Apa yang dimaksud dengan Golongan Putih atau Golput?

Golongan Putih

Golongan Putih atau Golput adalah pilihan tidak memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang nyaris setiap tahun mengalami pemilihan kepala daerah, golput juga sebagai reaksi atau protes atas pemerintahan dan partai-partai politik yang tidak menghiraukan suara rakyat, perlawanan terhadap belum membaiknya taraf kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, hukum dan budaya. Golput merupakan respon atas ketidakmampuan partai atau penguasa dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah menerima mandat.

Golongan Putih atau Golput dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tema-tema pemilihan. Definisi tersebut menjelaskan bahwa Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan bahkan pilkades.

Disisi lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa jenuh tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih tetap atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, politik uang dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi yang tak kunjung membaik.

Sejarah Golongan Putih


Pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual yang dikomandoi Arif Budiman untuk menentang ketidak adilan struktural lewat gerakan moral.
Gerakan moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu.

Pada awalnya golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu itu.

Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor.

Menurut Varma tejadinya golput dinegara berkembang seperti Indonesia lebih disebabkan oleh rasa kecewa dan apatisme.

“Di negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat. Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi kontraproduktif dalam proses demokratisasi”.

Penyataan diatas menunjukkan bahwa Secara empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut:

  • Pertama, pemilu belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  • Kedua, menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya.

  • Ketiga, merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.

  • Keempat, tidak terealisasinya janji-janji yang dikampanyekan elit politik kepada publik yang mendukungnnya.

  • Kelima, kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.

  • Keenam, kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.

Aspek-Aspek Perilaku Golput


Gandung menyebutkan bahwa Aspek-aspek golput, diantaranya;

  1. Apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya.

  2. Sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang - orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah.

  3. Alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa.

  4. Anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Apatisme Politik

Apatisme politik merupakan sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya.

Definisi tersebut menunjukkan bahwasanya apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini adalah politik. Apatisme masyarakat terhadapa politik dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap politik yang berlangsung dan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik.

Apatisme masyarakat bukanlah merupakan tindakan parsial yang tidak terhubung dengan struktur namun merupakan dampak dari struktur yang ada sebagai bentuk protes maupun keputusasaan terhadap politik yang berlangsung di negaranya.

Dalam kasus apatisme masyarakat terhadap politik khususnya di indonesia, hal ini terjadi melalui reproduksi wacana dan kesenjangan antara masyarakat dan elit politik. Banyak hal yang melatarbelakangi munculnya apatisme masyarakat tersebut sebagai turunan dari kedua aspek penyebab apatisme politik diatas.

Apatisme masyarakat di indonesia bukan hanya muncul dari rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap agenda politik karena telah terbukti pada setiap pemilihan umum baik itu pemilihan umum kepala daerah maupun pemilihan umum nasional, masyarakat tetap memilih.

Apatisme masyarakat di indonesia mengambil bentuk ketidakacuhan masyarakat terhadap perkembangan politik dengan memvisualisasikan politik sebagai permainan kotor sedangkan dalam ajang pemilihan umum, masyarakat sebagai pemilih cenderung hanya melakukan ritual demokrasi dengan datang memberikan suara tanpa mempertimbangkan pilihannya dengan baik.

Sinisme Politik

Sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga.

Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah.

Definisi di atas sejalan dengan pengamatan Simmel, bahwa manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan utama, padahal sebetulnya uang hanya merupakan sarana. Bersamaan dengan itu, muncullah dampak-dampak negative terhadap individu, seperti sinisme. Dampak ekonomi lainnya adalah reduksi nilai-nilai dalam kehidupan manusia, misalnya : banyak manusia yang menilai sesuatu banyak berdasarkan uang, dan menganggap uang adalah segala-galanya. Selain menunjukkan dampak negatif dari fenomena uang, Simmel juga menegaskan semua yang terkait dengan uang termasuk dampak negative nya juga tergantung pada manusia itu sendiri. Akan tetapi dia juga mengatakan bahwa uang hanyalah sarana, bukan tujuan utama.

Jadi secara garis besar, dalam karyanya Philosophy Of Money Simmel mencoba menganalisis mengenai pengaruh adanya uang sebagai alat tukar terhadap perubahan gaya hidup manusia. Sebab utama meningkatnya
kesenjangan ini adalah meningkatnya pembagian kerja di masyarakat modern. Meningkatnya spesialisasi dalam kehidupan masyarakat mengarah pada perbaikan kemampuan untuk menciptakan beragam komponen dunia budaya. Namun, pada saat yang sama, individu yang terspesialisasi kehilangan pemahaman tentang kebudayaan total dan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya.

Alienasi

Alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa.

Definisi diatas menjelaskan bahwa Konsep alienasi politik merupakan lawan dari konsep keterikatan atau hubungan politik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Konsep alienasi tersebut memiliki berbagai macam aspek sebagai pemunculannya yaitu ketidakmampuan, sikap apatis, sinisme dan ketidaksenangan terhadap politik.

The concept of alienation originates from the concept of entfremdung used by Marx and by Weber. In political sociology, political alienation has come to refer to the opposite of “political engagement” of any kind, and to include various aspects of inefficacy, apathy, cynicism, and displeasure (Citrin et al., 1975, Mason et al., 1985)

Alienasi politik menjauhkan masyarakat dari politik dan pemerintahan sehingga memunculkan kekecewaan dan keputusasaan terhadap politik di masyarakat. Sementara, tidak semua politisi dirugikan oleh kurangnya legitimasi masyarakat terhadap kekuasaan. Dalam oligarki, legitimasi tidaklah diperlukan. Masyarakat yang acu tak acuh pada setiap agenda politik nasional mupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Bagi demokrasi prosedural, aktifitas legal formal demokrasi sangatlah penting namun tidak mencakup substansinya.

Hal ini akan bersinergi dengan ketidakacuhan masyarakat, ketika para elit tidak dapat menyampaikan aspirasi masyarakat ataupun tidak lagi menepati janjinya semasa kampanye masyarakatpun hanya kecewa tanpa tindakan protes ataupun upaya advokasi politik bagi kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat. Pada akhirnya, status quo akan terus bertahan dan oligarki pun akan tercipta di negara tersebut tanpa disadari oleh masyarakat.

Anomi

Anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Definisi tersebut sejalan dengan penjelasan Durkheim dalam bukunya yang berjudul the Duvisuon of Labor In Society (1893), menggunakan istilah anomie untuk menggambarkan keadaan deregulation di dalam masyarakat. Keadaan deregulasi oleh Durkheim diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain. Keadaan deregulation atau normlessness inilah yang menimbulkan perilaku deviasi.

Bentuk-Bentuk Golput


Perilaku nonvoting adalah refkleksi protes atau ketidakpuasan terhadap sistem politik yang sedang berjalan. Definisi tersebut menunjukkan bahwasanya bentuk perilaku golput yang ditampilkan tidak seragam, melainkan bergam. Sekalipun demikian, perilaku golput dalam pemilu diwujudkan secara umum dalam bentuk:

1. Memilih Tidak Hadir ke Bilik Suara.

Sikap ini tidak lain merupakan bentuk protes yang paling nyata. Sikap apatis dan tak mau menggunakan hak pilihnya ini didasarkan pada empat hal, yaitu :

  1. Sebagai reaksi terhadap pemerintah, anggota DPR dan partai politik yang tak mampu memperbaiki kehidupan ekonomi, sosial dan hukum. Berbagai kebijakan pemerintah telah jauh keluar dari track demokrasi, yaitu menyejahterakan kehidupan rakyat.

  2. Tidak adanya nilai lebih dari proses pemilu ini. Sehingga mereka merasa rugi menghadiri pemilu baik secara tenaga, waktu dan finansial. Nilai lebih ini meliputi kualitas pemilu yang dengannya masyarakat merasa nyaman dan yakin akan pemerintahan yang akan memimpin karena lahir dari proses jujur dan adil.

  3. Adanya hal yang lebih penting dari sekedar hadir ke bilik suara. Hal penting ini dikaitkan dengan nilai lebih di atas. Artinya jika dengan memberikan suarapun tak dapat merubah apapun, maka mereka berkeyakinan lebih baik tidak datang.

  4. Ketidak hadiran karena malas saja, mereka tidak mau repot dengan politik yang dinilai kotor.

Cara ini ditempuh sebagai bentuk penyadaran dan membuka mata para pejabat negara, elit politik, anggota dewan dan aktivis partai politik bahwa selama ini rakyat selalu diabaikan dan dibutuhkan pada saat pemilu saja.

2. Mencoblos Semua Gambar (Lebih dari Satu Kali)

Cara ini dipilih didasarkan pada :

  1. Kehadiran mereka tetap sebagai bentuk protes, kalaupun mereka hadir itu dengan tujuan agar kertas suara mereka tak digunakan oleh pihak- pihak yang tak bertanggung jawab.

  2. Isu-isu yang dibawa semua partai dan kandidat hanyalah retorika saja, maka respon pendukung golput dengan mencoblos semuanya sebagai jawaban yang menurut pendukung golput rasional.

  3. Pemilu di Indonesia bagi pendukung golput belum bisa dijalankan secara jujur dan adil, maka pilihan mencoblos semua gambar diyakini paling realistis.

  4. Memberikan dorongan pada publik agar publik tampil berani menampilkan kekecewaannya secara terang-terangan, tanpa rasa takut.

3. Memasukkan Kertas suara ke kotak secara kosongan (tanpa dicoblos)

Cara ini merupakan cara yang paling lemah dalam pandangan pendukung golput. Hal ini dilakukan sebagai sikap transparan dan dengan tujuan mereka yang selama ini takut melampiaskan kekecewaanya mendapatkan teman sehingga punya keberanian.

Tujuan Golput


Bagi pendukung golput, perilaku tidak memilih bagian dari tindakan yang memiliki pesan. Karenanya golput bukan tanpa tujuan, golput menjadi alat protes politik yang tidak sempat tersuarakan, akumulasi kekecewaan dan ketidak percayaan terhadap realitas politik yang dilihat kemudian disalurkan melalui sikap apatis terhadap pemilu. Sebab itu, melihat golput harus dapat mengkontekstualisasikan dengan keadaan dan realitas yang berkembang. Interpretasi perilaku politik tidak dapat diserahkan pada penjelasan teoritis semata.

Maka perilaku golput sejujurnya secara umum dimaksudkan sebagai simbol protes atas sistem yang tidak adil, sistem yang hanya menguatkan posisi kelompok minoritas (elit) dan mengabaikan subtansi demokrasi yang bertujuan membangun peradaban masyarakat yang lebih baik. Yang terpenting lagi adalah golput ditujukan pada tiadanya amanah dari elit dan pemimpin bangsa dalam menjalankan roda kekuasaannya. Protes tersebut ditujukan pada pemerintah yang korup dan tidak akuntabel. Maka kondisi demiikian menyebabkan ketidak percayaan masyarakat luas.

Pendukung golput tidak hanya berasal dari satu garis partai, melainkan seluruh partai dan organ-organ sosial. Semuanya melihat dengan jelas betapa massif retorika politik yang dibangun untuk mengelabui rakyat. Karenanya parlemen dan pemerintah dinilai penyebab lahirnya diskriminasi sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya di negara ini.

Referensi :

  • Varma, S.P. 2001. Teori Politik Modern. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
  • Saptamaji, M. Rolip “apatisme politik masyrakat indonesia” dalam Tugas Paper mengenai Isu Politik Kontemporer. Pasca Sarjana Ilmu Politik
  • Sanit, Arbi. 1992. Aneka Pandangan Fenomena Golput. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.