behavior (perilaku sama).
    Perilaku ini terjadi ketika dua atau lebih individu merespon situasi yang sama dengan cara yang sama. Misalnya, kebanyakan orang berhenti di lampu merah, bertepuk tangan saat suatu konser berakhir, dan tertawa saat orang lain tertawa. Melalui perilaku yang sama, semua individu yang terlibat di dalamnya telah belajar secara independen untuk merespon stimulus tertentu dengan cara tertentu, dan perilaku mereka muncul secara simultan saat stimulus, atau sejenisnya terjadi di lingkungan itu.

  • Copying behavior (perilaku meniru atau menyalin).
    Perilaku ini terjadi ketika seseorang melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang lain. Perilaku meniru atau menyalin merupakan suatu perilaku yang didasarkan atas pengamatan yang jelas terhadap model. Misalnya adalah ketika seorang guru memberikan suatu contoh perilaku menulis yang baik dan benar di papan tulis, kemudian anak-anak menirukan atau menyalinnya. Perilaku anak yang meniru atau menyalin inilah yang kemudian disebut dengan copying behavior.

  • Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian).
    Seorang pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan dari seorang model. Berikut ini adalah penjelasan dan pembahasan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk perilaku imitasi tersebut di atas. Miller dan Dollard memberikan contoh dengan mendeskripsikan situasi di mana anak yang lebih tua belajar lari ke pintu depan setelah mendengar langkah kaki sang ayah mendekati pintu. Ayah memperkuat perilaku anak itu dengan permen. Adiknya mengetahui bahwa jika dia berlari di belakang kakaknya menuju pintu, dia juga akan mendapatkan permen dari ayahnya. Tidak lama kemudian si adik berlari ke pintu setiap kali dia melihat kakaknya melakukan hal itu.

    Pada poin ini perilaku kedua anak itu dipertahankan oleh penguatan, namun masing-masing anak mengasosiasikan penguatan itu pada petunjuk yang berbeda. Bagi si kakak (model), suara langkah ayahnya mendekati pintu menyebabkan dia lari menyongsongnya, dan respon lari ini diperkuat oleh permen. Bagi si adik (imitator), dia lari jika melihat kakaknya lari dan respon lari ini juga diperkuat dengan permen.

Imitasi adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang telah dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsangan, dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik.

Beberapa konsep imitasi di atas selaras dengan pandangan Barlow (dalam Muhibbin, 2003), yang mengatakan imitasi sebagian besar dilakukan manusia melalui penyajian contoh perilaku ( modeling ), yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru tingkah laku orang lain. Sementara itu, menurut Bandura (dalam Carole, 2007) imitasi adalah perilaku yang dihasilkan ketika seseorang melihat model atau orang lain melakukan sesuatu dalam cara tertentu dan mendapatkan konsekuensi dari perilaku tersebut.

Pihak yang melakukan imitasi akan meniru sama persis tindakan yang dilakukan oleh pihak yang diimitasi, tanpa fikir panjang tentang tujuan peniruannya. Adapun perilaku yang diimitasi menurut Soekanto (dalam Arif, 2005) dapat berwujud penampilan ( performance ), sikap ( attitude ), tingkah laku ( behavior ), gaya hidup ( life style) pihak yang ditiru. Namun, imitasi tidak terjadi secara langsung melainkan perlu adanya sikap menerima, dan adanya sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu. Melalui imitasi, seseorang belajar nilai dan norma di masyarakat atau sebaliknya ia belajar suatu perbuatan yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Baik anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi tersebut.

Pengamatan yang dilakukan individu menghasilkan suatu perilaku imitasi yang dilihat dari orang sekitarnya, sehingga timbullah tingkah laku. Hal itu sejalan dengan pendapat Bandura (dalam Yustinus, 2006) yang mengatakan bahwa tingkah laku manusia harus dikaitkan dengan respon-respon yang dapat diamati. Tingkah laku tersebut merupakan hasil melakukan pengamatan individu di lingkungannya. Khususnya pada anak sebagai peniru ulung, anak selalu mengamati perilaku yang tampak dari lingkungan terutama keluarga.

Berdasarkan beberapa pengertian imitasi yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa imitasi adalah perilaku yang dihasilkan seseorang dengan mencontoh atau melihat individu lain melakukan sesuatu, baik dalam wujud penampilan, sikap, tingkah laku dan gaya hidup pihak yang ditiru. Dalam hal ini perilaku imitasi lebih dilihat kepada anak terutama dalam lingkungan keluarga melalui pengamatan secara langsung.

Tahap- Tahap dalam Melakukan Imitasi

Imitasi adalah proses peniruan tingkah laku seorang model, Sehingga disebut juga proses modeling. Ini dapat diaplikasikan pada semua jenis perilaku yang memiliki kecenderungan yang kuat untuk berimitasi. Proses ini tidak dilakukan terhadap semua orang tetapi terhadap figur-figur tertentu seperti orang- orang terkenal, orang yang memiliki kekuasaan, orang yang sukses, atau orang yang sering ditemui.

Figur yang biasanya menjadi model tersebut adalah orang tua itu sendiri. Namun menurut Tarde (dalam Gerungan, 2010) sebelum orang mengimitasi suatu hal, terlebih dahulu haruslah terpenuhi beberapa syarat, yaitu:

  • Memiliki minat/perhatian yang cukup besar akan hal tersebut.

  • Menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang akan diimitasi.

  • Ingin memperoleh penghargaan sosial seperti yang ditiru.

Imitasi berarti proses meniru, dalam proses imitasi ini seseorang bertindak sebagai stimulus atau sebagai kunci tingkah laku bagi orang lain. Anak mengamati stimulus itu dan berupaya melakukan tingkah laku atau respon yang sama jenisnya dan menirunya secara persis. Jadi langkah pertama yang dilakukan oleh si peniru adalah meniru model melalui panca indera yang dia butuhkan untuk diamati dan dipelajari pola-polanya. Setelah anak mengamati pola-pola perilaku dari model melalui panca indera, maka dengan kemampuan persepsi, anak mengolah informasi dari model yang dilihatnya, sehingga membentuk aksi berupa gerakan motorik yaitu tingkah laku yang diimitasi.

Imitasi sering dikaitkan dengan teori belajar sosial dari Bandura, karena belajar sosial dikenal sebagai belajar observasi atau belajar dari model, yaitu proses belajar yang muncul dari pengamatan, penguasaan pada proses belajar imitasi, serta peniruan perilaku orang lain. Di dalam imitasi ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Dalam teori belajar sosial, individu belajar tidak melalui pengkondisian, tetapi melalui pengamatan, ( Mukhlis, 2010).

Belajar adalah suatu aktivitas yang berproses, karenanya di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap, begitu pula pada imitasi. Menurut Saguni (2007) setiap individu melakukan proses belajar sosial yang terjadi dalam urutan tahapan peristiwa sebagai berikut:

  • Tahap perhatian ( attention phase ). Individu dapat belajar melalui observasi apabila ada model yang dihadirkan secara langsung ataupun tidak langsung, dan secara akurat ada aspek-aspek yang relevan dengan aktivitas model. Respon yang baru dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengarkan dan memperhatikan orang lain, maka perhatian dalam hal ini menjadi sangat penting. Namun seperti yang diketahui, tidak semua model yang dihadirkan akan mendapatkan perhatian dari individu. Oleh karena itu, supaya dapat mengamati dan belajar dari model maka perlu diarahkan dan ditingkatkan perhatiannya.

    Cara yang dipakai tidak selalu sama untuk semua orang, misalnya anak- anak berbeda dari orang dewasa dalam mengarahkan perhatian. Namun secara umum untuk meningkatkan perhatian dapat digunakan reward dan penonjolan pada kualitas model misalnya model mempunyai daya tarik tertentu.

  • Tahap Retensi ( retention phase ). Setelah aktivitas model diobservasi, langkah selanjutnya adalah proses encoding dalam bentuk visual dan atau verbal symbol . Informasi yang diperoleh ini selanjutnya akan disimpan di memori dalam short-term memory ataupun long- term memory . Namun sebenarnya tidak semua informasi dari model akan disimpan oleh individu, jika individu tidak berminat dan tidak perhatian, biasanya informasi akan segera dilupakan. Informasi yang diterima akan lebih efektif jika disampaikan model secara visual ataupun verbal, tetapi untuk tahap perkembangan awal (anak-anak) informasi secara visual ternyata lebih baik mengingat perkembangan verbal anak-anak memang belum sempurna. Informasi yang sudah disimpan itu akan sangat membantu individu apabila sering diulang dengan latihan.

  • Tahap Reproduksi Motorik ( reproduction phase ). Apa yang telah disimpan dalam memori perlu diwujudkan dalam bentuk aktivitas. Dalam tahap reproduksi motorik ini feedback dapat diberikan untuk mengoreksi imitasi perilaku sehingga dapat dilakukan penyesuaian. Dalam proses ini diperlukan syarat-syarat tertentu agar aktivitas dapat terwujud, yaitu:

    • Individu mempunyai komponen skill yang mendukung terwujudnya aktivitas yang telah diamati.

    • Individu mempunyai kapasitas fisik untuk melakukan koordinasi aktivitas tersebut.

    • Hasil dari koordinasi ini dapat diamati

  • Tahap Motivasi ( motivation phase ). Tahap terakhir adalah tahap penerimaan dorongan yang dapat berfungsi sebagai reinforcement atau penguatan . Penguatan adalah bersemayamnya segala informasi dalam memori seseorang. Pada tahap motivasi ini reinforcement dapat digunakan sebagai motivator untuk merangsang dan mempertahankan perilaku agar diwujudkan secara aktual dalam kehidupan. Menurut Bandura ada tiga cara pemberian reinforcement, yaitu:

    • Secara langsung; reinforcement diberikan segera setelah perilaku muncul.

    • Vicarious reinforcement ; hanya dengan melihat orang lain merasakan akibatnya seolah-olah berlaku pada diri sendiri.

    • Self-reward ; dengan cara memotivasi diri sendiri, misalnya mengatakan diri sendiri mampu melakukan aktivitas.

Tahap-tahap yang telah diuraikan di atas, dimulai dari adanya perilaku individu sebagai model dan berakhir dengan tahap penerimaan stimulus, yang berfungsi sebagai reinforcement atau penguatan yang tersimpannya informasi pada individu tersebut sehingga munculnya suatu perilaku pengimitasian.

Dalam keseharian individu, keempat tahap itu tidak bisa terpisahkan karena tahap perhatian merupakan tahapan paling mendasar, yang tentunya anak akan mengalami perhatian untuk mengagumi suatu aktivitas yang membuat anak mengikutinya. Pada saat anak mengimitasi pada salah satu perilaku keagamaan misalnya pada gerakan sholat, awalnya perhatian anak akan tertuju pada aktivitas sang model yaitu sholat, kemudian mengingat-ingat apa yang sudah dilihatnya dalam bentuk simbolik berupa gerakan, dengan kemampuan motorik membantu memproduksi tingkah laku sehingga meniru gerakan sholat tersebut dan jenis reinforcement yang menyertainya dalam mempertahankan perilaku meniru gerakan sholat.