Apa yang dimaksud dengan Hegemonic State System?

Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘eugemonia’, sebagaimana dikemukakan Encyclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis dan citystates) secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993;73).

Dalam pengertian di jaman ini, hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari sebuah negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”.

Dalam konteks politik internasional, misalnya pada periode perang dingin, pertarungan pengaruh antara negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan mantan Uni Sovyet pada masa perang dingin, biasanya disebut sebagai perang untuk menjadi kekuatan hegemonik di dunia (Nezar Patria & Andi Arif, 2003; 116).

Gramsci mengakui bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Bertolak dari kondisi ini. Gramsci melihat jika Pangeran akan memerintah dengan efektif, maka jalan yang dipilih adalah adalah meminimalisir resistensi rakyat dan bersamaan dengan itu pangeran harus menciptakan ketaatan yang spontan dari yang memerintah.

Secara ringkas Gramsci memformulasikan dalam sebuah kalimat, “bagaimana caranya menciptakan hegemoni” (Nezar Patria & Andi Arif, 2003 ; 120).

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur- struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Nezar Patria & Andi Arif, 2003 ; 121).

Teori hegemoni dari Antonio Gramsci didasarkan pada konsep bahwa suatu pengetahuan atau ideologi akan keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan maupun dengan pemaksaan (doktrinasi) ke dalam atmosfir kesadaran kolektif massif, telah memunculkan kesadaran yang relatif baru. Sumber pengetahuan yang dimiliki individu dalam sebuah kelompok, tidak selalu mudah ditebak asalnya, bisa jadi kesadaran dan pengetahuan yang selama ini mengendap dalam masyarakat merupakan suatu program “hegemonik” yang ditanamkan subyek kelompok tertentu.

Hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik yang dalam terminologi Gramsci disebut “momen”, di mana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari “spirit” ini berbentuk moralitas, adaptasi, religi, prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator.

Menurut Gramsci supremasi kelas atau kelompok mewujud dalam dua cara : dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjuk kepada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin.

Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung melalui pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat –perangkat kekuasaan.

Menurut Gramsci, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus dinilai dari ’kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu wadah, dan dalam peranannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial.

Suatu kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan dari suatu kelas, kelompok, dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional. Hegemoni juga merujuk kepada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya. (Roger Simon,2000 : 86-87)

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah organisasi konsensus (Roger Simon,2000: 20).

Ada dua interpretasi dalam memandang hegemoni, yang pertama melihat hegemoni sekedar sebagai kepemimpinan moral tanpa keikutsertaan praktek dominasi. Sementara pandangan kedua melihat hegemoni juga dapat berarti kepemimpinan moral dan dominasi sekaligus.

Bagi Gramsci, hegemoni melalui konsensus muncul melalui komitmen aktif atas kelas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Untuk itu Gramsci mengatakan secara tak langsung konsensus sebagai ”komitmen aktif” yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada sah (legitimate), Konsensus ini secara historis ”lahir” (disebabkan oleh) karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi. Ada dua hal mendasar menurut Gramsci menjadi biang keladinya, yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di pihak lain.

Untuk itu, Gramsci mengatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh.

Di lain pihak,mekanisme kelembagaan (sekolah, Gereja, partai-partai politik, media massa dan sebagainya) menjadi ”tangan-tangan” kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir . Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis itu. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan.

Sampai di sini Gramsci mengambil kesimpulan bahwa watak sebuah konsensus massa dalam masyarakat kapitalis sebagai kesadaran yang bertentangan (contadictory consciousness). Artinya, hegemoni yang dilakukan oleh klas borjuis adalah hasil dari sebuah konsensus yang samar-samar.

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum.

  • Pertama, hegemoni integral.
    Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.

    Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879).

  • Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony).
    Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomi borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi ”di bawah permukaan kenyataan sosial”.

    Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan sasarannya, namun ”mentalitas” massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni.

    Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Situasi demikianlah yang disebut decadent hegemony.

  • Ketiga, hegemoni minimum (minimal hegemony).
    Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk di atas. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.

    Dengan demikian kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.

    Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan ”negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis itu (Hendarto, 1993;82-84).

Tafsir Gramsci tentang negara adalah sesuatu yang kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara dalam perspektif Gramsci ini tidak hanya menyangkut aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemoni atau masyarakat sipil (Faruk, 2005 : 77).

Negara dengan demikian merupakan ’sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa’ dan sebagai ’alat resepsi oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya’. Lewat negara kelas ini melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan kekuasaannya.(Roger Simon,2000: 99).

Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Masyarakat sipil penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah ”kesetujuan”, ”kehendak bebas”, sedangkan masyarakat politik merupakan dunia kekerasan, pemaksaan dan intervensi (Hendarto, 1993:77) .

Dalam upaya memisahkan negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society), Gramsci memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni. Kesemuanya menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang membentuk garis dasar konseptualisme hegemoni. Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang membentuk garis dasar konseptualisme hegemoni.

Ketiga batasan tersebut adalah ekonomi, negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society). Penekanan pada tiga hal inilah yang sesungguhnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan pemikir marxis lainnya.

  • Batasan Ekonomi
    Ekonomi, sebagai batas konseptualisme yang pertama, merupakan sebuah batasan yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas-kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi.

  • Batasan negara
    Batasan negara, merupakan batas yang berarti tempat munculnya praktek-praktek kekerasan (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Oleh Gramsci, birokrasi negara dalam konteks ini diidentifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan, dan institusi pendidikan.

  • Batasan masyarakat sipil (civil society),
    Menurut Gramsci, berarti batasan yang menunjuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan di atas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai institusi religius.

Bagi Gramsci, ketiganya harus memiliki demarkasi yang jelas. Meskipun demikian di tingkat analisis dan empiris sering terjadi beberapa bagian organisasi dan institusi mungkin berada dalam sebuah batas, dua batas bahkan juga bisa muncul dalam ketiga batas tersebut. Asumsi yang dibangun dalam memisahkan batasan di atas adalah dalam rangka memudahkan konstruksi teori sosial yang akan berimplikasi pada bentuk-bentuk aksi sosial, aksi politik, aksi ekonomi, aktivitas legal, pendidikan, aktivitas kebidayaan, aktivitas religius dan lain sebagainya.

Dengan demikian pada wilayah masyarakat sipil itulah hegemoni berlangsung karena hegemoni adalah merepresentasikan etika moral sebagai wilayah untuk menanamkan mekanisme ideologi dari kelas atas. Sementara itu, masyarakat politik merepresentasikan hubungan-hubungan yang bersifat dominatif dalam berbagai lembaga negara, seperti angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum, dan penjara. Dengan demikian, negara dalam teori Gramsci terbentuk dari hubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik.

Pada dasarnya Gramsci mendefinisikan negara, dengan dua pokok batasan.

  • Pertama, dalam pengertian ’terbatas’.
  • Kedua, negara diartikan dengan ’diperluas’.

Perbedaan yang ditunjukkan Gramsci melihat hanya pada tekanan tertentu dari hakekat negara, dan bukannya pada esensi.

Pada definisi pertama Gramsci berbicara tentang ’pandangan umum tentang negara’ (general nation of the state), dimana didalamnya terdapat unsur masyarakat sipil. Ini menunjukkan suatu tumpang tindih atau koinsidensi dari dua wilayah yang sebenarnya tidak berbeda secara esensial.

Pada definisi kedua tentang dua bidang superstruktur Gramsci menggunakan istilah ’dominasi langsung’ (direct domination) yang akan berdampak bahwa ada sebuah ’dominasi tak langsung’ dalam masyarakat sipil. negara dan pemerintahan yuridis adalah ekspresi dari dominasi langsung. Di sini negara dan aparatus legalnya terlihat sebagai sebuah definisi yang terbatas.

Penting juga untuk dicatat bahwa pandangan negara yang diperluas sesungguhnya berakar pada suatu periode tertentu dalam sejarah, Gramsci menggunakan konsep hegemoni sesungguhnya untuk menjelaskan suatu negara modern, yang berkembang dalam masyarakat modern.

Menurut Perry Anderson, ada tiga model dalam hubungan Gramsci. Pembagian semacam ini pada dasarnya dimaksudkan semata-mata guna memudahkan analisis. Pada kenyataannya ketiga model itu bertumpang tindih dalam masyarakat.

  • Model pertama hegemoni Gramsci adalah menyangkut kebudayaan dan kepemimpinan moral, yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Dalam model ini negara menempatkan kekuasaan koersi dalam bentuk polisi dan angkatan bersenjata; secara ekonomi negara juga mengatur disiplin-disiplin kerja serta kontrol moneter.

  • Dalam model kedua, hegemoni digerakkan dalam negara sebagaimana halnya yang digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini dilihat pentingnya peran pendidikan dan lembaga-lembaga hukum dalam menjalankan hegemoni.

  • Sedangkan pada model ketiga, perbedaan antara negara dan masyarakat sipil dihilangkan secara bersamaan. negara sebagai political society ditambah civil society.(Nezar Patria & Andi Arief, 2003 : 142-143).

Melihat aspek ketiga hegemoni tersebut diatas, muncul sebuah konsep baru mengenai negara yakni konsep ’negara integral atau negara yang diperluas’. Ketumpangtindihan antar kedudukan state dan civil society diselesaikan dalam konsep negara integral.

Menurut Anderson perbedaan antara negara dan masyarakat sipil dibatalkan. Negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan koersi. Hegemoni, sekalipun bekerja di tingkat kesadaran namun dia selalu didampingi oleh langkah koersi. Jadi negara integral merupakan masyarakat sipil ditambah masyarakat politik (Nezar Patria & Andi Arief, 2003 : 144).

Maka dari fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara integral memiliki dua aspek.

  • Pertama, alat-alat kekerasan (means of coercion). ’Alat kekerasan’ terdiri dari alat-alat paksa dan represi negara.

  • Kedua, alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan, dan lain-lain. ’Alat pendirian kepemimpinan hegemonis’ merujuk pada institusi dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam proses produksi ekonomi material, juga bukan menjadi bagian dari organisasi negara.

Organisasi dalam wilayah kepemimpinan hegemonis ini bekerja dan hidup di luar wilayah dua kekuatan tersebut. Contohnya adalah organisasi komunikasi, olah raga, perkumpulan pemuda, dan sebagainya.

Pada dasarnya, secara sederhana seringkali disebutkan bahwa hegemoni itu bekerja pada lapangan budaya, bergerak di tingkat kesadaran. Namun bukan berarti bahwa aparat koersi sudah tidak bekerja lagi. Dalam prakteknya antara hegemoni dan koersi terus berjalan secara ’berdampingan’.

Meskipun demikian, negara integral berbeda dengan negara totaliter. Negara totaliter tidak ada unsur sukarela tetapi sebagai paksaan, sementara negara integral masih menyediakan peluang untuk menghasilkan consent yang sukarela dan tanpa dipaksa (Nezar Patria & Andi Arief, 2003: 144).

Dalam negara secara luas atau juga disebut negara integral, Gramsci menganggap bahwa semua arti intelektual klas dan kepemimpinan moral atau masyarakat menyebabkan munculnya cara khusus dalam mengatur untuk merealisasikan hegemoni dalam nilai keseimbangan kompromi guna melindungi kekuasaan politik, terutama dalam sebuah krisis revolusioner.

Dari sini Gramsci kemudian mengatakan bahwa negara merupakan sejumlah aktivitas praktek dan teori yang kompleks, dimana kelas berkuasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasi, tetapi mengaturnya untuk memenangkan pemaksaan aktif terhadap kekuatan di luarnya (Nezar Patria & Andi Arief, 2003: 146).

Hegemoni berasal dari bahasa Yunani eugemonia yang berarti memimpin. Roger Simon menyatakan bahwa “hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis”. Menurut Roger Simon hegemoni adalah sebuah consensus .

Hegemoni merupakan gagasan dari seorang filosof Italia yang bernama Antonio Gramsci (1891-1937). Sebagai seorang Marxis, Gramsci tidaklah berpendapat bahwa suatu revolusi sosial akan terjadi hanya karena suatu keniscayaan sejarah tetapi suatu revolusi hanya akan bisa tercapai melalui sebuah gerakan penyadaran masyarakat akan kondisi masyarakat yang tertindas.

Teori hegemoni Gramsci menganalisis berbagai macam relasi antara kekuasaan dan penindasan di dalam masyarakat.Penindasan tidak selalu berarti penindasan fisik tetapi bisa jadi berupa penindasan pola pikir. Ketika melihat melalui perspektif hegemoni akan terlihat bahwa media massa merupakan suatu alat kontrol yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mengontrol dan menanamkan pola pikir kepada masyarakat.

Teori hegemoni Gramsci menggaris bawahi bahwa di dalam struktur sosial selalu ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Dalam hal ini kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha untuk membuat agar masyarakat (yang dikuasai) menerima nilai-nilai dan pola pikir penguasa tanpa perlawanan. Strategi kunci dalam keberhasilan hegemoni adalah nalar awam, di mana masyarakat awam akan menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa ke dalam pikiran mereka.

Menurut Gramsci ada 2 cara dari kelompok yang berkuasa untuk menjalankan kekuasaannya yaitu dengan cara represif dan persuasif. Cara kekerasan ( Coersive ) yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa disebut dengan dominasi, sedangkan cara persuasifnya dilakukan dengan cara yang halus melalui konsensus dengan tujuan untuk melanggengkan dominasinya tanpa mendapatkan perlawanan, inilah yang dimaksud dengan hegemoni.

Hegemoni adalah suatu kemenangan yang didapatkan melalui sebuah mekanisme konsensus ketimbang melalui suatu penindasan terhadap kelas sosial lainnya.Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologi dari satu atau lebih kelompok di dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya.

Konsep hegemoni dirumuskan oleh Gramsci ketika melihat fenomena yang terjadi pada Gereja Katholik Roma.Gramsci melihat bahwa Gereja Katholik Roma mempunyai suatu kekuatan ideologis yang sangat besar terhadap umat Katholik yang secara sukarela mematuhi segala hal yang dikeluarkan oleh Gereja Katholik Roma. Gramsci menyebut hubungan antara Gereja Katholik Roma dengan umat Katholik bersifat “mekanikal”, kemudian dia menyadari bahwa Gereja Katholik Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan untuk merebut dan menguasai hati nurani dan pola pikir para pengikutnya.