Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana?

image

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Menurut Prof. Moeljatno, S.H. Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

  • Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  • Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  • Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.

Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk bidang hukum publik. Artinya, hukum pidana megatur hubungan antara warga dengan negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik. Secara histori hubungan hukum yang pada awalnya adalah hubungan pribadi atau hubungan privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambil alih kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambil alih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum.

Hukum pidana merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yaitu dalam hal sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju kearah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan atau sering kita sebut sebagai norma, serta akibatnya atau sering disebut sanksi.

Yang membedakan hukum pidana dengan hukum yang lainnya adalah bentuk sanksinya, bentuk sanksi ini bersifat hukuman yang memiliki macam-macam bentuk hukuman, seperti perampasan harta akibat denda, dirampas kemerdekaanya karena dipidana kurungan atau penjara, bahkan adapula dirampas nyawanya jika diputuskan atau dijatuhi pidana mati.

Ketentuan hukum positif (KUHP) di Indonesia saat ini, tidak tercantum suatu ketentuan yang menjelaskan mengenai definisi dari tindak pidana (starfbaar feit). Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “Tindak Pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Strafbaar feit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan “Strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum”. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, ataupun tindakan.

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturanya telah disusun dalam suatu kitab undang-undang yang dinamakan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu. Di dalam KUHP itu sendiri tidak terdapat ketentuan atau satu pasal pun yang merumuskan mengenai pengertian tindak pidana, sehingga tidak ada batasan yang pasti mengenai makna dan pengertian istilah tindak pidana yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, timbul berbagai pendapat dari beberapa ahli hukum, dimana mereka mencoba untuk menafsirkan sendiri apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan tindak pidana.

Oleh karena itu, untuk menemukan dan memahami tentang pengertian serta makna dari perkataan tindak pidana, maka diteliti berdasarkan doktrin-doktrin atau pendapat para ahli mengenai makna dan pengertian tindak pidana.

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut:26

  1. POMPE, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

  2. APELDOORN, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan diberikan arti:
    Hukum Pidana Materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu:

    • Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukuman dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.

    • Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. Hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil ditegakkan.

  3. D. HAZEWINKEL-SURINGA, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale), yang meliputi:

    • Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak.

    • Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan apabila Norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Penitensier.

    • Subjektif (ius puniendi), yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

  4. VOS, meyatakan bahwa hukum pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai:

    • Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi:

      1. Hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bilamana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat dipidana.
      2. Hukum pidana formal yaitu hukum acara pidana.
    • Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

    • Hukum pidana umum (algemene strafrecht), yaitu dalam bentuknya sebagai ius special seperti hukum pidana militer, dan sebagai ius singulare seperti hukum pidana fiskal.

  5. ALGRA JANSEN, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaan, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.

Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut:

  1. MOELJATNO, mengatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan untuk:

    • Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

    • Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

    • Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

  2. SATOCHID KARTANEGARA, bahwa hukum pidana dapat dipandang beberapa sudut, yaitu:

    • Hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.
    • Hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
  3. SOEDARTO, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsider. Pidana juga termasuk tindakan (maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.

  4. MARTIN PRODJOHAMIDJOJO, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

    • Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
    • Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
    • Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.
  5. ROESLAN SALEH, mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokok dari definisi hukum pidana itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

    • Hukum pidana sebagai hukum positif
    • Substansi hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.
  6. BAMBANG POERNOMO, menyatakan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan Norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana itu diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat.

Referensi :

  • P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesiia, Bandung, 1984, Sinar Baru.
  • Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk, Moeljatno :

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana sebagaimana yang telah diancamkan
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Selain itu, hukum pidana menurut Simons adalah sebagai berikut:

  1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati
  2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana
  3. Keseluruhan ketentuan yang mmeberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

Beberapa pengertian pidana oleh para ahli yang akan kita bahas tentunya berkaitan dengan kata atau istilah pidana itu sendiri. Berawal pada penggunaan kata “hukuman” yang merupakan istilah yang sifatnya umum, mempunyai arti yang luas dan cenderung berubah-ubah karena bidangnya yang cukup luas.

Kata “hukuman” tidak hanya dalam bidang hukum, tetapi digunakan di bidang lainnya.

Diperlukan suatu batasan yang menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat yang khas, maka disepakai menggunakan kata “pidana” karena diyakini bersifat lebih khusus atau spesifik daripada kata “hukuman”, sehingga dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat yang lebih spesifik, seperti dalam bidang hukum saja.

Selanjutnya, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa pidana adalah hal-hal dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

Van Hamel berpendapat bahwa arti pidana menurut hukum positif adalah:

”Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuaaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu peraturan hukum yang ditegakkan oleh negara”.

Simons, sebagaimana dikutip oleh Lamintang, juga mengemukakan bahwa pidana dapat diartikan sebagai suatu penderitaan yang oleh undang- undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.

Sedangkan, Sudarto justru mempertanyakan istilah pidana dalam pernyataannya sebagai berikut:

“Yang jelas harus disadari ialah bahwa pengertian pidana dari abad kesembilan belas perlu diadakan revisi apabila kita menghendaki suatu pembaharuan dalam hukum pidana kita. Pada waktu KUHP kita dibuat, lebih dari 60 tahun yang lalu, mengenakan pidana diartikan sebagai pemberian nestapa secara sengaja. Ilmu hukum pidana dalam perkembangannya, lebih-lebih dengan munculnya sanksi yang berupa tindakan sebagai akibat dari pengaruh aliran modern maka di berbagi negara akhirnya pengertian pidana demikian itu harus ditinjau kembali”.

Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan, Roeslan Saleh juga berpendapat bahwa pidana ialah reaksi atas delik dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.

Pidana memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat–akibat lain yang tidak menyenangkan.

  2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

  3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang–undang.

Selain itu, Andi Hamzah mengemukakan bahwa menurut hukum positif Indonesia, pidana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur bahwa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari :

  1. Pidana mati;
  2. Pidana penjara;
  3. Pidana kurungan;
  4. Pidana denda.

Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:

  1. Pencabutan hak-hak tertentu;
  2. Perampasan barang-barang tertentu;
  3. Pengumuman putusan hakim.

Referensi :

  • Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1980
  • Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990
  • Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2005
  • Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Eresco, 1989
  • Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Alumni, 1984

Pengertian Hukum Pidana


Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaaan bagi yang bersangkutan.

  • Pelanggaran
    Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan. Ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana yang tergolong pelanggaran diatur dalam Buku ke III KUHP (Masriani, 2004).

  • Kejahatan
    Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat. Ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman keputusan hakim.

Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret (Siswanto, 2005).

Istilah “tindak pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah Strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai:

  • Delik (delict);
  • Peristiwa pidana, (E.Utrecht);
  • Perbuatan pidana, (Moeljatno)
  • Perbuatan yang dapat/boleh dihukum;
  • hal yang diancam dengan hukum;
  • Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum;
  • Tindak pidana, (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk UU sampai sekarang)

Lebih lanjut, Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebut tindak pidana. Oleh karena itu, timbul pertanyaan istilah manakah yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu diuraikan beberapa pendapat ahli Hukum Pidana.

  • Simon menerangkan strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab;
  • Van Hamel merumuskan sebagi berikut: Perbuatan pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan kesalahan”;
  • Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu atura hukum, yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
  • Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu:
    • Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
    • Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Andrisman, 2006).

Pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibatnya yang ditimbulkan. karenanya, perbuatan pidana adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari Pandangan atau aliran Monistis dan Pandangan atau aliran Dualistis.

Menurut aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut aliran Monistis dalam
merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut (Sudarto, 1996):

  • Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
  • Diancam dengan pidana;
  • Melawan hukum;
  • Dilakukan dengan kesalahan;
  • Orang yang mampu bertanggung jawab.

Sedangkan menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis
merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut (Siswanto, 2005):

  • Perbuatan (manusia);
  • Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil; Sebagai konskuensi adanya asas legalitas);
  • bersifat melawan hukum (syarat materil; perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat.
  • Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat

Perlu diperhatikan menurut Sudarto mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan di atas. Meski berbeda pandangan dalam merumuskan hal tersebut antara yang satu dengan yang lainnya, namun hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pasti bagi orang lain (Andrisman, 2006).

Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

Kehidupan manusia dimuka bumi ini tentunya perlu untuk dipelihara. Untuk tetap memelihara kehidupan manusia agar tidak berubah menjadi kekacauan, maka diperlukan adanya ketertiban dan keamanan di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Ketertiban dan keamanan pun tidak akan timbul begitu saja dengan sendirinya, untuk mencapai hal itu diperlukan serangkaian peraturan yang diwajibkan oleh suatu lembaga atau badan pembuat peraturan untuk ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Lembaga maupun badan yang berkuasa untuk membuat peraturan tersebut dinamakan dengan pemerintah. Peraturan tersebut dibuat sebagai jaminan rasa pertanggung jawaban apabila ada seseorang yang telah menciptakan suatu ketidakseimbangan yang serta membahayakan kepentingan umum.

Dengan ini dapat diambil kesimpulan bahwa hukum pidana adalah suatu hukum yang didalamnya terdapat peraturan tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman penderitaan ataupun siksaan.

Hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

  • Menentukan Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertulis bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut;
  • Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
  • Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[1]

Seperti yang telah dikemukakan diatas, apabila ada seseorang yang bersalah maka orang tersebut harus bertanggung jawab dengan cara dijatuhi hukuman pidana. Pelaksanaan hukuman itu sebagai tujuan dari hukum pidana, yang semata-mata dilakukan untuk mencapai rasa keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat. Secara konkret tujuan hukum pidana itu ada dua, yaitu:

  • Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik
  • Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.[2]

Jadi terlihat jelas bahwa tujuan dari hukum pidana sendiri adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat agar dapat hidup dengan tentram dan nyaman. Dengan ini apabila ada masyarakat atau individu yang mempunyai niatan untuk melakukan kejahatan, maka ia akan merasa takut dengan sanksi atau hukuman yang akan menjadi konsekuensi dari tindak kejahatan tersebut apabila kejahatan tersebut dilakukan olehnya, hal ini akan ikut mendorong suasana masyarakat menjadi lebih baik. Karena pada akhirnya pun kejahatan tidak dijadikan untuk terjadi oleh orang yang mempunyai niat awal yang buruk tersebut. Tidak hanya itu tujuan hukum pidana juga dimaksudkan agar seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik bisa diterima di masyarakat kembali, atau dapat kembali berbakti kepada masyarakat.

Untuk mengenal serta mengerti lebih dalam akan pengertian dari hukum pidana, berikut adalah berbagai definisi dari hukum pidana yang telah dikemukakan oleh berbagai tokoh:

  • Wirjono Prodjodikoro: Hukum pidana adalah merupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. [3]
  • Simons: “Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikatkan dengan pelanggarang terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.
  • Sudarto: “Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.
  • Roeslan Saleh: “Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu”.

Tetapi tidak semua tokoh serta merta setuju dengan definisi bahwa hukum pidana hanya merupakan suatu pemberian penderitaan atau nestapa kepada pelaku, salah satu contohnya adalah sebagai berikut:

  • Hulsman: Hakekat pidana adalah “menyurakan untuk tertib” ( tot de orde reopen ); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni: untuk mempengaruhi tingkah laku ( gedragsbeinvloeding ) dan penyelesaian konflik ( conflictoplossing ). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.
  • G.P Hoefnagels: Pidana bukan merupakan suatu pencelaan ( censure ) atau suatau penjeraan ( discouragement ) atau merupakan suatu penderitaan ( seuffering ). Hoefnagels melihat pidana secara empiris, yaitu merupakan suatu proses waktu, yaitu sebagai keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana.[4]
  • Pompe: Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.[5]
  • Martiman Prodjohamidjodjo: Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara.[6]

Dengan berbagai definisi para ahli ataupun tokoh tentang hukum pidana yang telah diuraikan diatas, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya hukum pidana mengandung berbagai unsur-unsur dan ciri-ciri, unsur serta ciri tersebut adalah:

  • Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
  • Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
  • Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.[7]
Referensi

[1] Thalib, Hambali, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertahanan , Jakarta: Prenada Media Group, 2011. hlm. 16.

[2] Djamali, R.Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014. Hlm. 173.

[3] Joenadi Effendi dan Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana , Jakarta: Kencana Prenadamedia Group 2015. hlm. 95.

[4] Mohammad Ekaputra dan Abdul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru , Medan: USU Press, 2010.

[5] Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. hlm. 4

[6] Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. hlm. 8

[7] Ibid.