Apa yang dimaksud dengan Hukum Harta Perkawinan?

Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.

Apa yang dimaksud dengan Hukum Harta Perkawinan ?

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jadi perkawinan yang sah dan mempunyai akibat hukum hanya perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Akibat hukum adanya perkawinan bersifat komplek, artinya tidak hanya berakibat bagi suami dan isteri yang melangsungkan perkawinan itu saja, akan tetapi juga menimbulkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dan harta perkawinan.

Akibat perkawinan bagi suami dan isteri adalah timbulnya hak dan kewajiban diantara mereka diatur dalam Pasal 103-118 KUHPerdata (dengan mengingat SEMA No.3 Tahun 1963 yang menghimbau kepada hakim di seluruh Indonesia agar tidak menggunakan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata), serta Pasal 30 - 34 UUP.

Akibat hukum adanya perkawinan terhadap anak yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara orang tua dan anak yang disebut dengan kewajiban alimentasi, yang diatur dalam Pasal 298 -319 KUHPerdata dan Pasal 45 - 49 UUP. Yang dimaksud kewajiban alimentasi misalnya kewajiban anak untuk menghormati orang tuanya sebaliknya kewajiban orang tua adalah mendidik dan memberikan nafkah kepada anak yang belum dewasa sesuai dengan kemampuannya.

Sedangkan akibat perkawinan bagi harta perkawinan diatur dalam Pasal 119 - 198 KUHPerdata dan Pasal 29 - 37 UUP. Akibat adanya perkawinan menimbulkan beberapa macam harta, yaitu harta bawaan suami, harta bawaan isteri dan harta bersama. Timbulnya bermacam-macam harta tersebut dapat menimbulkan konflik yang berkaitan dengan harta perkawinan. Agar konflik itu dapat diselesaikan maka diperlukan Hukum Harta Kekayaan.

Hukum Harta Kekayaan di dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Tentang Orang, Bab VI dan IX, Pasal 119 - 198. Ketentuan tentang Hukum Harta Kekayaan dalam KUHPerdata bersifat pelengkap (Pasal 119 ayat (1) ), artinya ketentuan itu hanya berlaku apabila suami-isteri tidak membuat perjanjian kawin, apabila mereka membuat janji kawin maka perjanjian kawin itulah yang berlaku.

Sedangkan dalam UUP Hukum Harta Kekayaan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) dan bersifat sebagai hukum pelengkap juga.

Terbentuknya hukum harta perkawinan


Menurut KUHPerdata ada beberapa cara terbentuknya hukum harta perkawinan, yaitu;

  1. Apabila tidak diperjanjikan dan menurut ketentuan KUHPerdata, maka demi hukum terjadi Persatuan Bulat antara harta kekayaan suami dan isteri.

  2. Apabila diperjanjikan ada 2 (dua) hal:

    • ekstrem (sama sekali tidak ada persatuan), artinya dalam hal ini harta suami dan isteri terpisah sama sekali.
    • tidak ekstrem (ada persatuan tetapi terbatas), banyak sekali variasi persatuan terbatas akan tetapi yang diatur dalam KUHPerdata hanya 2 (dua) yaitu persatuan terbatas untung dan rugi, persatuan terbatas hasil dan pendapatan.

Menurut UUP, hukum harta perkawinan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) yang meliputi:

  1. Tidak diperjanjikan ada 3 (tiga) macam harta, yaitu
    a. harta suami
    b. harta isteri
    c. harta bersama

  2. Diperjanjikan ada 2 macam hukum harta perkawinan, yaitu:
    a. tidak diperjanjikan terjadi persatuan secara bulat
    b. diperjanjikan secara ekstrim dan tidak ekstrim

  3. Tidak diperjanjikan terjadi Persatuan Secara Bulat
    Persatuan secara bulat diatur dalam Pasal 119 – 138 KUHPerdata.

Pengertian Persatuan Bulat terdapat dalam Pasal 119 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa persatuan harta secara bulat ini tidak dapat dirubah atau ditiadakan dengan persetujuan suami isteri.
Adapun rincian harta persatuan diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 KUHPerdata yang meliputi:

  1. Segala harta kekayaan dari suami dan isteri, bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) sebelum dan pada waktu perkawinan dilangsungkan.
  2. Segala harta kekayaan suami dan isteri, bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) selama perkawinan berlangsung.
  3. Segala harta kekayaan suami dan isteri bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) yang diperoleh secara Cuma-Cuma kecuali pewaris atau pemberi melarang pemberian itu dimasukkan pada persatuan
  4. Segala beban yang dapat berupa kerugian dan hutang dari suami dan isteri sebelum dan sesudah perkawinan dilangsungkan.

Dalam persatuan bulat dimungkinkan terjadi hutang pesatuan. Pengertian hutang persatuan adalah hutang-hutang yang dibuat oleh suami atau isteri selama perkawinan untuk keperluan rumah tangga dan hutang tersebut merupakan beban persatuan.
Selain hutang persatuan, didalam persatuan bulat juga dimungkinkan hutang pribadi. Hutang pribadi adalah hutang yang melekat pada benda pribadi suami atau isteri. Hutang pribadi terjadi ketika pemberian barang yang oleh pemberinya dilarang dimasukkan dalam persatuan tersebut dibebani hak tanggungan.

Pembayaran hutang persatuan dibayar dari harta persatuan, jika harta persatuan tidak cukup maka hutang persatuan dibayar dengan harta pribadi orang yang membuat hutang. Sedangkan hutang pribadi dibayar dengan harta pribadi, jika harta pribadi tidak mencukupi maka dibayar dengan harta persatuan karena baik suami atau isteri berhak atas separo harta persatuan.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dikenal ada 3 (tiga) macam harta, yaitu harta suami, harta isteri (diatur dalam Pasal 35 ayat (1), (2) UUP) dan harta bersama (Pasal 36 ayat (1), (2) UUP).

Pengurusan harta persatuan menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 124 ayat (1) KUHPerdata, dilakukan oleh suami. Hal ini berpangkal pada Pasal 105 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala harta persatuan. Pengertian pengurusan meliputi menjual, memindah tangankan, membebani hutang harta kekayaan tanpa campur tangan isteri termasuk juga memutuskan/menetapkan (beschikken). Namun demikian ada pembatasan hak pengurusan suami terhadapa harta persatuan baik yang diatur dalam UU maupun yang diperjanjikan.

Pembatasan yang diberikan oleh UU diatur dalam Pasal 124 ayat (3), (4), Pasal 125 dan pembatasan yang diperjanjikan diatur dalam Pasal 140 ayat (3). Sedangkan pengurusan harta persatuan menurut UUP diatur dalam Pasal 35 - 37 UUP.

Upaya hukum isteri untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh suami diatur dalam Pasal 186, 243 dan 434 ayat (3) KUHPerdata.

Pasal 186 KUHPerdata mengatur bahwa:

"Isteri dapat menuntut suami agar supaya diadakan pemisahan harta kekayaan.

Penuntutan di pengadilan ini dapat dilakukan apabila:
a. suami melakukan pemborosan.
b. suami tidak mengurus harta kekayaan sendiri dengan baik sehingga mengkhawatirkan pekerjaan isteri.

Pasal 243 KUHPerdata mengatur bahwa:

“Apabila telah terjadi putusan hakim tentang perpisahan meja dan ranjang maka berakibat perpisahan harta persatuan dengan sendirinya.”

Pasal 434 ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa:

“Isteri dapat menuntut agar suami diletakkan di bawah pengampuan (kuratele).”

Setelah perkawinan bubar, seorang bekas isteri masih mempunyai upaya hukum dalam menghadapi bekas suami yang kurang bertanggung jawab terhadap tuntutan kreditur selama masa perkawinan (Pasal 132 ayat (1) dan (2) KUHPerdata).

Hak isteri untuk melepaskan haknya atas persatuan dapat gugur dalam hal dipenuhinya ketentuan Pasal 133,136 dan 137 KUHPerdata. Harta persatuan juga dapat bubar karena adanya beberapa peristiwa:

  1. Kematian
  2. Keadaan tidak hadir
  3. Perceraian
  4. Perpisahan meja dan ranjang
  5. Perpisahan harta kekayaan

Akibat bubarnya persatuan maka terjadi pembagian harta antara suami dan isteri masing-masing setengah bagian. Apabila bubarnya persatuan disebabkan karena kematian, maka berlakulah ketentuan mengenai hukum waris.

Perjanjian Kawin


Pengertian perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan dalam hal harta perkawinan. Perjanjian kawin diatur dalam Bab VII Pasal 139 - 165 KUHPerdata.

Tujuan diadakannya perjanjian kawin adalah untuk membatasi atau meniadakan persatuan bulat menurut UU, selain itu perjanjian kawin juga untuk membatasi kekuasaan suami yang begitu besar terhadap harta persatuan seperti yang diatur dalam Pasal 124 ayat (2) KUHPerdata.

Selain diatur dalam KUHPerdata, perjanjian kawin juga diatur dalam UUP. Ada 5 (lima) perbedaan pokok perjanjian kawin antara KUHPerdata dengan UUP yang meliputi pengaturan, bentuk, saat atau waktu dibuat, saat mulai berlaku dan dapat / tidak diubah perjanjian kawin tersebut.

Yang dapat membuat perjanjian kawin adalah orang sudah dewasa dan cakap, karena perjanjian kawin merupakan perbuatan hukum. Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi tentang batas dewasa, namun Pasal 330 KUHPerdata memberikan definisi tentang belum dewasa yaitu mereka yang belum mecapai umur genap duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Dari Pasal 330 tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berusia 21 tahun atau telah kawin (KUHPerdata batas minimal usia untuk kawin laki-laki 19 tahun, wanita 15 tahun, sedangkan UUP laki-laki 19 tahun, wanita 16 tahun). Namun dalam Pasal 153 yang merupakan perkecualian diatur tentang anak yang belum dewasa tetapi sudah memenuhi syarat-syarat kawin dapat membuat perjanjian kawin dibantu oleh orang yang memberi ijin kawin.

Apabila dalam perkawinan diadakan perjanjian kawin yang ekstrim, maka sama sekali tidak ada persatuan. Perjanjian kawin semacam ini diadakan kemungkinan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan apa yang dianggap sebagai keuntungan dan kerugian (lihat Pasal 144 jo 140 ayat (2) KUHPerdata).

Sedangkan dalam perjanjian kawin yang tidak ekstrirn terjadi persatuan harta kekayaan terbatas. Didalam KUHPerdata dikenal ada 2 (dua) macam persatuan terbatas, yaitu:

  1. Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi
  2. Persatuan harta kekayaan Terbatas Hasil dan Pendapatan

Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi


Pengertian persatuan untung dan rugi adalah perjanjian kawin yang menghendaki supaya tidak semua harta kekayaan dari suami dan isteri dicampur menjadi satu (menjadi milik bersama), melainkan hanya sebagian harta perkawinan saja yaitu segala untung dan rugi.

Untung adalah setiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan karena hasil harta kekayaan dan pendapatan suami isteri masing-masing dan kerugian adalah setiap berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang melampaui pendapatan.

Dalam hal ini yang bercampur hanya keuntungan dan kerugian saja, sedangkan harta kekayaan lainnya menjadi milik pribadi, misalnya:

  1. Barang-barang yang dibawa sebelum perkawinan
  2. Warisan
  3. Hibah wasiat
  4. Naik turunnya nilai harta milik pribadi
  5. Perbaikan dan kerusakan dari milik pribadi

Cara membuat perjanjian terbatas untung dan rugi:

  1. Dengan tegas diperjanjikan bahwa mereka menghendaki persatuan untung dan rugi (Pasal 155 KUHPerdata).
  2. Dengan memperjanjikan bahwa mereka meniadakan persatuan harta kekayaan secara bulat (Pasal 154 KUHPerdata).

Persatuan Terbatas Hasil dan Pendapatan


Persatuan Hasil dan Pendapatan diatur dalam Pasal 164, 165-167 KUHPerdata. Pasal 164 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila diperjanjikan persatuan hasil dan pendapatan maka tidak ada persatuan kekayaan secara bulat dan persatuan untung dan rugi.

Didalam persatuan terbatas hasil dan pendapatan, persatuan hanya keuntungannya saja, sedangkan kerugian ditanggung oleh suami sebagai kepala keluarga, kecuali hutang itu dibuat oleh suami atau isteri untuk kepentingan pribadi. Dalam hal terjadi hal demikian, maka tanggung jawab ada pada pribadi masing-masing suami atau isteri.

Hutang bersama termasuk hutang persatuan, sehingga harus dibayar dengan harta persatuan. Jika harta persatuan tidak cukup maka sisanya harus dibayar oleh suami.