Dalam konteks pendekatan kognisi sosial, Lochman dan Dodge (1994) membandingkan proses kognisi sosial antara anak dan remaja yang non-agresif, agresif, serta pelaku kekerasan serius. Studi tersebut menemukan bahwa semakin tinggi tingkat agresivitas, semakin terdistorsi proses kognisi sosial yang terjadi.
Proses kognisi sosial yang terdistorsi dalam penelitian Lochman dan Dodge ini ditandai oleh tingginya bias dalam mempersepsi tanda sosial dan dalam memilih solusi permasalahan sosial
yang dilematis.
Dodge (dalam Krahe, 2005) memaparkan hipotesis yang disebut hostile attribution model dan menemukan adanya bias atribusi bermusuhan (hostile attribution bias) pada individu
dengan agresivitas tinggi, yaitu, mereka ini cenderung menginterpretasi perilaku ambigu sebagai kejahatan (hostile) dan ancaman dibandingkan dengan individu yang lebih rendah
agresivitasnya.
Bias atribusi bermusuhan ini mengaktifkan skrip agresif dan meningkatkan kemungkinan bahwa sebuah reaksi agresi akan dipilih dari sekian banyak kemungkinan respon yang dimiliki individu.
Hal ini didukung oleh pernyataan Eron dan Slaby (dalam Bartol, 2003) sebagai berikut:
“Violent youth typically define social problem in hostile ways, adopt hostile goals, and seek
few additional facts, generate few alternative solutions, anticipate few concequences
for aggression, and give high priority to their aggressive solutions”.
Agresi dianggap sebagai cara penyelesaian masalah yang spontan dilakukan. Jika sesuatu terjadi tidak seperti yang diinginkan, remaja dengan skrip agresi dan kecenderungan bias agresi bermusuhan ini menghadapi situasi sebagai ancaman dari lingkungan sosial. Perilaku jahat dan agresif adalah cara yang serta-merta dilakukan dalam konfrontasi dengan pihak lain.
Sebaliknya, cara prososial dan skrip non-agresif lebih tidak bisa langsung dilakukan dan lebih kompleks daripada solusi agresif karena memerlukan ketrampilan sosial yang efektif, sehinggalebih sulit dilakukan.