Apa yang dimaksud dengan Halitosis atau bau mulut?

Halitosis atau bau mulut

Halitosis merupakan suatu keadaan di mana terciumnya bau mulut pada saat seseorang mengeluarkan nafas (biasanya tercium pada saat berbicara). Bau nafas yang bersifat akut, disebabkan kekeringan mulut, stress, berpuasa, makanan yang berbau khas, seperti petai, durian, bawang merah, bawang putih dan makanan lain yang biasanya mengandung senyawa sulfur. Setelah makanan di cerna senyawa sulfur tersebut diserap kedalam pembuluh darah dan di bawa oleh darah langsung ke paru-paru sehingga bau sulfur tersebut tercium pada saat mengeluarkan nafas.

Selain itu juga kebersihan mulut yang sangat kurang sempurna karena kebanyakan kita menyikat gigi hanya sekitar 40 detik, menurut literature diperlukan sedikitnya 3 menit untuk membersihkan gigi dan meng eliminasi bakteri merugikan yang berperan dalam produksisenyawa sulfur. Bau nafas pagi hari hampir pada semua orang dewasa, merupakan contoh bau nafas yang bersifat sementara (karena kekeringan mulut selama tidur).

Halitosis berasal dari bahasa latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan) yang diartikan sebagai bau nafas tak sedap yang keluar dari mulut dan dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Sumber halitosis dapat berasal dari mulut, nasofaring atau bagian tubuh lainnya, namun dilaporkan penyebab kasus halitosis lebih banyak dari rongga mulut (Gayford dan Haske, 1993; Jens & Peter, 2005; Kapoor,et al., 2011).

Halitosis bukanlah suatu penyakit, halitosis hanya gejala dari suatu kelainan, atau penyakit yang tidak disadari. Namun demikian, penderita halitosisakan sangat mengganggu orang disekitar atau lawan bicaranya, sehingga mengganggu komunikasi dan menimbulkan dampak negatif dalam hal berinteraksi sosial (Loesche, 2011; Kapoor,et al., 2011).

Sebenarnya banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan bau mulut atau nafas tak sedap yang berasal dari udara yang dikeluarkan oleh seseorang.Ada beberapa istilah yang digunakan di dunia ilmiah atau di kalangan masyarakat awam sehari-hari. Istilah-istilah tersebut antara lain halitosis, fetor oris, fetor ex ore, nafas tak sedap, oral malador, bad breath, dragon breath, dan jungle mouth.

Beberapa ahli menggunakan istilah halitosis untuk bau yang berasal dari faktor-faktor sistemik, sedangkan Fetor Ex Ore atau Fetor Oris digunakan untuk bau yang berasal dari hidung atau mulut (Lenton, 2011).

Klasifikasi Halitosis


Secara umum, halitosis dibedakan atas 3 jenis yaitu halitosisgenuine, pseudo
dan halitophobia.

1. Halitosis sejati (genuine)

Halitosis tipe sejati (genuine) dibedakan atas halitosis fisiologis dan patologis (Yaegaki & Coil, 2000).

  • Halitosis fisiologis sering juga disebut halitosis transien atau sementara. Bau tidak sedap yang ditimbulkannya akibat proses pembusukan makanan pada rongga mulut, terutama berasal dari bagian posterior dorsum lidah, terbatas, dan tidak menghambat penderita untuk tetap beraktivitas secara normal serta tidak memerlukan terapi khusus. Kadang-kadang disebut juga sebagai "morning breath‟, yang lebih ditekankan pada masalah kosmetik daripada masalah yang berkaitan dengan kesehatan.

  • Halitosis patologis bersifat permanen, dan tidak bisa hilang hanya dengan metode pembersihan yang biasa sehingga menyebabkan penderita harus menghindar dari kehidupan normalnya (Donaldson, et al, 2007). Halitosis tipe ini harus dirawat dan perawatannya bergantung pada sumber bau mulut itu sendiri.
    Sumber penyebab halitosis patologis dibedakan atas:

  • Intra Oral: Kondisi patologisnya berasal dari dalam rongga mulut dan/atau bagian posterior dorsum lidah.

  • Ekstra Oral: Kondisi patologis berasal dari luar rongga mulut (misalnya, saluran pencernaan, saluran pernafasan, gangguan sistemik, dan lain-lain).

2. Halitosispseudo

Halitosis ini disebut juga halitosis palsu, yaitu halitosis yang sebenarnya tidak terjadi tetapi penderita merasa bahwa mulutnya berbau. Seseorang terus mengeluh adanya bau mulut tetapi orang lain tidak merasa orang tersebut menderita halitosis (Jens & Peter, 2005).

3. Halitophobia

Apabila setelah berhasil dilakukan perawatan terhadap halitosis genuine maupun halitosis pseudo, penderita masih tetap merasa mulutnya berbau, maka orang tersebut dikategorikan sebagai halitophobia (Lenton, 2011).

Faktor Etiologi


penyebab bau mulut

Etiologi atau penyebab dari bau mulut dapat bersumber dari 2 tempat, yaitu:

1. Faktor intra-oral

  • Bakteri
    Dalam kebanyakan kasus (80-90%), bakteri yang hidup di dalam mulut adalah salah satu penyebab bau mulut. Tempat-tempat yang biasa ditempati hidup bakteri antara lain:

    1. Lidah
      Daerah lidah yang paling banyak ditempati bakteri adalah bagian posterior karena pada daerah ini terdapat plak gigi yang merupakan tempat ideal untuk bakteri.Tekstur permukaaan lidah menentukan penimbunan plak. Penderita dengan lidah yang bercelah dan beralur dalam akan lebih potensial untuk akumulasi plak dibandingkan dengan lidah penderita yang permukaannya lebih licin (Nachnani, 2008).

    2. Batas gusi dan interdental
      Daerah batas gusi baik di sekeliling dan di antara gigi merupakan lingkungan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan bakteri terutama pada penderita dengan penyakit periodontal (Nachnani, 2008).

    Beberapa bakteri yang menyebabkan halitosis adalah bakteri jenis anaerob yaitu bakteri Bacteriodes forsythus, Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Peptostreptococcus mikro, Campylobacter rectus, Fusobacterium nucleatum (Roldan, et al., 2003; Donaldson, 2005).

    Bakteri anaerob dan banyak bakteri gram negatif dalam rongga mulut mendegradasi protein dari sisa-sisa makanan, sel deskuamatif oral mukosa, protein saliva, leukosit, plak, dan pembusukan microbial untuk menghasilkan asam amino. Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine menghasilkan H2S, L. metionine menghasilkan CH3SH, L. cistine menghasilkan (CH3)2S.

    Bau dari gas VSC hampir 90% terdiri atas hidrogen sulfida dan methyl merkaptan, sedangkan dimetilsulfida hanya sebagian kecil (Donaldson, 2005).Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan lidah.Bakteri tersebut secara normal ada disana karena bakteri tersebut membantu proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein (Djaya, 2000).

    Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya (Loesche, 1997). Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik (Djaya, 2000). Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya.

    Porphyromonas gingivalis dan prevotella intermedia secara normal terdapat dalam plak supragingival dan sangat efektif dalam pembentukan halitosis (Kleinberg, 1997). Peran Porphyromonas gingivalis dalam halitosis adalah dengan memproduksi metil mercaptan (CH3SH) yang merupakan salah satu komponen mayor dari gas VSC. Peran Prevotella intermedia dalam halitosis adalah dengan memproduksi hidrogen sulfida (H2S) yang juga merupakan salah satu komponen mayor gas VSC (Loesche, 2000).

    Porphyromonas gingivalis
    Gambar. Porphyromonas gingivalis

  • Penyakit periondontal
    Penyakit periodontal merupakan penyebab kedua terbanyak bau mulut. Biasanya timbul setelah usia 35 tahun. Pada penyakit periodontal, infeksi bakteri terdapat pada jaringan sekitar gigi. Bila lebih lanjut dapat mengakibatkan destruksi tulang sekitarnya menyebabkan pembentukan periodontal pockets yang sulit dibersihkan sehingga merupakan tempat ideal untuk bakteri (Koshimune, et al, 2003).

  • Xerostomia
    Adanya cairan mulut membuat kita menelan.Setiap menelan kita membuang bakteri, makanan dan debris.Kelembaban ini juga melarutkan dan membuang kotoran yang diproduksi bakteri.Selain itu, saliva juga mempunyai senyawa yang dapat membunuh bakteri dan menetralkan kotoran yang diproduksinya. Oleh karena itu mulut yang mengalami kekeringan akan menimbulkan bau yang persisten (Koshimune, et al, 2003; Ellis, 2009).

2. Faktor ekstra-oral

Sekitar 10% diperkirakan penyebab halitosis adalah faktor ekstra oral (Ellis,
2009).

  • Makanan/minuman
    Makanan dapat menyebabkan bau mulut, dan yang terbanyak adalah bawang merah dan bawang putih karena kadar sulfurnya yang tinggi. Minuman seperti kopi juga dapat menyebabkan bau mulut. Makanan atau minuman ini akan dicerna menjadi molekul-molekul yang beberapa diantaranya mempunyai bau. Molekul- molekul ini akan diabsorsikan masuk ke dalam sirkulasi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Ketika melalui paru-paru, beberapa molekul ini dilepas sehingga saat kita menghembuskan nafas, nafas kita akan mengandung molekul yang berbau ini (Koshimune, et al 2003).

  • Merokok
    Bau mulut perokok disebabkan oleh tar, nikotin dan lainnya yang berasal dari rokok yang berakumulasi di gigi dan jaringan mulut (lidah, gusi, dan sebagainya). Merokok juga akan mengeringkan jaringan mulut sehingga mengurangi efek pencucian dan buffer oleh saliva terhadap bakteri dan kotoran yang dihasilkannya (Kleinberg, 1995).

  • Obat-obatan
    Penggunaan obat-obatan juga mempengaruhi bau mulut karena beberapa obat bisa menyebabkan kekeringan pada mulut (Trudie, 2011).

    Obat-obat yang menyebabkan kekeringan mulut (Trudie, 2011) antara lain :

    • Antiparkinson
    • Antihistamin atau dekongestan
    • Antipsikotik
    • Antikolinergik
    • Narkotik
    • Antihipertensif
    • Antidepresan
  • Gangguan saluran pernafasan
    Gangguan saluran pernafasan meliputi gangguan saluran pernafasan atas (sinusitis kronik, obstruksi nasal, abses nasofaringeal dan karsinoma laring) dan gangguan saluran pernafasan bawah (bronchitis, bronkiektasis, pneumonia, abses pulmonal,karsinoma paru).

  • Gangguan saluran pencernaan
    Gangguan saluran pencernaan seperti penyakit fistula lambung dan ulser lambung.

  • Penyakit sistemik
    Penyakit sistemik bisa mempengaruhi bau mulut dan setiap penyakit- penyakitnya mempunyai bau yang bervariasi atau khas.

Mekanisme Terjadinya Halitosis


Dr. Joseph Tonzetich dari Universitas of British Columbia, Vancouver, Canada adalah pelopor yang mengubah halitosis, menjadi suatu ilmu tersendiri. Tonzetich bahwa gas/senyawa sulfur yang mudah menguap atau dikenal sebagai Volatile Sulfur Compound (VSC) merupakan penyebab utama halitosis. Dr. Tonzetich dan kawan-kawan telah berhasil menemukan senyawa gas VSC yang berbau tidak sedap tersebut dengan bantuan gas chromatograph. Gas VSC ini terbentuk melalui reaksi-reaksi dari bahan-bahan yang ada di dalam mulut yang tidak mudah menguap, khususnya protein dengan bakteri-bakteri anaerob yang ada didalam mulut.

Beberapa studi telah pula membuktikan bahwa gas VSC ini juga mengakibatkan gangguan patologis maupun fisiologis terhadap jaringan-jaringan di sekitarnya. Menurut Dr. Tonzetich, gas VSC yang mempunyai peranan utama terhadap terjadinya halitosis adalah hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimethyl mercaptan(CH3)2S.

Reduksi asam amino menghasilkan gas VSC
Gambar Reduksi asam amino menghasilkan gas VSC

Parameter Halitosis


1. VSC (Volatile Sulfur Compound)

Halitosis biasanya disebabkan oleh Volatile Sulfur Compound (VSC) yang terdiri dari hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimetil sulfide [(CH3)2S]. Sebagian besar dari komponen ini merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri anaerob di dalam mulut, bakteri tersebut akan bereaksi dengan protein-protein yang terdapat pada sisa makanan, cairan gingival, plak interdental dan saliva, lalu protein tersebut diurai oleh bakteri menghasilkan asam amino, bakteri yang berperan dalam produksi gas VSC umumnya adalah bakteri anaerob gram negatif yang bersifat proteolitik, yang memerlukan protein untuk kelangsungan hidupnya, sehingga protein akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino (Fukui & Yaegaki,et al., 2008).

Kemudian asam amino mengalami degradasi menjadi asam amino yang mengandung sulfur yang akan menghasilkan gas VSC. Terdapat 3 asam amino utama yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine menghasilkan H2S, L. metionine menghasilkan CH3SH, L. cistine menghasilkan (CH3)2S. Bau dari gas VSC hampir 90% terdiri dari Hidrogen sulfida dan Methyl mercaptan, sedangkan Dimetil sulfida hanya sebagian kecil (Quirynen, 2003; Roldan,et al., 2003).

Gas VSC tidak saja dapat menghasilkan bau yang tidak enak tapi juga berpotensi menjadi patogen untuk penyakit periodontal dengan cara berpenetrasi ke dalam membran sel dan mengganggu metabolisme sel tersebut (Rosing,et al., 2002). Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa level gas VSC seseorang dalam mulut berhubungan dengan kedalaman dari poket periodontal yang ada, jumlah gas VSC akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah, kedalaman dan tendensi perdarahan dari poket periodontal, namun demikian tidak semua kasus oral malodour berkaitan dengan adanya gejala gingivitis dan/atau periodontitis (Quirynen, 2003).

2. Skor Organoleptik

Skor organoleptik diperoleh dari hasil pengukuran organoleptik yang dikalibrasikan. Hasil dinyatakan dengan skor (Qian & Yaegaki, 2007):

0 = bau mulut tidak terdeteksi
1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis 2 = halitosis ringan
3 = halitosis terdeteksi
4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator 5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator

3. Tongue Coating score

Permukaan dorsum lidah adalah tempat utama bagi bakteri yang menimbulkan gas VSC. Karena sifat papiler dari dorsum lidah dapat mendukung akumulasi bakteri mulut.Tongue Coating merupakan bagian penting dalam mengembangkan bau mulut tak sedap dari mulut (Nachnani, 2008).

Tongue Coating juga dipercaya sebagai salah satu daerah pembentuk gas VSC pada manusia sehat.Tongue Coating terbentuk dari deskuamasi sel-sel epitel, sel darah dan bakteri.Lebih dari 100 bakteri terdapat dalam sel epitel pada dorsum lidah, dimana hanya 25 bakteri yang melekat pada setiap sel pada rongga mulut. Karena itu Tongue Coating juga berperan dalam proses pembusukan sehingga dihasilkan gas VSC (Yaegaki, 2007).

Skor dari Tongue Coating dapat diperoleh melalui perkalian dari skor ketebalan Tongue Coating dengan skor area yang terdapat Tongue Coating menurut (Nachnani, 2008). Skor untuk ketebalan ditunjukkan dengan nilai

0 = tidak terdapat Tongue Coating,
2 = terdapat lapisan tipis Tongue Coating dengan papilla yang masih dapat terlihat dan
3 = lapisan Tongue Coating yang tebal dan papilla tidak terlihat (Tanaka,et al., 2003).

Miyazaki, et al., 2006 mengatakan skor Tongue Coating ada atau tidak dalam 3 daerah.

Sedangkan menurut Yaegaki, Tounge Coating dibagi menjadi 3 kelas, yaitu :

  • Kelas 1. Coating menutupi 1/3 posterior dorsum lidah

  • Kelas 2. Coating menutupi 2/3 dorsum lidah

  • Kelas 3. Coating menutupi seluruh lidah

Tongue Coating termasuk poket periodontal merupakan sumber utama pembentukan gas VSC pada pasien penyakit periodontal dan berperan penting dalam mempercepat pembentukan gas VSC. Pembuangan Tongue Coating dapat mengurangi gas VSC (Yaegaki, 2007).

Pada sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara mekanisme penghapusan Tongue Coating dan penurunan kadargas VSC, termasuk penurunan tingkat metil mercaptan dan hidrogen sulfida namun penurunan ini bervariasi tergantung pada perangkat yang digunakan untuk menghapus lapisan, yaitu sikat gigi atau lidah scraper (Roldan, 2003).

Diagnosis Halitosis


Diagnosis halitosis perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab halitosis melakukan tindakan pencegahan maupun perawatannya.Ada banyak metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis halitosis. Cara sederhana yang biasa dilakukan adalah dengan mengeruk bagian posterior dorsum lidah menggunakan sendok plastik. Bau sendok kemudian dicium dan dibandingkan dengan bau lainnya di dalam mulut (cit Pintauli & Hamada, 2008).

Pengukuran halitosis yang paling utama dapat dilakukan dengan empa tcara, yaitu (Yaegaki, et al., 2000):

1. Organoleptik Measurement (OM)

Pengukuran dengan mencium langsung udara pernafasan yang terpancar dari mulut. Subjek diinstruksikan untuk menutup mulutnya selama 1 menit dan bernafas melalui hidung, setelah itu subjek menghela nafas secara perlahan-lahan, dengan jarak kurang lebih 10 cm antara subjek dengan pemeriksa. Nilai organoleptik diukur sebanyak 2 kali. Hasil penelitian berskala 0-5 yaitu:

0 = bau mulut tidak terdeteksi
1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis
2 = halitosis ringan
3 = halitosis terdeteksi
4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator
5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator

Organoleptik measurement merupakan gold standard untuk mengukur bau mulut karena banyak senyawa organik penyebab bau mulut yang tidak dapat diukur menggunakan gas chromatograph atau pengukuran lainnya.Penilaian organoleptik ini memiliki kekurangan di antaranya hasil dari penilaian ini kurang objektif, karena adanya variabilitas antar pemeriksa Oleh karena itu, peneliti harus dikalibrasi terlebih dahulu (Nachnani, 2008; Rosing, 2011).

2. Gas Chromatograph (GC)

Gas chromatograph terdiri atas dua macam, yang pertama dilengkapi dengan Flame Photometric Detector (FPD) dan yang kedua dilengkapi dengan Semicondutor Sensor (SCS). Kedua gas tersebut digunakan untuk mengukur kadar gas VSC.

GC-FPD memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pengukuran menggunakan GC- FPD memberikan hasil pengukuran dengan tingkat reproduksibilitas yang tinggi dan alat ini dapat mengukur kadargas VSC secara terpisah, sedangkan kekurangan alat tersebut di antaranya adalah harganya yang mahal, diperlukan operator yang ahli (tidak semua orang dapat mengoperasikan alat tersebut) dan tidak praktis.

GC-SCS memberikan hasil pengukuran yang akurat karena alat ini memiliki semiconductor gas sensor (SCS) indium oxide (In2O3) yang sangat sensitif terhadap komponen gas VSC, alat ini dapat mendeteksi masing-masing komponen secara terpisah. Ada tiga zat yang dapat kita ukur, yaitu hidrogen sulfida (H2S), metil merkaptan (CH3SH), dan metil sulfida [(CH3)2S]. Jika terdapat H2S yang dominan pada udara di dalam mulut, maka diduga terdapat penyakit periodontal. Sedangkan (CH3)2S meningkat pada kondisi liver dan biasanya merupakan komponen minor dari gas VSC.

3. Monitoring Sulfida

Salah satu alat mengukur halitosis adalah halimeter. Halimeter merupakan alat monitoring sulfida portable yang penggunaannya mudah dan sederhana, hal ini mungkin disebabkan karena alat ini kecil dan mudah dibawa kemana-mana. Halimeter sangat membantu dan dapat memberikan hasil bacaan gas VSC sampai ppb (part per billion) seperti kemampuan hidung manusia.

Dengan menggunakan alat ini, Miyazaki (1995), menemukan adanya hubungan antara gas VSC dan adanya lapisan pada lidah (Tongue Coating). Selain itu, ia menemukan adanya hubungan antara gas VSC dengan gingivitis dan penyakit periodontal. Sebelumnya, Yaegaki dan Sanada (1992) telah melaporkan adanya hubungan ini dengan menemukan bahwa gas VSC lebih banyak dijumpai pada kelompok yang menderita penyakit periodontal (Miyazaki, 2006).

Kelemahan alat ini adalah membutuhkan waktu untuk mengkalibrasi kembali dan pengukuran tidak dapat dilakukan apabila subjekmenggunakan alkohol atau minyak pewangi, dengan kata lain pengukuran dapat berpengaruh jika subjeknya menggunakan parfum, hairspray, deodorant, dan lain-lain (Nachnani, 2008; Ueno, 2008).

4. Oral chroma

Alat ini adalah alat untuk mendeteksi halitosis yang cara penggunaannya sederhana dilengkapi dengan sensor oksida semikonduktor baru diciptakan gas indium (SCS) untuk mengukur konsentrasi gas VSC dalam mulut. Alat ini mengukur senyawa hidrogen sulfida, dimetil sulfida, yang menjadi penyebab utama terjadinya halitosis. Alat ini menampilkan masing-masing konsentrasi gas H2S, CH3SH, CH3(H2S). Sangat mudah digunakan dan hanya memerlukan delapan menit untuk menganalisis sampel (Imazukita & Thurumi-ku, 2007).

Penatalaksanaan Halitosis


Halitosis pada dasarnya dapat dirawat atau dikontrol sehingga tidak mengganggu seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya serta untuk meningkatkan rasa percaya diri seseorang. Tugas seorang dokter gigi adalah untuk membedakan bau mulut sebagai kelainan di dalam mulut atau di luar mulut.Oleh karena itu penatalaksanaan halitosis tergantung pada faktor penyebabnya. Bila disebabkan kelainan dalam mulut, umumnya terjadi akibat sisa-sisa makanan yang membusuk oleh bakteri karena kebersihan mulut yang buruk (Scully, 2008; Trudie, 2011).

Tugas dokter gigi adalah untuk membedakan bau mulut sebagai kelainan di dalam atau diluar mulut. Berbagai cara yang dianjurkan para ahli adalah :

  1. Menyikat gigi
    Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari.Usahakan untuk menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat lunak dan kepala sikat yang kecil sehingga bisa menjangkau semua area di dalam mulut.Setidaknya penyikatan gigi dilakukan selama 2 menit terutama diperhatikan daerah pertemuan gigi dan gingival.Penyikatan gigi setidaknya disertai dengan penggunaan pasta gigi yang mengandung fluor untuk mencegah karies gigi sekaligus.

  2. Membersihkan lidah
    Tidak hanya gigi dan gusi saja, tetapi sebaiknya lidah disikat minimal satu kali sehari.Apabila tidak menggunakan sikat gigi, maka gunakan pembersih lidah untuk menyikat lidah oleh karena lapisan di bagian posterior dorsum lidah sering merupakan sumber bau nafas yang tidak sedap.

  3. Menggunakan benang gigi
    Sebaiknya benang gigi digunakan satu kali sehari setelah menyikat gigi, namun bila memungkinkan dilakukan dua kali sehari. Sebaiknya pasien bertanya kepada dokter gigi tentang cara menggunakan benang gigi agar pembersihan yang dilakukan lebih efektif. Biasanya, benang gigi dipotong dulu kira-kira sepanjang 40 cm, dan kemudian diputarkan di kedua jari tengah kiri dan kanan. Benang dimasukkan ke celah di antara gigi dan ditahan dengan ibu jari agar kuat dan tidak lepas ketika dilakukan gerakan seperti menggergaji. Tindakan ini dapat membersihkan celah gigi yang sempit yang tidak dapat dicapai sikat gigi.

  4. Menggunakan obat kumur
    Obat kumur adalah larutan dengan rasa yang nyaman, mengandung antibakteri dan berguna untuk menyegarkan mulut dan mouthwash adalah sediaan cair dengan viskositas yang tidak terlalu kental dan tidak terlalu cair, dengan rasa yang enak (Lee, 2010).

    Karakteristik mouthwash yang ideal yaitu:

    1. Membasmi kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan mulut dan gigi
    2. Tidak menyebabkan iritasi
    3. Tidak mengubah indera perasa
    4. Tidak menganggu keseimbangan flora mulut
    5. Tidak meningkatkan resistensi mikroba
    6. Tidak menimbulkan noda pada gigi

    Pada dasarnya, di luar fungsi penyegar, mouthwash juga berfungsi:

    1. Mencegah terjadinya pengumpulan plak
    2. Mencegah dan mengobati gingivitis
    3. Mencegah atau mengobati sariawan
    4. Mengobati Candidasis (mouthwash yang mengandung khlorheksidin)
    5. Membantu penyembuhan gusi setelah operasi pada rongga mulut
    6. Menghilangkan sakit akibat tumbuhnya gigi
    7. Mencegah atau mengurangi sakit akibat inflamasi

    Ada berbagai jenis obat kumur, berikut adalah tipe-tipenya (Adlerova,et al., 2008; Lee, 2010):

    1. Obat kumur kosmetik
      Obat kumur tipe ini didesain hanya untuk mengatasi bau mulut. Obat kumur ini dapat menyegarkan mulut, menyembunyikan bau mulut, dan membuat gigi terasa bersih, tetapi obat kumur ini tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi bakteri atau plak.Oleh karena itu, obat kumur jenis ini tidak memproteksi gigi terhadap karies.

    2. Obat kumur antiseptik
      Obat kumur jenis ini dapat melakukan lebih dari sekedar mengatasi bau mulut.Obat kumur jenis ini secara aktif memerangi plak dan memproteksi gigi dari karies.Selain itu, obat kumur jenis ini direkomendasikan kepada pasien dengan penyakit gusi.

    3. Obat kumur fluoride
      Obat kumur jenis ini diperuntukkan bagi mereka yang rentan terhadap karies gigi karena obat kumur jenis ini membantu memperkuat enamel gigi.

    4. Obat kumur natural/herbal
      Obat kumur jenis ini bebas dari kandungan alkohol dan memiliki cara kerja yang sama dengan obat kumur konvensional lainnya, membantu mengurangi bau mulut, contohnya adalah ekstrak teh hijau, dan ada juga para ahli yang menyarankan penggunaan klorofil, spirulina, dan ganggang (Nachnani, 2008).

    5. Obat kumur khlorheksidine
      Obat kumur jenis ini adalah anti plak yang paling efektif dan anti gingivitis. Namun penggunaan khlorheksidine dalam mengatasi halitosis belum banyak dipelajari. Hal ini bisa saja dikarenakan kebutuhan untuk penggunaan jangka panjang dari khlorheksidine pada konsentrasi yang biasa (0,2% dan 0,12%) bisa menimbulkan efek samping seperti perubahan warna pada gigi (Rosenberg, 1992; Roldan, 2003).

    6. Obat kumur klorindioksida
      Beberapa studi menunjukkan bahwa klorindioksida (ClO2) memiliki kemampuan untuk mengoksidasi langsung gas VSC namun hanya efektif untuk jangka waktu yang pendek (Roldan, 2003).

  5. Cara-cara tradisional
    Disamping cara-cara yang telah dijelaskan diatas, pada sementara masyarakat dipergunakan pula cara-cara tradisional yang diyakini dapat menghilangkan halitosisakan tetapi mekanisme kerjanya belum jelas dan merupakan kebiasaan turun temurun.

    Cara-cara ini misalnya penggunaan tomato juice, anjuran mengunyah parsley, makan chlorophyl, pemakaian ragi, ekstrak teh, di Jepang masyarakat menggunakan sejenis rempah-rempah yang disebut “Kampo”, juga di Indonesia ada yang menggunakan ramuan dari daun mangkokan (Mailina, 2007).

    Di Timur Tengah, kapulaga adalah rempah yang telah digunakan berabad- abad oleh masyarakat Timur Tengah. Rempah ini dikunyah seperti tembakau dan digunakan dalam obat kumur, sabun dan shampoo. “Cineol” kandungan tertinggi yang terdapat pada kapulaga merupakan antiseptik yang dapat membunuh bakteri dan mengurangi bau mulut. Rasanya sedikit pedas, namun jika dijadikan obat kumur terasa sejuk.Bahkan ini biasanya digunakan dalam pembuatan pepermint palsu (Handayani, 2008).

Halitosis didefinisikan sebagai bau tidak enak yang keluar dari rongga mulut, tanpa melihat sumber bahan odorus dalam nafas baik dari oral maupun non-oral. Klasifikasi halitosis dibagi menjadi genuine halitosis, pseudo halitosis dan halitofobia.

Etiologi Halitosis


Berdasarkan penyebabnya, halitosis dapat dikelompokkan menjadi intraoral atau faktor lokal dan ekstraoral atau faktor sistemik.

Faktor intraoral

Dalam rongga mulut, bau mulut biasanya disebabkan karena kebersihan mulut yang buruk, gingivitis, periodontitis, soket gigi yang terinfeksi, sisa darah post bedah, debri yang melekat pada bahan alat gigi, ulser mulut, serostomia dan tongue coating.

Secara normal, rongga mulut merupakan tempat hidup yang baik bagi banyak spesies baik bakteri, jamur, maupun virus, namun pada pasien halitosis intraoral, lebih banyak ditemukan variasi bakteri dari kokobasilus batang gram negatif dan batang gram positif. Walaupun tidak ditemukan hubungan yang pasti antara genus bakteri dengan halitosis, namun dengan adanya peningkatan diversitas spesies dalam subyek halitosis, menunjukkan bahwa interaksi dari beberapa spesies yang justru menimbulkan halitosis.

Kebanyakan komponen odor berasal dari dekomposisi protein diman terdapat sepuluh komponen organik volatil pada pasien halitosis oral berurutan dari yang terbesar sampai terkecil adalah methylbenzene, 2,2-dimethyldecane, 2,2,3,3-tetramethylbutane, 2-propanone, 3-methyl-5-propylnonane, methylcyclohexane, 3- methylhexane, 2-methyl-1-propene, etanol dan methylcyclopentane.

Bahan odor oral yang dihasilkan oleh mikroorganisme antara lain komponen sulfur volatil (terutama metil merkaptan [CH3SH], hidrogen sulfida [H2S] dan dimetil sulfida [CH3SCH3]), poliamin (putresin dan kadaverin) dan asam lemak rantai pendek (asam butirat, asam valerat dan asam propionik).

Komponen sulfur volatil menempati 90% dari total udara dalam rongga mulut. Dalam penelitian yang menganalisis hubungan bakteri penghasil odor dan jenis odor, ditemukan bahwa Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens dan Treponema denticola berkorelasi dengan kadar hidrogen sulfida; Porphyromonas gingivalis, P. intermedia, dan Tannerella forsythensis berkorelasi dengan kadar metil merkaptan. Selanjutnya, metil merkaptan merupakan penyebab utama halitosis dibandingkan hidrogen sulfida dan dimetilsulfida; dimana metil merkaptan dan hidrogen sulfida berasal dari intraoral, sedangkan dimetilsulfida diduga berasal dari ekstraoral.

Tabel Jenis bakteri yang menghasilkan komponen sulfur volatil intraoral dari intraoral, seperti hidrogen sulfida dan metil merkaptan.9

Bakteri Komponen sulfur volatil
P. intermedia hidrogen sulfida
P. nigrescens hidrogen sulfida
T. denticola hidrogen sulfida
P. gingivalis metil merkaptan
P. intermedia metil merkaptan
T. forsythensis metil merkaptan

Faktor ekstraoral

Penyebab ekstraoral dari halitosis antara lain sinusitis kronik, faringitis, laringitis, tonsilitis dan tonsiloliths. Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti kloral hidrat, isorbid dinitrat, dimetil sulfoksida, dilsulfiram, bahan sitotoksik, paraldehid, dan triamteren serta penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit pada sistem respiratorius atau gastrointestinal, gagal organ hepar atau renal, dan gangguan metabolik trimetilamin juga berperan dalam timbulnya halitosis.

Pada halitosis ekstraoral, 90% substansi penyebab dalam saluran gastrointestinal adalah asam lemak (asam asetat, asam propionik dan asam butirat), 6,5% amoniak dan sisanya adalah komponen sulfur (hidrogen sulfida, dan metil merkaptan) dan komponen nitrogen (indol, skatol, piridin, pirol, amonia, trimetilamin).

Diagnosis Halitosis


Secara umum, diagnosis halitosis dapat dilakukan dengan identifikasi kadar bahan volatil yang dihasilkan dan identifikasi mikroba penyebab halitosis. Penggunaan halimeter yang berfungsi mengukur kadar sulfida volatil, tes BANA (N-benzoyl-DL-arginine-2- naphthylamide) yang mengukur kadar sulfida sulkus gingiva, kromatografi gas, pengukuran dengan organoleptik, electronic nose, pemeriksaan kadar salivary β-galactosidase, metoda ninhydrine (kadar amin saliva), inkubasi saliva, cysteine challenge testin, merupakan beberapa cara identifikasi kadar bahan volatil penyebab halitosis.

Cara identifikasi mikroba penyebab halitosis antara lain dilakukan dengan hibridisasi DNA dan real time PCR yang spesifik untuk bakteri tertentu. Teknik kultur mikroba penyebab halitosis, sepertinya tidak dapat digunakan karena sekitar 50% mikrobiota oral tersebut tidak dapat dikultur.

Tabel Metode diagnosis halitosis dikelompokkan menjadi identifikasi bahan volatil dan identifikasi mikroba.

Identifikasi Metode
Identifikasi bahan volatil Halimeter
Tes BANA (N-benzoyl-DL-arginine-2-naphthylamide)
Kromatografi gas
Pengukuran dengan organoleptik
Electronic nose
Pemeriksaan kadar salivary β-galactosidase
Metoda ninhydrine
Inkubasi saliva
Cysteine challenge testing
Identifikasi mikroba Hibridisasi DNA
Real time PCR
Kultur

Terapi Halitosis


Untuk mengatasi halitosis intraoral, dapat dilakukan kontrol terhadap kebersihan mulut, kesehatan jaringan lunak dan keras mulut faktor-faktor pendukung timbulnya halitosis, penggunaan bakteri lain untuk menekan bakteri anaerob gram negatif, dan terapi antimikrobial.

Upaya menghilangkan faktor lokal dapat dilakukan secara :

  1. mekanis dengan cara penyikatan lidah dan gigi,

  2. kimiawi melalui penggunaan obat kumur, pasta gigi, permen karet; dan sistemik kontrol diet dan terapi biologis dengan menggunakan probiotik.

Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba patogen dari biofilm dan tongue coating, sehingga pembentukkan karies dihambat, kadar halitosis menjadi rendah dan risiko penyakit sistemik dapat berkurang.

Secara kimiawi, penggunaan obat kumur klorheksidin diglukonat juga memberikan hasil yang baik terhadap timbulnya halitosis. Bahan lain yang juga dapat memperbaiki kondisi halitosis antara lain zinc chloride dan sodium chloride, TCF (triclosan, copolimer dan NaF), oxygen release device, oxohalogen
oxidant (campuran chlorite anion dan chlorine dioxide) serta minyak esensial.

Kombinasi terapi mekanik dan kimiawi ternyata dapat memperbaiki kondisi halitosis oral, ditandai dengan penurunan kadar komponen sulfur volatil dan organoleptik. Contohnya, pada pasien dengan gigi tiruan, penyikatan gigi tiruan saja ternyata tidak dapat mengurangi halitosis, tetapi penyikatan gigi yang disertai perendaman gigi tiruan dalam larutan antiseptik, ternyata jauh lebih efektif. Dahulu permen karet sering digunakan untuk menghilangkan bau mulut, tetapi ternyata permen karet tidak bergula justru akan meningkatkan kadar metil merkaptan. Rasa mint dalam permen, tidak menurunkan konsentrasi metil merkaptan, tetapi hanya menutupi malodor oral saja.

Modifikasi faktor pendukung timbulnya halitosis, dapat dilakukan dengan mengurangi diet protein. Adanya keseimbangan diet protein dan karbohidrat akan mengurangi pembentukan bahan odor. Daging yang masih berdarah, daging ikan, susu fermentasi, dapat meningkatkan metabolisme protein sehingga bahan odor yang terbentuk akan meningkat pula. Makanan yang banyak mengandung mineral sulfat, juga dapat menimbulkan halitosis.

Berdasarkan penelitian, jika makanan yang banyak mengandung bahan odor dianginkan pada udara kering maka akan mengurangi jumlah mikroorganisme anaerob yang ada didalamnya.

Dewasa ini, dengan banyaknya penelitian rekayasa genetik, banyak bakteri normal maupun patogen, dirancang untuk tidak lagi menimbulkan kondisi patogen bagi tubuh. Bakteri ini dapat menjadi probiotik. Penggunaan probiotik sudah lama dilakukan pada kondisi sistemik, tetapi untuk rongga mulut, hal ini masih relatif baru.

Bau mulut atau halitosis adalah aroma tak sedap saat udara terhembus dari mulut. Penyebabnya bervariasi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebesar 80-90% penyebab bau mulut berasal dari bakteri yang di dalam mulut. Ini berhubungan erat dengan perawatan kebersihan mulut yang buruk, karies gigi, infeksi rongga mulut, mulut kering, merokok, dan sisa makanan yang tersangkut di dalam mulut.

Di samping itu, ada pula bau mulut yang disebabkan oleh faktor di luar rongga mulut. Beberapa di antaranya adalah infeksi saluran penapasan (sinusitis), infeksi saluran pencernaan (GERD), karsinoma dan diabetes mellitus.Akibat suatu kondisi, bakteri di dalam mulut mengeluarkan zat Volatile Sulfur Compounds (VSC) yang disinyalir merupakan asal-muasal timbulnya bau mulut. Nah, bakteri penyebab bau mulut tersebut bersembunyi dan menempel dengan kuat pada lapisan biofilm yang terletak di permukaan lidah dan di balik gusi, sehingga tidak bisa dihilangkan dengan produk kesehatan mulut biasa.

Jika seseorang mengalami bau mulut yang berkepanjangan, satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan menghilangkan seluruh lapisan biofilm secara profesional dengan bantuan dokter gigi. Ini bukan perkara sembarangan, sebab dibutuhkan pembersihan karang gigi dengan alat scaler setiap 6 bulan sekali. Selain itu juga perlu menutup gigi yang berlubang dengan penambalan dan pencabutan sisa akar gigi yang busuk.