Apa yang dimaksud dengan Hukum Perjanjian?

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih

Apa yang dimaksud dengan Hukum Perjanjian ?

Hukum Perjanjian dala KUHPerdata meliputi beberapa hal, yaitu ; Hukum Perjanjian Jual Beli, Hukum Perjanjian Sewa menyewa, Hukum Perjanjian Pemberian Kuasa dan Hukum Perjanjian Pemborongan

Perjanjian Jual Beli


Perjajian jual beli diatur dalam bab V buku III Pasal 1457-1540 KUHperdata. Pengertian perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian perjanjian jual beli tersebut, maka ada beberapa hal pokok dalam perjanjian jual beli:

  1. Ada dua pihak Pihak penjual yaitu pihak yang berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Pihak pembeli yaitu pihak yang berjanjian untuk membayar harga suatu barang.
  2. Adanya unsur essensialia dari perjanjian jual beli yaitu barang dan harga.
  3. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik, artinya kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan (bertimbal balik).

Selanjutnya disamping hal-hal pokok tersebut dapat dikemukakan sifat-sifat perjanjian jual beli, yaitu :

  1. Bersifat Konsensuil (Pasal 1458 KUHPerdata)
    Artinya perjanjian jual beli telah terjadi dengan adanya kata sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga meskipun barang belum diserahkan.

  2. Bersifat Obligatoir
    Artinya perjanjian jual beli hanya menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian jual beli tidak mengakibatkan perpindahan hak milik. Hak milik atas suatu benda baru berpindah apabila sudah ada penyerahan (levering).

Penyerahan (Levering) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik. Untuk sahnya levering harus dipenuhi dua syarat :

1. Sahnya title (alas title) yang menjadi dasar dilakukannya levering

2. Levering dilakukan oleh dua orang yang berhak berbuat bebas terhadap barang yang dilever

Berkaitan dengan levering, di dalam KUHPerdata dikenal cara levering berdasarkan macam barang, yaitu :

  • Barang bergerak
    Diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Artinya untuk barang bergerak penyerahannya dari tangan ketangan, akan tetapi dimungkinkan juga penyerahan secara simbolis atau dengan suatu pernyataan saja (traditio brevi manu)

  • Barang tetap
    Diatur dalam Pasal 616 jo 620 KUHPerdata, dimana penyerahan barang dengan balik nama.

Barang tak bertubuh (piutang) ada tiga cara :

  • Piutang atas bawa (aan order) dengan penyerahan nyata
  • Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan endosemen
  • Piutang atas nama dengan cessie.

Disebutkan bahwa perjanjian jual beli bersifat konsensual obligatoir, artinya perjanjian jual beli lahir / terbentuk begitu ada sepakat diantara para pihak tentang pokok-pokok perjanjian dan hanya menimbulkan hak dan kewajiban diantara penjual dan pembeli tersebut.

Kewajiban Penjual antara lain :

  1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
  2. Menanggung (vrijwaren), dari :
    • Gangguan pihak ketiga dalam hal sipembeli menikmati bendanya (perbuatan melawan hukum)
    • Gangguan dari pihak ke tiga yang menyatakan benda tersebut miliknya (wit winning)
    • Adanya pembebanan pada barang yang dijual
  3. Menanggung cacad tersembunyi, apabila barang tersebut dapat digunakan sebagai mana mestinya atau mengurangi kenikmatan dalam menggunakan barang tersebut.

Apabila dalam perjanjian jual beli terdapat cacat tersembunyi, maka pembeli dapat menuntut penjual :

  • pengembalian harga pembelian (action redhibitoria)
  • pengurangan harga pembelian (action quanti minoris)

Hak Penjual dalam perjanjian jual beli ;

  1. menerima harga pembelian
  2. hak reklame (Pasal 1145 KUHPerdata) yaitu hak penjual untuk menuntut kembali barangnya dari pembeli kalau pembeli melakukan wanprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya).

Syarat-syarat hak reklame menurut KUHPerdata:

  • jual beli harus tunai / kontan.
  • barangnya masih ada ditangan pembeli.
  • jangka waktunya 30 hari dihitung sejak perjanjian jual beli terjadi.

Syarat-syarat hak reklame menurut KUHD:

  • jual beli bisa kredit atau tunai
  • barangnya bisa ditangan pembeli atau ditangan pihak ketiga
  • jangka waktunya 60 hari.

3. Hak untuk membeli kembali barangnya (Pasal 1519 KUHPerdata)

Kewajiban Pembeli

  • membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1513-1514 KUHperdata).

  • Menanggung biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan perjanjian jual beli, kecuali diperjanjikan sebaliknya.

Dalam perjanjian jual beli dapat terjadi gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak. Ada tiga macam dasar yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan, yaitu :

  1. gugatan berdasarkan wanprestasi, dapat diajukan dalam jangka waktu 30 hari.
  2. gugatan berdasarkan kesesatan / paksaan / penipuan dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun.
  3. gugatan berdasarkan adanya cacat tersembunyi dapat diajukan dalam jangka waktu pendek, tergantung dari sifat cacat dan kebiasaan setempat.

Selanjutnya menurut Pasal 1471 KUHPerdata apabila terjadi jual beli benda milik orang lain, maka perjanjian jual beli tersebut batal dan dapat digunakan sebagai dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga. Berkaitan dengan risiko, artinya siapa yang menanggung kerugian dalam hal terjadi overmacht / force majeur (keadaan memaksa).

Ada tiga ketentuan yang mengatur mengenai risiko dalam perjanjian jual beli yaitu :

  1. Untuk barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa untuk barang yang sudah tertentu risiko ada pada pembeli begitu barang dibelinya, meskipun belum dilakukan levering. Ketentuan semacam ini adalah pengaruh dari system hukum perdata perancis. Namun ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut oleh MA dengan SEMA No.3 Tahun 1963 dianggap tidak berlaku karena dirasa tidak adil dalam pelaksanaannya.

  2. Untuk barang yang dijual menurut berat, jumlah / ukuran berlaku ketentuan
    Pasal 1461 KUHPerdata, dimana risiko baru beralih kepada pembeli apabila barang sudah ditimbang, dihitung atau diukur (diindividualisir).

  3. Untuk barang yang dijual menurut tumpukan berlaku ketentuan Pasal 1462, dimana risiko ada pada pembeli meskipun barang belum diserahkan.

Perjanjian Sewa menyewa


Pengertian perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga (Pasal 1548 KUHPerdata).

Dalam perjanjian sewa menyewa yang diserahkan adalah kenikmatan suatu barang yang meliputi pemakaian dan pemungutan hasil atas barang tersebut. Dari pengertian perjanjian sewa menyewa tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsure dalam perjanjian sewa menyewa, yaitu :

  1. Unsur benda
  2. unsur waktu
  3. unsur harga

Perjanjian sewa menyewa bersifat persoonlijk, artinya perjanjian sewa menyewa hanya berlaku bagi orang tertentu saja, maksudnya perjanjian ini hanya berlaku bagi pihak penyewa dan yang menyewakan saja. Selain itu bersifat hak kebendaan, artinya hak sewa mengikuti bendanya (droit de suit atau zaakgevolg).

Hal itu tersimpul dari ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang menyetakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Berlakulah asas koop breeks geen huur, artinya jual beli tidak menghentikan sewa menyewa.

Kewajiban pokok pihak yang menyewakan adalah :

  1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
  2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang tersebut dapat dipakai si penyewa.
  3. memberikan kenikmatan yang tentram selama masa sewa, artinya pihak yang menyewakan wajib menangkis tuntutan-tuntutan hukum daari pihak ketiga.

Sebaliknya kewajiban penyewa adalah :

  1. menggunakan barang yang disewa sebagai bapak rumah tangga yang baik (als een goedvader)
  2. membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
  3. mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan baik
  4. bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang timbul, kecuali diluar kesalahannya.

Lebih lanjut ketentuan Pasal 1561 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika penyewa menggunakan barang yang disewanya tidak sesuai dengan tujuan pemakaiannya atau menyebabkan kerugian pada pihak yang menyewakan, maka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan sewanya.

Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyebutkan jika selama perjanjian sewa menyewa barang yang disewakan musnah karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa jika terjadi keadaan memaksa (overmacht) maka risiko ada pada pihak yang menyewa.

Dalam hal berakhirnya perjanjian sewa menyewa, ada dua cara untuk mengetahui berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:

  1. perjanjian sewa menyewa berakhir demi hukum, yaitu lampaunya waktu yang telah ditentukan.
  2. Perjanjian sewa menyewa berakhir setelah dihentikan dengan memperhatikan tenggang waktu menurut kebiasaan.

Perjanjian Pemberian Kuasa


Pemberian kuasa (lastgeving) adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima kuasa / juru kuasa. Adapun yang dapat dikuasakan adalah penyelenggaraan suatu urusan (suatu perbuatan hukum). Artinya tidak setiap perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain. Hal yang berkaitan erat dengan pribadi seseorang tidak dapat dikuasakan. Penerima kuasa melakukan suatu perbuatan hukum “atas nama” atau “mewakili” orang yang member kuasa.

Bentuk perjanjian pemberian kuasa adalah bebas (Pasal 1793 KUHPerdata), karena perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian konsensuil. Jadi bentuk perjanjiannya bisa lisan atau tertulis.

Ada beberapa macam pemberian kuasa menurut Pasal 1795 KUHPerdata, yang meliputi:

  1. Kuasa Umum, hanya memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan (beheeren).

  2. Kuasa Khusus, memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang harus disebutkan secara tegas, misalnya ketentuan Pasal 123 HIR yang menyatakan surat kuasa untuk beracara dimuka pengadilan disyaratkan suatu kuasa khusus tertulis.

Kewajiban si kuasa ada tiga, yaitu :

  1. menyelesaikan urusan yang telah dimulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan menanggung segala biaya, kerugian, bunga yang sekirannya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut (Pasal 1800 KUHPerdata)
  2. membuat laporan tentang apa yang telah diperbuatnya (Pasal 1802 KUHPerdata).
  3. bertanggung jawab jika ia menggunakan hak substitusi (hak untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya) (Pasal 1803 KUHPerdata).

Sedangkan kewajiban pemberi kuasa ada empat, yaitu :

  1. memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh si kuasa (Pasal 1807 KUHPerdata).
  2. mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh si kuasa untuk melaksanakan kuaasnya (Pasal 1808; KUHPerdata).
  3. memberikan ganti rugi yang diderita si kuasa sewaktu manjalankan kuasanya (Pasal 1809 KUHPerdata).
  4. membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh si kuasa (Pasal 1810 KUHPerdata).

Di dalam perjanjian kuasa juga dikenal suatu hak yang disebut hak retensi, yaitu hak untuk menahan barang milik pemberi kuasa, sampai pemberi kuasa memenuhi segala kewajibannya terhadap si kuasa.

Berakhirnya perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata. Ada tiga cara untuk berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, yaitu :

  1. dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa.
  2. dengan pemberitahuan penghentian kuasa oleh si kuaas.
  3. dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun si si kuasa.

Perjanjian Pemborongan


Perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata Pasal 1601 b disebut dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lainnya, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

Perjanjian pemborongan di atur dalam Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal 1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian Pemborongan merupakan salah satu macam perjanjian dari perjanjian melakukan pekerjaan.

Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan ada dua, pihak pertama disebut sebagai pihak yang memborongkan / principal / bouwheer / aan bestencter
/ pemberi tugas, sedangkan pihak ke-dua disebut pemborong / kontraktor / rekanan / annemer / pelaksana.Adapun obyek pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk).

Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHperdata juga diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN jo. Keppres No.24 Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994, serta AV 1941 (Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Bagian ke-1 memuat syarat-syarat administrasi
  2. Bagian ke-2 memuat syarat-syarat bahan
  3. Bagian ke-3 memuat syarat-syarat teknis

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan bentuknya bebas (vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun demikian perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk standar.

Adapun macam dan isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan :

  1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
  2. Perjanjian Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahan / materialnya.

Isi dari perjanjian pemborongan tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai berikut :

  1. Akta dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan (tidak diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994).
  2. Surat Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No. 16 Tahun 1994.
  3. Surat perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun 1994.

Perjanjian pemborongan berakhir apabila :

  1. Pekerjaan tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan telah dibayar oleh pihak yang memborongkan.
  2. Pembatalan perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdata).
  3. Kematian pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata)
  4. Kepailitan.
  5. Pemutusan perjanjian pemborongan.

Disamping perjanjian bernama, di dalam KUHPerdata juga dikenal perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua bentuk perjanjian dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata.

Ada dua macam perjanjian tidak bernama :

  1. Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa.

  2. Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat berbagai unsure perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi karakter yang khusus dalam perjanjian tersebut. Misalnya: Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Leasing, Perjanjian Kredit Sindikasi.

    • Perjanjian Beli-Sewa
      Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian jual beli dimana pada saat perjanjian diadakan hak milik barang belum beralih. Hak milik baru akan beralih setelah sewa terakhir dibayar. Jadi tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah peralihan hak milik, selama pembayaran belum lunas, maka status barang adalah barang sewa dan pembeli masih berstatus sebagai penyewa karena barang masih milik penjual. Hak Milik berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran tidak selesai maka barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa.

    • Perjanjian Leasing
      Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

      Dari pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur perjanjian leasing, yaitu :

      1. Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama.

      2. Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama.

      3. Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.

      4. Ada suatu jangka waktu tertentu.

      5. Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati bersama.

      Selanjutnya setelah unsur-unsur dari perjanjian leasing diketahui, maka dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu leasing, yaitu :

      1. Benda yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal dalam lalu lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu.
      2. Para pihak yang terikat dalam perjanjian leasing badan usaha dan/atau perorangan yang melakukan usaha.
      3. Jangka waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek leasing.
      4. Ada pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai ada pada lessee.

      Dalam perjanjian leasing dikenal beberapa jenis leasing yang dibedakan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yaitu:

      1. berdasarkan risiko ekonomis, ada dua jenis leasing
        a. Financial Leasing
        b. Operational Leasing

      2. berdasarkan pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing:
        a. leasing benda tetap
        b. Leasing benda bergerak

      Perjanjian leasing merupakan perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar.

      Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu Rl No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing)).

      Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht.

    • Perjanjian Kredit Sindikasi
      Pengertian Perjanjian Kredit Sindikasi menurut Stanley Hum seperti dikutip oleh Remy Sjahdeini adalah suatu pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga keuangan, berdasarkan syarat-syarat yang sama bagi masing-masing peserta Sindikasi, menggunakan dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan oleh satu agen yang sama untuk semua peserta Sindikasi tujuannya untuk membiayai suatu obyek fasilitas kredit milik debitur dan dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak.

      Ada dua cara terbentuknya kredit Sindikasi, yang pertama atas permintaan nasabah dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk membiayai suatu proyek milik nasabah dalam bentuk Sindikasi.

      Ada beberapa tahap pembentukan kredit Sindikasi, yaitu

      1. penawaran (offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana,
      2. pembentukan arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari kredit Sindikasi yang tidak harus menjadi peserta Sindikasi,
      3. Pembentukan lead manager dan managing group,
      4. Penyampaian penawaran (offer) dan Penerimaan Mandat,
      5. Penyiapan information memorandum dan Perjanjian Kredit,
      6. Penunjukan Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit sindikasi ditanda tangani,
      7. Upacara penandatanganan perjanjian kredit sindikasi yang disebut loan signing ceremony,
      8. Perlaksanaan pubiisitas yang tujuannya untuk transparansi agar masyarakat dapat mengukur tingkat risiko dari debitur.

      Perjanjian kredit sindikasi adalah perjanjian pokok dimana sebagai perjanjian pokok selalu diikuti dengan perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan (Security Sharing Agreement) dan Perjanjian Pengikatan jaminan.

      Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi terjadi apabila debitur telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu melakukan pembayaran, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang timbul akibat perjanjian tersebut.

Hukum Perjanjian


Pengertian Perjanjian

Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Dalam sistematika ilmu pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam buku III yang mencakup hubungan antara orang dan benda, hubungan antara orang dan orang. Sedangkan hukum yang mengatur hubungan antara orang dan orang diatur dalam buku III tentang perikatan.

Menurut Abdulkadir Muhammad (2001) perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “ verbintenis” . Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat adalah suatu peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang (Soimin, 1999).

Hubungan hukum yang timbul diantara pihak-pihak yang terlibat dalam perikatan tersebut melahirkan hak dan kewajiban yang kemudian menimbulkan istilah “prestasi”, yaitu sesuatu yang dituntut oleh salah satu pihak kepada pihak yang satu. Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (Solahudin, 2008).

Berdasarkan penjelasan diatas, perikatan melahirkan “kewajiban” kepada orang perseorangan atau pihak tertentu yang dapat berwujud salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :

  • Untuk memberikan sesuatu;
  • Untuk melakukan sesuatu;
  • Untuk tidak melakukan suatu tertentu.

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi (Harahap, 1986).

Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dapat dikatakan peristiwa dimana dua orang atau lebih saling mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu. Definisi perjanjian batasannya telah diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sebenarnya tidak lengkap karena terdapat beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Hanya menyangkut sepihak saja.
  • Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
  • Pengertian perjanjian terlalu luas.
  • Tanpa menyebut tujuan.

Berdasarkan alasan-alasan diatas maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.”

Selain itu beberapa sarjana merumuskan definisi perjanjian, yaitu :

a. Subekti (1979)

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

b. Abdulkadir Muhammad (1990)

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Berdasarkan definisi perjanjian diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi unsur-unsur dalam suatu perjanjian adalah :

  • Adanya pihak-pihak
  • Adanya konsensus atau persetujuan dari pihak-pihak
  • Adanya objek dalam perjanjian tersebut yang berupa benda
  • Adanya tujuan yang bersifat kebendaan mengenai harta kekayaan
  • Ada bentuk tertentu, baik secara lisan maupun tulisan
  • Adanya syarat-syarat tertentu.

Asas Personalitas


Pada prinsipnya asas personalitas menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi parapihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi :

Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi :

  • Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya;
  • Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

Asas Kebebasan Berkontrak


Asas kebebasan berkontrak atau yang sering disebut juga sistem terbuka adalah bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Meskipun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Asas Konsesualitas


Asas konsesualitas mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perajnjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai kesepakatan lisan diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsesualitas dalam hukum perjanjian.

Asas Kekuatan Mengikat


Setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan belaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian dibuat secara "sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.

Asas Itikad Baik


Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini ada yang subyektif dan ada pula yang obyektif.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata pada umunya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas

Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti perjanjian perkawinan yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain, dapat dinilai dengan uang.

  • Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian, sebagai berikut: perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya

  • Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut: Perjanjian adalah Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

  • Menurut Wirjono Projodikoro, perjanjian adalah Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksaan janji itu.

  • Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa, Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai definisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan definisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjnajian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku III KUH Perdata tentang Perikatan.

Unsur-Unsur Perjanjian

Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur perjanjian, antara lain :

  • Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak

  • Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap

  • Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak

  • Ada prestasi yang akan dilaksanakan

  • Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

  • Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Syarat Perjanjian

Menurut pasal 1320 kitab UU Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

  • Sepakat untuk mengikat diri, sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk setiap kata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
  • Kecapakan untuk membuat suatu perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hokum.

  • Suatu hal tertentu, ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hokum atau mengenai bendanya.

  • Sebab yang halal, mengandung pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hokum sehingga perjanjian itu kuat. Menurut pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika dilarang oleh undang undang, bertentangan dengan tata sulila atau ketertiban. Menurut pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hokum.

PELAKSANAAN & PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN

  • Pelaksanaan Perjanjian

Itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.

Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

  • Pembatalan perjanjian

Pembatalan suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena :

  • Adanya suatu pelanggaran. Pelanggaran tersebut tidak dipernaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

  • Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.

  • Terkait resolusi atau perintah pengadilan.

  • Terlibat hukum

  • Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”8 Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :

  1. Adanya hubungan hukum
    Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

  2. Adanya subjek hukum
    Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

  3. Adanya prestasi
    Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

  4. Di bidang harta kekayaan
    Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang.

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :

  1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
  2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
  3. Adanya suatu hal tertentu
  4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
    Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.”Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

    Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.

  2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
    Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

    Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu:

    • Orang yang belum dewasa
      Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.

    • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
      Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.

    • Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.

  3. Adanya suatu hal tertentu
    Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

  4. Adanya sebab yang halal
    Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata definisi perjanjian itu (1) tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak asas konsensualisme, dan (3) bersifat dualisme.
Definisi perjanjian yang dirumuskan di dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dirasa kurang lengkap, sehingga beberapa ahli hukum mencoba merumuskan definisi perjanjian yang lebih lengkap, antara lain:

Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Menurut Abdulkadir Muhammad definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan memiliki beberapa kelemahan antara lain:

  1. Rumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena kata “mengikatkan” hanya datang dari salah satu pihak;

  2. Definisi tersebut terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan diri terbatas dalam lapangan hukum harta kekayaan, sehingga dapat pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga;

  3. Tanpa menyebut tujuan, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengikatkan diri. Sehingga dari kekurangan-kekurangan tersebut, beliau melengkapi definisi perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Menurut KRMT Tirtodiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibatakibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang- undang.

Menurut R. Setiawan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu perlu diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu:

  1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
  2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Berdasarkan uraian di atas bahwa menurut R. Setiawan dalam buku Pokok-pokok Hukum Perikatan, perjanjian adalah perbuaan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian, yaitu: Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau danggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Unsur-unsur Perjanjian


Beberapa pengertian di atas telah menggambarkan pengertian perjanjian dari pemikiran yang berbeda, dapat diketahui bahwa perjanjian memiliki beberapa unsur perjanjian, antara lain:

  1. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang, pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subjek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

  2. Adanya persetujuan atau kata sepakat, persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan objek yang diperjanjikan.

  3. Adanya tujuan yang ingin dicapai, tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

  4. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan, prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihakpihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.

  5. Adanya bentuk tertentu, bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.

  6. Adanya syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.

Bentuk Perjanjian


Menurut Sutarno perjanjian dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

  1. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada dikedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan menerima barangnya;

  2. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja, misalnya perjanjian hibah. Dalam hal ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan;

  3. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 KUHPerdata dan 1740 KUHPerdata;

  4. Perjanjian konsensual, riil, dan formil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris;

  5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata buku ke III Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang berlum ada peraturannya secara khusus di dalam undang-undang. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab lainnya”.