Apa yang dimaksud dengan homo economicus?

Homo Economicus

Salah satu konsep penting di dalam metodologi ilmu ekonomi modern adalah mengenai asumsi antropologis yang dipakai, sehingga muncul istilah Homo Economicus. Apa yang dimaksud dengan Homo Economicus?

Homo economicus adalah sebuah konsep mengenai manusia di mana manusia dideskripsikan sebagai makhluk rasional yang selalu mengejar self-interest -nya masing-masing. Berada di belakang konsepsi tersebut adalah asumsi bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk pemenuh utilitas (utility maximizer). Di dalam konteks ilmu ekonomi, utilitas diartikan sebagai “kegunaan” (usefulness) atau kemampuan sesuatu barang/objek di dalam memberikan kepuasaan atas preferensi seseorang. Jadi, dengan “utility maximizer” diartikan manusia cenderung untuk mencari cara-cara yang paling efektif dan efisien di dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginannya masing-masing.

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita rangkum bahwa terdapat dua konsep penting yang melatarbelakangi asumsi homo economicus, yakni:

  • Self-interest (egoisme rasional)

  • Utility maximizing

Self-Interest

Tentu saja yang dimaksud dengan self-interest disini diartikan sebagai motivasi atau insentif yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Jadi, di dalam konsep homo economicus, motif dan insentif paling mendasar yang mendorong seseorang memilih suatu keputusan adalah jika output atau luaran dari keputusan tersebut memberikan keuntungan bagi si pembuat keputusan.

Norma self-interest ini tertanam begitu kuat di dalam metodologi ilmu ekonomi sehingga tindakan-tindakan yang selaras dengan norma ini disebut sebagai rational choice (pilihan rasional). Di dalam model realitas ilmu ekonomi, apa yang disebut tindakan rasional adalah tindakan-tindakan yang menguntungkan diri sendiri.

Kritik terhadap konsep rational choice ini, tentu saja, biasanya berupa tuduhan bahwa asumsi mengenai manusia sebagai makhluk yang dorong oleh kepentingan egois dan sempit seperti ini adalah sebuah reduksionisme ontologis. Para pendukung kritik ini mengatakan bahwa konsep rational choice di dalam asumsi homo economicus bersifat bias, karena hanya menekankan sebagian kecil dari dimensi behavior manusia yang begitu kompleks.

Para pengkritik ini tentu saja merujuk pada konsep altruisme sebagai kebalikan dari sifat egoisme. Altruisme, atau sikap mengutamakan kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri sendiri, memang merupakan fakta sosial dan beberapa filsuf menganggapnya sebagai bagian penting di dalam proses perkembangan peradaban manusia.

Klaim yang menarik dari teori ilmu ekonomi modern mengenai konsep egoisme rasional adalah bahwa sikap mementingkan dan mengejar kepentingan diri sendiri pada akhirnya justru akan membawa dampak yang lebih baik bagi sebanyak mungkin orang. Hal ini dimungkinkan karena di dalam mekanisme pasar, proses exchange (barter/pertukaran) membuat dua pihak yang berbeda dapat saling bertemu untuk memenuhi kebutuhan dan interest -nya masing-masing. Ketika transaksi pertukaran tersebut berjalan lancar, kedua pihak yang bertransaksi masing-masing akan mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan tingkat kemakmuran mereka juga meningkat. Salah satu kutipan terkenal dari Adam Smith berbunyi:

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker we expect our dinner, but from their regard to their own interest” .

(“Bukan karena kebaikan hati dari tukang roti kita memiliki makan malam di meja makan kita, tetapi karena tukang roti tersebut berusaha memenuhi kepentingannya sendiri ”).

Jadi, dilihat dari sudut pandang moralitas, di dalam teori ilmu ekonomi modern egoisme rasional justru dipandang sebagai sebuah virtue (kebajikan). Kampanye dan upaya para ekonom liberal membangun suatu institusi perdagangan bebas pada hakekatnya didasari oleh keyakinan akan mekanisme pasar semacam ini. Bagi mereka, pasar yang bebas dari hambatan (bisa berupa hambatan legal seperti pajak atau subsidi, maupun hambatan struktural seperti monopoli) merupakan sarana penyebaran kemakmuran yang paling fair di dalam masyarakat.

Utility Maximizing


Utility maximizing ” adalah sebuah konsep tentang perilaku manusia (konsumen) yang cenderung memaksimalkan nilai utilitas dari suatu objek yang (ingin) ia miliki. Artinya, menurut teori utility maximization , adalah kecenderungan konsumen untuk mencari alternatif yang paling efektif dan efisien di dalam memenuhi preferensi dan kebutuhan-kebutuhannya masing-masing.

Sebagaimana pada konsep egoisme rasional, utility maximization juga merupakan bagian dari teori pilihan rasional ( rational choice ). Terutama karena pilihan untuk memaksimalkan nilai kegunaan suatu objek bersifat paralel secara inheren dengan pemenuhan self-interest setiap orang. Di dalam konsep utility maximization , pertanyaan pertama yang ada di benak setiap orang ketika dihadapkan pada suatu pilihan tindakan adalah: “alternatif mana yang membuat saya paling merasa bahagia?” Maka, kata kuncinya di sini adalah “ happiness ”.

Selain itu, asumsi yang bekerja di dalam konsep utility maximization ini adalah bahwa orang-orang pasti cenderung memilih “lebih” daripada “kurang” ( people prefer ‘more’ than ‘less’ ). Hal ini terkait pula dengan postulasi bahwa keinginan dan kebutuhan setiap orang bersifat tidak terbatas.

Konsep utility maximization merupakan model realitas ekonomi yang penting di dalam studi mengenai perilaku konsumen. Terutama karena postulasi ketidakterbatasan keinginan/kebutuhan konsumen harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sumber daya yang dibutuhkan untuk memuaskan keinginan yang tak berbatas tersebut justru bersifat terbatas.

Dari sini muncul persoalan mengenai constraint .9 Constraint adalah hambatan atau halangan yang dihadapi konsumen di dalam upaya memaksimalkan utilitas yang ingin dicapai. Constraint umumya dibagi menjadi dua kategori: hambatan fisik ( physical constraint ) dan hambatan struktural ( structural constraint ). Hambatan fisik biasanya berupa hambatan yang non-intensional, contoh: Budi ingin bermain sepak bola dengan teman-teman, namun di luar sedang turun hujan lebat. Sedangkan hambatan struktural bisa berupa hambatan legal (misal: ada hukum tertulis yang melarang pemenuhan utilitas yang dimaksud) atau hambatan ekonomi (hambatan ini merupakan bentuk hambatan yang paling umum dibahas di dalam studi perilaku konsumen, contoh: Budi ingin membeli sepatu, namun tidak memiliki uang yang cukup).

Studi perilaku konsumen barbasis teori utility maximization biasanya berkutat dengan persoalan tarik-menarik antara upaya untuk memenuhi kepuasan dengan constraint yang dihadapi.

Referensi
  • Uskali Maki ( ed .), The Economic World View: Studies in the Ontology of Economics, (2001), Cambridge: Cambridge University Press.
  • Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776), Vol. 1, Chapter II
  • Rittenberg & Trigarthen, Principles of Microeconomics
  • Milton Friedman, Essays in Positive Economics , 1953, Chicago: University of Chicago Press.