Apa yang dimaksud dengan hegemoni kekuasaan?

Hegemoni (hēgemonía) pada awalnya merujuk pada dominasi kepemimpinan suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi dominasi negara terhadap negara lain.

Apa yang dimaksud dengan hegemoni kekuasaan ?

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno, ‘eugemonia’. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah) saja. Hegemoni dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).

Pembentukan Hegemoni


Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada tahun 1885 oleh para Marxis Rusia, terutama oleh Plekhanov pada tahun 1883-1984. Gagasan tersebut telah dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk menggulingkan Tsarisme. Istilah “tsarisme” menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya, dan dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara Tsaris.

Agar kaum buruh dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara, yaitu melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang pergerakan yaitu perang dalam suatu masyarakat dengan berbagai institusi dan organisasi yang memiliki tingkat perkembangan rendah di dalam ”masyarakat sipil” di negara Eropa Timur (terutama di Inggris dan Prancis). Sedangkan, perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati dan pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial. Tujuan dari perang posisi adalah mencapai hegemoni bagi kaum proletar dalam masyarakat sipil sebelum terjadi perebutan kekuasaan negara oleh partai komunis. Karakteristik dari Perang Pergerakan antara lain:

  • Perjuangan panjang,
  • Mengutamakan perjuangan dalam sistem dan diarahkan kepada dominasi budaya,
  • Ideologi perang pergerakan dilakukan dengan serangan langsung (frontal), tentunya dengan dukungan massa, dan
  • Perang pergerakan bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, namun bisa juga tidak.

Gramsci mengeluarkan argumen bahwa kegagalan kaum buruh dalam melakukan revolusi disebabkan oleh ideologi, nilai, kesadaran diri dan organisasi kaum buruh yang tenggelam oleh hegemoni kaum penguasa (borjuis). Hegemoni ini terjadi atau dibentuk melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum buruh. Akibatnya, daripada melakukan revolusi, mereka (kaum buruh) malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya hidup kelas borjuis. Ini semua tidak lain hanyalah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar kaum yang didominasi kehilangan ideologi serta jati dirinya sebagai manusia merdeka.

Konsep Hegemoni


Terdapat tiga istilah berbeda dalam formasi yang membentuk landasan konsep hegemoni, yaitu perekonomian, negara, dan masyarakat sipil. “Perekonomian” merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah pada suatu waktu. Perekonomian ini terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial produksi yang dibangun berdasarkan suatu pembedaan dalam kelas-kelas yang dikaitkan dengan kepemilikan sarana produksi, baik sebagai pemilik substansial atau sebagai orang yang dipekerjakan dalam organisasi yang berkaitan dengan produksi.

  • “Negara” terdiri atas sarana kekerasan (polisi dan militer) dan suatu wilayah tertentu, bersama dengan berbagai birokrasi yang didanai oleh Negara (pamong praja atau lembaga pemerintah, berbagai lembaga hukum, kesejahteraan dan pendidikan).

  • “Masyarakat sipil” dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan diantaranya bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan dan kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, serta keterkaitannya dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Dari definisi ini masyarakt sipil berwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Sementara, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan masyarakat sipil.

Konsep hegemoni dikemukakan oleh Gramsci. Ia menggunakan atau memakai konsep hegemoni untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana masyarakat kapitalis modern diorganisasikan pada masa lalu dan masa kini. Terdapat semacam kebingungan disini tentang konsep-konsep yang dilibatkan, karena Gramsci tampaknya terlebih dahulu membedakan konsep negara dengan masyarakat sipil.

Negara didefinisikan sebagai sumber kekuasaan koersif dalam suatu masyarakat, sementara masyarakat sipil didefinisikan sebagai lokasi kepemimpinan hegemoni. Gramsci kemudian menghubungkan kedua konsep ini untuk mendefinisikan apa yang dia sebut sebagai ‘negara integral’ sebagai kombinasi hegemoni yang dilengkapi dengan kekuasaan koersif.

Politik hegemoni adalah suatu politik negara yang didasarkan kepada paradigma bahwa bangsa dialah yang paling hebat, paling tinggi derajatnya di dunia, sehingga bangsa lain itu hanya warga dunia kelas dua yang perlu dikuasai dan dikendalikan. Pada masa lalu, Adolf Hitler dengan semboyan Deutschland über alles, memainkan politik hegemoni yang menimbulkan perang di Eropa. Demikian pula dengan Jepang di masa lalu menerapkan politik hegemoni di Asia. Lebih lama daripada itu, bangsa-bangsa Barat juga memiliki paradigma ini dan menerapkan politik kolonialisme terhadap negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Beberapa mungkin berlaku baik, tetapi banyak juga seperti lintah yang menghisap darah.

Saat ini politik hegemoni juga masih dipergunakan oleh banyak negara, seperti AS yang merasa dirinya pusat ekonomi dunia dan ingin menguasai ekonomi dunia (melalui strategi economic hitmen atau EHM) atau bertindak sebagai polisi dunia, bangsa Timur Tengah yang merasa dirinya “keturunan Nabi” sehingga “lebih dekat ke surga”, dan sebagainya. RRC juga memainkan politik hegemoni di Asia saat ini tapi masih malu-malu.

Biasanya POLITIK HEGEMONI dilanjutkan dengan tindakan berbentuk PROXY WAR yang membuat negara lain menjadi goyah dan tidak stabil. Politik hegemoni akan menjadi subur dilakukan di sebuah negara yang memang karakter bangsanya inferior, menganggap semua yang berbau asing itu lebih hebat, lebih canggih, pokoknya serba lebih. Dalam ruang lingkup lebih kecil, perasaan hegemoni juga hadir pada masyarakat, misalnya suku A menganggap dirinya terbaik, atau alumni Universitas X menganggap dirinya paling berkualitas, dan sebagainya.

Ringkasnya, politik hegemoni ini dimulai dari paradigma bahwa diri atau kelompoknya lebih baik dari pada yang lain, lalu menjadi nafsu atau syahwat untuk berkuasa karena merasa layak berkuasa.

Hegemoni adalah paradigma yang dikendalikan nafsu dan syahwat. Jika sudah muncul pada diri kita, maka itulah titik awal bibit-bibit konflik muncul.Semoga kita dijauhkan dari hal ini. Semoga ibadah puasa Ramadan mampu menjauhkan kita dari paradigma ini.Tetapi di sisi lain, kita juga harus berkualitas, jangan inferior, supaya tidak menjadi korban politik hegemoni pihak lain.

Menurut Gramcsi, hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004).

Secara literer hegemoni bearti “kepemimpinan” lebih sering kata itu digunakan untuk para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci (Faruk, 2003) hegemoni bearti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya dalam suatu masyarakat yang ada suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sesuatu yang berbeda dari dominasi yang bersifat memaksa.

Dalam hal ini Gramsci merumuskan konsepnya merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang; dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, yang kemudian dapat membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan pada moral. Sehingga hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator (Williams via Patria & Arief, 2009). Dengan kata lain Gramsci menghubungkan hegemoni dengan masyarakat sipil dan membedakan hegemoni yang berbasis pada kesepakatan dengan masyarakat politik yang bersifat diktaktor.

Menurut Bellamy (via Patria & Arief, 2009) hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau klas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi lainnya.

Sedangkan, menurut Gramsci, hegemoni didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politik. Supermasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual” suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia “hancurkan”, atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara (Faruk, 2003). Atau kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya (Patria & Arief, 2009).

Melalui Patria dan Arief (2009), Gramsci mengemukakan tingkatan hegemoni dikemukakan Gramsci, yakni;

  • Hegemoni total (integral), yaitu hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual kokoh hal ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.

  • Hegemoni merosot (decadent hegemoni), masyarakat kapitalis moderen dominasi ekonomis kaum borjuis menghadapi tantangan berat yang menunjukkan adanya potensi diintegrasi yang dapat menimbulkan konflik tersembunyi di bawah kenyataan sosial (Patria & Arief, 2009).

  • Hegemoni minimum (minimal hegemoni), merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk sebelumnya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik, dan intelektual yang terjadi secara bersamaan akan tetapi enggan untuk mendapat campur tangan massa dalam hidup bernegara (Patria & Arief, 2009).

Hegemoni berasal dari bahasa yunani kuno yaitu eugemonia (hegemonia), yang berarti memimpin. Roger Simon menyatakan, “hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Atau bahasa sederhananya, hegemoni adalah sesuatu organisasi consensus”.

Dalam pengertian di jaman ini, hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”.

Hegemoni adalah salah satu pandangan yang cukup dominan bagi Gramsci. Karenanya, karya Gramsci sebagai marxis Italia, menjadi penting dalam perkembangan teori sosial oleh para marxis dan juga kaum yang menamakan dirinya post-Marxist dewasa ini. Hegemoni merupakan ide sentral, orisinil dalam teori sosial dan filsafat Gramsci.

Konsep hegemoni sendiri ditemukan awalnya ketika Gramsci mencari sebuah pola dalam kelas sosial baru yang saat itu lebih banyak melihat fenomena pada sejarah gereja Roma. Dia terlihat kagum melihat kekuatan ideologi kristen gereja Roma yang berhasil menekan Gap yang berlebihan berkembang antara agama yangterpelajar dan rakyat sederhana. Gramsci mengatakan bahwa hubungan tersebut memang terjadi secara “mekanikal”, namun dia menyadari bahwa gereja Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan memperebutkan dan menguasai hati nurani para pengikutnya.

Secara umum konsepsi hegemoni yang lahir dari Gramsci, sesungguhnya diambil secara dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto dan beberapa bagian lainnya dari Lenin. Dari Machiavelli hingga Pareto, konsepsi yang diambil adalah tentang kekuatan dan persetujuan. Bagi Gramsci, klas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara yaitu melalui cara dominasi atau paksaan dan yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Cara terakhir inilah yang kemudian disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.

Menurut Gramsci, dalam sebuah formasi sosial, sang pangeran akan dihadapkan pada tarik menarik antara dua kelompok sosial yaitu bangsawan dan rakyat. Kelompok bangsawan pasti memiliki keinginan untuk memerintah dan mendominasi. Sementara rakyat, justru berkeinginan untuk tidak diperintah dan tidak didominasi.

Gramsci, mengakui bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Bertolak dari kondisi ini, Gramsci melihat jika pangeran akan memerintah dengan efektif, maka jalan yang dipilih adalah meminimalisir resistensi rakyat dan bersamaan dengan itu pangeran harus menciptakan ketaatan yang spontan dari yang memerintah. Secara ringkas, Gramsci memformulasikan dalam sebuah kalimat, ”bagaimana caranya menciptakan hegemoni”.