Apa yang dimaksud dengan Hermeneutika?

hermeneutika

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Apa yang dimaksud dengan hermeneutika ?

Hermeneutika adalah bagian ilmu filsafat yang sejak permulaannya di zaman klasik dianggap bertujuan “menerangkan” atau “menerjemahkan” berita atau teks lama atau yang berasal dari kebudayaan lain. Menurut pengertian ini, Hermeneutika adalah “cara memahami teks’.

Kata Hermeneutika secara etimologis berasal dan kata Hermeneuin (bahasa Yunani) yang berarti “seni menerangkan makna.”

Pada zaman klasik sekitar 500 SM, Hermeneutika sudah mulai digunakan sebagai metode untuk memahami dan menerjemahkan tulisan. Pada masa itu, Hermeneutika memiliki tiga pengertian penting, yaitu :

  • Pertama, mengalihkan makna yang dikandung dalam konteks yang agak tertutup, tidak dikenal, sulit dipahami. yang dimaksudkan dengan konteks di sini adalah dalam konteks kebahasaan sehingga secara sederhana hermeneutika berarti menafsirkan ke dalam suatu bahasa yang dapat dipahami orang banyak.

    Dengan kata lain, hermeneutika tidak lagi dibatasi pada interpretasi spekulatif sebagaimana diinginkan oleh dewa atau kekuatan supranatural lainnya yang bahasanya tidak dimengerti oleh orang awam atau kebanyakan. Proses perluasan makna (profesionalisasi) hermeneutika terjadi karena mulai terjadinya pertemuan bangsa Yunani dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan kebudayaannya.

  • Kedua, berkaitan dengan hakikat makna yang ingin dipahami. Hal ini berarti bahwa makna tulisan atau berita hanya dapat dipahami sebagian saja, tetapi melalui hermeneutika, makna hakiki yang lebih mendalam akan dapat dipahami. Di sini hermeneutika berarti analisa terhadap makna suatu tulisan.

  • Ketiga, berangkat dari asumsi bahwa suatu tulisan hanya dapat dipahami dengan satu cara saja. Asumsi ini berlaku hanya untuk tulisan-tulisan atau berita-berita spesifik saja, seperti pesan-pesan dewa, dokumen-dokumen politik, yang dibuat hanya untuk tujuan tertentu saja.

Pada zaman pertengahan (renaissance), hermenutika digunakan untuk mempelajari kembali kebudayaan Yunani yang sangat berbeda dengan peradaban Eropa pada masa itu (pertengahan). Pada masa itu, hermenutika terbagi menjadi dua, yaitu :

  • Pertama, adalah para ahli yang cenderung menggunakan hermeneutika untuk mengungkapkan makna murni yang terkandung dalam tulisan zaman klasik (Yunani). Tujuan mereka adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang kebudayaan klasik. Pendekatan seperti itu, pada gilirannya nanti disebut sebagai hermeneutika ilmiah.

  • Kedua, adalah kelompok ahli yang lebih cenderung untuk menangkap makna-makna yang tertangkap dari tulisan-tulisan pada masa klasik untuk digunakan dalam memecahkan rnasalah sosial pragmatis yang dihadapi pada masa itu. Pendekatan seperti itu sering disebut sebagai pendekatan normalif atau dogmatis, mulai abad XVII mulai dikembangkan hermeneutika yang bersifat universal.

Sejak zaman pencerahan, Hermeneutika adalah cabang ilinu filsafat yang khusus mempelajari “pengalaman pikiran manusia”.

Akibatnya, konsep Hermeneutika dipakai dalam arti lebih spesifik, yaitu “Seni membaca dan memahami teks atau tulisan dalam konteks sejarah di mana terjadi.” Pada abad XIX, Hermeneutika oleh W. Dilthey diubah menjadi “teori pemahaman atau teori pengertian.” Menurut filsuf ini, manusia mempunyai kemampuan khas menempatkan diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain dan mengulangi pengalamannya.

Metode yang lazim dinamakan “metode Verstehen” ini dikembangkan oleh Dilthey menjadi metode mempelajari kehidupan maknawi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan. Hermeneutika, oleh Heidegger dan Gadamer, diperluas lagi dengan pemakaian konsep Hermeneutika dalam arti psikologis, tujuannya adalah memberikan pemahaman makna kepada apa saja.

Hal ini berarti bahwa manusia secara eksistensial terikat kepada interpretasi. Tujuan Hermeneutika menurut Heidegger adalah memberikan penerangan melalui pemahaman. Oleh karena itu, Hermeneutika selalu berarti interpretasi.

Kata hermeneutika, menurut Palmer (1969), berasal dari istilah yunani yaitu hermeneuein (kata kerja) yang berarti “menafsirkan” dan hermeneia (kata benda) yang memiliki arti “interpretasi”. Menurut Supena (2005) istilah hermeneuein adalah simbol yang diasosiasikan dewa Hermes dimana dalam mitologi yunani ia bertugas menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Hermes dituntut untuk mampu mentransformasikan apa yang semula berada diluar wilayah pemahaman manusia kepada format pesan yang bisa dimengerti manusia.

Menurut Gerhard Ebeling, sebagaimana yang dikutip oleh Nassarudin Ummar (2006) Hermes itu merupakan kiasan untuk tiga tugas utama hermeneutika modern.

  • Pertama , mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian.

  • Kedua , menjelaskan secara ra- sional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti.

  • Ketiga , menterjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai.

Sedangkan Menurut Hardiman (2014) Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerap dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci. Dalam pemakaiannya, hermeneutika di masa lampau memiliki arti yang luas, yaitu sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Teknik pemahaman ini menurutnya lebih merupakan sebuah “seni” pemahaman daripada suatu “teori” atau “science” tentang pemahaman.

Kemudian Palmer (1967) juga mendefenisikan lebih variatif. Menurutnya pada masa modern bidang kajian hermeneutika didefinisikan dalam enam bentuk yang berbeda yaitu :

1.Teori eksegesis bible,
2. Metodologi filologi secara umum,
3.Ilmu pemahaman linguistik,
4.Fondasi metodologis geistewwesenhaften (disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia)
5. Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial dan
6. Sistem interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna dibalik mitos dan simbol.

Hermenutika F.D.E. Schleiermacher

Hermeneutika sebagai seni pemahaman menurut Schleiermacher belum menjadi sebuah disiplin umum, hanya menjadi pluralitas dari hermeneutika tertentu. Seni pemahaman yang dikehendakinya sebenarnya sama baik teks itu berupa teks agama, hukum, karya sastra ataupun jenis teks yang lain. Meskipun secara model dan tujuan ada perbedaan antara teks tersebut sehingga muncul seperangkat teoritis yang spesifik pada kekhasan masing-masing teks (Palmer, 1969).

Menurut Schleiermacher, hermeneutika adalah kecakapan atau seni memahami (the art of understanding). Schleiermacher menyakini bahwa pada zamannya seni memahami ini „tidak ada lagi yang berupa hermeneutika umum, melainkan hanya ada sebagai hermeneutika- hermeneutika khusus‟. Jadi apa pun macam, ciri-corak dan objek hermeneutika itu, semua hermeneutika adalah seni memahami pikiran atau maksud orang lain dalam bentuk lisan atau tulisan.

Hermeneutika mencari intensi-intensi spesifik yang individual di dalam konteks ucapan (bahasa)

Hermeneutika dapat disebut sebagai sebuah “seni”, karena dua hal:

  • Pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya atau proses dan tidak dapat secara spontan saja;

  • Kedua, untuk mengatasi kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut kaidah-kaidah tertentu. Kata “seni” di sini dimengerti sebagai “kepiawaian” seperti yang dapat kita temukan pada seniman yang menghasilkan fine art.

Schleiermacher berpendapat ada tiga macam seni yaitu seni bicara (retorika), menulis dan memahami. Namun dia hanya membatasi tugas hermeneutika pada seni memahami saja. Hal itu perlu dilakukan karena masih ada hal lain yang kerap dianggap sama dengannya, yaitu dua seni yang lain (berbicara dan menulis). Kedua hal terakhir ini adalah “presentasi atas apa yang telah dikatakan” sementara hermeneutika memusatkan diri pada kesenjangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dipikirkan. Seni berbicara dan seni menulis bersangkutan dengan sisi luar pemikiran, yaitu ungkapannya dalam bahasa. Dalam berbicara terjadi gerakan dari dalam pikiran ke luar, yakni ke dalam ungkapannya, tetapi dalam memahami terjadi gerak sebaliknya, yaitu gerak dari luar, yakni ungkapannya dalam bahasa, menuju ke pemikiran, yang dicari adalah pemikiran di belakang sebuah ungkapan.

Hermeneutika adalah sebuah bagian dari seni berpikir. Kesenjangan antara kata dan pikiran diatasi dengan upaya rasional yang disebut “interpretasi”. Dalam arti ini hermeneutika harus lebih dimengerti sebagai seni mendengarkan daripada seni berbicara, seni membaca dari pada seni menulis. (Hardirman, 2014)

Lingkaran Hermeneutis F.D.E. Schleiermacher

Suatu pemahaman apapun objeknya selalu mengausmsikan munculmya daya kreatif dan imajinatif dari subjek agar tidak mudah diberdayakan oleh teks yang dibaca. Daya imajinasi dan kreasi ini bekerja dalam akal dengan mengikuti kaidah dan tahapan penalaran yang runtut dan benar. Pandangan dari Schleiermacher didasarkan pada teori Kant yaitu the possibility of human understanding . (Komaruddin Hidayat, 1996). Daya kreatif dan imajinatif inilah nampaknya yang kemudian dikembangkan Schleiermacher menjadi pemahaman intuitif dalam kajian hermeneutika.

Palmer (1969) berpendapat bahwa pemahaman sebenaranya adalah tindakan referensial. Apa yang dipahami membentuk dirinya sendiri kedalam satuan sistemik atau lingkaran-lingakarn itu membentuk bagian-bagian. Lingkaran secara keseluruhan mendefinisikan bagian-bagian individu, dan bagian-bagian tersebut bersama-sama membentuk lingkaran itu. Semisal satu kalimat utuh adalah satu kesatuan. Kalimat (whole) tersebut bisa dimengerti dilihat dari bagian kalimat tersebut yaitu kata (part) sebagai acuan atau pijakan begitu juga sebaliknya keutuhan makna dari kalimat bisa dimengerti bergantung pada makna kata itu. Adanya interaksi yang dialektis tersebutlah kemudian disebut oleh Schleiermacher sebagai “lingkaran hermeneutis”.

Interpretasi Gramatis dan Interpretasi Psikologis Schleiermacher


Interpretasi Gramatis

Schleiermacher memandang bahwa sebuah interpretasi membutuhkan pemahaman intuitif tentang teks tujuannnya adalah untuk merekonstruksi secara imajinatif situasi lingkungan dan kondisi batin pengarang sehingga teks tidak terlalu asing dengan penafsir. Ada dua model yang digunakan untuk menuju itu yaitu rekonstruksi objektif- historis dan rekonstruksi subjektif-historis. Rekonstruksi objektif-historis adalah menjelaskan sebuah pernyataan yang beruhubungan dengan bahasa secara keseluruhan sedangkan rekonstruksi subjektif-historis adalah membahas bagaimana asal mula sebuah pernyataan masuk dalam pikiran pengarang.

Pandangan Schleiermacher ini didasarkan pada asumsi bahwa berbicara dan berfikir merupakan dua aktifitas yang berbeda. Berfikir bersifat filisofis-internal, sedangkan berbicara bersifat aktual. Maka “kalimat yang terucap” mempunyai dua pengertian yaitu artikulasi bahasa disatu sisi dan konsep mental yang dipikirkan oleh pembicara disisi yang lain. Maka untuk memahami teks harus melewati proses dialogis diantara dua sisi tersebut secara simultan (Supena, 2012).

Atas dasar pemahaman tersebut mempengaruhi Schleiermacher dalam memahami suatu teks dia menggunakan dua pendekatan yang kemudian ia sebut sebagai dua tugas hermeneutika yaitu : Interpretasi gramatis dan Interpretasi Psikologis. Interpretasi gramatis bekerja untuk memahami dimensi bahasa yang digunakan oleh sebuah teks. Interpretasi secara gramatis ini digunakan menurut aturan yang bersifat objektif dan umum. Aturan ini dibatasi oleh kaidah-kaidah atau prinsip gramatika yang berlaku dalam suatu bahasa tertentu yang digunakan dalam teks (Supena, 2012).

Dalam konsepsi Schleiermacher Persoalan dalam memahami teks dapat disederhanakan menjadi berikut :

  • Memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa yaitu tulisan itu sendiri

  • Dan memahami apa yang diakatakan itu sebagai sebuah fakta dalam pemikiran penuturnya yaitu pikiran.

Semisal tulisan surat anda dibaca oleh teman atau anak anda Isinya apakah merefkeksikan pikiran anda atau malah terjadi distorsi makna dari yg dikehendaki. Inilah kesenjangan yang dicoba diungkap oleh Schleiermacher dengan interpretasi gramatis dan psikologisnya. Dalam konteks interpretasi gramatis diarahkan untuk memberikan pemahaman yang utuh akan teks dari sisi bahasa teks yang digunakan. Sehingga idealnya semakin baik pemahaman bahasa tersebut kecendrungannya semakin baik pula hasil interpretsinya. Schleiermacher menjabarkan bahwa ada tiga prinsip utama yang harus dipegang dalam analisa interpretasi gramatis yaitu:

  • Pertama, “Everything in given utterance which requires a more precise determination may only be determined from the language area which is common to the author and his original audiences

    (segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut penentuan [makna] yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh pengarang dan audiens atau pendengar yang orisinal (asli)

  • Kedua, “ the sense of every word in a given location must be determined according to its being together with those that surround it

    (makna setiap kata pada tempat tertentu harus ditentukan sesuai dengan kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada disekitarnya.)

  • Ketiga, the vocabulary and the history of the area of an author relates as the whole from which his writings must be understood as the part, and the whole must, in turn, be understood from the part .

    ( kosakata [bahasa] dan sejarah era pengarang dipandang sebagai keseluruhan [ whole ] yang darinya tulisan-tulisannya harus dipahami sebagai bagian [ part ], dan keseluruhan [ whole ] pada gilirannya harus dipahami dari bagian-bagiannya [ part ].

Interpretasi Psikologis

Interpretasi Psikologis adalah interpretasi untuk memahami wilayah pemikiran pengarang atau penulis teks. Dan interpretasi ini bersifat subjektif dan individual. Maksudnya adalah jika ingin memahami teks harus pula memahami subjektifitas dan individualitas pengarang atau memahamai proses mental yang menyertai pengarang ketika menuliskan gagasannya dalam bentuk teks. (Supena, 2012) Karena seseorang tidak mungkin memahami sebuah teks hanya berdasarkan dimensi bahasa saja, melainkan juga harus memperhatikan dimensi kejiwaan pengarangnya.

Schleiermacher mengatakan bahwa dalam memahami teks penafsir harus re-living and re-thinking the thought and feeling of an author. Yaitu penafsir harus berempati dan menempatkan diri pada posisi kehidupan, pemikiran dan perasaan dari sang pengarang agar memperpendek jarak antara the world of reader and the world of author. (Hidayat, 1996)

Berangkat dari pemahaman tersebut seorang penafsir teks harus memahami dengan baik latar belakang pengarangnya. Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, penafsir harus keluar dari zamannya, merekonstruksi zaman pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang dahulu berada pada saat ia menulis teksnya. Penafsir harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang menjadi sasaran utama tulisan tersebut. Penafsir merekonstruksi pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang, gaya bahasa yang dipakainya, dan keunikannya. Dengan demikian, penafsir seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang ( self-transformation )

Menurut Lawrence K. Schmidt sebagaimana yang dikutip oleh F Budi Hardiman (2014), interpretasi psikologis Schleiermacher dapat dibagi menjadi empat tahap:

  • Pertama, menangkap keutuhan dan arah tulisan itu untuk menemukan “ide sentral” yang menggerakkan pengarang.

  • Kedua, mengidentifikasi tulisan itu dalam konteks obyektif, yakni misalnya, termasuk dalam genre mana.

  • Ketiga, menemukan cara bagaimana si pengarang menata isi pikirannya.

  • Keempat, menemukan pikiran-pikiran sekunder yang berkesinambungan dengan kehidupan pengarang.

Keempat tahap ini dilakukan untuk merekonstruksi “genesis karya” itu. Dalam merekonstruksi genesis sebuah karya tulis tidak cukup dengan memahami kalimat-kalimat yang tertulis di sana, melainkan juga dengan mengambilalih posisi pengarang atau apa yang lalu disebut “empati” psikologis. Untuk itu kita sebagai pembaca harus keluar dari teks itu untuk menemukan konteks penciptaannya. Seluruh proses pengenalan konteks dan penciptaan karya itu adalah sebuah keahlian atau apa yang disebut Schleiermacher “seni”, dan keahlian menjalankan seni itulah yang membuat seorang penafsir memungkinkan memahami karya itu lebih baik daripada penulisnya.

Jadi target yang ingin didapat oleh Schleiermacher dengan menggunakan interpretasi gramatis dan psikologis adalah re-experiencing mengalami kembali apa yang pernah dialami oleh pengarah teks penafsir mencoba untuk mentransformasikan dirinya menjadi pengarang. Dengan demikian tujuannya adalah mendapatkan pemahaman yang utuh dari teks tersebut.

Referensi :

  • E.Palmer, Ricrad. Hermeneutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. 2005 . ( Evenston : Northwestern University press, 1969) Diterjemah oleh Masnur Hery dan Damanhuri. Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Hardirman, F. Budi. 2014. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Gadamer, makalah sekolah filsafat disampaiakan di Serambi Salihara. Jakarta
  • Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah kajian hermeneutic . (Jakarta: Paramadina.

hermeneutik adalah penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik kemudian diartikan sebagai proses merubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.

Hermeneutik merupakan disiplin pemikiran yang membidik kehidupan sehingga tidak terkatakan dari diskursus-diskursus kita ini. Sebagian besar dari apa yang tidak terkatakan itu bersifat remeh. Sampai pada titik tertentu, hermeneutik adalah disiplin yang bersangkut paut dengan motif-motif dan maksud-maksud yang dengan mudah bisa diketahui melalui kata-kata yang ada secara eksplisit.

Hermeneutik adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept of verstehen dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan “ Interpretation ” apakah dalam bentuk penjelasan atau penerjemahan. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Bahasa ini selalu dianggap benar, baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupun pandangan modern. Dalam kata lain, menurut Dilthey hermeneutik berusaha memecahkan masalah yang lebih rumit dan luas ( more general problem ) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Menjadikan bahasa adalah manifestasi dari realita untuk mengapresiasi bentuk-bentuk dalam kehidupan. Penuangan ide serta konsep-konsep sebagai jalan agar mempunyai eksistensi yang dibenturkan dengan ekplorasi dalam bahasa. Seperti diungkapkan oleh H.G.Gadamer, bahasa merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh kontitusi tentang dunia ini. Maka dengan kata lain, hermeneutik adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa.

Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditentukan secara berlebihan, sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interpretasi dan pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia.

Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “ triadic ” yaitu mempunyai tiga segi yang saling berhubungan. Konsep triadic berarti kegiatan interpretasi mempunyai tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text), penafsir (reader), dan juga pengarang (author). Konsep tersebut bisa dikatakan sama dengan apa yang ada dalam lingkaran hermeneutik ( circle of hermeneutic) .

Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, kemudian dituntut untuk meresapi isi teks, sehingga yang pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Dengan kata lain yang dapat dipahami bahwa mengerti secara sungguh- sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar ( correct). Sesuatu arti tidak akan dikenal jika tidak direkonstruksi.

Sejarah Hermeneutik

Sejarah klasik mencatat ditemukannya makna hermeneutik yaitu dari bahasa Yunani. Kata hermeneuein yang berarti menafsirkan, adalah berawal dari tokoh mitologis yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dalam bahasa latin dengan sebutan Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menyadur atau menginterpretasikan sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Misi tersebut berhasil atau tidak tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.

Sementara dalam peradaban Arab Islam, Hermes disebut-sebut dengan Nabi Idris yang dalam al-Quran dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara menulis, mempunyai kemampuan teknologi ( sina’ah ), kedokteran, astrologi, sihir, dan lain-lain. Hal ini dapat diketahui dalam tulisan-tulisan Al-Kindi, Al-Yahrastani, Abu al-wafa’, Al-Mubasysyir, Al- Zauani, dan Al-Qifti. Hermes juga dapat diketahui pada kalangan Yahudi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai Dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa. Dari hal ini dapat diketahui bahwa Hermes merupakan istilah hellenik bagi para nabi dan rosul.

Dari sebuah sejarah tokoh mitologis Hermes, maka hermeneutik pada akhirnya dan secara luas diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Secara pandangan klasik ataupun modern, batasan pengertian tersebut dianggap mewakili secara umum. Maka hermeneutik menjadi sebuah metode dalam menginterpretasi atau upaya untuk mengetahui makna yang tersembunyi dalam sebuah konteks yang ada.

Meskipun dalam dunia kuno belum memunculkan sebuah kata hermeneutika sampai abad ke 17, yang baru diperkenalkan pertama kali oleh teolog Strasbourg bernama Johann Dannhauer yaitu sebagai syarat terpenting bagi ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahan pada interpretasi teks- teks, adalah suatu tuntutan yang bisa dimengerti mengingat renaissance bertujuan mencari jalan segar untuk bisa masuk kembali ke dalam teks-teks klasik.

Hermeneutik dapat ditemukan dalam karya-karya klasik pemikir Yunani, seperti tulisan Aristoteles Peri hermeneias atau The Interpretation. Sebagai sebuah interpretasi terhadap ungkapan-ungkapan baik secara lisan atupun tulisan yang dilakukan oleh orang yang berbeda dan bersifat personal. Sehingga tujuan dalam hermeneutik yang berkembang pada masa itu adalah untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi manusiawi dari peristiwa mental manusia. Sehingga dalam perkembangan sejarah, hermeneutik menjadi sebuah metode penafsiran. Hal ini berkembang pesat di lingkungan gereja untuk memahami pesan-pesan Yesus dalam kitab suci.

Dari perkembangan sebagai metode penafsiran terhadap kitab suci, hermeneutik selanjutnya direfleksikan secara filosofis menjadi metode-metode penafsiran dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora, seperti halnya yang dilakukan oleh Scheleirmacher dan terutama Wilhelm Dilthey.

Perluasan kajian yang dilakukan para tokoh hermeneutik seperti Scheleirmacher, Wilhelm Dilthey, Betty, hingga Paul Recouer, menjadikan ilmu hermeneutik berkembang dan meluas dalam konteks ilmu pengetahuan, tidak sebatas diperuntukan dalam kitab suci khususnya Bibel. Seperti ilmu sejarah, hukum, seni, filsafat, kesusastraan, maupun bahasa atau semua yang masuk dalam geisteswissenschaften, dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu tentang kehidupan ( life science ).

Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah post-modernisme, hermeneutik mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Tidak lagi sekedar disiplin tentang teori penafsiran melainkan melebar menjadi metateori tentang teori interpretasi. Hal ini disebabkan hermeneutik mulai meneliti fenomena yang terjadi dalam penafsiran, faktor-faktor yang melahirkan kesimpulan penafsiran, bahkan cara-cara munculnya sebuah penafsiran sebagai kebenaran. Hermeneutik tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tetapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar- dasar epistemologi dan ontologis yang menopangnya.

Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.

Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat.

Pertama , hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.

Untuk mencapai tingkat seperti itu, menurut Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh; lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi:

  1. sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin,
  2. sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.

Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya. Menurut Abu Zaid, diantara dua sisi ini, Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik dibanding analisa psikologis, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang satu memberi pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.

Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.

Dalam aplikasinya pada teks keagamaan, penafsiran atas teks-teks al- Quran, misalnya, kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab ( *nahw-sharaf* ) yang memadai, memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder keagamaan, seperti karya-karya al-Syafii (767-820 M).

Selain memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi dimana karya-karya tersebut ditulis. Qaul al-qadîm dan qaul al-jadîd disampaikan di tempat dan tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis Syafi`i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang netral. Karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, pemahaman yang salah –menurut Schleiermacher— tidak mungkin terelakkan.

Kedua , hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.

Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah ―mati‖ dalam pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi.

Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan ―kreativitas. Sebaliknya, justru seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini ( vorhabe ), apa yang dilihat ( vorsicht ) dan apa yang akan diperoleh kemudian ( vorgriff ).

Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.

Meski demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan.

Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis.

Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asbâl al-nuzûl -nya dimasa lalu.

Ketiga , hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack (l. 1959). Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.

Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutika. Yang pertama adalah kritik historis untuk menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang benar jika tidak ada kepastian bahwa yang difahami tersebut secara historis adalah asli. Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan.

Setelah diketahui keaslian teks suci tersebut dan tingkat kepastiannya – benar-benar asli, relatif asli atau tidak asli-- baru difahami secara benar, sesuai dengan aturan hermeneutika sebagai ilmu pemahaman, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan teks. Dari sini kemudian melangkah pada tahap ketiga, yakni menyadari makna yang difahami tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu bagaimana makna-makna tersebut berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan modern.

Dalam bahasa fenemenologis, hermeneutika ini dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran manusia dengan objeknya, dalam hal ini teks suci al-Qur`an;

  1. memiliki ―kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya,
  2. memiliki ―kesadaran eiditik yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional,
  3. kesadaran praxis yang menggunakan makna-makna tersebut sebagai sumber teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia, dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.

Pengertian Hermeneutika

Banyak ragam metode penelitian filsafat maupun pengetahuan ilmiah lainya, namun belum sepenuhnya mencukupi untuk menyingkap nilai kebenaran dari realitas. Metode merupakan pondasi dan dasar penalaran manusia. Setiap manusia berpikir secara khas, sebenarya sudah menggunakan metode, hanya tingkatan kadar saja yang berbeda. Salah satunya adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa ilmuwan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol yang berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya.

Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”. Sedangkan pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.

Jika asal kata hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama Hermes yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki kaki bersayap dan lebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang di bebani dengan misi tertentu.

Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan dilingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir dikenal dengan Nabi Musa.

Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang “berbahasa bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul, yaitu merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia. Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai makna rasional dan dapat diuji sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang sesuatu penafsiran.

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes ini, secara sekilas menunjukan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variabel utama dalam kegiatan manusia dalam memahami, yaitu :

a. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes.

b. Pranata atau penafsiran (Hermes) c. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.

Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Jika diruntut keberadaan hermeneutik dapat dilacak sampai Yunani kuno. Pada waktu itu sudah ada diskursus hermeneutik sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang bejudul peri hermenian (the interpretation). Hemeneutik dalam perjalanannya, sebagaimana dikemukakan oleh Richard E. Palmer. Palmer memberikan peta hermeneutik sebagai berikut:

Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci. Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana masyarakat Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan kejelasan maknanya, hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi. Kenyataan ini acap kali termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture) bentuk hermeneutik semacam ini dikaji oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini memiliki aneka macam bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran seperti yang dilakukan Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain sebagainya.

Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi. Dimulai dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada hermeneutik Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk semacam ini dimulai oleh Ernesti pada 1761 M. Sampai akhirnya corak ini dianggap sebagai metode penafsiran sekuler oleh pihak gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode research dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad ke-19 M yang sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang sama dengan tafsir terhadap kitab suci dan teks lainnya.

Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik (science of linguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni) dalam memahami. Bentuk memahami dalam hermeneutik merupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. Arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif historis, hermeneutik patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel serta filologi tradisional. Sebab dengan munculnya kedua bentuk disiplin tersebut menandai adanya pemahaman secara linguistic (bahasa) terhadap teks.

Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Kerangka hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey. Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Dilthey memberi kritik terhadap Kant terutama dalam pure reason-nya. Di akhir perkembangan pemikiran Dilthey, mereka berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.

Kelima, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensialisnya yang dipengaruhi gurunya, Edmund Husserl dalam perjalanannya bentuk hermeneutik filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang memberikan perhatian lebih terhadap hermeneutik dalam kaitannya dengan filsafat. Ia tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.

Keenam, hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang menentukan yaitu interpretasi (exsegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebuah teks kajian tipe terakhir dari hermeneutik ini dikemukakan oleh Paul Ricouer.

Referensi

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-nurfatonin-1398-bab2_410-6.pdf