Apa yang dimaksud dengan Hubungan Material?

image

Dalam ilmu sosiologi terdapat istilah hubungan material.

Apa yang dimaksud dengan hubungan material?

Jika hubungan sesama manusia (hubungan sosial) merupakan suatu kenyataan yang nyata, pastilah ia suatu yang material. Manusia berinteraksi dengan kenyataan, memiliki kepentingan material untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan mengembangkan kehidupan yang nyata. Hubungan-hubungan yang nyata dan material inilah yang dapat diselidiki dan dipahami gejala-gejalanya, dimengerti pola-polanya.

Pertama-tama, kita harus bicara dalam pengertian bahwa gejala sosial adalah suatu hal yang nyata dan material. Kita akan berkenalan dengan pendekatan Materialisme-Dialektika Historis (MDH) yang dicetuskan oleh sosiolog Jerman, Karl Marx. Jadi, ada yang beranggapan bahwa dasar hubungan sosial sesama manusia adalah makna hidup. Akan tetapi, ada yang beranggapan bahwa yang paling mendasar adalah kecenderungan material. Tentu saja kita akan bisa membuktikan asumsi tersebut pada ranah yang lebih kontekstual.

Hubungan ini bersifat material. Penulis mengajak pembaca untuk memahami hubungan pengertian sebagai berikut: sebagai ilmu yang objektif, sosiologi adalah ilmu yang menempatkan pengamat/peneliti/sosiolog mengambil jarak dari apa yang menjadi perhatiannya. Masyarakat (manusia yang saling berhubungan) adalah objek yang dilihat sebagai suatu gejala yang nyata, yang merupakan materi-materi manusia (dengan kepentingan dan makna hidup kesehariannya) yang sedang berhubungan. Dari kegiatan penelitian ini, diharapkan akan menghasilkan pemahaman, pengertian, serta mampu menggambarkan pola-pola umum yang bisa ditarik.

Memercayai bahwa gejala alam dan gejala sosial menghasilkan pola-pola tertentu diharapkan akan membantu memahami gejalagejala lain yang lebih kontekstual sifatnya. Memercayai bahwa hidup dan hubungan sosial itu berpola dapat diartikan bahwa ada hukumhukum yang mengatur manusia dan hubungan-hubungannya dengan alam dan sesama manusia. Ada hukum materi(al) yang mengatur kehidupan manusia. Kaum materialis-dialektis menunjukkan hukum-hukum material, antara lain:

1. Hukum I: Materi itu ada, nyata, dan konkret

Materi itu ada dan nyata dalam hidup. Kita bisa mengenalinya melalui indra kita. Tanpa indra, kita tak bisa mengenalinya, tak bisa merabanya, melihatnya, mendengarnya, merasakannya, atau menunjukkan keberadaannya dengan seluruh indra yang saling membantu. Karena ada dan nyata, materi atau kenyataan material itu independen (tak tergantung) dari keberadaan kita, dari subjektivitas kita. Karena belum melihat secara langsung, kadang kita menganggap sesuatu tak ada. Jadi, bukan karena tak dapat tertangkap indra kita, lantas kita mengatakan bahwa sesuatu itu tak ada. Sebelum orang tak mampu mengenali kejadian alam, mereka menganggap bahwa alam ada yang mengaturnya. Oleh karenanya, semua yang terjadi dianggap sebagai yang mengatur itu. Maka, dikhayalkan oleh manusia sebuah kekuatan yang berada di luar materi alam.

Saat belum mampu menjelaskan terjadinya gunung meletus, manusia kuno menganggap bahwa ada kekuatan yang meletuskannya, kekuatan yang dikiranya berada di gunung itu. Maka, lahirlah dan disembahlah sesuatu yang disebut Dewa Gunung. Oleh karena itu, ada banyak nama dewa yang menjelaskan ketidaktahuan manusia dalam menjelaskan alam dan hubungan-hubungannya. Ada Dewa Bumi, Dewa Laut, Dewa Matahari, Dewa Angin, dan lain-lain— tergantung pada persepsi yang berkembang di suatu masyarakat. Ketika hubungan-hubungan antar-manusia tidak harmonis, lahirlah idealitas, seperti Dewi Cinta, Dewa Kebijaksanaan, dan lain-lain. Semuanya itu berguna untuk menjawab ketidaktahuan manusia terhadap materi alam dan hubungan-hubungannya yang membentuk kenyataan.

2. Hukum II: Materi itu terdiri dari materi-materi yang lebih kecil dan saling berhubungan (dialektis)

Jadi, dialektika adalah hukum keberadaan materi. Materi-materi kecil menyatu dan menyusun suatu kesatuan yang kemudian disebut sebagai materi lainnya yang secara kualitas lain, karenanya namanya juga lain. Tubuh, misalnya, terdiri dari materi-materi materi yang lebih kecil, organ (pencernaan, pernapasan, pengeluaran, pemikiran/ otak, dan lain-lain), yang lebih kecil lagi terdiri dari sel-sel yang juga terdiri dari materi-materi yang lebih kecil hingga indra biasa tak mampu mengenalinya lagi. Tidak dikenali oleh indra bukan berarti bahwa materi itu tidak ada, materi konkret, ada, nyata (independen dari subjektivitas dengan indra yang terbatas—lihat hukum I). Dari sisi ini, dunia kita ini adalah satu kesatuan materi yang terdiri dari materi-materi lainnya yang menyusun keberadaan alam dan jagat raya. Kita, manusia, hanyalah titik kecil yang tak ada artinya jika dibandingkan dengan kebesaran alam ini.

3. Hukum III: Materi mengalami kontradiksi

Karena materi terdiri dari materi-materi yang lebih kecil, antara satu materi satu dan lainnya mengalami kontradiksi atau saling bertentangan. Jika tak ada kontras, tak akan ada bentuk yang berbeda-beda. Jika tak ada kontradiksi, tak ada kualitas yang berbeda, kualitas baru, atau kualitas yang menunjukkan adanya perubahan susunan material yang baru. Kontradiksi itu adalah pertentangan antara materi satu dan lainnya yang memiliki kepentingan dan tendensi gerak yang berbeda (bertentangan).

Hukum kontradiksi ini nyata dan akan berlangsung secara terus-menerus. Justru, karena adanya kontradiksi inilah perubahan mendapatkan sebabnya. Orang merasa lapar, dan lapar adalah kontradiksi, karenanya ia harus mencari makanan untuk dimakan. Keberadaan adalah hasil kontradiksi yang harus mempertahankan eksistensinya dengan berhubungan dengan alam dan materi-materi yang ada di alam. Hubungan ini kadang memajukan dan memundurkan—perubahan bisa maju bisa mundur, bukan?

Hubungan antara manusia dan materi-materi alam dihubungkan secara produktif melalui apa yang disebut kerja. Dengan kerja, manusia memenuhi kebutuhan hidup karena kontradiksinya adalah diserang oleh kebutuhan yang harus dipenuhi karena kalau tidak tak akan eksis sebagai makhluk hidup. Dengan kerja, berarti manusia memperlakukan alam dan juga mengubah alam, juga kemudian mengubah hubungan-hubungan yang ada di alam—serta hubungan antara manusia satu dan lainnya.

Kontradiksi itu kadang menajam menjadi pertentangan yang antagonis, yang kadang bertubrukan, dan kadang menghasilkan perubahan menuju kualitas material yang baru.

Jadi, ada hukum perubahan kuantitas menuju kuantitas dalam hal ini. Hubungan material akan mengubah secara kuantitas, ketika kuantitasnya meninggi dan tak dapat lagi disangga dengan kondisi material lama. Maka, akan menghasilkan perubahan baru, menjadi kualitas baru. Sebagai contoh, air yang diperlakukan dengan penambahan kuantitas suhu (dipanaskan) akan berubah menjadi uap. Uap adalah bentuk materi baru yang secara kualitas berbeda dengan air. Tentu saja hal itu terjadi setelah suhunya ditambah dari sedikit menjadi banyak. Dengan suhu sedikit yang tak mencukupi, air yang dipanaskan tak akan menjadi uap, tetapi jika panasnya (suhunya—suhu yang secara kuantitas bisa diukur) ditambah secara terus-menerus, dalam kondisi panas yang mencukupi, air akan mendidih di atas nampan. Jika panasnya dilakukan terus-menerus, air akan menjadi uap. Air yang ada di atas nampan akan habis, berubah jadi uap yang akan menyatu dengan udara.

Contoh lainnya adalah perubahan telur menjadi ayam. Tanpa adanya intervensi suatu dari luar berupa pemberian suhu pada telur akibat eraman induk atau bantuan lampu atau alat perekayasa suhu, telur tidak akan berubah menjadi ayam. Perlakuan kuantitatif secara terus-menerus akan membuat suatu materi bisa berubah menjadi suatu hal yang baru, bentuk dan nama yang baru pula. Kadang perubahan bisa menjadi cepat ketika ada intervensi atau suatu faktor dari luar yang mampu mempertajam kontradiksi dan menyebabkan pertentangan menjadi menajam dan akhirnya muncul perubahan akibat bertubruknya dua kekuatan material lama. Inilah hukum perubahan dari kuantitas menjadi kualitas dari yang tak dapat disangkal dalam kehidupan kita.

Kita juga dapat melihat hukum kontradiksi dan hukum perubahan itu untuk melihat suatu hubungan masyarakat pada level makro dan mikro. Pada level hubungan dalam pernikahan, misalnya, mengapa suatu hubungan tak dapat lagi dipertahankan dan pada akhirnya berujung pada perceraian. Tentu kita harus mengukurnya dari masing-masing pihak, bagaimana aksi dan reaksi dari masingmasing, keinginan dan sikap masing-masing terhadap pasangannya. Bisa saja perceraian disebabkan oleh hal-hal kecil yang menyebabkan kedua belah pihak saling membenci. Akan tetapi, jika hal-hal kecil itu dibiarkan, biasanya akan terakumulasi secara terus-menerus sehingga kadang mencapai puncaknya menjadi pertentangan dan akhirnya hubungan tak bisa lagi dipertahankan. Kadang, bisa saja pertentangan menjadi cepat ketika ada intervensi pihak luar, misalnya ada seorang perempuan yang menggoda seorang suami hingga ia merasa tak cocok lagi dengan istrinya yang di rumah.

4. Hukum IV: Materi selalu berubah dan akan terus berubah

Tidak sulit membuat kesepakatan terhadap rumus kehidupan bahwa: tidak ada yang lebih abadi daripada perubahan. Ungkapan yang sering kita dengar itu memang sangat benar. Perubahan dimulai dengan kontradiksi atau akibat pengaruh antara materi-materi yang menyusunnya maupun karena intervensi dari luar. Untuk lebih jelasnya, kita akan menerapkan hukum-hukum material ini untuk melihat perubahan di masyarakat.

Di sinilah sosiolog dan peneliti masyarakat diharapkan untuk berpikir dialektis. Berpikir dialektis berarti bahwa ia harus memahami bahwa kehidupan yang material berjalan sesuai hukum dialektika. Istilah “dialektika” berasal dari perkataan Yunani “dialego”, yang artinya “bercakap-cakap”, “berdebat“. Pada zaman itu, dialektika adalah cara mencapai kebenaran dengan membeberkan kontradiksi-kontradiksi dalam argumen seorang lawan dan mengatasi kontradiksi-kontradiksi tersebut. Dalam zaman kuno, waktu itu ada ahli-ahli fi lsafat yang meyakini bahwa membeberkan kontradiksikontradiksi dalam pikiran dan bentrokan-bentrokan pendapat adalah cara yang baik untuk mencapai kebenaran.

Pada hakikatnya, dialektika adalah lawan langsung dari metafi sika. Ciri-ciri dialektika marxis adalah sebagai berikut:

  • Berlawanan dengan metafi sika, dialektika tidak memandang alam sebagai tumpukan segala sesuatu, tumpukan dari gejala yang kebetulan saja, tiada berhubungan, berpisah, dan bebas satu sama lain, tetapi sebagai sesuatu keseluruhan yang berhubungan dan bulat, yaitu segala sesuatu gejala-gejala secara organis saling berhubungan, bergantung satu sama lain. dalam metode dialektika, tidak ada gejala alam yang dapat dimengerti jika ia diambil sendirian, terpisah dari gejala-gejala sekelilingnya;
  • Berlainan dengan metafi sika, dialektika memandang bahwa alam bukanlah suatu yang diam dan tidak bergerak atau tidak berubah. Keadaan terus-menerus bergerak dan berkembang, ketika sesuatu senantiasa timbul, dan sesuatu lainnya rontok dan mati;
  • Dialektika, tidak seperti metafisika, menganggap proses perkembangan sebagai proses pertumbuhan yang sederhana, tempat perubahan-perubahan kuantitatif akan mengarah pada perubahan kualitatif. Air bila dipanaskan (suhunya secara kuantitatif diubah atau dinaikkan) akan menghasilkan kualitas baru, berupa uap. Perkembangan tenaga produktif modal secara kuantitatif akan mengubah kualitas dan struktur masyarakat feodal/kerajaan menjadi masyarakat borjuis melalui revolusi;
  • Bertentangan dengan metafi sika, dialektika berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi internal terdapat dalam semua benda dan gejala alam karena semuanya mempunyai segi-segi yang negatif dan positifnya, masa lampau dan masa depannya, sesuatu yang berangsur mati dan yang berkembang; dan bahwa perjuangan antara yang lama dan yang baru ini, antara yang tua dan yang baru lahir, merupakan inti dari proses perkembangan, inti perubahan kuantitatif menuju kualitatif.

Dari sini, kita mendapatkan pemahaman bahwa yang tidak bisa dihindari adalah bahwa dalam hubungan material, kita selalu berhadapan dengan—apa yang sering disebut—“dialektika”, “kontradiksi”, dan “perubahan”. Kontradiksi, dialektika, dan perubahan terjadi pada ranah material yang konkret, nyata, dan bisa kita jelaskan dan kita kenali.

Dalam kehidupan, kita selalu mengalami perubahan, mengalami masalah-masalah. Sebagian masalah sudah dapat diatasi dengan penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh manusia sepanjang sejarah peradabannya. Akan tetapi, sebagian besar tampaknya juga masih dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan sempit dalam penataan hubungan material yang berimbas pada manipulasi hubungan-hubungan lainnya, seperti hubungan agama, suku, dan lain-lain. Kontradiksi pokok tetaplah pada ranah material, sedangkan kontradiksi lainnya (terutama kontradiksi dan penyimpangan ide, perasaan, filsafat, dan budaya) hanyalah imbas dari kontradiksi material.

Kadang, untuk menyembunyikan agar kita tak mampu memahami kontradiksi pokok (kontradiksi material), sekelompok kecil penguasa hanya membesar-besarkan kontradiksi non-material. Misalnya, ketika kontradiksi masyarakat kita adalah kapitalisme sebagai sebuah tatanan material-ekonomis yang menindas. Supaya kepentingan kekuasaan sempit dan pongah penguasa langgeng dan aman, pertentangan-pertentangan pada aspek persepsi dan ide dikobarkan: sentimen agama, suku, dan kelompok ditingkatkan. Seakan-akan, musuh-musuh rakyat adalah agama lain, suku lain, kelompok lain sehingga konfl ik rasial itu kian meluas. Tujuannya adalah agar imperialisme -kapitalisme sebagai sebab-sebab kontradiksi kemanusiaan tetap langgeng dan penguasa itu tetap bisa menikmati kekuasaan untuk dirinya.

Di tengah-tengah disembunyikannya kontradiksi material analisis masyarakat itu, memang selalu memunculkan kontradiksikontradiski yang tak dijawab dan sengaja dipelihara. Ketika kontradiksi hubungan produksi dan sosial masih dilanggengkan bersamaan dengan hubungan yang bertentangan (antara kelas kapitalis penindas dan rakyat pekerja dan rakyat miskin yang diisap), karenanya kontradiksi alam tidak terjawab. Tak heran jika kita masih belum bisa menjawab berbagai kejadian alam karena kita masih berpikir bagaimana caranya makan.

Kasus bencana alam, seperti banjir bandang, gempa, dan tsunami sering menghantam sisi peradaban kita. Seharusnya, hal itu bisa dijadikan peringatan bahwa manusia hingga sekarang ini masih terbelenggu oleh kontradiksi sosial , ekonomi, politik, atau terjadi pengisapan antar-manusia, hingga tak heran jika manusia di dunia ini masih sibuk mengurusi makan, minum, rumah, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan mendasar. Sistem penindasan merupakan akar kemiskinan kebudayaan .

Kontradiksi antara manusia dan alam tidak harus dilihat secara subjektif sebagai suatu yang negatif. Manusia (individu-individu) maju justru karena hubungan antara sesamanya. Pertukaran dan bahkan pertarungan antar-kepentingan kadang membuat manusia maju karena kontradiksi akan membuat orang mencari cara (berpikir) untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi dan akhirnya terlatih untuk memahami dan menghadapi situasi. Pada dasarnya, manusia menghadapi suatu kontradiksi dalam hidupnya dan justru karena itulah manusia bergerak, bekerja, lalu mengembangkan peradabannya.

Manusia lapar, dan kelaparan adalah sebuah kontradiksi, lalu harus bekerja dalam makna memperlakukan alam untuk mendapatkan makanan. Didasari atas kebutuhan-kebutuhan lain, manusia pun mengembangkan kekuatan produktifnya untuk menghadapi alam, mengubahnya, diiringi dengan kemampuan mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dari alat-alat yang sederhana hingga yang maju, perubahan terjadi secara terusmenerus, bahkan dalam hal tertentu tidak mampu dihadang oleh apa pun.

Itulah dasar terjadinya perubahan, baik yang evolusioner maupun revolusioner dalam masyarakat. Kekuatan produktif (productive force) dalam masyarakat terus berkembang sebagai konsekuensi dari cara manusia memenuhi dan mengembangkan kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, dalam sejarah tertentu juga terdapat suatu hubungan sosial yang didasari oleh hubungan produksi. Hubungan produksi ini didasarkan atas relasi antarkekuatan- kekuatan dan alat-alat produksi. Berdasarkan hal itu, masyarakat terus berkembang setelah melalui perubahan-perubahan yang revolusioner. Masyarakat komune primitif digantikan dengan masyarakat perbudakan, lalu maju ke masyarakat feodal, kapitalis, dan sosialis—dengan syarat-syarat material tertentu.

Karena manusia adalah bagian dari alam, tak mungkin baginya untuk melawan hukum alam betapa pun majunya ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Maka, maju atau mundurnya sebuah proses perubahan adalah hal yang sangat wajar. Tenaga produktif selalu maju, sementara hubungannya selalu dilanggengkan oleh penguasa yang diuntungkan dengan hubungan pengisapan itu. Maka, tenaga produksi yang maju dan ingin mengembangkan diri mau tak mau harus berhadapan dengan kekuasaan yang ingin langgeng dan bahkan harus menghancurkannya. Di sini kedua kelas saling berhadapan dalam makna kepentingan ekonomi-politiknya.