Apa yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir?

Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir merupakan salah satu ragam hadis yang terjamin dan memiliki kualitas dibanding jenis hadis lainnya. Artinya, hadis yang mutawatir sudah bisa dipastikan datang dan diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Tidak ada lagi keraguan di dalamnya.

Mutawatir artinya berturut-turut atau beruntut. Para ulama menyepakati bahwa Hadis Mutawatir adalah sejenis riwayat yang disampaikan oleh banyak orang dalam tiap tingkatannya. Meskipun ada perbedaan soal jumlah perawinya; ada yang bilang harus 10 perawi di setiap tingkatan, 20 rawi, 30 atau bahkan 40 rawi. Intinya, jumlah perawi yang banyak ini menutup kemungkinan sebuah periwayatan dimanipulasi dan dibikin-bikin.

Apa yang dimaksud dengan Hadis Mutawatir ?

Menurut bahasa, kata al-muṭawatîr adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”_al-tawatur_´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut. Sedangkan menurut istilah, hadis muṭawatîr adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua tabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.

Sedangkan menurut Fatchurrahman, secara definitif hadis muṭawatîr adalah:

Suatu hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.

Dalam ilmu hadis maksudnya ialah hadis yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil baginya berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadis itu. Pengertian di atas, kalau dipecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi muṭ awatîr yaitu:

  • Mesti banyak sanadnya.

  • Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad- sanad, umpamanya: dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun sedikitnya mesti 50 orang.

  • Mesti menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi, maupun berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan.

Oleh karena rawi terakhir yang mendewankan hadis secara resmi ke dalam dewan hadis itu, tidak hidup sezaman dengan Rasulullah SAW, maka sudah barang tentu hadis Rasulullah yang sampai/kepadanya untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber pemberita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’in yang menerima hadis dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi’it-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama, sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadis, maka hadis tersebut dinamakan hadis muṭ awatîr.

Konsep muṭawatîr ini baru secara definitif dikemukakan al-Baghdadi,
menurut al-Baghdadi, hadis muṭawatîr adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.

Ibn Shalah mendefinisikan mutawatîr adalah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya.

Namun, Ibnu Salah menganggap bahwa hadis muṭawatîr ini termasuk bagian hadis masyhur. Kategori ini diakui oleh al-Asqalani bahwa setiap hadis muṭ awatîr itu hadis masyhur, tetapi tidak sebaliknya. Pemahaman Ibnu Salah terhadap hal ini dapat dibenarkan jika yang dimaksud adalah tersebarnya riwayat yang diketahui oleh orang banyak.

Ulama yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis muṭ awatîr ialah al-Asqalani, yaitu dengan mengatakan bahwa hadis muṭ awatîr adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaannya melakukan kesepakatan untuk berdusta dan meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir (sanad). Jadi, berdasarkan definisi di atas, maka terlihat secara jelas bahwa proses konsep muṭ awatîr ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama lainnya.

Namun pendapat yang dianggap tidak disetujui oleh mayoritas ulama ialah penolakan Ibn Hibban terhadap adanya muṭ awatîr. Hibban menyatakan bahwa hadis itu semuanya ahad, “tidak ada” hadis muṭawatîr. Tentu pendapat Ibn Hibban tersebut banyak ditolak oleh ahli hadis lain karena dalam kenyataannya ada hadis-hadis yang dinilai muṭawatîr. Meskipun demikian, Ibn Hibban menganggap bahwa mengamalkan hadis ahad itu hukumnya wajib karena termasuk qath’i. Pendapat tersebut ditolak oleh ulama lain yang beranggapan bahwa hadis ahad adalah zhanni bukan qath’i, seperti anggapan yang digulirkan Ibn Hibban.

Al-Hakim tidak mengkritik pendapat Ibn Hibban tersebut, padahal al-Hakim sendiri menyakini hadis muṭawatîr itu ada, meskipun al-Hakim tidak mendefinisikan secara jelas. Tampaknya al-Hakim beranggapan bahwa muṭ awatîr adalah bagian dari masyhur seperti dikemukakan oleh ulama sesudahnya atau karena al-Hakim meyakini betul bahwa hadis muṭ awatîr itu sebenarnya tidak termasuk telaah ilmu hadis.

Pendapat Ibnu Hibban di atas dilihat dari situasi yang ada pada waktu itu, tidak dapat disalahkan karena itu sedang berkembang faham rasional Mu’tazilah dan para failasuf yang biasanya hanya mengakui hadis muṭ awatîr, sedangkan hadis muṭ awatîr sedikit sekali jika dibandingkan dengan hadis ahad. Fatwa Ibn Hibban seperti itu dimaksudkan agar setiap orang mengetahui bahwa hadis itu “hanya ahad” dan kendati demikian wajib diamalkan. Artinya seseorang tidak akan dapat mengamalkan agama secara benar jika hanya mempercayai hadis muṭ awatîr yang jarang ada itu.

Hadis muṭawatîr itu cukup banyak sekali. Cukup sebagai buktinya, beberapa syiar Islam dan beberapa kewajiban dalam Islam seperti salat, wudhu’, dan puasa. Selain itu, masih banyak ucapan ataupun perbuatan Nabi yang diriwayatkan dan disepakati oleh umat.

Hadis muṭawatîr juga berada pada tingkatan yang paling tinggi dalam hal menyakinkan penerima informasi. Kedudukannya sejajar dengan Alquran, dalam arti, sama diriwayatkan secara muṭ awatîr. Segolongan ulama berkata bahwa ilmu (keyakinan) yang diperoleh dari khabar muṭ awatîr sama dengan keyakinan yang didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri.

Para ulama sependapat bahwa hadis muṭawatîr harus diterima sebagai berasal dari nabi. Daya ikat hadis muṭ awatîr ini disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang Islam wajib mengamalkannya. Maksudnya, bila di sana Nabi melarang, maka harus disingkirkan.

Klasifikasi Hadis Muṭ awatîr

Banyaknya syarat-syarat hadis muṭ awatîr itu demikian ketatnya maka sebagian ulama seperti ulama Ibnu Hibban dan al-Hazimy menganggap bahwa hadis muṭ awatîr itu tidak mungkin terdapat. Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadis muṭ awatîr jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, orang yang mengatakan bahwa hadis muṭ awatîr jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadis.

Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksud oleh Ibn Salah adalah hadis muṭawatîr lafdzi, maka pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan hadis muṭawatîr lafdzi realitanya memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadis muṭ awatîr jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadis muṭ awatîr ma’nawi atau muṭ awatîr secara umum.

Menurut sebagian ulama, hadis muṭ awatîr itu terbagi menjadi dua, yakni muṭawatîr Lafdzi dan muṭawatîr Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni hadis muṭ awatîr, maknawi, dan ‘amali.

  • Hadis Muṭawatîr Lafdzi
    Yang dimaksud hadis muṭawatîr lafdzi adalah hadis yang muṭawatîr periwayatannya dengan satu redaksi yang sama atau hadis yang muṭawatîr lafal dan maknanya. Dengan kata lain, dapat juga disebut sebagai: Hadis yang muṭawatîr periwayatannya dalam satu lafzi.

    Hadis muṭawatîr lafdzi ialah hadis yang makna dan lafadznya memang muṭawatîr. Contohnya :

    Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka.

    Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat. Ada ulama yang menyebutkan 5, 20, 40, 70, dan 313 orang. Menurut salah seorang ahli ushul Mu’tazilah, Abu al-Husayn Muhammad bin Ali bin al-Thayyib (w.426
    H) diantara persyaratan muṭawatîr adalah hadis yang diriwayatkan lebih empat orang. Begitu pula menurut al-Ghazali, membicarakan masalah “jumlah rawi” tidak ada acuan yang pasti karena sangat berkaitan dengan kebiasaan dan qarinah (alasan/indikator) yang diperlukan masing-masing ulama. Artinya walaupun riwayat itu tidak banyak, tetapi hadis itu sudah menyakinkan, maka sudah termasuk muṭ awatîr.

  • Hadis Muṭawatîr Ma’nawi
    Hadis muṭawatîr ma’nawi ialah suatu hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang mustahil berbuat dusta atau berdusta keseluruhan secara kebetulan. Mereka meriwayatkan berbagai peristiwa dengan berbagai ragam ungkapan, namun intinya sama. Dengan kata lain dapat juga disebut sebagai: Hadis yang maknanya muṭawatîr, tetapi lafadznya tidak.

    Syarat-syarat hadis muṭawatîr ma’nawi sama dengan syarat-syarat pada hadis mutawatîr lafdzi. Perbedaan diantara keduanya hanya terdapat pada matannya. Matan hadis muṭ awatîr lafdzi itu sama, sedangkan dalam hadis muṭ awatîr ma’nawi secara redaksional tidak sama namun, maknanya sama. Ini adalah suatu hal yang telah disepakati, tidak ada problem dan tidak ada perbedaan.

    Contoh hadis ini adalah:

    Abu Musa Al-Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.

    Hadis-hadis yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100 hadis. Masing-masing hadis menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat muṭawatîr. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk muṭawatîr karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.

  • Hadis Muṭawatîr ‘Amali
    Yang dimaksud dengan hadis ini ialah: Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah muṭ awatîr antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.

    Macam hadis muṭ awatîr ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu salat, rakaat salat, salat jenazah, salat id, tata cara salat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.

Kehujjahan Hadis Muṭawatîr


Hadis Muṭawatîr mempunyai nilai ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti). Demikian pula dengan nilai hadis muṭawatîr, semua hadis muṭ awatî bernilai maqbul (dapat diterima sebagai landasan hukum) dan tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.

Rawi-rawi hadis muṭawatîr, tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabithannya (kuatnya ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana yang diberitakan oleh rawi-rawi muṭawatîr.

Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatîr oleh sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan muṭawatîr-nya suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya.

Sedangkan bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan adanya muṭ awatîr, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis muṭ awatîr yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh Imam.

Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang ke-hujjah-an hadis muṭ awatîr yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil „ilmu dharuri yang berdasarkan khabar muṭ awatîr, sama dengan mengingkari hasil
„ilmu dharuri yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indra). Dan dapat dikatakan juga bahwa orang yang megingkari hadis muṭawatîr sama saja dengan mengingkari Alquran karena Alquran juga derajatnya muṭawatîr.

Mutawâtir dalam bahasa Arab dari kata : تَواتَرَ يَتواتُرُ تواتُرًا فهو مُتَواتِرٌ yang berarti المتتابع = yang datang kemudian, beriring-iringan, atau beruntun. Dalam istilah menurut al-Mas’udiy dalam kitab Minhat al-Mughits pengertian mutawatir, yaitu :

مَا رَواهُ مِنَ الاِبْتِدَاءِ الى الانتهاءِ جمعٌ عن جمعٍ تَمْنَعُ العادةُ اتفاقَهُمْ على الْكَذِبِ وهُوَ مِمَّا يُدْرَكُ بالحِسِّ

Hadis yang diriwayatkan oleh segolongan orang banyak dari permulaan sampai akhir sanad sehingga menurut kebiasaan diketahui mustahil mereka sepakat bohong dan Hadis macam ini tergolong yang didapatkan melalui panca indra.

Syarat-syarat Hadits Mutawatir


  • Periwayatnya orang banyak
    Para ulama Hadis berbeda pendapat tentang minimal jumlah banyak pada periwayat Hadis mutawâtir tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat, Abu Thayyib 4 orang (diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim), Ash-habu’sy-syafi’i berpendapat 5 orang (diqiyaskan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi), atau 10 orang, 40 orang, 70 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Pendapaat yang lebih kuat minimal 10 orang.

  • Jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
    Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja, tidak dinamakan mutawatir, tetapi nanti masuk pada Hadis ahad. Kesamaan banyak para periwayat tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya, tetapi yang penting nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal Sanad 2 orang, sanad kedua 3 orang, sanad berikutnya 10 orang, 20 orang dan seterusnya tidak dinamakan mutawâtir. Jika sanad pertama 10 orang, sanad kedua 15 orang, sanad berikutnya 20 orang, 25 orang, dan seterusnya, jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawâtir.

  • Tercegah sepakat bohong
    Misalnya jika para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para periwayat yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan bohong secara uruf (tradisi). Tetapi jika jumlah banyak itu masih memungkinkan adanya kesepakatan bohong tidaklah mutawâtir.

  • Beritanya bersifat indrawi
    Maksudnya berita yang diriwayatkan itu dapat didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata kepala, tidak disandarkan pada logika akal seperti sifatnya alam yang baru. Sandaran berita secara indrawi maksudnya dapat diindra dengan indra manusia, misalnya seperti ungkapan periwayatan: سَمِعْنَا = Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda begini]

Macam-macam Hadits Mutawatir


  • Mutawatir Lafdhi
    adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
    Contoh : مَنْ كَذَّبَ عَليَّ مُتعمِّداً فلْيتَبَوأْ مقعَدَه مِنَ النَّار

    Barang siapa yang mendustakan atas namaku, maka hendaklah bersiap-siap bertempat tinggal di neraka. (HR. Ahmad, Turmudzi, al-Nasa’i, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).

    Al-Suyuthiy menyebutkan bahwa Ibn al-Shalah menyebutkan 62 orang sahabat yang meriwayatkan Hadis di atas dengan susunan redaksi dan makna yang sama. Contoh lain, Hadis tentang telaga (al-hawdh) diriwayatkan lebih 50 orang sahabat, Hadis menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, Hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 orang sahabat, dan lain-lain.

  • Mutawatir maknawi
    ialah hadits mutawatir yang berbeda dalam lafadz tetapi adanya kesamaan dalam makna. Contoh : Hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam berdo`a banyak jumlahnya, di antaranya

    عن أنسٍ قالَ رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَرْفعُ يدَيْهِ في الدُّعاءِ حتى يُرَى بياضُ إبْطَيْهِ (أخرجه مسلم)

    Dari Anas ra berkata : Aku melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a sehingga terlihat keputih-putihan ketiaknya. (HR Muslim)

Hadits Mutawatir

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat muttasil mereka bersepakat terlebih dahulu berdusta (atas nama Nabi Muhamad SAW).

Para ahli hadits membagi hadits mutawatir menjadi tiga bagian, yaitu:

  • Mutawatir lafdzi, yaitu qhobar yang sama bunyi lafadh para perawi padanya walaupun pada hukum ada pada maknanya.

  • Mutawatir maknawi, yaitu hadits yang berlainann bunyi dan maknanya tetapi kembali kembali pada makna yang umum.

  • Mutawir amali yaitu sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia dari agama dan telah mutawatir di antaranya umat islam. Bahwa Nabi Muhammad SAW adalah mengerjakannya, atau menyuruhnya, atau selain dari itu dan dialah yang dapat diterapkan atasnya ta’rif ijma’ dirasyah.9

Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan mutawatir yaitu :

  • Diriwayatkan oleh banyak rawi

    Dalam hal ini tidak ada kesepakatan ulama’ ada yang mengatakan minimal 10 orang. Ada yang berpendapat 12 orang, 20 orang hal itu didasarkan pada surat al-Anfal, tentang sugesti Allah kepada orang-orang yang mukmin yang hanya dengan 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang yaitu:

    “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang musuh .” Dan ada pula yang menyatakan minimal 40 orang, 70 orang atau bahkan 313 orang.

  • Adanya keyakinan, bahwa mereka tidak mungkin sepakat berdusta.

  • Adanya kesamaan dan keseimbangan jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqat.

  • Berdasarkan tanggapan panca indera.