Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan (Bisri, 1998). Menurut Mertokusumo (2002) gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Sementara itu, menurut Darwin Prinst yang dikutip oleh Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut (Mulyadi, 1996).
Jenis-Jenis Gugatan
Dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan, diantaranya (Harahap, 1996):
1. Gugatan Permohonan (Voluntair)
ugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan. Sebagaimana sebutan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan:
“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan perdilan mengandung pengrtian di dalamnya penyelesaian masalahyang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair”
Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah:
- Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.
- Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
- Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.
- Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.
2. Gugatan (Contentius)
Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang berbentuk gugatan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious.
Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya adalah:
- Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
- Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
- Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.
- Para pihak disebut penggugat dan tergugat.
Bentuk Gugatan
Tiap-tiap orang proses perdata, dimulai dengan diajukannya surat gugatan secara tertulis bisa juga dengan lisan yang kemudian ditulis kembali atas pemintaan Ketua Pengadilan Agama kepada paniteranya. Gugatan secara lisan ialah bilamana orang yang hendak menggugat itu tidak pandai menulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum orang yang hendak digugat itu bertempat tinggal (Sulistini, 1987). Selanjutnya untuk lebih jelasnya mengenai bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
-
Bentuk Lisan
Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajaukan secara lisan kepada ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan tersebut membuat catatan atau menyuruh mebuat catatan tentang gugatan itu. Dan dalam R.Bg menyatakan bahwa gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan (Fauzan, 2005).
Tujuan memberikan kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk membuka kesempatan kepada para rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan mempertahankan hak-haknya. Menghadapi kasus yang seperti ini fungsi pengadilan untuk memberikan bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 HIR atau pasal 143 ayat 1 R.Bg jo. Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam memberi bantuan memformulasikan gugat lisan yang disampaikan, ketua pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan yang dikehendaki penggugat (Harahap, 1996).
Untuk menghindari hal di atas, maka hakim atau pegawai pengadilan yang ditunjuk oleh ketua pengadilan dalam merumuskan gugatan lisan dalam bentuk surat gugatan dapat melaksanakan langkahlangkah berikut, yaitu: mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian merumuskan dalam surat gugatan yang mudah dipahami; gugatan yang telah dirumuskan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi sengketa dan tuntutan telah sesuai dengan kehendak penggugat; apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugatan itu ditandatangani oleh hakim atau pegawai pengadilan yang merumuskan gugatan tersebut.11
-
Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa:
“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.” (Rambe, 2004)
Mengenai gugatan tertulis selain dijelaskan dalam HIR, juga dijelaskan dalam R.Bg pasal 142 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tegugat, atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.”
Prinsip-Prinsip Gugatan
Dalam praktek di peradilan, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik menyusun gugatan, hal ini disebabkan karena banyaknya perkara yang berbeda-beda dan selera penggugat atau kuasa penggugat dalam menyusun surat gugatan. Oleh karena itu, Hukum Acara Perdata menganut beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan, hal ini dilakukan karena tidak semua konflik dapat diajukan ke muka pengadilan. Berikut ini beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan perdata, yaitu:14
-
Harus Ada Dasar Hukum
Menyusun surat gugatan bukan hanya sekedar untuk mencari perkara saja. Membuat gugatan kepada seseorang harus terlebih dahulu diketahui dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Selain itu, dasar hukum dalam gugatan yang diajukan kepada pengadilan harus dicantumkam karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah-masalah dalam persidangan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan jawab menjawab, membantah jawaban lawan, dan pembuktian. Kemudian dalam mempertahankan dalil gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat membantu hakim dalam upaya menemukan hukum (law making) dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.
-
Adanya Kepentingan Hukum
Syarat Mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan hukum secara langsung. Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu, sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan terlebih dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah penggugat betul orang yang berhak mengajukan gugatan. Kalau ternyata tidak berhak maka ada kemungkinan gugatannya tidak akan diterima.
-
Merupakan Suatu Sengketa
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama adalah mengadili perkara yang mengandung tuntutan hak perdata yang bersifat sengketa. Pengertian perdata sebenarnya lebih luas daripada sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagaian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada sesuatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya perlu lewat pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak diminta putusan pengadilan melainkan hanya penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua pihak.
Tindakan hakim yang demikian disebut jurisdictio volutaria, seperti permohonan ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, istbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (Juridictio Voluntaria) itu hanya kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka pengadilan dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut.
-
Dibuat dengan Cermat dan Terang
Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugatan tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugatan.
-
Memahami Hukum Formal dan Material
Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam menyusun gugatan karena menyangkut langsung hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana gugatan diajukan, bagaimana mengajukan gugatan rekopensi, intervensi, dan sebagainya. Disamping itu, hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum meteriil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum material juga harus dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. Hukum material ini tidak saja menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrin-doktrin, teori-teori hukum, dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi.