Apa yang dimaksud dengan Ihsan?

Ihsan (“kesempurnaan” atau “terbaik”) adalah apabila engkau beribadah kepada-NYA seakan akan engkau melihat-NYA, dan apabila engkau tidak bisa maka yakinlah Allah yang akan melihat engkau…

Apa yang dimaksud dengan Ikhsan ?

Secara lughawi (asal-usul kata), ihsan adalah lawan kata dari isâ’ah. Kata ihsan memiliki arti mengokohkan, merapihkan (itqana), menguatkan, dan memberi manfaat (awshala al-naf’a). Ihsan juga dapat diartikan sebagai memperbaiki atau menjadikan baik. Ihsan juga tetap dapat diartikan sebagai membaguskan ketika di-ta’diah- kan kepada huruf jar, ilâ atau huruf jar, bi.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa ihsan adalah suatu bentuk perbuatan yang baik atau sangat baik. Dalam pengertian lain, dengan mengutip pada pandangan Al-Qurthtubiy menyatakan bahwa ihsan mempunyai dua arti.

  • Pertama, ketika muta’addi dengan sendirinya akan memiliki makna merapihkan dan menyempurnakan.
  • Kedua, di saat muta’addi dengan huruf jar maka akan memiliki arti memberikan manfaat.

Sementara itu, Quraish Shihab menyebutkan bahwa al-Raghib al- Asfahani memiliki pendapat sendiri mengenai kata ihsan, yaitu :

  • Pertama, memberi nikmat kepada orang lain.
  • Kedua, berbuat baik.

Karenanya, ia menyebut bahwa kata ihsan lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau nafkah.

Pandangan-pandangan mengenai ihsan ini pada dasarnya bisa difokuskan dalam tiga makna. Aplikasi makna ihsan ini pun dapat bersifat integral dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Makna tersebut adalah :

  • Pertama, ihsan adalah melakukan suatu pekerjaan (amal) dengan sebaik-baiknya, seindah mungkin dan dengan sesempurna mungkin.

  • Kedua, ihsan adalah berbuat baik atau melakukan kebajikan terhadap siapa saja.

  • Ketiga, ihsan adalah memberi nikmat atau manfaat yang dilakukan untuk pihak lain.

Pemisahan tersebut hanyalah bersifat harfiyah. Makna pertama merupakan bentuk realisasi dari makna ke dua dan ke tiga. Sementara untuk makna ke tiga, sudah tercakup dalam makna kedua. Ihsan dengan makna pertama adalah bentuk fi’il madhi-nya yang digunakan Allah swt untuk diri-Nya sebagai fâ’il dalam menciptakan makhluk. Utamanya, manusia dengan sempurna, seindah-indahnya dan sebaik mungkin bentuk dan rupanya, seperti kalam-Nya.

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS. al-Sajdah [32] : 7).

Makna tersebut akan terlihat makin jelas ketika dihubungkan dengan penciptaan manusia, seperti yang tertera dalam kalam-Nya:

“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu, serta memberi kamu rizki dengan sebahagian yang baik-baik…” (Q.S. al-Mu‟min [40] : 64)

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dan membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nya- lah kembalimu.” (Q.S. at-Taghabun [64] : 3)

Pada ketiga ayat tersebut, terdapat kata ahsana yang cenderung bermakna memperindah, membaguskan ataupun menjadikan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dari sini, dapat pula diartikan bahwa Allah swt telah berbuat baik dan memberikan nikmat-Nya untuk segenap makhluk, terutama manusia berupa keindahan bentuk dan rupa.

Ihsan dalam hal ini jelas adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh Allah, atau ihsan Allah. Sementara ihsan dengan arti ke dua, yakni berbuat baik kepada siapa saja, merupakan ungkapan Allah swt yang meliputi segenap term ihsan yang termaktub dalam al-Qur‟an. Makna ihsan ini lebih sederhana, akan tetapi luas sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik yang melakukan kebaikan itu manusia maupun Allah swt.

Struktur kalimatnya sendiri terdiri dari fi’il (kata kerja) mâdhi, mudhâri’ dan amar, beserta kata benda berupa mashdar atau kata sifat (isim fâ’il).

Ayat-ayat yang menjadi contoh yang representatif untuk menegaskan gagasan tersebut, yaitu:

  1. Surat Ali Imran [3] : 172

    “(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan bertakwa ada pahala yangbesar.” (Q.S. Ali Imran [3] : 172).

    Al-Raziy menafsirkan lafadz ahsana yang ada pada ayat ini sebagai perbuatan baik yang dilaksanakan seseorang dalam bentuk mentaati Allah dan rasul-Nya, yang diaplikasikan ke dalam pengamalan seluruh perintah, sekalipun perintah yang dipikulkan itu berbahaya38. Perilaku ini merupakan bentuk kebajikan yang melekat pada pribadi orang-orang mukmin yang mempunyai sikap istiqamah dan komitmen total terhadap seruan Allah dan rasul-Nya.

  2. Surat al-Baqarah [2] : 195

    “Dan belanjakan (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah kamu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Baqarah [2] : 195).

  3. Surat al-Qashash [28] : 77

    “Dan berbuat baiklah kepada orang lain karena Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28] : 77)

    Ihsan dengan arti yang ke tiga yakni “memberi nikmat atau manfaat kepada pihak lain”. Kata ini tercantum dalam al-Qur‟an dengan menggunakan fi’il (kata kerja) yang fâ’il-nya (subjek) adalah Allah dan manusia.

    Dari penggalan ayat di atas yang berbunyi “wa ahsin kamâ ahsanaAllah ilaika” ditafsirkan oleh al-Qurthubiy sebagai “patuhlah dan beribadahlah kamu kepada Allah seperti Allah telah memberikan nikmat kepada kamu”. Dalam hal ini, nikmat, pada hakikatnya adalah sesuatu yang memiliki manfaat bagi kehidupan manusia sebagai perwujudan dari kebaikan-Nya.

  4. Surat al-Thalaq [65] : 11

    “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkankannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama- lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rizki yang baik kepadanya”. (Q.S. al-Thalaq [65] : 11).

    Potongan ayat yang berbunyi “qad ahsana Allahu lahu rizqan” di atas ditafsirkan oleh Al-Qurthubiy sebagai “Allah memberikan kelapangan terhadap orang yang beriman kepada-Nya dan melakukan kesalehan berupa nikmat surga”. Sejalan dengan al-Qurthubiy, Al-Alusiy menyatakan bahwa menurutnya kedudukan potongan ayat tersebut menjadi hal dari maf’ûl (objek) dari kata yudkhilhu (niscaya Allah memasukkannya) atau dari dhamîr yang terdapat pada lafadz khâlidîna.

Nikmat surga ini menjadi sesuatu yang paling bermanfaat bagi manusia dibandingkan dengan berbagai hal lain. Nikmat tersebut merupakan bagian dari kebaikan Allah yang pantas diberikan untuk orang-orang yang dikehendaki- Nya. Orang -orang yang dikehendaki ini dinilai mampu memenuhi keriteria iman dan amal saleh.

Sedangkan ihsan untuk makna ke tiga, dengan fi’il mâdhi yang fâ’il-nya manusia dapat dilihat dari Q.S. al-Isrâ‟ [17] : 7:

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang- orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (Q.S. al-Isra [17] : 7).

Bagian ayat “in ahsantum ahsantum li anfusikum” ini menurut al- Qurthubiy, memiliki makna sebagai “nikmat ihsan kamu akan kembali kepada dirimu sendiri”. Penafsirannya ini dilandaskan pada pernyataan al-Thabariy yang mengartikan huruf jar li dengan ilâ sesuai pendapatnya sendiri yang me-muta’addi-kan ihsan dengan ilâ (memberi nikmat atau manfaat kepada pihak lain).

Hal ini berarti bahwa setiap orang yang memberikan nikmat dan manfaat kepada siapa-pun, maka ia akan menikmati dampak positif dari perbuatannya tersebut. Berbuat baik dapat dilakukan terhadap Allah, sesama manusia, maupun terhadap makhluk hidup lain beserta alam semesta. Dengan demikian, kebaikan yang dilakukannya akan dinikmati sebagai ganjaran bagi dirinya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Dari pemaknaan secara “asal kata” yang telah diuraikan, dapat dipahami bahwa ihsan pada dasarnya ada dua macam, yakni ihsan Allah dan ihsan manusia. Namun, ihsan manusia adalah yang lebih ditekankan dan lebih banyak muncul karena dalam hal ini berperan sebagai petunjuk hukum -hukum Allah swt bagi umat manusia. Berbagai petunjuk inilah yang mengarahkan manusia untuk berbuat ihsan, yakni berbuat kebaikan dengan memberikan nikmat kepada orang lain dan beribadah kepada Allah dengan cara yang sebaik-baiknya.

Makna ihsan dapat dipahami melalui hadis Jibril. Dari Umar bin Khatthab r.a, hadis tersebut berbunyi :

“Ihsan ialah kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjadi rujukan mengenai konsep ihsan, yang diartikan sebagai berbuat baik di segala hal secara maksimal sampai dapat mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi, yakni melihat Allah swt dengan mata hati. Dapat pula diartikan sebagai telah terpatrinya keyakinan yang mendalam terhadap Allah yang Maha Melihat atau Maha Mengawasi.

Hadis ini juga menunjukkan bahwa suatu tindakan belum termasuk ihsan ketika tidak dilakukan dengan maksimal dalam upaya mencapai kesempurnaan optimal. Sekalipun telah berbuat baik ke pada siapa pun, tapi kesempurnaan yang dimaksud ini harus ditunjukkan dari kemampuannya untuk melihat Allah melalui mata hatinya, merasakan kehadiran-Nya atau menyadari keyakinan penuh bahwa perbuatan baik itu dilihat, diawasi dan diperhitungkan oleh-Nya. Keyakinan seolah melihat Allah atau dilihat Allah inilah yang menjadi rukun atau landasan utama dari suatu perbuatan disebut sebagai ihsan.

Berdasarkan dari hadis tersebut, maka dapat dipahami pula bahwa arti kata ihsan mengarahkan pada bagaimana cara manusia beribadah kepada Allah, yakni dengan kekhusyukkan. Pada kondisi ketika seolah-olah melihat Allah swt disebut musyahadah (penyaksian). Sedangkan jika kita mengangan-angan seolah-olah Allah dapat melihat kita, ini disebut murâqabah (merasa diawasi).

Pengertian inilah yang menjadi rujukan bahwa ihsan merupakan salah satu pilar agama yang penting dan strategis demi mewujudkan sosok muslim yang berkualitas. Sebab, jika seorang senantiasa berbuat ihsan, maka ia akan melaksanakan kebaikan secara optimal, baik dalam kuantitas mau pun dalam kualitasnya. Seorang muhsin akan senantiasa berupaya melakukan perbuatan baik secara simultan demi menuju kesempurnaan diri.

Ditambah lagi, musyahadah maupun murâqabah ini pun juga dicapai dengan jalan muhâsabah atau upaya terus mengevaluasi dan memperbaiki diri. Dari sini, dapat ditarik pula kesimpulan bahwa makna ihsan di dalamnya juga mencakup bagaimana seseorang selalu berusaha untuk memperbaiki dirinya secara terus menerus sehingga ia bisa bergerak menuju pada kesempurnaan diri, baik dari pemikiran dan perbuatan. Secara sederhana, ihsan adalah perbuatan baik yang terus diperbaiki dan dilakukan secara terus menerus.

Al-Marâghiy memberikan gambaran ihsan sebagai bentuk perbuatan baik seseorang yang dilakukan dengan sesempurna mungkin. Demikian pula dengan pemikiran Thanthâwi Jauhariy (1870-1940 M) yang juga meletakkan ihsan sebagai salah satu dari pilar agama yang mencakup cabang iman.

Dalam persepsi Thanthâwi Jauhariy, hanya dengan melibatkan cabang - cabang iman, barulah ibadah seseorang kepada Allah dapat mengantarkannya sehingga ia sampai melihat-Nya. Cabang-cabang iman ini berjumlah 60 macam. Cabang iman tertinggi adalah kalimat thayyibat dan yang paling rendah adalah menjauhkan sesuatu yang membahayakan (semacam duri) dari jalan.

Cabang iman ini bisa juga dianggap sebagai wujud perbuatan baik seseorang sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt.

Luasnya cakupan cabang iman ini juga menunjukkan bahwa ihsan sesungguhnya mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Aspek ini dapat secara lahiriah maupun batiniah dan dapat pula berhubungan dengan duniawiah dan ukhrawiah yang satu sama lainnya saling terkait. Dalam aktualisasinya, ihsan harus dilakukan secara terpadu, serasi dan simultan di antara cabang - cabang iman tersebut demi mencapai tingkat kesempurnaan diri yang bermutu.

Masih menurut Thanthâwi Jauhariy, ihsan menjadi semacam ruh dalam setiap kebajikan. Suatu kebajikan yang dilakukan tanpa ruh ibarat badan tanpa nyawa. Ini karena inti ihsan yang terletak pada ka annaka tarâhu fa in lam takun tarâh fa innahu yaraka50. Selain itu, ihsan pun juga merupakan puncak kebajikan suatu amal.

Jika demikian, maka dapat pula ditegaskan bahwa dalam ihsan, niat karena Allah juga merupakan hal yang mutlak. Seorang yang melakukan kebaikan -kebaikan sesuai ajaran Islam, tapi tidak didasari dengan niat melakukan perbuatan baik tersebut karena Allah swt, maka tindakan itu tidak bisa disebut sebagai ihsan.

Al-„Asqalâniy, mengutip pandangan dari al-Nawawiy yang menyebutkan bahwa sesungguhnya seorang muhsin senantiasa menjaga etikanya karena ia merasa melihat Allah dan/ atau Allah juga melihatnya.

Karenanya, pada kondisi bahwa Allah pasti melihat dirinya selamanya, sedangkan ia tidak dapat melihat-Nya, maka ia pun harus selalu berbuat baik sebagai bentuk upaya untuk mempercantik ibadah kepada Allah.

Bagi seorang muslim, derajat ihsan ini adalah derajat yang paling sempurna. Derajat ihsan dicapai melalui peribadahan yang mengandung raghbah wa thalab (menginginkan dan mencari), sehingga dia seakan-akan dapat melihat-Nya. Karenanya, seorang yang telah mencapai derajat ihsan ini dapat merasakan murâqabah sehingga ia pun senantiasa akan memperbaiki dan membaguskan amalannya.

Ihsan dilihat dari perspektif al-Qur‟an dapat diartikan ke dalam beberapa hal, yaitu :

  • Pertama, ihsan adalah melakukan suatu pekerjaan (amal) dengan sebaik- baiknya, seindah mungkin dan dengan sesempurna mungkin.
  • Kedua, ihsan adalah berbuat baik atau melakukan kebajikan terhadap siapa saja, dengan tujuan untuk memberi nikmat atau manfaat yang dilakukan untuk pihak lain.
  • Ketiga, ihsan adalah cara manusia beribadah kepada Allah, dengan kekhusyukkan yang terus diperbaiki untuk menuju kesempurnaan diri. Keempat, bentuk perbuatan baik seseorang yang dilakukan dengan sesempurna mungkin demi untuk Allah swt.

Ihsan Menurut Para Ulama

Pemaknaan mengenai ihsan juga telah banyak dilakukan oleh para ulama dan ahli tafsir. Di dalam memaknai ihsan, ada beberapa pandangan berbeda yang diungkapkan. Secara umum, ihsan bisa dibagi dalam ihsan Allah dan ihsan manusia.

Pemaknaan ihsan yang pertama, yakni melakukan suatu pekerjaan (amal) dengan sebaik-baiknya, seindah mungkin dan dengan sesempurna mungkin mengarah pada ihsan Allah yang dilakukan terhadap makhluk-Nya.

Kedua, ihsan yang diartikan sebagai berbuat baik atau melakukan kebajikan terhadap siapa sajadengan tujuan untuk memberi nikmat atau manfaat yang dilakukan untuk pihak lain.

Perspektif ini sejalan dengan penafsiran para ulama, seperti Thanthâwi Jauhariy yang mengartikan ihsan sebagai bentuk perbuatan baik kepada orang lain yang berbuat jahat. Namun, dari pengertian ihsan yang ditafsirkan Thanthâwi Jauhariy, ihsan lebih menitikberatkan pada bentuk perlakukan manusia yang bereaksi positif atas perbuatan orang lain yang negatif. Akan tetapi, tidak ada pengertian yang mengarah pada penyertaan perangai baik manusia kepada lingkungan non manusia.

Selain itu, Al-Qâsimiy dalam kitab tafsirnya juga memberikan penafsiran yang sejalan. Menurutnya, ihsan didefinisikan sebagai perbuatan yang membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih banyak, serta merespon kejahatan dengan memberikan maaf.

Ta’rîf ini lebih mengarah pada pengertian dialektika yang terpuji antar sesama manusia dalam bereaksi terhadap perlakuan orang lain, yang dilakukan dengan berbuat lebih unggul dan simpatik serta berorientasi pada semangat memperoleh nilai tambah. Namun, ihsan dalam pengertian ini masih dapat ditemukan sisi kosong yang tidak terjangkau, yakni tentang bagaimana manusia merespon kebaikan Allah dengan melakukan kebaikan kepada-Nya dan kepada selain manusia.

Selain itu, pengertian ini pun juga sangat dekat dengan apa yang dipahami oleh M. Quraish Shihab. Bahkan, dalam bukunya Tafsir al- Mishbah, ia menyatakan bahwa makna kata ihsan lebih luas dari sekedar pengertian “memberi nikmat atau nafkah”. Makna ihsan pun dikatakan lebih luas dari sekadar dari kandungan makna “adil”, karena adil diartikan sebagai “memperlakukan orang lain sama dengan perlakukannya kepada Anda.” Sedangkan pengertian ihsan dikatakan sebagai memberi lebih banyak daripada yang harus diberikan dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya diambil.

Ketiga, ihsan adalah cara manusia beribadah kepada Allah, dengan kekhusyukkan. Sejalan dengan pemaknaan ini, Ibn „Athiyya juga menyebutkan bahwa ihsan adalah mengerjakan segala sesuatu yang mandûb (dianjurkan atau disunnahkan), yakni dengan jalan melakukan kebajikan secara sempurna dan maksimal sehingga melebihi batas standar (fardh) serta menghasilkan nilai tambah. Apa yang dilakukan ini adalah bentuk dari bentuk peribadahan kepada Allah swt, yakni menjalankan perintah Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah.

Selain itu, Ibn Abbas ra juga memiliki pendapat yang sejalan, bahwa ihsan dapat meliputi beberapa hal. Hal tersebut antara lain :

  1. Ihsan adalah melaksanakan kewajiban (adâ al-farâidh). Dalam hal ini, ihsan yang diartikan sebagai melaksanakan kewajiban memiliki cakupan yang cukup sempit. Pengertian ini sebatas melakukan pengamalan terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharuskan saja, sementara hal-hal yang dianjurkan (sunnah) dan diperkenankan (mubâh) tidak dilibatkan.

  2. Ihsan adalah mencintai sesama manusia sebagaimana mencintai diri sendiri. Pengertian yang termuat pada definisi ini hanya ihsan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya tidak meliputi ihsannya kepada Allah swt dan kepada sesama makhluk-Nya.

  3. Ihsan diartikan sebagai ikhlas. Konsep ihsan sebagai bentuk ikhlas melukiskan satu sifat dari akhlak mahmudah.

Keempat, bentuk perbuatan baik seseorang yang dilakukan dengan sesempurna mungkin demi untuk Allah swt. Penafsiran ini pun sejalan dengan pemikiran Thoshihiko Izutsu. Menurutnya, pengertian ihsan secara umum adalah berbuat baik. Lebih lanjut, ihsan dalam al-Qur‟an menurutnya juga digunakan untuk dua klasifikasi dari berbuat baik tersebut, yakni:

  • Ketaatan mendalam terhadap Tuhan beserta semua amal yang bersumber dari ketaatan tersebut.
  • Segala tindakan yang dimotivasi oleh semangat hilm (perangai yang penuh rasa cinta kasih). Artinya, semua perbuatan baik yang dilakukan ini pun dilakukan dengan atas nama Allah swt.

Selain itu, ada juga Sufyan ibn Uyainah yang berpendapat bahwa ihsan ialah perilaku merahasiakan sesuatu yang lebih baik daripada mempublikasikannya. Merujuk pada pengertian ihsan ini, artinya lebih menekankan pada sifat kehati -hatian. Sebab, tindakan mengungkapkan suatu kebaikan secara terbuka dikhawatirkan dapat melahirkan sifat arogansi dan popularitas yang tidak terkontrol (riya atau sum’ah).

Begitu pula dengan tindakan mempublikasikan keburukan yang dapat mengakibatkan munculnya ghîbah dan namîmah. Padahal keduanya adalah bentuk akhlak madzmûmah. Upaya untuk mempublikasikan dan menyembunyikan sesuatu ini sudah selayaknya menjadi bagian melekat dalam kehidupan manusia. Aplikasi sifat ihsan ini merujuk pada kearifan dan tepat guna (muqtadh al-hâl).

Berbagai pakar telah mengungkapkan pandangannya mengenai pengertian ihsan. Dari berbagai pengertian tersebut, pada dasarnya ihsan lebih banyak merujuk pada apa -apa yang dilakukan manusia. Secara umum, ihsan adalah suatu perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, demi untuk Allah swt. Meski lebih erat dengan perbuatan manusia, namun ada juga perbuatan ihsan yang dilaksanakan oleh Allah seperti yang diungkapkan oleh Thanthâwi Jauhariy.

Menurut Thanthâwi Jauhariy, ihsan dapat dibagi menjadi ihsan Allah (ihsan yang dilakukan oleh Allah) dan ihsan manusia (ihsan yang dilakukan oleh manusia). Lebih lanjut, ia menawarkan pembagian ihsan dalam dua jenis, yaitu :

  • Ihsan al- Shinâ’ah wa al-A’mâl, yang melingkupi kebaikan Allah berupa penciptaan makhluk-Nya, seperti tertera dalam QS al-Sajdah [32] : 7 (al-ladzii ahsanakulla syaiin khalaqah…).

  • Ihsan al-Thâ’ah, berupa ihsan yang dilakukan manusia dengan merealisasikan kepatuhan terhadap Allah, berupa menciptakan nilai tambah dan melaksanakan ketaatan.
    Ihsan ini seperti dengan berbuat baik kepada sesama manusia, dan berupaya menyempurnakan kepatuhan secara maksimal, semisal dengan konsentrasi hati saat melaksanakan shalat (ritual) dan ikhlas ketika bersedekah (sosial).

Selain itu, perbedaan dalam memahami pengertian ihsan ini juga dapat dilihat dari dua unsur pokok, yakni ; keluasan wilayah cakupannya dan keoptimalan serta kesinambungan dalam pelaksanaannya. Kedua unsur tersebut melekat pada ihsan.

Sebab, kata ihsan yang berarti “baik” ini pun juga memiliki konotasi yang hampir serupa dengan konotasi term lain, yang juga berarti “baik”. Misalnya seperi khoir, jayyid, makruf, birr, shohih, kharomah, dan jamil. Term-term ini secara etimologi sering diartikan juga dengan kata baik. Hanya saja, penempatan dari masing -masing term ini berbeda dengan ihsan. Term ihsan memiliki penjabaran yang lebih terkhusus atau sempit. Hanya bila seseorang dapat mengaktualisasikan sikap ihsan, maka ia disebut sebagai muhsin.

Sementara muhsin tidak bisa digunakan untuk menyebut orang -orang yang berbuat baik, tapi bukan dalam ranah implementasi ihsan.

Misalnya saja, ajakan untuk bersegera dalam shalat subuh. Dari hadis Abu Mahdzurah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sunnah adzan.” Lalu, beliau menyebutkannya:.

“Pada shalat subuh, engkau mengucapkan, “Ash-Shalatu khairum minan naum, ash-shalatu khairum minan naum, Allahu akbar, Allahu akbar.

Lafadz “ash-shalatu khairum minan naum” yang diartikan “lebih baik shalat daripada tidur” ini juga memiliki arti “baik” akan tetapi baik di sini tidak menggunakan lafadz “ihsan”, melainkan “khoir”. Ini menunjukkan bahwa konteks keduanya memang berbeda.

Begitu pun dalam QS. Al Jumu‟ah [62]: 9, yang berisi ajakan Shalat Jumat,

“… Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Baik dalam ayat ini pun juga menggunakan kata khoir dan bukan ihsan. Meski sama-sama berarti baik, tapi konsepsi ihsan perspektif al-Qur‟an memiliki makna yang lebih khusus dari sekedar baik. Apalagi, ihsan juga menjadi tingkatan tertinggi dalam akhlak seorang muslim, yang baru bisa dicapai setelah mencapai Islam dan Iman.