Apa yang dimaksud dengan gugatan?

gugatan

Gugat (KBBI) adalah mendakwa; mengadukan (perkara): menuntut (janji dan sebagainya); membangkit-bangkitkan perkara yang sudah-sudah; mencela dengan keras; menyanggah:

Gugatan adalah tuntutan; celaan; kritikan; sanggahan;

Apa yang dimaksud dengan gugatan dilihat dari sisi hukum ?

Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak Penggugat dan Tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya karena pihak Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak Penggugat.

Sengketa yang dihadapi oleh para pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan.

Isi Gugatan dan Posita atau Fundamentum Petendi

Suatu gugatan yang diajukan oleh Penggugat agar dapat diterima oleh pengadilan haruslah memenuhi syarat-syarat yang ada di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten), antara lain sebagai berikut:

a. Syarat Formal

  1. Tempat dan Tanggal Pembuatan Surat Gugatan
    Pembuatan surat permohonan gugatan harus mencantumkan tempat di mana surat permohonan gugatan dibuat. yang dimaksud tempat di sini adalah tempat tinggal atau domisili pembuat surat permohonan gugatan.

  2. Materai
    Surat permohonan gugatan dibubuhi materai sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) dan di atas materai diberi tanggal, bulan, dan tahun sesuai dengan tanggal pembuatan surat permohonan, sedangkan tanda tangannya harus dikenakan pada bagian materai yang ditempel di atas nama Penggugat atau kuasa hukumnya.

  3. Tanda Tangan
    Surat permohonan gugatan harus ditandatangani oleh pihak Penggugat atau kuasa hukumnya yang telah diberi surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR.

b. Syarat Substansial

Identitas Para Pihak Yang Berperkara
Suatu gugatan harus disebutkan dengan jelas identitas para pihak yang bersengketa atau subjek hukumnya yang menyangkut tentang nama lengkap, pekerjaan, dan alamat tempat tinggal atau domisili para pihak yang bersengketa secara detail yang berguna untuk menentukan kewenangan relatif, yaitu yaitu pengadilan mana yang berhak menangani suatu perkara sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) dan (2) HIR jo. Pasal 142 ayat (1), (2), dan (3) RBg.

Apabila dalam hal Penggugat atau gugatannya terdiri dari perseorangan, badan hukum, badan usaha dan negara, maka harus jelas disebutkan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran dasarnya.

Pasal 118 ayat (1) dan (2) HIR:

  1. Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh Penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa Tergugat bertempat diam, atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.

  2. Jika Tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal salah seorang dari Tergugat itu, yang dipilih oleh Penggugat. Jika Tergugat-tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai pertuang utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 dari Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (RO).35

Pasal 142 ayat (1), (2), dan (3) RBg:

  1. Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh Penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal Tergugat atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.

  2. Dalam hal ada beberapa Tergugat yang tempat tinggalnya tidak terletak di dalam wilayah satu pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berada di wilayah salah satu di antara Para Tergugat menurut pilihan Penggugat. Dalam hal Para Tergugat berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya, maka sepanjang tidak tunduk kepada ketentuan- ketentuan termuat dalam ayat (2) Pasal 6 Reglemen susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia (selanjutnya disingkat RO) gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang berutang pokok (debitur pokok) atau seorang di antara para debitur pokok.36

  3. Apabila tempat tinggal Tergugat tidak dikenal dan juga tempat kediamannya yang sebenarnya tidak dikenal atau Tergugat tidak dikenal maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari Para Penggugat.

Sedangkan Posita atau Fundamentum Petendi adalah dalil-dalil yang digunakan dalam surat permohonan gugatan yang merupakan alasan-alasan dari adanya suatu tuntutan dari pihak Penggugat. Surat permohonan gugatan posita-nya harus secara jelas menyebutkan tentang objek perkara, fakta hukum, kualifikasi perbuatan Tergugat, uraian kerugian, bunga dan denda, serta petitum (tuntutan pokok).

Surat permohonan gugatan juga harus mempunyai alasan-alasan yang kuat. Apabila dalam gugatan yang diajukan tidak mempunyai alasan-alasan yang kuat, maka gugatannya dalam persidangan akan berakibat dinyatakan tidak dikabulkan oleh hakim yang memeriksa perkaranya.

Referensi :

  • Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan (Bisri, 1998). Menurut Mertokusumo (2002) gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Sementara itu, menurut Darwin Prinst yang dikutip oleh Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut (Mulyadi, 1996).

Jenis-Jenis Gugatan


Dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan, diantaranya (Harahap, 1996):

1. Gugatan Permohonan (Voluntair)
ugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan. Sebagaimana sebutan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan:

“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan perdilan mengandung pengrtian di dalamnya penyelesaian masalahyang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair”

Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah:

  • Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.
  • Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
  • Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.
  • Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.

2. Gugatan (Contentius)
Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang berbentuk gugatan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious.

Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya adalah:

  • Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
  • Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
  • Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.
  • Para pihak disebut penggugat dan tergugat.

Bentuk Gugatan


Tiap-tiap orang proses perdata, dimulai dengan diajukannya surat gugatan secara tertulis bisa juga dengan lisan yang kemudian ditulis kembali atas pemintaan Ketua Pengadilan Agama kepada paniteranya. Gugatan secara lisan ialah bilamana orang yang hendak menggugat itu tidak pandai menulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum orang yang hendak digugat itu bertempat tinggal (Sulistini, 1987). Selanjutnya untuk lebih jelasnya mengenai bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

  • Bentuk Lisan

    Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajaukan secara lisan kepada ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan tersebut membuat catatan atau menyuruh mebuat catatan tentang gugatan itu. Dan dalam R.Bg menyatakan bahwa gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan (Fauzan, 2005).

    Tujuan memberikan kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk membuka kesempatan kepada para rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan mempertahankan hak-haknya. Menghadapi kasus yang seperti ini fungsi pengadilan untuk memberikan bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 HIR atau pasal 143 ayat 1 R.Bg jo. Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam memberi bantuan memformulasikan gugat lisan yang disampaikan, ketua pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan yang dikehendaki penggugat (Harahap, 1996).

    Untuk menghindari hal di atas, maka hakim atau pegawai pengadilan yang ditunjuk oleh ketua pengadilan dalam merumuskan gugatan lisan dalam bentuk surat gugatan dapat melaksanakan langkahlangkah berikut, yaitu: mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian merumuskan dalam surat gugatan yang mudah dipahami; gugatan yang telah dirumuskan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi sengketa dan tuntutan telah sesuai dengan kehendak penggugat; apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugatan itu ditandatangani oleh hakim atau pegawai pengadilan yang merumuskan gugatan tersebut.11

  • Bentuk Tertulis
    Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa:

“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.” (Rambe, 2004)

Mengenai gugatan tertulis selain dijelaskan dalam HIR, juga dijelaskan dalam R.Bg pasal 142 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tegugat, atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.”

Prinsip-Prinsip Gugatan


Dalam praktek di peradilan, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik menyusun gugatan, hal ini disebabkan karena banyaknya perkara yang berbeda-beda dan selera penggugat atau kuasa penggugat dalam menyusun surat gugatan. Oleh karena itu, Hukum Acara Perdata menganut beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan, hal ini dilakukan karena tidak semua konflik dapat diajukan ke muka pengadilan. Berikut ini beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan perdata, yaitu:14

  • Harus Ada Dasar Hukum
    Menyusun surat gugatan bukan hanya sekedar untuk mencari perkara saja. Membuat gugatan kepada seseorang harus terlebih dahulu diketahui dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Selain itu, dasar hukum dalam gugatan yang diajukan kepada pengadilan harus dicantumkam karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah-masalah dalam persidangan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan jawab menjawab, membantah jawaban lawan, dan pembuktian. Kemudian dalam mempertahankan dalil gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat membantu hakim dalam upaya menemukan hukum (law making) dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.

  • Adanya Kepentingan Hukum
    Syarat Mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan hukum secara langsung. Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu, sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan terlebih dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah penggugat betul orang yang berhak mengajukan gugatan. Kalau ternyata tidak berhak maka ada kemungkinan gugatannya tidak akan diterima.

  • Merupakan Suatu Sengketa
    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama adalah mengadili perkara yang mengandung tuntutan hak perdata yang bersifat sengketa. Pengertian perdata sebenarnya lebih luas daripada sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagaian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada sesuatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya perlu lewat pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak diminta putusan pengadilan melainkan hanya penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua pihak.

    Tindakan hakim yang demikian disebut jurisdictio volutaria, seperti permohonan ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, istbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (Juridictio Voluntaria) itu hanya kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka pengadilan dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut.

  • Dibuat dengan Cermat dan Terang
    Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugatan tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugatan.

  • Memahami Hukum Formal dan Material
    Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam menyusun gugatan karena menyangkut langsung hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana gugatan diajukan, bagaimana mengajukan gugatan rekopensi, intervensi, dan sebagainya. Disamping itu, hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum meteriil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum material juga harus dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. Hukum material ini tidak saja menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrin-doktrin, teori-teori hukum, dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi.

Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa, dimana selalu terdapat sekurang-kurangnya dua pihak yang berperkara dan keputusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa saja, misalnya gugatan perceraian. Pengertian lainnya, adalah tuntutan perdata atau tuntutan hak yang mengandung sengketa. Pengertian lainnya lagi adalah suatu sengketa dimana ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka itu, tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta untuk itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan (hakim).

Cara Mengajukan Gugatan

Tiap-tiap proses perdata, dimana seseorang yang merasa kepentingan haknya telah dirugikan (penggugat) oleh pihak lain (tergugat), dapat menghadap secara pribadi atau diwakili oleh orang lain/ kuasanya untuk mengajukan gugatannya kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tergugat bertempat tinggal, sesuai dengan Pasal 118 HIR.

Gugatan pada prinsipnya diajukan secara tertulis, tetapi apabila penggugat tidak dapat menulis maka dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan (Pasal 120 HIR). Gugatan secara tertulis disebut surat gugatan. Seorang penggugat mengajukan surat gugatan kepada ketua pengadilan negeri, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam gugatan sebagai syarat materiil gugatan (Pasal 8 ayat (3) Rv) yakni:

  1. Keterangan lengkap dari para pihak yang berperkara yaitu tentang nama, alamat dan pekerjaan;

  2. Dasar gugatan ( fundamentum petendi ) yang memuat uraian tentang hukum yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu dan memuat uraian tentang kejadian yaitu penjelasan duduk perkaranya;

  3. Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim ( petitum ). Yang dituntut itu dapat diperinci menjadi dua macam, yakni tuntutan primair yang merupakan tuntutan pokok, dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan itu harus jelas dan mendukung apa yang dimohonkan oleh penggugat sehingga mudah dimengerti dan dapat diterima oleh pengadilan. Artinya setiap peristiwa yang mendukung adanya hubungan hukum digambarkan secara kronologis dan sistematis, pada akhirnya mudah untuk tentukan isi petitum. Hal tersebut memudahkan hakim untuk menilai, apakah dasar gugatan itu merupakan sebab yang menjadi alasanya penggugat untuk memintakan agar dikabulkannya isi gugatan.

Secara umum dan teoritis dalam membuat suatu surat gugatan menurut pandangan doktrinal dikenal adanya 2 macam pola penyusunan yaitu:

  1. Substantieringstheori , menyatakan bahwa pembuatan surat gugatan harus menyebutkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, harus juga menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Misalnya dalam suatu surat gugatan, penggugat mendalilkan bahwa ia sebagai pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas tertentu, maka menurut teori ini tidak cukup jika penggugat hanya menyebutkan dalam gugatannya bahwa ia adalah pemilik, akan tetapi harus diuraikan terlebih dahulu secara detail dan terperinci dalam gugatannya dengan menyebutkan data dan hubungan hukum sehingga konklusinya bahwa penggugat memang sebagai pemilik.

  2. Individualiseringtheorie , yang menyatakan bahwa dalam pembuatan surat gugatan cukup dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan hukum dalam gugatan atau kejadian material. Ketentuan kaidah atau pasal yang menjadi dasar gugatan hanya dirumuskan secara umum kemudian diindividualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya.

Dalam praktik dewasa ini ternyata teori ini banyak diterapkan. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI, perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat dan gugatan tidak kabur ( obscuur libel ), sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 547/K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972.

Selain itu, dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan oleh penggugat bahwa gugatan diajukan kepada badan peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan/kompetensi yaitu:

  1. Kewenangan/kompetensi absolut yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).

  2. Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kompetensi relatif ini diatur dalam Pasal 118 HIR.