Apa yang dimaksud dengan hipertensi atau tekanan darah tinggi?

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi kronis di mana tekanan darah pada dinding arteri (pembuluh darah bersih) meningkat. Kondisi ini dikenal sebagai “pembunuh diam-diam” karena jarang memiliki gejala yang jelas. Satu-satunya cara mengetahui apakah Anda memiliki hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah.

Apa yang dimaksud dengan hipertensi atau tekanan darah tinggi ?

Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang berada di atas batas normal atau optimal yaitu 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Peningkatan tekanan darah terjadi secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi.

Penyakit ini dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.

Pada stadium awal sebagian besar pasien hipertensi menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap. Peningkatan tahanan perifer pada hipertensi esensial terjadi secara bertahap dalam waktu yang lama sedangkan proses autoregulasi terjadi dalam waktu yang singkat.

Peningkatan curah jantung dan tahanan perifer dapat terjadi akibat dari berbagai faktor seperti genetik, aktivitas saraf simpatis, asupan garam, dan metabolisme natrium dalam ginjal dan faktor endotel mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.

Tekanan darah tinggi merupakan kondisi degeneratif yang disebabkan oleh diet beradab dan cara hidup yang berbudaya. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan tingkat keparahan dari faktor risiko yang dapat dikontrol seperti stres, obesitas, nutrisi serta gaya hidup; serta faktor risiko yang tidak dapat dikontrol seperti genetik, usia, jenis kelamin dan etnis.

Faktor lain yang ikut berperan, yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air. Keadaan ini yang berperan pada timbulnya hipertensi.

Hipertensi sistolodiastolik didiagnosis bila tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg.
Hipertensi sistolik terisolasi (HST) atau Isolated Systolic Hypertension (ISH) adalah bila TDS ≥ 140 mmHg dengan TDD < 90 mmHg.17

Etiologi hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui.

Hipertensi primer memiliki proporsi 95% dari seluruh kasus hipertensi, sedangkan hipertensi sekunder terdapat pada sebagian kecil pengidap hipertensi, penyebab peningkatan tekanan darah telah diketahui. Umumnya, hipertensi sekunder dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan penyebabnya yang tepat. Hampir semua hipertensi sekunder berhubungan dengan gangguan pada sekresi hormon dan/atau fungsi ginjal.

Selalu pertimbangkan suatu bentuk hipertensi sekunder yang dapat diperbaiki, terutama pada pasien berusia di bawah 30 tahun atau pasien yang menjadi hipertensi setelah 55 tahun.

Meskipun sebagian besar penyebab dari hipertensi primer belum diketahui, namun faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perjalanan hipertensi telah berhasil diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain asupan garam, obesitas, pekerjaan, konsumsi alkohol, ukuran keluarga, aktivitas fisik, dan stres emosional.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi sebagai berikut :

Tabel Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7
image

Patofisiologi Hipertensi


Tekanan darah arterial ditimbulkan oleh dua variabel hemodinamik, yaitu : curah jantung (cardiac output) dan tahanan vaskular terhadap aliran darah ke seluruh sirkulasi sistemik (tahanan perifer total; total peripheral resistance).

Selanjutnya, curah jantung dihasilkan dari dua variabel, kecepatan denyut jantung dan isi sekuncup jantung (stroke volume); dan variabel yang terakhir dapat meningkat dengan menguatnya kontraksi miokardium atau aliran balik vena (venous return).

Tahanan vaskular mungkin meninggi akibat perangsangan adrenergik, meningkatnya aktivitas renopresor, dan karena banyak substansi hormonal atau humoral dalam sirkulasi. Banyak faktor yang meningkatkan tonus otot arteriolar dan tahanan perifer total yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Semua faktor tersebut bekerja dengan saling tergantung pada individu normal dan juga individu hipertensif.

Tabel Mekanisme Perubahan Resistensi Pembuluh Darah
image
image

Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukan kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia.

Secara hemodinamik hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri besar resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan bertambah masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan hipertensi sistolik dan diastolik output jantung, volume intravaskuler, aliran darah keginjal aktivitas plasma renin yang lebih rendah dan resistensi perifer. Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinefrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik pada sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah.

Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah. Tekanan darah membutuhkan aliran darah melalui pembuluh darah yang ditentukan oleh kekuatan pompa jatung (cardiac output) dan tahanan perifer (peripheral resistance). Sedangkan cardiac output dan tahanan perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi (asupan natrium, stres, obesitas, genetik dan lain-lain). Hipertensi terjadi jika terdapat abnormalitas faktor-faktor tersebut.

Awalnya kombinasi faktor herediter dan faktor lingkungan menyebabkan perubahan homeostasis kardiovaskular (prehypertension), namun belum cukup meningkatkan tekanan darah sampai tingkat abnormal; walaupun demikian cukup untuk memulai kaskade yang beberapa tahun kemudian menyebabkan tekanan darah biasanya meningkat (early hypertension). Sebagian orang dengan perubahan gaya (pola) hidup dapat menghentikan kaskade (proses) tersebut dan kembali ke normotensi. Sebagian lainnya akhirnya berubah menjadi established hypertension (hipertensi menetap), yang jika berlangsung lama dapat menyebabkan komplikasi pada target organ.

Patogenesis terjadinya hipertensi pada usia lanjut dan dewasa muda dibedakan oleh faktor-faktor yang berperan pada usia lanjut. Faktor- faktor tersebut terutama adalah :

  1. Akibat perubahan dinding aorta dan pembuluh darah akan terjadi peningkatan tekanan darah sistolik tanpa/sedikit perubahan tekanan darah diastolik. Peningkatan tekanan darah sistolik akan meningkatkan beban kerja jantung dan pada akhirnya akan mengakibatkan penebalan dinding ventrikel kiri sebagai usaha kompensasi/adaptasi.

  2. Hipertrofi ventrikel ini yang awalnya adalah untuk adaptasi lama- kelamaan malah akan menambah beban kerja jantung dan menjadi suatu proses patologis.

  3. Terjadi penurunan fungsi ginjal akibat penurunan jumlah nefron sehingga kadar renin darah akan turun. Sehingga sistem renin-angiotensin diduga bukan sebagai penyebab hipertensi pada lansia.

  4. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Makin lanjutnya usia makin sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium.

  5. Terjadi perubahan pengendalian simpatis terhadap vaskular. Reseptor α-adrenergik masih berespons tapi reseptor ß-adrenergik menurun responsnya.

  6. Terjadi disfungsi endotel yang mengakibatkan terjadinya penurunan elastisitas pembuluh darah sehingga mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer.

  7. Terjadi kecenderungan labilitas tekanan darah dan mudah terjadi hipotensi postural (penurunan tekanan darah sistolik sekitar 20mmHg atau lebih yang terjadi akibat perubahan posisi dari tidur/duduk ke posisi berdiri). Ini terjadi akibat berkurangnya sensitivitas baroreseptor dan menurunnya volume plasma.

  8. Proses aterosklerosis yang terjadi juga dapat menyebabkan hipertensi.

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah diatas normal. Menurut pedoman The Seventh Report of Joint National Committeeon Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNCVII) (2009) , terdapat empat kategori definisi tekanan darah, yaitu:

  • Tekanan darah normal: tekanan darah sistolik <120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg

  • Prehipertensi: tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89 mmHg

  • Hipertensi tahap I: tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg

  • Hipertensi tahap II: tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah
    diastolik ≥100 mmHg.

Jenis Hipertensi


Berdasarkan penyebabnya Gray dkk (2005) , hipertensi di bagi menjadi dua jenis:

a. Hipertensi primer

Juga disebut hipertensi esensial atau idiopatik, dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecendrungan tersebut dimulai. Dan pada saat itu telah terjadi beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder, sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas.

b. Hipertensi sekunder

Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan menjadi:

  • Penyakit parenkim ginjal (3%), setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim ginjal, akan cendrung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal.

  • Penyakit renovaskular (1%), terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan pasokan darah ginjal, yaitu arterosklerosis dan fibrodisplasia. Penurunan pasokan darah ginjal akan memacu produksi renin ipsilateral dan meningkatkan tekanan darah.

  • Endokrin (1%), pertimbangkan aldosteronisme primer (sindrom Conn) jika terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperplasia adrenal bilateral.

  • Sindrom Cushing, disebabkan oleh hiperplasia adrenal bilateral yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) pada dua per tiga kasus dan tumor adrenal primer pada sepertiga kasus.

  • Hiperplasia adrenal kongenital, merupakan penyebab hipertensi pada anak (jarang).

  • Feokromositosoma, disebabkan oleh tumor sel kromafin asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar adrenal, dan 10% lainnya terjadi ditempat lain.

  • Hipertensi pada kehamilan, terjadi sekitar 10% pada kehamilan pertama dan lebih sering terjadi pada ibu muda. Diperkirakan karena aliran uretroplasental yang kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal periode postpartum.

  • Hipertensi akibat obat, yang paling banyak menyebabkan hipertensi adalah penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP), dengan 5% perempuan mengalami hipertensi dalam 5 tahun sejak mulai penggunaan.

Gejala


Penyakit hipertensi ini seringnya datangnya secara diam-diam dan tidak menunjukkan adanya gejala-gejala tertentu yang terlihat dari luar sehingga disebut sebagai the silent disease. Pada sebagian besar kasus hipertensi, penderita tidak mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah menderita hipertensi hingga dikeahui bahwa terjadi komplikasi.

Ketika tekanan darah naik dengan sangat cepat sehingga tekanan diastolnya ≥140 mmHg, biasanya baru muncul gejala-gejala seperti sakit kepala atau pusing, muka merah, vertigo (rasa berputar), tinnitus (suara mendenging dalam telinga), keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan pengelihatan menjadi kabur (Sudarmoko, 2010).

Tetapi, gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khusus yang hanya dimiliki pada penderita hipertensi, karena juga dapat terjadi pada pasien dengan tekanan darah normal. Jika hipertensi yang dialami sudah berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan kabur karena terjadi kerusakan otak, mata, jantung dan ginjal (Susilo dan Wulandari, 2011).

Kadang-kadang penderita hipertensi berat dapat mengalalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakak otak, disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan penanganan segera, karena dapat memicu kematian (Susilo dan Wulandari, 2011).

Penyebab


Seperti yang telah dijelaskan diatas, penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat berupa penyakit parenkim ginjal, penyakit renovaskular, penyakit endokrin, hipertensi akibat obat, hipertensi akibat kehamilan dan lain-lain (Gray dkk, 2005).

Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), memperkirakan penyebab-penyebab hipertensi yang terindentifikasi sebagai berikut:

  1. Sleep apnea
  2. Pengaruh obat
  3. Penyakit ginjal kronis
  4. Aldosteronisme primer
  5. Penyakit renovaskular
  6. Cushing’s syndrome atau terapi dengan steroid
  7. Pheochromocytoma
  8. Penyakit tiroid/ paratiroid
  9. Coarctation of aorta

Faktor Resiko

Sampai saat ini penyebab hipertensi primer tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakanvaskuler dan lain-lain (Anggraini dkk, 2009).

Namun, menurut dilihat dari faktor pemicunya, dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

  1. Faktor Genetik
    Dari berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa orang yang mempunyai riwayat atau silsilah dengan keluarga yang memiliki riwayat hipertensi ada kecendrungan untuk dapat juga terjadi hipertensi (Sudarmoko, 2010).

    Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individudengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009)

  2. Usia
    Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Individual yang berumur diatas 60 tahun, sekitar 50-60% mempunyai tekana darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Susilo dan Wulandari, 2011).

  3. Jenis Kelamin
    Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita sama, hanya saja wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang dapat meningkatkan jumlah High Density Lipoprotein (HDL). Kadar HDL yang tinggi mampu mencegah terjadinya arterosklerosis (Anggraini dkk, 2009).

    Namun dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pria lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita, mungkin dikarenakan gaya hidup pria yang kebanyakan lebih tidak terkontrol dibandingkan wanita, misalnya kebiasaan merokok, bergadang, stres kerja, hingga pola makan yang tidak teratur (Sudarmoko, 2010).

  4. Etnis
    Hipertensi banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun pada orang berkulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih basar (Susilo & Wulandari, 2011).

  5. Obesitas
    Menurut National Institutes for Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Anggraini dkk, 2009).

  6. Asupan garam
    Asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriuretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan tekanan darah (Susilo&Wulandari, 2011). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Anggraini dkk, 2009).

    World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari (Anggraini dkk, 2009).

  7. Merokok
    Merokok merupakan salah satu faktor penyebab dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya hipertensi. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts (2007) terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari.

    Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Anggraini dkk, 2009). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebiasaa merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi.

  8. Stres
    Stres dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Peningkatan simpatis akan meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari, 2011).

  9. Kafein
    Konsumsi kafein dalam jumlah yang berlebihan juga dapat menjadi faktor resiko terjadi hipertensi. Kafein dapat menimbulkan perangsangan saraf simpatis, yang pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan gejala jantung berdebar-debar, sesak nafas dan lain-lain (Susilo dan Wulandari, 2011).

  10. Kolesterol tinggi
    Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo dan Wulandari, 2011).

Patofisiologi


Menurut Udjianti (2010), empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan, sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular.

Sistem baroreseptor seperti yang dijelaskan sebelumnya, merupakan monitor derajat tekanan arteri dan meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi. Namun, pada hipertensi kontrol ini gagal menurunkan tekanan darah dan belum jelas penyebabnya.

Bila tubuh menglami kelebihan garam dan air, tekanan darah akan meningkat melalui mekanisme fisiologi yang kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah jantung. Bila ginjal masih berfungsi secara adekuat, peningkatan tekanan arteri dapat meningkatkan diuresis dan penurunan tekana darah. Kondisi patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam mengeksresikan garam dan air akan meningkatakan tekanan arteri sistemik.

Renin dan aniotensin memegang peranan penting dalam pengaturan tekanan darah. mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang berperan penting dalam meningkatkan tekanan darah karena bersifat vasokonstriktor kuat pada pembuluh darah dan juga berperan dalam pelepasan aldosteron oleh korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Anggraini dkk, 2009).

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berpera dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Yogiantoro, 2006).

image
Gambar Diagram Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah.
(Sumber : Hipertensi Esensial. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V)

Pencegahan


Cara terbaik untuk mencegah terjadinya hipertensi adalah menghindari faktor - faktor penyebab dan faktor resiko timbulnya penyakit hipertensi. Dalam hal ini adalah faktor yang dapat dihindari, misalnya merokok, asupan garam yang berlebihan, stres, obesitas dan lain-lain.
Selain dengan cek tekanan darah secara teratur, perawatan pada penderita hipertensi dapat dilakukan dengan menjalankan diet yang dirancang secara khusus sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kondisi penderita.

Menurut Susilo dan Wulandari (2011), berikut yang dapat dilakukan untuk pencegahan hipertensi:

  1. Pola makan sehat
    Inti pola makan sehat adalah makan makanan yang mengandung kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai kebutuhan.

    • Kurangi konsumsi garam dalam makanan sehari-hari
    • Konsumsi makanan yang mengandung kalium, magnesium dan kalsium karena dapat mengurangi hipertensi seperti pisang dan alpukat
    • Kurangi minuman beralkohol dan bersoda
    • Makan sayur dan buah-buahan berserat tinggi seperti sayuran hijau, pisang, tomat, wortel, melon dan jeruk
    • Kendalikan kolesterol, kurangi makanan yang mengandung lemak jenuh
    • Kendalikan diabetes bila ada
    • Hindari konsumsi obat yang dapat meningkatkan tekanan darah
    • Tidur yang cukup setia hari, antara 6-8 jam setiap hari
    • Konsumsi minyak ikan, karena mengandung omega-3 yang dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan
    • Puasa yang rutin juga sangat baik untuk mengendalikan tekanan darah
  2. Pola hidup sehat

    • Melakukan olahraga teratur. Pada penderita hipertensi dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki, bersepeda, lari santai dan berenang. Lakukan selama 30 hingga 45 menit sehari sebanyak tiga kali seminggu.
    • Mengendalaikan emosi dan mengurangi kecemasan
    • Berhenti merokok. Selain dapat meningkatkan faktor resiko terkena hipertensi, merokok juga dapat menyebabkan komplikasi pada penyakit paru dan kardiovaskular lain

Penatalaksanaan

Menurut Anggraini dkk (2009), tujuan pengobatan hipertensi adalah sebagai berikut:

  • Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggiseperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah
    <130/80 mmHg.
  • Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
  • Menghambat laju penyakit ginjal.

Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist blocker (ARB).

Tabel Terapi Hipertensi
image
Sumber : JNC7 Report on the prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure

Indikasi yang memaksa (Compelling indications) untuk terapi spesifik mencakup kondisi resiko tinggi yang dapat menyebabkan secara langsung gejala sisa dari hipertensi (gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik dan stroke yang berulang) atau penyakit yang berhubungan dengan hipertensi (diabetes, resiko tinggi penyakit jantung), sehingga diperlukan obat antihipertensi tertentu (Yusuf, 2008).

Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥ 90 mmHg (tekanan diastolik) ( Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII , 2003).

Tekanan sistolik (nilai yang lebih tinggi) terjadi karena kekuatan kontraksi jantung untuk memompa darah ke aorta dan tekanan diastolik (nilai yang lebih rendah) menunjukkan tekanan minimal dalam arteri dan terjadi karena arteri berelaksasi saat darah kembali ke dalam jantung.

Klasifikasi Hipertensi


Bentuk hipertensi antara lain hipertensi hanya diastolik, hipertensi campuran (diastolik dan sistolik yang meninggi) dan hipertensi sistolik. Hipertensi sistolik terjadi karena hilangnya kemampuan aorta untuk memompa darah pada penderita aterosklerosis. Hipertensi sistolik nampak cukup sering pada orang tua dan dapat pula menyertai koarktasio aorta atau hiperdinamik pada orang-orang muda, orang tua dengan aterosklerosis cenderung mempunyai tekanan sistolik yang tinggi. Tekanan darah sistolik yang tinggi juga disebabkan karena meningkatnya produksi kardiak akibat berolahraga, gerak badan, hipertiroid atau demam. Hipertensi diastolik sangat jarang dan hanya terlihat peninggian yang ringan dari tekanan diastolik, misalnya 120/100 mmHg. Hipertensi diastolik dapat berakibat pada kerusakan organ. Bentuk hipertensi disatolik biasanya ditemukan pada anak- anak dan dewasa muda (Tagor. 1996).

Tabel Klasifikasi hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII (JNC7), Tahun 2003

Kategori Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehypertension 120-130 Atau 80-89
Stage 1 Hypertension 140-159 Atau 90-99
Stage 2 Hypertension ≥160 Atau ≥100

Sumber: Depkes RI, 2007

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Hipertensi essensial (primer) merupakan tipe paling umum, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). Sekitar 35-95% penderita hipertensi merupakan hipertensi esensial. Terjadi karena faktor lingkungan maupun genetik seperti kelainan genetik pada eksresi natrium oleh ginjal, kelainan genetik pada transpor natrium/kalsium dalam otot polos vaskuler, variasi gen yang mengkode angiotensinogen dan protein lain pada sistem renin-angiotensin, dan pengaruh meningkatnya vasokontriksi lain seperti tabiat, neurogen, dan hormonal. Juga faktor- faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seperti obesitas, merokok, dan alkohol.

  • Hipertensi Sekunder. Sekitar 5-15% dari penderita hipertensi adalah hipertensi sekunder. Pada hipertensi sekunder terdapat atribut patologis. Penyebab umum hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal (penyempitan arteri ginjal/penyakit parenkim ginjal), kelenjar endokrin, berbagai obat, disfungsi organ, tumor dan kehamilan. (Robbins et. al ., 1996)

Patogenesis Hipertensi


Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Hal ini menyebabkan penambahan beban jantung ( afterload ) sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri sebagai proses adaptasi. Hipertrofi ventrikel kiri digambarkan berupa penebalan dinding dan penebalan massa ventrikel kiri. Selain pertumbuhan miosit dijumpai juga penambahan struktur kolagen berupa fibrosis reaktif koroner intramiokardial . Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertrofi ventrikel kiri adalah faktor hemodinamik (beban tekanan dan volume), faktor genetik dan lingkungan (umur, jenis kelamin, ras, asupan garam, alkohol, dan asosiasi penyakit lain) dan faktor tropika (angiotensin, katekolamin, dan insulin).

Patofisiologi hipertensi esensial tidak diketahui. Hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi mendorong LDL kolesterol sehingga lebih mudah masuk ke dalam intima. Hipertensi menyebabkan reaktivitas vaskular meningkat dan memicu perubahan struktural sampai dengan hipertrofi (Depkes RI, 2007).

Hipertensi merupakan faktor risiko primer untuk timbulnya PJK dan stroke. Hipertensi dapat memperberat aterosklerosis, khususnya dengan meningkatnya kadar kolesterol darah. Terdapat hubungan positif yaitu semakin tinggi tekanan darah, semakin besar risiko terjadinya Penyakit Jantung Koroner (Waspadji, 2003).

Gejala Klinis Hipertensi


Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah mereka meningkat. Keluhan-keluhan yang tidak spesifik pada penderita hipertensi antara lain sakit kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing, penglihatan kabur, rasa sakit di dada, mudah lelah, dll. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai antara lain gangguan penglihatan, saraf, jantung, ginjal dan serebral/otak (Depkes RI, 2006).

Pencegahan Hipertensi


Pencegahan primer penyakit hipertensi dapat dilakukan dengan perubahan perilaku seperti berolahraga yang telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah tinggi, manajemen stres, dan menambahkan makanan dengan kalsium, serat, magnesium, dan minyak ikan. Selain itu skrining dan deteksi dini penyakit hipertensi pada populasi berisiko tinggi juga penting untuk dilakukan(Labarthe & Roccella, 1993).

Epidemiologi Hipertensi


Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang cukup banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Pada umumnya terjadi pada manusia yang berusia lebih dari 40 tahun. Namun banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya.

Boedi Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8% - 28,6% penduduk dewasa adalah penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia sekitar 15 – 20%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria dari pada wanita. Pada usia 55 – 64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita sama banyak.

Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan kejadian penyakit jantung sehingga pengamatan pada populasi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan terjadinya penyakit jantung (Depkes RI, 2006).

Faktor-Faktor Risiko Hipertensi


Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, ketirunan (genetik) dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko hipertensi yang diakibatkan perilaku yang tidak sehat antara lain merokok, diet rendah serat, inaktivitas fisik, obesitas, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, stres, dan konsumsi garam berlebih diketahui sangat erat berhubungan dengan hipertensi (Depkes, 2006)

Hipertensi


Hipertensi adalah kondisi medis yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunnyai tekanan darah melebihi 140/90 mmHg (Adib, 2011). Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, semakin besar resikonya (Nurarif, 2015). Tekanan darah 160/90 mmHg, akan sukar bagi jantung untuk memompa darah dengan efektif. Penyakit hipertensi juga disebut sebagai “the silent disease” karena tidak terdapat tanda-tanda yang dapat dilihat dari luar. Hipertensi juga dapat dikelompokan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder artinya sudah diketahui penyebabnya, misalnya ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Surbakti, 2014)

Etiologi


Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi dua kategori menurut Triyanto, 2014 yaitu :

1. Hipertensi esensial atau primer

Penyebab dari hipertensi esensial sampai saat ini belum dapat diketahui. Kurang dari 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi esensial sedangkan 10% tergolong hipertensi sekunder. Onsset hipertensi primer terjadi pada usia 30-50 tahun. Hipertensi primer adalah suatu kondisi hipertensi dimana penyebab sekunder dari hipertensi tidak ditemukan (Lewis,2000). Pada hipertensi primer tidak ditemukan penyakit renovaskuler, adosteronism, pheocro-mocytoma, gagal ginjal, dan penyakit lainnya. Genetik dan ras merupakan bagian yang menjadi penyebab timbulnya hipertensi primer, termasuk faktor lain yang diantaranya adalah faktor stres, intake alkohol moderate, merokok, lingkungan, demografi, dan gaya hidup.

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme). Golongan terbesar penderita hipertensi adalah hipertensi esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan pada penderita hipertensi esensial.

Faktor risiko

Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah sebagai berikut :

  1. Faktor yang Tidak dapat dikendalikan :

    1. Keturunan, faktor ini tidak bisa dikendalikan. Jika didalam keluarga pada orangtua atau saudara memiliki tekanan darah tinggi maka dugaan hipertensi menjadi lebih besar. Statistik menunjukkan bahwa masalah tekanan darah tinggi lebih tinggi pada kembar identik dibandingkan kembar tidak identik. Selain itu pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk masalah tekanan darah tinggi (Rilantono, 2013; Irianto, 2015).

    2. Usia, faktor ini tidak bisa dikendalikan. Semakin bertambahnya usia semakin besar pula resiko untuk menderita tekanan darah tinggi. Hal ini juga berhubungan dengan regulasi hormon yang berbeda (Bell, 2015).

  2. Dapat dikendalikan:
    1). Konsumsi garam, kolesterol, kafein, dan alkohol (Irianto, 2015).

    2). Obesitas dengan orang yang berat badan diatas 30% berat badan ideal, memiliki peluang lebih besar terkena hipertensi (Irianto, 2015).

    3). Kurang olahraga dan kurang gerak dapat menyebabkan tekanan darah meningkat. Olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah tinggi namun tidak dianjurkan olahraga berat (Irianto, 2015)

    4). Stress dan kondisi emosi yang tidak stabil, yang cenderung meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu. Jika stress telah berlalu maka tekanan darah akan kembali normal (Ardiansyah, 2012; Irianto, 2015).

    5). Kebiasaan merokok yaitu nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan katekolamin, katekolamin yang meningkat dapat mengakibatkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian meningkatkan tekanan darah (Ardiansyah, 2012).

    1. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate volume expansion. Penghentian penggunan kontrasepsi hormonal, dapat mengembalikan tekanan darah menjadi normal kembali (Ardiansyah, 2012).

Patofisiologi


Meningkatnya tekanan darah dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturan nya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit dari pada biasa nyadan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang teradi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arterioskalierosis.

Tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi fase konstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon didalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah air dan garam dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat.

Sebaliknya, jika aktifitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara : jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal.

Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sitem saraf otonom yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Meningkatnya kecepatan dan kekuatan denyut jantung dan juga mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), mengurangi pembuanagan air dan garam oleh ginjal sehingga akan meningkatkan voleme darah dalam tubuh, melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah. Faktor stres merupakan satu faktor pencetus terjadinya peningkatan tekanan darah dengan proses pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin (Triyanto, 2014).

Manifestasi Klinis


Menurut Nurarif (2015) tanda dan gejala pada hipertensi dapat dibedakan menjadi :

  • Tidak ada gejala
    Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

  • Gejala yang lazim
    Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataan ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Menurut Nurarif (2015) beberapa pasien yang menderita hipertensi akan mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, akan merasakan sesak nafas, gelisah, mual muntah, dan kesadaran menurun.

Klasifikasi


Berikut klasifikasi hipertensi menurut Triyanto, 2014 :

Kategori Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
Normal Dibawah 130 mmHg Dibawah 85 mmHg
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 (hipertensi ringan) 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 (hipertensi sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3 (hipertensi berat) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4 (hipertensi Maligna) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
1 Like

Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan air (darah) di dalam pipa (arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (jantung) makin besar tekanan air terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil diameternya (seperti pada arterosklerosis), maka tekanan darah akan sangat meningkat. Tekanan darah dapat berubah-ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas, atau sewaktu melakukan aktivitas fisik. Setelah situasi ini berlalu, tekanan darah akan kembali normal. Apabila tekanan darah tetap tinggi maka disebut tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hull, 1996).

Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial sistemik, baik diastolik maupun sistolik, atau kedua-duanya secara terus-menerus (Hull, 1996). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan/atau ≤ 90 mmHg (tekanan diastolic) (Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003). Tekanan sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung dan tekanan diastolik menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Depkes, 2006).

Epidemiologi Hipertensi


Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang mengganggu kesehatan masayarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang berusia setengah baya (> 40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi akibat gejalanya tidak nyata. Pada stadium awal, belum menimbulkan gangguan yang serius. Sekitar 1,8% - 28,6% penduduk dewasa penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia diperkirakan antara 15- 20% (Depkes, 2006).

Prevalensi hipertensi lebih besar ditemukan pada pria, daerah perkotaan, daerah pantai dan orang gemuk. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Pada golongan umur 55-64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, penderita hipertensi wanita lebih banyak daripada pria (Depkes, 2006). Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan kejadian penyakit jantung. Sehingga pengamatan pada populasi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan terjadinya penyakit jantung (Depkes, 2006). Seseorang penderita hipertensi mempunyai resiko terserang penyakit jantung koroner 5 kali lebih besar (Depkes, 2006).

Klasifikasi Hipertensi


Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat individu. Namun disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama atau lebih besar dari 140/90 mmHg adalah hipertensi (WHO, 1999). Hipertensi menurut WHO-ISH tahun 1999 dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel Klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH tahun 1999

Kategori Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Grade 1 Hypertension 140-159 90-99
Sub group: Borderline 140-149 90-94
Grade 2 Hypertension 160-179 100-109\
Grade 3 ≥180 ≥110
Isolated Systolic Hypertension ≥140 <90
Sub group: Borderline 140-149 <90

Table Klasifikasi menurut The Joint national Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Preassure (JNC-VI) adalah sebagai berikut

Kategori Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal <130 < 85
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Tingkat I 140-159 90-99
Hipertensi Tingkat 2 160-179 100-109
Hipertensi Tingkat 3 ≥ 180 ≥ 110

Berdasarkan hasil berbagai studi eksperimental, kriteria operasional hipertensi yang disepakati oleh para ahli adalah TDS ≥ 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg (WHO, 1996). Kriteria ini digunakan secara luas di seluruh dunia, meskipun TDS (tekanan darah sistolik) 140 mmHg bukanlah nilai batas hipertensi pada semua penderita dewasa. Karena nilai batas tersebut ternyata dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin secara independen. Studi Farmingham menemukan bahwa kriteria hipertensi meningkat sesuai peningkatan umur dan TDS wanita meningkat lebih cepat daripada pria (Kodim, 2004).

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 golongan, hipertensi essensial atau primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial (primer), merupakan tipe paling umum, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial sedangkan 10% tergolong hipertensi sekunder. Sedangkan hipertensi sekunder memiliki atribut patologis. 10% penderita hipertensi adalah hipertensi sekunder. Penyebab umum hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal (penyempitan arteri ginjal/penyakit parenkim ginjal), kelenjar endokrin, berbagai obat, disfungsi organ, tumor dan kehamilan hipertensi, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) (Depkes, 2006).

Cara Pengukuran Tekanan Darah


Teknik pengukuran yang tepat dan teliti juga harus diperhatikan. Terdapat dua cara pengukuran yaitu pengukuran oleh dokter atau petugas kesehatan di sarana pelayanan kesehatan dan pengukuran sendiri di rumah baik dengan alat konvensional maupun dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM). Hipertensi tidak dapat didiagnosis berdasarkan pengukuran tunggal. Penemuan kenaikan pada pembacaan pertama harus dipastikan paling sedikit dua kunjungan berikutnya pada satu atau beberapa minggu dengan nilai rata-rata tekanan diastolic 90 mmHg dan sistolik 140 mmHg/lebih (Kaplan 1994).

Tabel Rekomendasi Untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah Pengukuran Pertama (JNC VII, 2003)

Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) Pemeriksaan Lanjutan
<130 < 85 Periksa ulang dalam 2 tahun
130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun
140-159 90-99 Periksa dalam 2 bulan
160-179 100-109 Periksa dan obati dalam 1 bulan
≥ 180 ≥ 110 Pastikan dan obati dalam 1 minggu

Teknik pengukuran yang direkomendasikan oleh JNC VI adalah sebagai berikut. Penderita harus duduk dengan penyangga lengan, bersandar dan sejajar dengan letak jantung. Penderita tidak boleh merokok dan minum kopi 30 menit sebelum pengukuran. Pengukuran dimulai setelah penderita istirahat selama 5 menit. Ukuran manset harus sesuai dengan lengan penderita yang paling sedikit 80% lebar manset harus dapat menutupi lingkar lengan. Tekanan sistolik adalah tekanan darah saat terdengan bunyi pertama (korotkoff I), sedangkan tekanan diastolic adalah tekanan darah saat bunyi menghilang (korotkoff V). Pembacaan dilakukan 2 kali/ lebih dengan waktu antara 2 menit (JNC VI, 1996).

Patofisiologi Hipertensi


Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Faktor genetik, aktivasi syaraf simpatis, faktor hemodinamik, metabolisme natrium, faktor renin, angiotensin, dan aldosteron merupakan faktor-faktor yang telah dibuktikan mempunyai kaitan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Soeparman et al., 1994 ; Kaplan, 1990). Pada lanjut usia, perubahan struktural dan fungsional pada pembuluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya tegang pembuluh darah (Smeltzer S. & Bare B, 2001).

Diagnosa Hipertensi


Diagnosa hipertensi ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan yang sering dialami, lama hipertensi, ukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan dan kepatuhan berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta dan riwayat keluarga. Pemeriksaan fisik terdiri atas pengukuran tekanan darah, pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus organ serta funduskopi.

Peninggian tekanan darah seringkali merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi esensial, sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah secara akurat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya tekanan darah adalah : faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran. Agar didapat pengukuran yang akurat, sebaiknya pengukuran dilakukan setelah pasien beristirahat dengan cukup, minimal setelah 5 menit berbaring dan dilakukan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri sebanyak 3-4 kali pemeriksaan, dengan interval antara 5-10 menit. Tempat pemeriksaan dapat pula mempengaruhi hasil pengukuran. Pengukuran di tempat praktek, biasanya mendapatkan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengukuran di rumah. Hasil pengukuran lebih tinggi di tempat praktek disebut office hypertension. Mengingat hal tersebut di atas, untuk keperluan follow up pengobatan sebaiknya dipakai pegangan hasil pengukuran tekanan darah di rumah. Pengukuran yang pertama kali belum dapat memastikan adanya hipertensi, akan tetapi dapat merupakan petunjuk untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

Gejala Klinis Hipertensi


Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah mereka meniggi. Selain tidak adanya gejala pada orang tersebut, juga disebabkan oleh sikap acuh tak acuh dari penderita tersebut. Oleh karena itu amat sulit memotivasi penderita untuk minum obat, apalagi untuk jangka panjang, sedang penderita tidak merasakan sesuatu gangguan kesehatan. Gejala baru timbul sesudah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala klinis dapat berupa rasa lelah, sukar tidur, pusing, sakit kepala, gangguan fungsi ginjal, gangguan penglihatan, gangguan serebral atau gejala akibat pendarahan pembuluh darah otak berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma. Penelitian di klinik hipertensi di Paris pada penderita hipertensi yang tidak diobati ditemukan gejala sakit kepala (40,5%), palpitasi (28,5%), nokturia (20,4%), migren (20,8%), dan tinnitus (13,8%) (Kaplan,1994).

Ada gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena berhubungan dengan organ-organ (Smith, 1991 dalam Wahyuni 2000), yaitu serangan pusing, kekakuan, kehilangan keseimbangan, sakit kepala pagi hari, penglihatan memburuk yang semuanya secara bersama-sama menunjukkan ada masalah dengan peredaran darah di otak, kelumpuhan anggota badan, khususnya sebelah badan atau salah satu bagian muka atau salah satu bagian tangan, kemampuan bicara menurun dan dapat menjadi peringatan adanya stroke yang jika diobati dapat dicegah, terengah-engah pada waktu latihan jasmani, dengan rasa sakit pada dada yang menjalar ke rahang, lengan, punggung atau perut bagian atas menjadi tanda permulaan angina, susah bernapas, sehingga merasa lebih mudah bernapas jika tidak berbaring datar, dengan gembung pada kaki, dapat menjadi tanda lain yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi, kegagalan jantung, dan sering bangun tiap malam untuk buang air kecil dan lebih banyak serta sering mengeluarkan urin selama siang hari dapat menjadi tanda pertama gangguan ginjal.

Masalah Hipertensi


Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak) dan penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi (Bustan, 2000). Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari adanya hipertensi sehingga penderita yang dapat diobati dalam arti hipertensinya terkendalikan dengan baik, hanya sekitar 10-12% (Rahardjo, 1991).

Keadaan hipertensi menekankan jantung bekerja lebih berat untuk memompa darah, volume jantung membesar dan dinding menipis sehingga akhirnya menyebabkan gagal jantung, dan terhadap organ mata menyebabkan pendarahan pada mata sehingga buta dan gangguan lainnya. Komplikasi lain dari hipertensi yaitu pendarahan, infark cerebral, pendarahan pembuluh darah otak yang berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma, trombosis, retinopati hipertensif pada mata, nefrosklerosis pada ginjal dan kegagalan faal ginjal (Sadana, 1994).

Masalah utama hipertensi adalah bahwa > 90% hipertensi termasuk golongan esensial, yaitu yang tidak atau belum diketahui sebabnya.,75% termasuk hipertensi ringan (diastolik 90-105 mmHg) dan bila digabung dengan hipertensi sedang (105- 115 mmHg) berjumlah > 90% penderita. Keadaan ini mempunyai kaitan dengan kebijaksanaan tatalaksana terapinya, karena menyangkut jumlah populasi yang besar dan beban masyarakat yang berat bila terapi tidak direncanakan dengan sesakma (Rahardjo, 1991).

Penyebab Hipertensi


Hipertensi digolongkan sebagai penyakit kultur, yaitu penyakit yang terkait dengan pola hidup kurang gerak (sedentary life style) dan pola makan siap saji yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi namun rendah serat (dietary fiber) (Nadesul, 2005). Faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi terbagi menjadi dua bagian yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang dapat dikontrol antara lain obesitas, dislipidemia, stres, aktivitas fisik, merokok, konsumsi garam yang berlebihan, dietetik, kebiasaan makan, dan konsumsi alkohol. Faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain umur, jenis kelamin, keturunan (Hull, 1996; Sadana 1994), dan pemakaian pil kontrasepsi pada wanita (Bustan & Nur 1999). Faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi lainnya yaitu suku, kebiasaan berolahraga, dan pendidikan (Sadana, 1994). Berhubung lebih dari 90% penderita hipertensi digolongkan atau disebabkan oleh hipertensi primer, maka secara umum yang disebut hipertensi adalah hipertensi primer (essensial).

Faktor-Faktor Resiko Hipertensi

1. Faktor Demografi

1.1. Umur

Pada umumnya tekanan darah naik dengan bertambahnya umur terutama setelah umur 40 tahun (Depkes, 2006). Sejalan dengan proses pertambahan umur, resiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular meningkat. Hal ini dikarenakan efisiensi sistem kardiovaskular mengalami penurunan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan fungsi sistem tersebut (Black, 1992). Survei epidemiologi menunjukkan bahwa umur merupakan satu dari prediktor terkuat terjadinya penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi. Faktor resiko penyakit hipertensi berkembang setelah umur mencapai 45 tahun (Black, 1992).

Tekanan sistole yang cenderung naik seiring pertambahan usia menjadi penyebab besarnya prevalensi hipertensi pada usia di atas 40 tahun. Peningkatan tekanan sistolik ini terjadi diawali dengan terjadinya kekakuan pembuluh darah arteri yang belum berbahaya (Kannel, 1990). Menurut Gutewiller et al., dengan bertambahnya umur, secara perlahan-lahan akan menghilang kemampuan jaringan tubuh untuk memperbaiki /mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga akan makin banyak timbul distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif, termasuk salah satunya hipertensi. Orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90 % akan berkembang menjadi hipertensi pada 25 tahun ke depan (US Departement Health & Human Services, 2003).

Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, resiko tekanan hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya takanan darah sistolik (Depkes, 2006).

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di bawah 40 tahun masih berada di bawah 10%, tetapi di atas umur 50 tahun angka tersebut terus meningkat mencapai 20% hingga 30%, sehingga ini sudah menjadi masalah serius untuk diperhatikan (Depkes, 2000). Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi sebesar 52,5% (Kamso, 2000). Kelleher, (1992) mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 40%. Pada NHANES III (The third national Health and Nutrition Examination Survey), dimana telah diadakan sebuah penelitian dengan mengambil populasi warga sipil US yang noninstitusional sebanyak 9901 orang yang berusia 18 tahun keatas atau lebih, menghasilkan keadaan bahwa prevalen hipertensi meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur dalam setiap jenis kelamin dan ras.

1.2. Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.

Laki-laki disebutkan mempunyai resiko menderita hipertensi lebih besar dari perempuan. Hal ini disebabkan karena pekerjaan dan perilaku perempuan dianggap lebih tidak beresiko, dan berperilaku sehat. Selain itu pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Karyadi, 2002). Selain itu angka istirahat jantung dan indeks kardiak pada pria lebih rendah dan tekanan peripheralnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan pramonopouse pada level tekanan arteri yang sama. Pria juga merespon suatu latihan beban dengan kenaikan tekanan arteri lebih besar.

Setelah manapouse tidak ditemukan perbedaan hemodinamik antara perempuan sehingga prevalen hipertensi tidak jauh berbeda. Hal ini ditunjukkan ketika tekanan darah diukur melalui ambulatory monitoring selama 24 jam, hasil menunjukkan bahwa tekanan darah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, pada kelompok umur yang sama. Akan tetapi setelah monopouse tekanan darah perempuan akan meningkat, bahkan jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Pratiwi, 2004).

Hasil penelitian Boedhi Darmojo, dkk tahun 1989 menemukan bahwa prevalen hipertensi pada perempuan (16,0%) lebih besar daripada laki-laki (13,6%).

Begitu pula di berbagai daerah di Indonesia ditemukan bahwa perempuan mempunyai prevalen hipertensi lebih besar daripada laki-laki (Darmojo, 1994). Para peneliti menghubungkan hal tersebut terhadap penurunan hormone estrogen sepanjang monopouse yang dimulai setelah umur mencapai kira-kira 50 tahun. Estrogen dihubungkan dengan tingkat HDL yang lebih tinggi dan LDL yang lebih rendah (Soeharto, 2002).

1.3. Keturunan

Salah satu faktor hipertensi esensial adalah tingginya peranan faktor keturunan yang mempengaruhi. Ini dapat terlihat antara lain dengan adanya penggolongan hipertensi berdasarkan pada anggota keluarga derajat pertama (orang tua, saudara sekandung, anak). Orang yang ada kejadian hipertensi dalam keluarganya mempunyai resiko untuk mendapat hipertensi lebih besar daripada yang tidak mempunyai hipertensi dalam keluarganya. Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan sesorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).

Dari hasil penelitian, diungkapakan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua yang salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai resiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal (tidak hipertensi). Kaplan, (1994) menyatakan bahwa kemungkinan untuk menderita hipertensi pada seseorang yang orang tuanya mempunyai riwayat hipertensi sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan orang lain yang tidak mempunyai riwayat hipertensi pada orang tuanya. Abdulrochim, (1982) menyatakan bahwa kembar monocygot menunjukkan korelasi yang tinggi, baik tekanan sistolik maupun diastolik bila dibandingkan dengan anggota keluarga lain.

Hasil penelitian pada 514 individu yang berasal dari 135 keluarga di Chuvasha, Rusia menunjukkan bahwa variasi tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik dipengaruhi oleh faktor genetik. Berdasarkan penelitian dr. Daniel S Seidman dari rumah sakit CarmelHaifa-Israel, pada 11.428 anak laki- laki dan perempuan berusai 17 tahun, yang disampaikan pada pertemuan perkumpulan international untuk studi hipertensi pada masa kehamilan di Seatle, AS, bulan Agustus 2000, didapatkan hasil bahwa anak laki-laki yang ibunya menderita darah tinggi ketika mengandung, mempunyai hampir dua kali lipat kemungkinan terkena darah tinggi

1.4. Suku / Golongan Etnik

Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, genetika, gaya hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan kematian (Sutrisna, 1994). Pada kelompok orang dewasa di Amerika, kenaikan tekanan darah seiring umur dijumpai lebih banyak pada orang berkulit hitam daripada orang kulit putih (Kaplan, 1994). Besar variasi antar suku di Indonesia, Lembah Baliem Jaya (0,6 ), Sukabumi, Jawa Barat (28,6) (Darmojo, 1994).

1.5. Status Sosial Ekonomi

Hipertensi dikenal juga sebagai ”heterogeneous group of disease” karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan sosial ekonomi (Astawan, 2005). Menurut Sutrisna (1994), yang dimaksud status sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status perkawinan. Hal tersebut dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan, maka tidak mengherankan jika ada perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau kematian antara berbagai kelas sosial. Status sosial ekonomi seseorang, dapat mempengaruhi munculnya hipertensi, seperti misalnya pekerjaan, jumlah anggota dalam keluarga dan kepadatan penduduk. Stress sosial ekonomi merupakan prediktor yang paling baik untuk umur harapan hidup, kesehatan, dan kesakitan.

Faktor pelayanan kesehatan (pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi serta faktor perilaku (sikap dan perbuatan, serta adat istiadat) mempengaruhi status kesehatan masnusia (Blum, 1983). WHO menyebutkan selain melalui perilaku diet, aktifitas fisik, dan konsumsi alkohol, tingkat sosial ekonomi berpengaruh terhadap hipertensi melalui akses pada fasilitas kesehatan. Akses pada pelayanan kesehatan yang meliputi program promosi kesehatan, program pencegahan, dan program pengobatan berpengaruh secara sinergik terhadap hipertensi. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, jarak dari jalan raya, pengalaman sebelumnya, umur, dan jumlah aanggota keluarga (Kodim, 2004).

Kualitas pelayanan kesehatan lebih sering terpaku pada pembiayaan pelayanan kesehatan. Di Indonesia biaya pelayanan kesehatan atau biaya pelayanan medis makin lama semakin tinggi, dan kenaikan biaya itu akan menjadi baban yang berat selama sistem pembayaran pelayanan medis dibayar oleh pribadi secara tunai. Penelitian yang dilakukan oleh Moriyana, Krueger dan Stamler (1971) dalam Khairani (2003) menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tekanan darah. Darmojo (1994) menyatakan bahwa Dyer dkk (1976) dan Marmot (1979) telah melaporkan bahwa data epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah mempunyai tendesi lebih tinggi pada golongan pendidikan sosial ekonomi rendah. Ternyata Kartari dkk (1988) dalam Darmojo (1994) memang menemukan prevalensi yang tinggi di kalangan penduduk yang buta huruf (18,9%) tetapi angka yang tertinggi, seperti yang diharapkan, ditemui pada golongan pekerja administrasi dan manajer (25,0%). Pada kaum pengangguran ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 9,6%.

2. Geografi dan Lingkungan

Pada kebanyakan tempat di dunia dapat dibedakan tiga macam keadaan iklim. Salah satunya iklim laut dengan sifat khasnya sering terjadi putaran udara karena kuatnya angin sepanjang pantai yang menyebabkan efek penyejuk pada badan manusia, dan intensitas yang besar dari sinar radiasi matahari yang terpantul. Sinar radiasi matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kegugupan, hilangnya nafsu makan, mual, lelah, pusing, dan susah tidur (Slamet, 1998). Terdapat pula perubahan suhu harian dan musim yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah pedalaman, kelembaban yang lebih besar, dan kadar trace element yang lebih tinggi seperti ozon, iodium dan megnesium serta kadar renik polusi udara selama angin laut yang kuat tetap berhembus (Karhiwikarta, 1998).

Iklim pegunungan (dataran tinggi) mempunyai kekhususannya pula, yaitu terdapat perbedaan dan lebih intensifnya spektrum radiasi matahari. Di atas 2000 m bahkan gelombang 278 mµ, yaitu sinar ultraviolet, dapat mencapai badan kita. Radiasi ultraviolet yang kuat, dapat menyebabkan bertambahnya sekresi asam lambung, kalsium dan fosfat serum darah. Cekaman cuaca dingin menyebabkan kenaikan produksi 17 ketosteroid oleh korteks kelenjar adrenal dan meningginya daya resistensi, sedangkan cuaca panas menyebabkan kadar 17-ketosteroid rendah, dan merendahkan pula resistensi tubuh (Karhiwikarta, 1998).

Berbagai reaksi fisiologis dan bahkan gejala patologis tubuh dapat terjadi karena perubahan cuaca. Sehubungan dengan hal ini penting pengaruh cuaca pada daya tahan setempat (local resistance) maupun umum terhadap penyakit infeksi. Daya tahan setempat yang berupa resistensi pembuluh darah kapiler misalnya, menurun (permeabilitas bertambah) setelah adanya aliran udara panas (heat sterss) dan sebaliknya bertambah setelah adanya aliran dingin. Daya tahan umum yang berupa perubahan kimia darah kemungkinan ada hubungannya dengan perubahan pola makanan sesuai dengan musim (Karhiwikarta, 1998). Daya tubuh seseorang sangat dipengaruhi oleh kecukupan gizi, aktivitas, dan istirahat. Dalam hidup modern yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolahraga dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol, atau kopi sehingga daya tahan tubuh menjadi menurun dan memiliki resiko terjadinya penyakit hipertensi.

Kuhnke (1956) dalam Karhiwikarta, 1998. di Jerman telah mencoba menghubungkan gejala-gejala tadi dengan keadaan atmosfir beserta perubahan- perubahannya di satu pihak dan situasi cuaca umumnya di pihak lain. Pada kombinasi keadaan atmosfir dan situasi cuaca tertentu secara empiris statistis

terdapat gejala yang menonjol dari kelelahan umum dan kelelahan subjektif seperti keluahan penyakit jantung dan peredaran darah, keadaan spasme dan kolik, peristiwa kematian, infark jantung, peninggian peristiwa ke arah perdarahan, perlambatan waktu reaksi dan bertambahnya angka kecelakaan Dari hasil-hasil tersebut, terutama dipandang dari masalah kemampuan kerja, Kuhnke dan Schulze (1962) dalam Karhiwikarta, 1998 menyimpulkan terdapat tiga jenis situasi cuaca di Eropa Tengah yaitu salah satunya situasi yang jelas mengakibatkan penurunan fungsi-fungsi tubuh, yaitu keadaan cuaca yang umumnya disertai dengan pengaruh (adveksi) yang kuat dari udara tropik. Pada situasi cuaca ini didapat presentase tinggi dari penduduk merasa lemah dan lelah disertai berkurangnya keinginan kerja dan konsentrasi, terutama jenis kerja yang memerlukan usaha lama.

Lehman (1964) dalam Karhiwikarta, 1998 menekankan bahwa rendahnya prestasi kerja penduduk tropis bukanlah suatu hal yang berhubungan dengan bakat pemalas (indolen), karena dapat pula dialami oleh kaum pendatang yang tinggal lama di daerah tropis. Sebab primernya adalah menurunnya kebugaran jasmani atau kapasitas kerja fisik dan daya aklimatisasi (adaptasi) sebagai akibat terbatasnya gerak atau aktivitas fisik karena pengaruh iklim panas dan lembab. Namun diingatkan pula bahwa keadaan tersebut dalam jangka waktu lama dapat pula mempengaruhi mental psikologis, sosial-budaya, dan ekonomis.

Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia bernapas udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya, demikian pula minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Tergantung dari taraf budayanya, manusia dapat sangat erat atau kurang erat hubunganya dengan lingkungan. Natrium merupakan salah satu parameter kimiawi syarat air minum.

Natrium elemental (Na) sangat reaktif, karenanya bila berada di dalam air akan terdapat sebagai suatu senyawa. Natrium sendiri bagi tubuh tidak mrupakan benda asing, tetapi toxixitasnya tergantung pada gugus senyawanya. Seperti NaOH atau hidrixida Na ini sangat korosif, tetapi NaCl justru dibutuhkan oleh tubuh (Slamet, 2000).

Prevalensi hipertensi pada penduduk di daerah pentai lebih tinggi daripada penduduk di daerah pegunungan atau pedalaman. Prevalensi hipertensi pada orang- orang yang melakukan migrasi akan sangat berbeda dengan prevalensi hipertensi di daerah asalnya (Abdulrochim, 1982; Bustan, 2000). Terdapatnya perbedaan keadaan geografis, dimana daerah pantai lebih berisiko terjadinya penyakit hipertensi dibading dengan daerah pegunungan, karena daerah pantai lebih banyak terdapat natrium bersama klorida dalam garam dapur sehingga konsumsi natrium pada penduduk pantai lebih besar dari pada daerah pegunungan (Slamet, 2000). Garam sangat berperan dalam patofisiologi hipertensi. Pada penduduk yang mengkonsumsi garam minimal (< 3 gr/hr) hipertensi hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan pada penduduk yang mengkonsumsi garam antara 5–15 gr/hr prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Dengan demikian dapat dijelaskan kenapa masyarakat pantai mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan masyarakat pegunungan (Soeparman,et al., 1994).

3. Faktor Status Kesehatan

3.1. Kegemukan (Obesitas)

Rasio berat terhadap tinggi badan mengindikasikan berat badan yang terkait dengan tinggi badan. Rasio ini berguna untuk mengukur gizi lebih dan obesitas dalam populasi orang dewasa. Selanjutnya rasio ini terkadang mengarah pada indikator obesitas (Gibson, 2005). Seseorang dikatakan kelebihan berat badan atau kegemukan apabila berat badanya melebihi 10-20 % dari berat badan normal (Soeharto, 2004). Obesitas akan menambah beban kerja jantung. Keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya tekanan darah tinggi, kencing manis, dan kolesterol (Depkes, 2006). Obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Kaplan & Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Kelebihan berat badan dan obesitas adalah problem kesehatan yang paling sering pada masyarakat maju atau bisa disebut orang yang mampu, namun bukan berarti masyarakat sosial ekonomi rendah terlepas dari masalah ini. Menurut penelitian di Australia obesitas mengakibatkan 2/3 penyakit diabetes tipe 2 dan mengakibatkan 1/3 jumlah penderita hipertensi. Orang obesitas juga diperkirakan akan meninggal dua kali lebih cepat dari orang dengan berat badan normal (State Goverment of Victoria, 2004 dalam Depkes RI 2006).

Dari hasil penyelidikan epidemiologi terbukti bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi hipertensi (Soeparman et.al., 1994). Obesitas mempunyai hubungan yang erat dengan prevalens hipertensi dan meningkatnya insidens hpertensi ketika berat badan bertambah (Kaplan et al., 1990). Mekanisme pasti yang menjelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi belum ada, namun pada beberapa penelitian diperoleh bahwa curah jantung dan sirkulasi hipertensi dengan berat badan normal. Pada obesitas, tekanan perifer berkurang atau normal, aktivitas syaraf simpatis meninggi dan aktivitas renin plasma rendah (Soeparman et al., 1994).

Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat badannya normal. Sedangkan pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-23% memiliki berat badan lebih (overweight). Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan pengukuran berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh dan pengukuran IMT. Pada studi-studi populasi IMT banyak digunakan untuk mengukur resiko penyakit di antara orang dewasa (Gibson, 2005). Pengukuran berdasarkan IMT dianjurkan oleh FAO, WHO, UNU tahun 1985. Nilai IMT dihitung menurut rumus (Depkes, 2006):

Tabel Klasifikasi IMT orang dewasa menurut Kriteria WHO (2000)

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (kg / cm2)
Berat Badan Kurang < 18,5
Normal 18,5 – 24,9
Berat Badan Lebih ≥ 25
Pre-Obes 25,0 – 29,9
Obes Tingkat I 30,0 – 34,9
Obes Tingkat II 35,0 – 39,9
Obes Tingkat III ≥ 40

Sumber : WHO Technical Series, 2000

Tabel Batas ambang IMT di Indonesia

IMT (kg / cm2) Kategori Keadaan
>17 Kekurangan berat badan tingkat berat Kurus
17-18,5 Kekurangan berat badan tingkat ringan Kurus
18,5-25 - Normal
>25,0->27,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan Gemuk
>27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat Gemuk

Sumber : Dit.Gizi DepKes RI Jakarta, 1994 dalm Depkes, 2006

Tabel batas ambang diatas telah dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang (Depkes, 2006). Peningkatan IMT berhubungan dengan peningkatan resiko hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, faktor resiko penyakit kardiovaskular, dan kematian. Tentu saja resiko relative penyakit kardiovaskular beserta factor resikonya menigkat seiring dengan peningkatan level IMT pada semua populasi (Gibson, 2005). Orang-orang dengan obesitas mempunyai kelebihan penyimpanan lemak di bawah kulit, dada, dan abdomen. Lemak merupakan simpanan energi tubuh dan berasal dari makanan yang mengandung lemak, karbohidrat, dan protein. Jika tubuh tidak membakar kelebihan kalori, maka tubuh akan menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak di dalam tubuh. Pada orang yang kelebihan berat badan jantung akan bekerja lebih keras untuk menyuplai darah (Patel, 2005). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20% dari berat badan total dan pada wanita sekitar 20-25 %. Jumlah lemak pada tubuh seseorang umunya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, yang umunya disebabkan oleh semakin melambatnya metabolisme tubuh dan berkurangnya aktifitas fisik (Soeharto, 2004).

Kegemukan pada umumnya terjadi karena usia, ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang keluar, genetik, penggunaan pil/injeksi KB, dan psikologis. Umur memberikan hubungan korelasi positif terhadap indeks masa tubuh (IMT). Kaplan (2000) menemukan bahwa hanya dengan menurunkan berat badan, yoga, dan relaksasi otot dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan

Kegemukan adalah faktor resiko hipertensi yang kuat dan independen pada semua ras dan kelompok sosial ekonomi. Penambahan berat juga memiliki kontribusi pada banyak peningkatan tekanan darah pada usia lanjut dan kegemukan menjadi salah satu prediksi terbaik resiko dari perkembangan hipertensi. Pada suatu studi kohort didapatkan bahwa responden dengan kelebihan berat 5 kg, 60% lebih besar mendapatkan resiko relatif terjadinya hipertensi dibandingkan responden tidak mempunyai kelebihan berat badan atau > 2 kg. Pada hasil studi Farmingham, menunjukkan bahwa kenaikan berat badan 10 kg meningkatakan tekanan darah sebesar 4,5 mmHg (Kaplan, 2002 dalam Fenida 2003)

3.2. Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau hanya sedikit menghasilkan insulin atau menahan insulin sehingga tidak dapat diproduksi. Akibat dari defisiensi insulin dan kadar gula dalam darah meningkat yang selanjutnya dapat membahayakan pembuluh darah. Sebagaimana diketahui, insulin berfungsi menangkut glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagai glikogen (Patel, 1995). Insidens diabetes mellitus serupa antara pria dan wanita serta dapat dijumpai pada segala umur.

Diagnosis DM dapat dipastikan jika terdapat salah satu hasil pemeriksaan yaitu antara lain apabila terdapat gejala klasik DM dengan kadar glukosa darah sewaktu e”200 mg/dl, gejala klasisk DM dengan kadar glukosa darah puasa e”126 mg/dl, dan pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam > 200 mg.dl sesudah pemberian beban glukosa 75 g. Gejala klasik DM yaitu seperti sering kencing, cepat lapar, sering haus, berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas (Depkes, 2006).

Perjalanan penyakit diabetes melitus dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko yaitu faktor resiko yang tidak dapat diubah (umur, jenis kelamin, keturunan, suku, dan budaya/adat istiadat), faktor resiko perilaku yang dapat diubah (merokok, konsumsi alkohol, kurang aktifitas fisik, kurang konsumsi serat, konsumsi lemak tinggi, dan konsumsi kalori tinggi), faktor resiko lingkungan (kondisi ekonomi daerah, lingkungan sosial seperti modernisasi, dan status sosial-ekonomi), dan faktor resiko fisik dan biologi (obesitas, hipertensi, hiperglikemia, toleransi glukosa terganggu, dan dislipidemia) (Depkes, 2006).

Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South Wales, yang melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan dilakukan analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok, diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio diabetes melitus pada laki-laki sebesar 1,61 (95%CI 1,28-2,03) dan pada perempuan sebesar 1,94 (95%CI 1,49-2,53).

Pada mereka yang berkadar insulin tinggi karena diabetes, menyulitkan jantung memompa darah karena darah menjadi lebih kental. Akibatnya, tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah tetap terjamin. Lama-lama, jadilah tekanan darah tinggi permanen. Dallas Heart Disease Prevention Project, yang dimulai tanggal 1 Juli 2000, telah mewawancara lebih dari 4000 partisipan di kota Dallas. Dari sejumlah itu, sebanyak 1186 merupakan kasus hipertensi atau tekanan darah tinggi dan dari sebanyak itu, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes. Dari 417 orang itu 73 orang tidak menyadari meningkatnya level glukosa darah, yang menghasilkan penyakit diabetes (Khania, 2002)

4. Faktor Perilaku

4.1. Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa lajut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah meningkat. Jika stess berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologi, psikologi, sosial) yang ada pada diri seseorang. Peningkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi. Stress merupakan pengalaman emosional negatif yang dialami seseorang, yang lebih besar dari kemampuannya untuk beraksi. Stress dapat terjadi karena adanya bencana atau kehilangan, peristiwa penting dalam hidup atau karena peristiwa kecil harian. Oleh karena stress, maka tubuh akan bereaksi, termasuk antara lain berupa ketegangan otot, meningkatnya denyut jantung, dan menigkatnya tekanan darah. Reaksi ini dipersiapkan tubuh untuk bereaksi secara cepat, yang apabila tidak digunakan, maka akan dapat menimbulkan penyakit, termasuk hipertensi.

Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita berusia 45-64 tahun, jumlah faktor psikososial seperti keadaan tegang, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan, gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun. Studi eksperimental pada laboratorium animals telah membuktikan bahwa faktor psikologis stress merupakan faktor lingkungan sosial yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stress merupakan faktor resiko yang sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif dan ini tak mengherankan karena pengolahan stress dalam etikologi hipertensi pada manusia sudah kontroversial.

4.2. Merokok

Merokok merupakan suatu proses pembakaran yang menimbulkan polusi udara dan secara sadar dihirup dan diserap oleh tubuh manusia (Hoepoedio, 1988). Rokok mengandung lebih dari 40000 komponen bahan kimia diantaranya adalah nikotin dan karbonmonoksida. Nikotin dapat menyebabkan kerusakan lapisan dalam pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah dan kecanduan. Sedangkan karbon monoksida dapat mengikat Hb darah sehingga tubuh kekurangan oksigen dan dapat menyebablan penyumbatan pembuluh darah. Rokok mengandung nikotin, yang merupakan bahan pemberi kenikmatan pada rokok, yang dapat, meningkatkan denyut jantung, tekanan darah sistolic dan tekanan darah diastolik. Peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30 %.

Efek merokok akan meningkatkan kadar asam bebas lemak dalam plasma yang dapat mengurangi jumlah kadar lemak HDL. Selain itu merokok juga akan menghadirkan LDL, yang sebagai kolesterol jahat, yang akan menyebabkan penyempitan arteri akibat terjadinya penumpukan kolesterol pada dinding arteri dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Pada orang merokok keadaan jantung juga tidak dapat bekerja dengan efisien. Oleh karena itu seorang yang menderita hipertensi yang disertai dengan merokok dan hiperkolesteromia akan memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 8 kali. Farmingham Heart Study menemukan bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Penurunan HDL pada laki-laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl. Penelitan yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok dua puluh batang atau lebih per hari, mengalami penurunan kadar HDL sekitar 11 pada laki-laki dan 14 pada perempuan.

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses arterosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan resiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006).

Pada perokok, asap rokok mengandung gas karbon monoksida yang lebih cepat mengikat hemoglobin dibanding oksigen. Akibatnya suplai oksigen yang seharusnya dibawa darah berkurang. Jantung harus meningkatkan daya tekan agar suplai darah bertambah untuk mengangkut kekurangan oksigen. Tekanan tinggi yang terus-menerus, menyebabkan dinding pembuluh darah tidak tahan dan terjadilah kerusakan di mana-mana. Pembuluh darah menjadi tidak beraturan, tebal, mengeras, sehingga terjadi penyumbatan dan tekanan darah akan semakin meningkat.

Perokok yang berhasil meninggalkan rokok menghadapi masalah yang berhubungan dengan peningkatan berat badan. Hal ini terjadi karena peningkatan nafsu makan. Selain itu, orang yang tidak merokok cenderung “mengemil” (Patel, 1995). Sedangkan menurut Kaplan dan Stemler (1994) berhenti merokok sering meningkatkan berat badan dan meningkatnya tekanan darah bukan karena nikotin, tetapi karena bertambahnya berat badan. Merokok dapat menurunkan kesukaan pada makanan sehingga berat badan berkurang dan dengan berhenti maka berat badan akan meningkat. Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South Wales, yang melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan dilakukan analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok, diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio merokok (current smoker) pada laki-laki sebesar 1,84 (95%CI 1,44-2,35) dan pada perempuan sebesar 1,63 (95%CI 1,24-2,15).

4.3. Alkohol

Meskipun alkohol mempunyai efek positif yaitu berupa vasodilaor, alkohol juga berkaitan dengan pengentalan lipoprotein. Meskipun sedikit, alkohol dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan penggunaan alkohol yang terus menerus dalam jumlah yang banyak berakibat keracuanan jantung, sclerosis dan fibrosis dalam arteri kecil yang dapat menunjukkan adanya micro infark.(Kaplan, 1990; Soeparman et al., 1994).

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipetensi. Sekitar 10 % hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini (Depkes, 2006).

Menurut suatu penelitian, diluar efek usia hipertensi lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit hitam/peminum alkohol. Pada penelitian ini diketahui bahwa asupan alkohol mempunyai hubungan dengan hipertensi (Saputra 1998). Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Arthur L Klatsky dkk. 1964 terhadap 83.947 penduduk yang terdiri dari 3 ras suku bangsa, 83,5% adalah kulit putih, menunjukkan bahwa konumsi alkohol paling sedikit 3 kali sehari merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi (Saputra, 1998). Resiko terkena hipertensi meninggi apabila meminum alkohol lebih dari 3 kali perhari (Kaplan, 1990; Soeparman et.al., 1994). Menurut Mac Mahon (1987) yang dikutip dari Kaplan (1990), 10 % hipertensi pada laki-laki disebabkan oleh alkohol. Pengurangan konsumsi alkohol 10-20 gr/hr dapat menurunkan tekanan darah.

4.4. Aktivitas Fisik

Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau rutunitas sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan. Olahraga adalah aktifitas fisik yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai kebugaran. Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga merupakan bentuk pemberian rangsang berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik atau olahraga yang dilakukan secara teratur berdasarkan kaidah tertensu sudah dapat menimbulkan adaptasi setelah minimal 4-6 minggu. Bila rangsang diberikan sesuai dan tepat maka akan terjadi adaptasi lengkap yang berdampak terhadap tingkat kebugaran jasmani (Depkes, 2006).

Pada usia lanjut terjadi penuruanan massa otot serta kekuatannya, laju denyut nadi maksimal, toleransi latihan, kapasitas aerobik dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga secara teratur memberikan banyak keuntungan bagi para lanjut usia. Keuntungan tersebut antara lain berkurangnya berat badan, tekanan darah, kadar kolesterol serta penyakit jantung. Olahraga secara teratur juga dapat menunda efek-efek penuaan dan mengurangi kemungkinan depresi. Keuntungan dari aktivitas fisik atau olahraga adalah meningkatkan perlindungan tubuh terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah. Olahraga teratur juga membantu seseorang mengontrol faktor resiko lain seperti obesitas, stress, hipertensi, dan kadar lipid dalam darah.

Olahraga dapat mengurangi tekanan darah bukan hanya disebabkan berkurangnya berat badan, tetapi juga disebabkan bagaimana tekanan darah tersebut dihasilkan. Tekanan darah ditentukan oleh dua hal yaitu jumlah darah yang dipompakan jantung per detik dan hambatan yang dihadapi darah dalam melakukan tugasnya melalui arteri. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah kaliper yang baru dan jalan darah yang baru. Dengan demikian hal yang menghambat pengaliran darah dapat dihindarkan atau dikurangi, yang berarti menurunkan tekanan darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaannya bertambah melalui olahraga, pengaruh dari berkurangnya hambatan tersebut memberikan penururnan tekanan darah yang sangat berarti (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).

Aktifitas fisik dengan intensitas rendah sampai sedang (seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, berkebun, olahraga bowling atau golf) yang dilakukan sekurangnya 21 jam per minggu dapat membantu mengontrol berat badan. Orang dengan skor aktivitas tinggi, dimana aktivitas fisik yang diukur adalah aktivitas di rumah atau pada waktu bekerja, aktivitas olah raga dan kebiasaan berjalan kaki, berhubungan dengan indeks masa tubuh yang lebih rendah. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan 8.604 responden berusia lanjut mendapatkan bahwa orang yang mempunyai aktivitas fisik tinggi mempunyai umur harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang beraktivitas rendah, baik pada kelompok perokok maupun pada kelompok bukan perokok. Pada fisik yang senantisa aktif, pembuluh darah cenderung lebih elastis, sehingga mengurangi tahanan di perifer. Sementara itu aliran darah yang meningkat karena aktivitas fisik dapat menjaga endotel pembuluh darah arteri dengan dihasilkannnya NO (Nitrit Oksida), suatu bahan yang bersifat vasodilator.

Penelitian lain oleh Paffenbarger dari Universitas Stanford yang meneliti 15.000 tamatan Universitas Harvard untuk 6-10 tahun. Selama penelitian berlangsung, didapatkan bahwa 681 tamatan harvard tersebut menderita hipertensi (160/95). Ternyata alumni yang tidak terlibat dalam olahraga dan kegiatan mempunyai resiko untuk mendapatkan hipertensi 35% lebih besar dari mereka yang berolahraga (Kuntaraf & Kuntaraf, 2000).

Penelitian dari John Hanson dan William Nedde dari Universitas Vermot juga menunjukkan bagaimana olahraga mengurangi tekanan darah. Penelitan tersebut meneliti sekumpulan penderita hipertensi. Untuk tujuh bulan mereka dibimbing dalam olahraga, yang meliputi lari jauh, senam, dan bahkan olahraga kompetisi. Pada akhir penelitian tersebut ternyata tekanan darah rata-rata mereka telah turun dari 162/92 menjadi 134/75 (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).

Bukti langsung dari keuntungan olahraga bagi mereka yang telah menderita tekakan darah tinggi sangat penting, sebab ini menunjukkan bahwa olahraga bukan hanya menghindarkan tekanan darah tinggi, tetapi juga menurunkan tekanan darah dari mereka yang telah menderita penyakit tersebut (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).

Berbagai penelitian membuktikan, bahwa ternyata tekanan darah tinggi yang ringan dapat ditanggulangi tanpa obat, hanya dengan melakukan olahraga secara teratur. Tekanan darah tinggi teryata cukup responsif terhadap latihan-latihan olahraga. Bahkan tidak jarang penderita tekanan darah tinggi yang akhirnya dapat ”lepas obat’ atau tidak minum obat untuk tekanan darah tinggi, karena tekanan darah tinggi telah teratasi setelah melakukan latihan-latihan olahraga secara teratur. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Robert Cade dari Universitas Florida, bahwa hampir seratus persen dan sejumlah orang yang menderita tekanan darah tinggi, ternyata tekanan darahnya turun setelah tiga bulan berlatih olahraga secara teratur, dengan takanan yang cukup. Berdasarkan penelitian ini, tekanan darah dapat menurun yang berkisar antara 10-50 mm (Anies, 2006)

4.5. Diet Tinggi Garam

Sodium/natrium adalah mineral yang esensial bagi kesehatan yang mengatur keseimbangan air dalam sistem pembuluh darah. Konsumsi natrium yang berlebihan menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar sehingga cairan ekstraselular meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular menyebabkan meningkatanya volume darah dalam tubuh, dengan demikian jantung harus memompa lebih giat sehingga tekanan darah menjadi naik (Hull, 1996). Konsumsi garam yang melebihi ambang batas yang dibutuhkan dapat menyebabkan hipertensi (Kaplan, 1990).

Begitu pula seseorang yang sudah punya bakat hipertensi, potensinya akan lebih besar jika lingkungan atau kebiasaan sehari-hari turut memicu. Seperti dikemukakan Prof Jose, bahwa pada masyarakat tradisional (yang tidak terpapar stres atau garam berlebih) angka hipertensi hanya 0,1 . Sementara di daerah sibuk angkanya mendekati 30 . Contoh lainnya, orang yang hidup di pinggir pantai, sedari kecil telah terbiasa makan ikan yang diasin. Padahal, kondisi garam berlebihan dalam tubuh bisa memicu timbulnya hipertensi. Prof Jose mencontohkan bahwa penduduk di Jepang Utara banyak yang terkena stroke akibat konsumsi garam yang tinggi, sementara di Jepang selatan tidak demikian. Rata-rata konsumsi garam dapur normalnya adalah 6 gram per hari.

Analisis data penelitian antara tekanan darah dan konsumsi natrium yang melibatkan 47000 orang dari 24 1okasi di dunia, menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah masyarakat di negara maju lebih tinggi daripada rata-rata tekanan darah masyarakat negara berkembang. Meskipun demikian pengaruh natrium terlihat sama di kedua populasi tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh natrium lebih besar daripada yang diperkirakan dan makin bertambah sesuai dengan bertambahnya usia dan tingkat tekanan darah semula (BMJ 1991;302 : 9115 Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 6).

Berpuluh-puluh tahun penelitan, mulai dari percobaan binatang, observasi klinik, penelitian epidemiologi dan intervensi telah mengidentifikasi paparan yang membentuk pola tekanan darah dipopulasi ialah konsumsi garam tinggi, kalium rendah, ratio natrium terhadap kalium tinggi, kegemukan dan konsumsi alkohol tinggi (Sjukrudin, 1998). Di Amerika Serikat diusulkan konsumsi garam per orang secara nasional diusahakan hingga ½ konsumsi pada saat ini menjadi 6 gr/hari. Di Jepang yang konsumsi garamnya pada tahun 1960-an pada penelitian INTERSALT 23 gr/orang pada tahun 1988 menjadi 11 gr/orang. Selain itu konsumsi kalium dapat dinaikan dengan konsumsi lebih banyak buah-buahan dan sayuran segar. Tekanan darah dapat diturunkan pula dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik. Dari hasil di Jepang dan beberapa penelitian intervensi ada petunjuk bahwa intervensi nonfarmakologis dan modifikasi gaya hidup semacam diatas dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu panjang (Karhiwikarta 1998).

Referensi :
  • Abdulrochim, Imam Parsoedi. Epidemiologi hipertensi ; dalam naskah symposium hipertensi. FK UGM. 1982.

  • Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular: Solusi pencegahan dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: PT Alex media Komputindo.

  • Astawan. M. 2005. cegah Hipertensi dengan Pola Makan. Pusat data dan Informasi. Departemen Kesehatan RI.

  • Black, Henry R. 1992. Cardiovaskular Risk Faktor dalam yale University School of Medicine Heart Book.

  • Bustan, M.N & Nur, Sofyan. 1999. Analisis Surveilan Hipertensi di Desa Ujung Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. XXVII No.1.

  • Darmodjo dan Tim Monica. 1991. Proyek MONICA di Jakarta: Suatu Penelitian penyakit jantung koroner di Komunitas. Jakarta. Medika April, vol 17 No.4.

  • Departemen Kesehatan RI. 2006. Metode Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Resiko Diabetes Melitus. Jakarta: Direktorat pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.

  • Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit jantung dan Pembuluh darah. Jakarta: Direktorat pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.

  • Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.

  • Departemen Kesehatan RI. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jantung Di Masyarakat. Jakarta: Direktorat pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.

  • Fenida. 2000. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Tidak Terkendali pada penderita Hipertensi Ringan dan Sedang Berobat di Poli Ginjal-Hipertensi di RSCM 1998-1999. Skripsi FKM UI

  • Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment (2nd). New York: Oxford University Press.

  • Hoepoedio R. 1988. Merokok dan Kenker paru. Jakarta: PT Indira.

  • Hull, Alison. 1996. Penyakit jantung, hipertensi dan nutrisi. Bumi Aksara. Jakarta.

  • Kamso, Sudijanto. 2000. Nutritional aspects of hypertension in the Indonesian elderly: A Community study in 6 big cities. Disertasi Doktor FKM UI. Depok

  • Kannel, WB. 1990. Hypertension and The Risk of cardiovascular disease. Dalam

  • Kaplan, M Norman & Stamler, Jeremiah. 1994. Pencegahan penyakit Jantung Koroner: Penatalaksanaan Praktis Faktor-Faktor Resiko. (3rd d). Terj: Sukwan handali. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

  • Kaplan, M Norman & Stamler, Jeremiah. 1994. Pencegahan penyakit Jantung Koroner: Penatalaksanaan Praktis Faktor-Faktor Resiko. (3rd d). Terj: Sukwan handali. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

  • Karhiwikarta, Wahyu. 1998. Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan: kualitas Hidup Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global. Editor: Kusdwiratri Setiono, Johan S. Masjhur, Anna Alisyahbana. Bandung:Penerbit Alumni.

  • Karyadi F. 2002 Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam urat, Jantung Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama.

  • Khairani. 2003. Gambaran faktor resiko yang berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia di Jakarta Utara tahun 1997. Skripsi FKM UI.

  • Khania. 2002. Faktor resiko Hipertensi Pasien Rawat Inap RS Jantung Harapan Kita, Jakarta Tahun 2000. Skripsi FKM UI

  • Kodim, N. 2004. Analisis kontekstual : Hubungan Lingkungan Sosiodemografi dengan Hipertensi yang tidak terkendali pada calon Jemaah Haji Indonesia. Disertasi. Depok: FKM UI.

  • Kuntaraf, Kathleen Liwijaya & Kuntaraf, Jonathan. 1996. Olahraga Sumber Kesehatan. Indonesia: Indonesia Publishing House.

  • Laragh dan Brenner (eds). 1990. Hypertension-pathophysiology, diagnosis, and management, Vol 1. Raven Press, New York: 101-6.

  • Nadesul M. 2005. Darah tinggi tak hanya menyerang orang yang suka makan enak. Kompas cyber media. Jakarta.

  • Pratiwi, Selpi. 2004. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit hipertensi pada lansia di Kabupaten Sleman DIY Yogyakarta tahun 2003. Skripsi FKM UI. Depok

  • Rahardjo, Pudji. 2001. Penatalaksanaan Hipertensi Terkini dan Peranannya dalam Mencegah Penyakit jantung Koroner dalam Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular editor Ari Fahrial dkk. Jakarta IPD FK UI.

  • Sadana K. 1994. Survei Hipertensi di perkebunan PTP XIII Papandayan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran universitas Kristen maranatha Bandung. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. XXII No. 5.

  • Saputra, Atang. 1998. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada kelompok umur 25 tahun keatas di Indonesia. Skripsi FKM UI.

  • Sjukrudin, Ernijati. 1998. Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan: kualitas Hidup Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global. Editor: Kusdwiratri Setiono, Johan S. Masjhur, Anna Alisyahbana. Bandung: Penerbit Alumni.

  • Skripsi FKM UI.

  • Slamet, Juli Soemirat, Prof.dr.MPH,PhD. 2000. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

  • Smeltzer S & Bare B. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Indonesia EGC.

  • Soeharto Iman, 2004. Serangan jantung dan Stroke: Hubungannya dengan lemak & Kolesterol. (2nd ed). Jakarta: Pt gramedia Pustaka Utama.

  • Soeharto, Iman. 2002. Penyakit Jantung Koroner: Panduan bagi masyarakat Umum. Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama.

  • Soeparman, et al. 1994. Ilmu Penyakit Dalam. Jillid II. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

  • Sutrisna, Bambang. 1994. Pengantar metoda epidemiologi. Dian Rakyat. Jakarta.

  • Wahyuni, Inge. 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di Kecamatan Ciwedey. Bandung tahun 1997. Skripsi FKM UI.

  • WHO_ISH. 1999. Hypertension Control, Geneva: Report of WHO Expert Commeettee.

  • Yusida, Hikmah. 2001. Hubungan faktor-faktor demografi dan medis dengan kejadian hipertensi pada kelompok lansia di Kota Depok tahun 2000-2001.