Apa yang dimaksud dengan Hate Speech?

hatespeech

Ditengah pesatnya pertumbuhan industri digital saat ini. Lingkungan sosial kita menghadapi masalah baru yang bermunculan, salah satunya adalah hatespeech.

Apa yang dimaksud dengan hatespeech?

Hate Speech diistilahkan sebagai bentuk ujaran kebencian. Rangkaian kata yang membentuk frase. Jika ditinjau dari segi gramatikalnya, maka speech berkedudukan sebagai head (utama), dan hate sebagai modifier (penjelas). Maka, dengan demikian dapat dipahami bahwa penekanan dari frase hate Speech adalah ujaran itu sendiri. Sementara ujaran seperti apa, dijelaskan oleh kata hate.

Hate* itu sendiri mempunyai kelas kata. Saat kata hate diposisikan sebagai noun (kata benda), maka ia berarti kebencian. Namun, jika hate diposisikan sebagai verb (kata kerja) maka ia berarti membenci. Dalam konteks ini maka hate diposisikan sebagai noun, hal yang sama juga berlaku untuk kata speech.

Secara istilah, ada dua hal yang seringkali digunakan dalam hukum internasional hak asasi manusia, yaitu incitement (hasutan kebencian) dan hate speech. Komite HAM PBB seringkali lebih banyak menggunakan istilah yang pertama dibandingkan ujaran kebencian. Secara praktik, memang terdapat perbedaan di antara ahli dan sistem hukum negara; ada yang lebih mengutamakan perkataan itu sendiri, ada yang melihat dampaknya pada kemanusiaan dan eksistensi manusia, dan ada pula yang melihat dampaknya pada orang lain yang diserukan ujaran kebencian tersebut.

Kata hate speech atau dalam bahasa Indonesia sering disebut ujaran kebencian adalah istilah yang berkaitan erat dengan minoritas dan masyarakat asli, yang menimpa suatu komunitas tertentu dan dapat menyebabkan mereka sangat menderita, sementara (orang) yang lain tidak peduli. Ia dapat memunculkan penderitaan psikis maupun fisik, yang dalam praktiknya banyak menimpa kelompok minoritas dan masyarakat asli.

Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian


Sementara itu, telaah tentang ujaran merupakan bagian dari sub kajian khusus dalam pembahasan wacana. Jika demikian, maka ujaran itu sendiri didasarkan pada teori speech acts yang dikemukan oleh J.L Austin. Teori tersebut mengemukakan tiga bentuk pengujaran, yaitu; tindak tutur lokusioner, perlokusioner, dan illokusioner. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

  1. Tindak tutur lokusioner, adalah tindakan mengucapkan serangkaian bunyi yang mengandung arti. Tindak tutur inilah yang secara tradisional berkaitan dengan linguistik.

  2. Tindak tutur perlokusioner, yaitu tindak tutur yang menimbulkan pengaruh pada penerima atau menyebabkan penerima merasakan sesuatu, misalnya membujuk, meyakinkan, menimbulkan kejengkelan, menakut-nakuti, atau memotong pembicaraan orang lain.

  3. Tindak tutur illokusioner, yaitu mengucapkan kata-kata yang mempunyai kekuatan dan dengan mengucapkannya, si pengirim sendiri melakukan suatu tindakan, seperti berjanji, membantah, atau bertaruh.

Jika ditinjau dari penjelasan di atas, kata hate didenotasikan sebagai bentuk kata yang negatif. Oleh sebab itu, hate dapat bersinergi dengan definisi bentuk tindak tutur perlokusioner. Sebagaimana definisi di atas jelas menyatakan, bahwa perlokusioner merupakan tindak tutur yang menimbulkan pengaruh pada penerima, atau menyebabkan penerima merasakan sesuatu. Termasuk menimbulkan kejengkelan, menakut-nakuti, atau bahkan memotong pembicaraan orang lain.

Ucapan kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Dengan ketentuan yang ketat di atas, dengan melibatkan pelbagai pihak di dalam negeri, Negara memang menjadi penafsir dan penentu utama bagaimana ujaran kebencian itu harus ditegaskan di dalam hukum nasional. Rambu-rambu melalui klausul yang lebih definitif dan tidak multitafsir, yang menyasar bentuk-bentuk tindakan yang terkategori sebagai hate speech (kebencian, kekerasan, diskriminasi, advokasi atau dorongan, penyebarluasan, dan sebagainya) dapat memperketat pembatasan yang dilakukan oleh negara agar tidak melanggar hak ekspresi itu sendiri.

Kriteria- Kriteria Ujaran Kebencian


Demi menjaga keseimbangan hak, antara hak beragama atau berkeyakinan di satu sisi, hak untuk berekspresi di sisi yang lain, serta mencegah terjadinya diskriminasi, permusuhan dan kekerasan dengan alasan ras, etnis, dan agama, pelaksanaan hate speech harus menyertakan, setidaknya, lima tahapan ujicoba atau tes. Uji coba ini bertujuan untuk menilai, apakah suatu tindakan dan/atau pernyataan termasuk dalam kategori hate speech atau tidak.

Kelima tahapan tes ini adalah: 1) Konteks; 2) Pembicara/pelaku; 3) Niat; 4) Konten atau isi; 5) Tatacara atau bentuk penyampaian pesan. Kelima hal ini harus diuji satu per satu terhadap suatu tindakan, sehingga bila kelima hal tersebut terpenuhi, barulah bisa dikatakan sebagai hatespeech. Sebaliknya, bila ternyata ada salah satu atau lebih komponen ujicoba ini tidak terpenuhi, maka tindakan itu tak dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian.

1. Konteks

Analisa terhadap konteks mengharuskan penegak hukumatau siapapun yang hendak menguji suatu tindakan sebagai hate speech untuk melihat secara utuh setiap situasi yang melatarbelakangi sebuah tindakan atau pernyataan, mulai dari kondisi politik, sosial, budaya dan ekonomi di suatu komunitas atau wilayah.

Pendalaman terhadap situasi ini memberikan pedoman pada penegak hukum apakah situasi yang ada mengarah pada diskriminasi, eksklusi atau intoleransi terhadap kelompok yang menjadi sasaran. Secara lebih dalam, analisa terhadap konteks ini mencakup beberapa hal, yaitu:

  • Apakah terdapat konflik antar kelompok di wilayah tersebut, terutama di antara provokator dan kelompok sasaran.

  • Apakah ada sejarah diskriminasi yang kuat (terinstitusionalisasi) terhadap suatu kelompok.

  • Sejarah perselisihan, konflik, di wilayah ini antara kelompok.

  • Apakah hukum telah ditegakkan secara adil, di antaranya misalkan melarang diskriminasi dan kebebasan berekspresi, bahkan adanya jaminan akses terhadap keadilan.

  • Keberadaan media, apakah terdapat kebebasan media yang tergambar dari pluralitas dan keragaman media? Atau sebaliknya, media justru diredam, dibungkam dan tidak ada ruang bagi media untuk melaporkan situasi secara independen.

Kelima hal di atas harus diuji satu per satu dan dianalisa agar penegak hukum betul-betul dapat memahami situasi untuk kemudian menentukan apakah sebuah tindakan pernyataan masuk dalam kategori hatespeech atau tidak.

2. Pembicara/pelaku

Siapa yang mengeluarkan pernyataan menjadi penting untuk dilihat, karena ia akan menentukan apakah ucapan tersebut berpotensi memprovokasi massa secara massif atau ia hanya ungkapan intoleransi yang seharusnya diselesaikan melalui jalur non-pidana. Menurut hemat penulis, penilaian terhadap siapa yang berbicara ini merupakan implikasi dari konsep hate speech itu sendiri, yang dikhawatirkan akan mengarah pada diskriminasi, kekerasan, bahkan genosida.

Hal yang juga penting untuk dilihat dalam konteks narasumber ini adalah intensitas sang pembicara atau pelaku ujaran tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan yang mengandung ujaran kebencian, apakah setiap pernyataan, publikasi, ujaran, pidato atau hal lain yang dilakoninya selalu membawa dan menyatakan hal serupa atau tidak. Intensitas ini akan menunjukkan intensi seseorang, apakah betul-betul memiliki maksud untuk memunculkan efek dari advokasi yang ia lakukan tersebut.

Demikian bagaimana pelaku menjadi salah satu komponen penting untuk mengetahui konteks dari setiap ujaran kebencian. Keberadaan pelaku harus pula dikaitkan dengan konteks yang telah dijelaskan di atas, sehingga jahitan kasus sudah semakin lengkap dan aparat penegak hukum sudah memiliki separoh dari gambaran utuh tindakan ujaran kebencian ini.

3. Niat

Aspek ketika yang tak dapat dipisahkan dari hate speech adalah niat pelaku dalam melakukan tindakan dan/atau ucapan yang mengandung kebencian ini. Identifikasi terhadap niat dibutuhkan untuk mengetahui tujuan dari tindakan pelaku yang dilarang oleh konsep hate speech itu sendiri, yaitu niat untuk melakukan diskriminasi, intoleransi, permusuhan, bahkan kekerasan dengan menggunakan alasan agama, ras, atau etnis.

Pertanyaan yang harus dijawab dalam hal ini adalah, apakah tindakan tersebut merupakan tindakan emosional sesaat, kealpaan atau keteledoran pelaku, atau memang sengaja dilakukan? Hal ini pula yang sangat terkait dengan hukum pidana dan pemidanaan yang menyertakan niat pelaku dalam melakukan tindakan kejahatan (means rea).

Merujuk pada Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, niat ini dapat ditafsirkan melalui tiga hal, yaitu:

  • Sengaja untuk mendorong kebencian

  • Sengaja menyasar kelompok tertentu berdasarkan alasan-alasan yang dilarang

  • Mengetahui akibat dari apa yang dia sampaikan, dampaknya, atau apa yang akan terjadi setelah tindakan dan/atau pernyataan itu dikeluarkan

Karena bersifat immateri (intangible), niat agak sulit untuk dibuktikan secara konkret. Para pakar hukum atau yurisprudensi hukum internasional, termasuk pula praktik di beberapa negara, selalu mengaitkan niat ini dengan situasi yang melingkupi pelaku, dikaitkan dengan aspek-aspek lain, seperti konteks dan isi dari ujaran kebencian itu.

4. Konten atau isi pernyataan/ujaran

Analisa terhadap konten atau isi berfokus pada materi yang dinyatakan, bentuk, cara, dan apakah ekspresi tersebut mengandung seruan untuk melakukan diskriminasi secara langsung, kekerasan, atau di antara keduanya. Identifikasi pada tahapan ini mencakup sejumlah tahapan, yaitu:

  • Apa yang disampaikan oleh pelaku

  • Siapa yang menjadi audien pelaku

  • Siapa korban yang disasar oleh pelaku dalam pernyatannya

  • Bagaimana ucapan atau pernyataan tersebut disampaikan (intonasi)

  • Bagaimana ekspresi yang dilakukan pelaku saat menyampaikan pernyataan

Beberapa pertanyaan di atas adalah kunci bagaimana seorang penegak hukum menilai suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai hate speech atau tidak, sehingga dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengindikasikan konten dari pembicaraan yang dimaksud.

5. Kecenderungan ucapan tersebut menjadi kejahatan dan potensial terjadi

Terakhir yang juga sangat penting untuk menilai hate speech adalah apakah ujaran tersebut dapat diprediksi secara kuat terjadi atau memunculkan efek pada audiennya. Ukuran kelima dalam hate speech ini tidak mengharuskan adanya efek terlebih dahulu dalam suatu ujaran, karena hate speech termasuk di Indonesia merupakan tindakan pidana materil yang dapat ditindak tanpa harus menunggu adanya akibat dari tindakan tersebut.

Meskipun demikian, bukan berarti hate speech harus dilaksanakan secara serampangan, tetapi sebaliknya aparat penegak hukum juga harus mengidentifikasi tingkat kerusakan atau potensi dampak yang akan dimunculkan dari ujaran kebencian tersebut, termasuk pula masuk akal tidaknya suatu ujaran tersebut untuk memunculkan efek yang hendak dihindari. Kembali penulis tegaskan, hal ini adalah upaya untuk membatasi agar hate speech tidak kemudian
disalahgunakan untuk kepentingan politis dan akhirnya justru melanggar hak asasi itu sendiri.

Untuk lebih mengkonkretkan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan panduan yang menjadi penting untuk dipertimbangkan, yaitu:

  • Apakah audien memahami apa yang disampaikan oleh pelaku.

  • Apakah pelaku atau pembicara dapat memengaruhi para audiennya.

  • Apakah dari ujaran yang disampaikan tersebut audien terdorong untuk melakukan tindakan, berniat kuat untuk melakukan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan.

  • Apakah selama ini korban hate speech telah menjadi sasaran diskriminasi atau baru mendapatkan kekerasan.

Susan Benesch menegaskan sejumlah variabel untuk menilai apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai hate speech atau tidak. Hal ini meliputi: pembicara, audien, pernyataan atau ucapan itu sendiri, konteks sosial dan historis, serta cara penyebarannya.

Kelima variabel ini diperinci kembali pada lima poin berikut:

  • Pembicara yang memang memiliki kemampuan (kekuasaan) tinggi untuk memengaruhi audiennya.

  • Audien memiliki kepatuhan atau ketakutan terhadap apa yang dimiliki oleh pembicara.

  • Pernyataan tersebut betul-betul dapat dipahami

  • menganjurkan pada kekerasan, kebencian atau diskriminasi.

  • Sejak awal memang adanya konflik, baik secara historis dan/ atau sosial, seperti adanya kompetisi di antara dua kelompok atau lebih, peristiwa kekerasan sebelumnya, atau hal lain yang menunjukkan adanya konflik tersebut.

  • Ucapan atau ujaran yang disampaikan sendiri memiliki pengaruh pada audien, misalnya ucapan tersebut memang secara naruli dan hati nurani terikat dengan identitas audien.

Demikian setidaknya bagaimana batasan-batasan yang telah diupayakan oleh para ahli dan organisasi-organisasi hak asasi manusia, termasuk pula PBB, untuk mengidentifikasi secara lebih rinci hate speech diterapkan. Sebagaimana telah ditegaskan beberapa kali di atas, batasan-batasan ini dibuat untuk memberikan barrier bagi aparat penegak hukum atau siapapun yang memantau pelaksanaan hate speech agar tidak disalahgunakan atau disalahterapkan untuk hal-hal yang justru dijamin oleh hak asasi manusia.

Komisi nasional hak asasi manusia (komnasham) dalam buku saku penanganan ujaran kebencian (hate Speech) mengungkapkan ujaran kebencian (hate Speech) sangat berbahaya. Karena:

  1. Merendahkan manusia lain
    Manusia adalah ciptaan Tuhan dan tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan manusia dan kemanusiaan seorang pun yang merupakan ciptaan Tuhan.

  2. Menimbulkan kerugian materil dan korban manusia
    Data penelitian menunnjukkan jumlah kerugian material dan korban kekerasan berbasis identitas lebih besar daripada kekerasan lainnya.

  3. Bisa berdampak pada konflik
    Hasutan untuk memusuhi orang atau kelompok bisa menimbulkan konflik, konflik ini bisa antar individu dan meluas menjadi konflik komunal atau antar kelompok

  4. Bisa berdampak pada pemusnahhan kelompok (genosida)
    Hasutan kebencian ini bisa membuat streotyping/pelabelan, stigma, pengucilan, diskriminasi, kekerasan. Pada tingkat yang paling mengerikan bisa menimbulkan kebencian kolektif pembantaian etnis, pembakaran kampung atau pemusnahan (genosida) terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian.

Jelas tersebutkan bahwa hate speech merupakan representasi dari aspek yuridis. Bahkan, hal itu merupakan bagian dari berbagai macam rangkaian undang-undang yang ada. Tidak hanya UU No.11/2008 tentang ITE, namun didalamnya juga terdapat pasal-pasal KUHP dan KUH Perdata. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Hatespeech juga merupakan bagian dari marjinalisasi dimana seseorang atau sekelompok orang digambarkan buruk. Dalam hal ini, marjinalisasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Eufimisme (penghalusan makna), umumnya digunakan untuk memperhalus keburukan. Eufimisme banyak dipakai oleh media serta banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan kepada masyarakat bawah, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama menipu rakyat.

2. Disfemisme (pengasaran bahasa) digunakan untuk memburukkan sesuatu.

3. Labeling adalah pemakaian kata-kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan.

4. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif.

Pengertian Ujaran (hate speach)

Istilah hate speech sendiri berarti “ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi dengan kelompok sosial atau demografis tertentu”. Merujuk pada Oxford English Dictionary (OED), Robert Post sebagaimana di kutip oleh Sri Mawarti , salah satu ilmuan yang banyak dirujuk dalam diskursus ini mendefinisikan ujaran kebencian sebagai “speech expressing hatred or intolerance of other social group especially on the basis of race and sexuality.‟ Lalu apa yang bisa masuk dalam kategori atau istilah “hate‟? Kembali merujuk OED, Post memahami hate sebagai “an emotion of extreme dislike or aversion; abbhorence, hatred”.

Definisi ini mengandung dua aspek penting; yang pertama berkaitan dengan substansi atau konten ujaran dan yang kedua berkaitan dengan jenis kelompok yang disasar. Sebuah ujaran (speech) bisa dikatakan (hate) apabila yang pertama ia mengekspresikan perasaan kebencian atau intoleransi yang bersifat ekstrim dan yang kedua perasaan tersebut ditujukan kepada kelompok lain berdasarkan identitas mereka seperti ras dan orientasi seksual. Berdasarkan definisi ini Post mengkritik kriminalisasi hate speech karena menurutnya ekspresi perasaan kebencian adalah hal yang normal dalam kehidupan emosional manusia. Batas antara yang ekstrim dan moderat dalam ujaran sulit diukur. Pelarangan hate speech menurut Post akan menghadapi problem konseptual dalam membedakan antara “hate” dengan “normal dislike” atau “disagreement”.

Definisi ini menyatakan bahwa aspek penting dalam ujaran kebencian adalah substansi ujaran yang menekankan pada karakterisasi negatif terhadap kelompok identitas tertentu semata semata karena identitasnya. Ujaran kebencian bisa dipahami sebagai merujuk pada cara pandang esensialis yang menekankan bahwa sumber utama ancaman ada pada karakter inherent atau bawaan kelompok identitas tertentu. Padangan ini menafikan keragaman perilaku dari kelompok tersasar karena sumber utama masalah adalah identitasnya. Ide seperti ini mengusung pesan, baik implisit atau eksplisit, bahwa eliminisi kelompok identitas yang disasar diperlukan.

Definisi oleh Council of Europe hatespeech dipahami sebagai “semua bentuk ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, termasuk: intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme, diskriminasi dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migran dan orangorang asal imigran”.

Mitchel menyebutkan berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki kedua-duanya bagi masyarakat luas. Pemberitaan ini seharusnya memiliki paradigma objektivitas berita yang juga berlaku di media konvensional. Namun dalam Perceptions of Internet Information Credibility, Flanagin dan Metzger menjelaskan bahwa media konvensional menjalani proses verifikasi serta melakukan cek dan ricek terlebih dahulu sebelum sampai kepada publik, namun situs online tidak selalu melakukan langkah-langkah tersebut. Padahal media sekalipun online harus tetap mempertahankan unsur-unsur dipercaya (believability), akurasi (accuracy), bias, dan kelengkapan berita (completeness), termasuk tidak mengandung unsur hatespeech (ujaran kebencian).

Hate speech (Ucapan Penghinaan atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan hate speech ini disebut hate site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu. Para kritikus berpendapat bahwa istilah hate speech merupakan contoh modern dari novel Newspeak, ketika hate speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut terlihat benar secara politik.116 Brison mendefinisikan ujaran kebencian sebagai ujaran yang memfitnah, mengganggu, mengintimidasi atau menghasut adanya kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu, seperti ras, suku, agama, etnis jenis kelamin dan orientasi seksual.

Dalam arti hukum, hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan hate speech ini disebut hate site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu. Para kritikus berpendapat bahwa istilah hate speech merupakan contoh modern dari novel Newspeak, ketika hate speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut terlihat benar secara politik.

Jadi, hate speech (Ujaran kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Referensi

http://eprints.walisongo.ac.id/10726/1/1402026066.pdf