Apa yang dimaksud dengan hibah dalam islam?

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga. apa pengertian hibah sendiri?

Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemberian yang dilakukan seseorang saat dia masih hidup kepada orang lain tanpa imbalan (pemberian cuma-cuma), baik berupa harta atau bukan harta. Diantaranya kata ini digunakan dalam firman Allâh Azza wa Jalla:

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya´qûb; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai [Maryam/19:5-6].

Sedangkan pengertian hibah menurut para Ulama ahli fikih, disampaikan syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dengan ungkapan:

Pemberian harta cuma-cuma dalam keadaan hidup dan sehat. [Minhâjus Sâlikin, hlm 175].

Dengan demikian pengertian hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan dalam keadaan sehat. Serah terima harta yang diberikan itu dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hibah sebagai pemberian cuma-cuma (tabarru’) dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i rahimahullah membagi pemberian dengan menyatakan, ‘Pemberian harta oleh manusia tanpa imbalan (tabarru’) kepada orang lain terbagi menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan kematian yaitu wasiat dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini terbagi menjadi dua jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-mahdh) seperti hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf.

Pemberian murni ada tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan sedekah tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak wajib). Cara membedakannya adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila diiringi dengan memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu dinamakan hadiah. Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang yang membutuhkan (miskin) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala akhirat maka dinamakan sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ketempat lainnya.

Berdasarkan ini, pemberian hewan onta buat tanah haram disebut hadiah. Oleh karena itu, tidak bisa menggunakan lafaz hadiah pada pemberian bumi dan bangunan sama sekali. Seseorang tidak boleh mengatakan:

Dia menghadiahinya rumah atau tanah

Hadiah hanya digunakan pada pemberian harta yang bisa diangkat dan dipindah-pindah seperti baju atau yang lainnya. (Raudhatuth Thâlibîn 5/364).

Berkaitan dengan hibah ini, dapat disimpulkan:

  • Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.;
  • Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;

Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubûb al-rîh (angin berhembus) dikatakan dalam kitab Al-Fath , diartikan dengan makna yang lebih umum berupa ibrâ’ (membebaskan hutang orang), yaitu menghibahkan utang orang lain dan sedekah yaitu menghibahkan sesuatu yang wajib demi mencari pahala akhirat, dan ja’âlah yaitu sesuatu yang wajib diberikan kepada orang lain sebagai upah, dan dikhususkan dengan masih hidup agar bisa mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis, hibah dipakai untuk menyebutkan makna yang lebih khusus daripada sesuatu yang mengharap ganti, dan dengan ini sangat tepat dengan ucapan orang yang mengatakan hibah adalah pemberian hak milik tanpa ganti, dan inilah makna hibah menurut syarak.

Hibah disebut juga hadiah atau pemberian. Dalam istilah syarak, hibah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya, tanpa mengharapkan balasan. Apabila mengharap balasan semata-mata dari Allah, hal itu dinamakan sedekah. Kalau memuliakannya dinamakan hadiah. Tiap-tiap sedekah dan hadiah boleh dinamakan pemberian, tetapi tidak untuk sebaliknya.

Hibah menurut terminologi syarak adalah : "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela ."

Menurut ulama Hanabillah ialah: “Memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasharuf-kan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya udzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa adanya pengganti, yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan lafadz atau tamlik (menjadikan milik) .”

Maksud dari uraian hibah secara terminologi diatas ialah hibah itu suatu pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi. Atau bisa dikatakan sebagai pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang ini lebih utama dan singkat.

Hibah menurut syariat berarti kepemilikan terhadap sesuatu dalam kehidupan ini tanpa ada ganti rugi. Lafazh hibah mengandung beberapa jenis, di antaranya yaitu hibah yang tidak terbatas, membebaskan dari hutang, shadaqah, athiyah , hibah imbalan, yang diantara hal-hal ini ada perbedaannya. Hibah mempunyai faidah dan hukum, seperti untuk memupuk rasa saling tolong-menolong, kasih dan sayang.

Di dalam hadis disebutkan, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mencintai.” Apalagi jika terhadap kerabat dekat, tetangga atau terhadap orang yang ada permusuhan antara dia denganmu. Dalam keadaan seperti ini akan terwujud kemaslahatan dan manfaat yang banyak. Hibah ini termasuk jenis ibadah yang agung, yang senantiasa meresap di dalam dada, menguatkan hubungan kekerabatan dan bertetangga. Syariat bertujuan untuk segala kabaikan dan kemaslahatan.

Menurut mazhab Syafi’i hibah ialah pemberian yang sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan kabul waktu orang yang memberi masih hidup. Pemberian tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya. Dengan demikian, menurut mazhab Syafi’i hibah tersebut mengandung dua pengertian yaitu pertama pengertian khusus sebagaimana definisinya telah diuraikan diatas. Yang kedua pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan sedekah.

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami adanya tiga unsur yang terdapat dalam pengertian hibah, yaitu :

  1. Adanya pemindahan kepemilikan.
  2. Pemindahan kepemilikan tersebut terjadi pada saat kedua belah pihak masih hidup.
  3. Tidak adanya ganti rugi dalam pemindahan kepemilikan tersebut.

Syarat Hibah


Syarat hibah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

  1. Penghibah (wâhib) harus memiliki secara sah benda yang dihibahkan, baik dalam arti yang sebenarnya atau dari segi hukum.
  2. Dilakukan oleh wâhib orang yang sudah aqil-baligh (dewasa dan berakal), jadi tidak sah hibah yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil dan orang-orang bodoh atau tidak sempurna akalnya.
  3. Ada ijab dan kabul.

Syarat orang yang diberi (mawhûb-lah) yaitu para fuqaha sepakat bahwa orang yang diberi hendaklah dewasa dan berakal (aqil-baligh) serta mukalaf, mampu bertindak menurut hukum dalam transaksi dan berhak menerima. Karena hibah itu merupakan transaksi langsung, maka penerima hibah disyaratkan sudah wujud dalam artinya yang sesungguhnya ketika akad hibah dilakukan.

Oleh sebab itu, hibah tidak boleh diberikan kepada anak yang masih dalam kandungan, sebab ia belum wujud dalam arti yang sebenarnya. Pada persoalan ini, jika pihak penerima hibah belum cukup umur atau belum cakap bertindak ketika pelaksanaan transaksi, maka ia bisa diwakili oleh walinya. Selain orang, lembaga juga bisa menerima hibah, seperti lembaga pendidikan.

Adapun serah terima dalam masalah hibah sama seperti serah terima dalam perkara jual beli. Apapun yang dinamakan sebagai serah terima dalam perkara jual beli, maka dinamakan pula sebagai serah terima dalam masalah hibah. Sedangkan apa yang tidak dinamakan sebagai serah terima dalam jual beli, tidak pula dinamakan serah terima dalam perkara hibah.

Syarat mawhûb (benda/harta yang diberikan) adalah sebagai berikut :

  1. Benda yang dihibahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak penghibah.
    Ini berarti bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang dihibahkan itu bukan milik sempurna dari pihak penghibah.

  2. Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan. Tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum wujud.

  3. Obyek yang dihibahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh agama. Tidaklah dibenarkan menghibahkan sesuatu yang tidak boleh dimiliki, seperti menghibahkan minuman yang memabukkan.

  4. Harta yang dihibahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas dari harta milik penghibah.

Rukun Hibah


Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan kabul, sebab keduanya termasuk akad seperti halnya jual beli. Dalam kitab Al-Mabsûth , mereka menambahkan dengan qabdhu (pemegangan/penerimaan), karena dalam hibah harus ada ketetapan dalam kepemilikan.

Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kabul dari penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian, hibah cukup dengan adanya ijab dari penerima. Hal ini dikarenakan oleh arti hibah itu sendiri yang tak lebih berarti “sekedar pemberian”. Selain itu, kabul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan hak milik.17 Rukun hibah terdiri dari empat macam, yaitu:

  1. Orang yang memberi (wâhib)
    Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada waktu pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohaninya. Selain itu, pemberi hibah harus memenuhi syarat sebagai seorang yang telah cakap dalam transaksinya yaitu hibah dan mempunyai harta atau barang yang dihibahkan. Pada dasarnya pemberi hibah adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang cakap melakukan perbuatan hukum.

  2. Orang yang diberi (mawhûb-lah)
    Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum serta layak untuk memiliki barang yang dihibahkan padanya. Penerima hibah diisyaratkan sebagai orang yang cakap melakukan tindakan hukum jika ia belum cakap hukum maka diwakili atau diserahkan kepada pengawasan walinya. Selain itu, penerima hibah dapat terdiri atas ahli waris atau bukan ahli waris, baik orang muslim maupun nonmuslim, yang semuanya adalah sah hukumnya.

  3. Harta atau barang yang dihibahkan
    Harta atau barang yang dihibahkan dapat terdiri atas segala barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, bahkan manfaat atau hasil sesuatu barang dapat dihibahkan. Selain itu, hibah mempunyai syarat-syarat tertentu juga yang telah penulis sebutkan dalam penjelasan di atas.

  4. Ijab kabul
    Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul. Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah. Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma.

    Ijab kabul (serah terima) di kalangan ulama mazhab Syafi’i merupakan syarat sahnya suatu hibah. Selain itu, mereka menetapkan beberapa syarat yang berkaitan dengan ijab kabul, yaitu sesuai antara kabul dengan ijabnya, kabul mengikat ijab, akad hibah tidak dikaitkan dengan sesuatu (akad tidak tergantung) seperti perkataan: “Aku hibahkan barang ini padamu, bila si anu datang dari Mekah.”