Apa yang dimaksud dengan Goal Setting Theory?


Apa yang dimaksud dengan goal setting dalam ilmu psikologi?

Teori goal setting adalah teori motivasi yang menjelaskan penyebab individu bertindak dengan menetapkan tujuan (Locke dan Latham, 2013). Teori goal setting dikemukakan oleh Edwin A. Locke pada tahun 1968. Profesor Motivasi dan Kepemimpinan di Robert H. Smith School of Bussiness University of Maryland, Amerika tersebut menyadari pentingnya penetapan dan proses pencapaian tujuan.

Locke dan Latham (2002) sejak tahun 1968 mengembangkan teori goal setting. Sebanyak 400 penelitian memperlihatkan bahwa goal setting memengaruhi performansi dalam mengerjakan tugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan goal setting mencapai hasil yang lebih maksimal daripada individu yang tidak memiliki goal setting (Locke dan Latham, 2006). Teori mengenai konsep dan manfaat goal setting ditemukan ketika individu belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan tugas secara efektif (Locke dan Latham, 2013)

Menurut Luneburg (2011) goal setting menjadi teori yang terkenal dan banyak diaplikasikan di dunia akademik, dunia kerja, dan olahraga. Mooney dan Mutrie (2000) menjelaskan pula bahwa goal setting digunakan sebagai teknik motivasional untuk meningkatkan produktivitas dan performansi. Teknik tersebut menjadi lebih dikenal dalam bidang yang berorientasi prestasi seperti bisnis dalam dunia kerja, pendidikan, dan olahraga. Melalui berbagai penelitian, goal setting terbukti membantu meningkatkan performansi.

Penelitian Morisano, Peterson, Pihl, dan Shore (2010) memperlihatkan pengaruh goal setting pada bidang akademik. Mahasiswa dengan goal setting pada awal semester memperoleh IPK (Indeks Prestasi Akademik) yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak menetapkannya. Penelitian Clarke dkk (2009) menemukan bahwa pelatihan goal setting meningkatkan usaha pencapaian tugas.

Dalam bidang olahraga goal setting meningkatkan performansi para atlet agar mendapat hasil yang maksimal dalam berlatih dan bertanding. Kornspan (2016) menegaskan pula bahwa goal setting merupakan kemampuan yang sangat penting untuk altet olahraga dalam meraih performansi yang optimal. Penelitian deskriptif dari Weinberg, et al (1993)

Locke, et al (1981) menegaskan bahwa goal adalah objek atau tujuan dari suatu tindakan yang diraih individu. Locke dan Latham (2002) menambahkan bahwa goal adalah objek atau tujuan sebuah tindakan untuk mencapai standar tinggi yang biasanya dibatasi dengan waktu. Locke dan Latham (2006) mendefinisikan goal sebagai tujuan dari suatu tindakan atau tugas yang merupakan keinginan sadar individu untuk mencapai dan memperolehnya. Goal juga didefinisikan sebagai alasan motivasional dan tujuan individu (Aarts, Gollwitzer, dan Hassin, 2004).

Tujuan merupakan usaha yang individu lakukan secara sadar (Weinberg, 2007). Pintrich dan Schunk (2008) menyatakan bahwa goal merupakan sesuatu yang berada di luar diri individu dan secara sadar diusahakan individu sampai berhasil. Locke dan Latham (2013) menjelaskan bahwa goal merupakan objek atau tujuan dari suatu tindakan.

Asumsi dasar penelitian goal setting adalah bahwa goal merupakan pengatur langsung dari tindakan manusia (Locke dan Latham, 1990 dalam Weinberg, 1993 ; Locke, et al, 1981). Lunenburg (2011) mengungkapkan bahwa goal setting adalah penjelasan yang mendasar untuk semua teori-teori besar motivasi kerja yang meliputi teori ekspektasi dari Vroom (1994); teori motivasi dari Maslow (1970) atau Herzberg (2009) ; teori kognitif sosial dari Bandura (1986) dan teori behaviorsm dari Skinner (1979).

Darvis (1981, dalam Irmawati 2004) mengemukakan bahwa goal setting digunakan untuk keberhasilan mencapai performansi (performance). Penerapan goal setting yang efektif membutuhkan tiga tahapan, yaitu menjelaskan arti dan maksud penetapan target, menetapkan target yang jelas, dan memberikan umpan balik (feedback) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan. Goal setting didasarkan pada pengarahan tingkah laku terhadap suatu tujuan. Casio (1987, dalam Irmawati) memberikan penjelasan atau informasi kepada individu mengenai cara mengerjakan tugas dalam suatu tujuan dan mengarahkan bahwa tujuan penting untuk diselesaikan.

A post was merged into an existing topic: Bagaimana Merencanakan Tujuan Realistis untuk Diri Sendiri (Realistic Personal Goal Setting)?

Goal setting theory merupakan salah satu bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun 1978. Goal setting theory didasarkan pada bukti yang berasumsi bahwa sasaran (ide-ide akan masa depan; keadaan yang diinginkan) memainkan peran penting dalam bertindak.

Teori penetapan tujuan yaitu model individual yang menginginkan untuk memiliki tujuan, memilih tujuan dan menjadi termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan (Birnberg dalam Mahennoko, 2011).

Menurut teori ini “salah satu dari karakteristik perilaku yang mempunyai tujuan yang umum diamati ialah bahwa perilaku tersebut terus berlangsung sampai perilaku itu mencapai penyelesaiannya, sekali seseorang mulai sesuatu (seperti suatu pekerjaan, sebuah proyek baru), ia terus mendesak sampai tujuan tercapai.

Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri/diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan (Wangmuba dalam Ramandei, 2009). Goal setting theory menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja).

Konsep dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang.

Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan atau tingkat kerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal ini akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsenkuensi kinerjanya.

Teori ini juga menjelaskan bahwa penetapan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan pestasi kerja (kinerja), yang diikuti dengan kemampuan dan keterampilan kerja.

Berdasarkan uraian di atas, maka diasumsikan bahwa untuk mencapai kinerja yang optimal harus ada kesesuaian tujuan individu dan organisasi. Dengan menggunakan pendekatan goal setting theory, kinerja pegawai yang baik dalam menyelanggarakan pelayanan publik diidentikkan sebagai tujuannya.

Goal Setting Theory ini mula-mula dikemukakan oleh Locke (1968). Teori ini mengemukakan bahwa dua cognitions yaitu values dan intentions (atau tujuan) sangat menentukan perilaku seseorang. Berdasarkan teori ini suatu individu menentukan tujuan atas perilakunya di masa depan dan tujuan tersebut akan mempengaruhi perilaku orang tersebut.

Goal setting theory juga merupakan bagian dari teori motivasi. Teori ini menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tujuan tinggi akan mempengaruhi kinerja manajerial. Adanya tujuan individu menentukan seberapa besar usaha yang akan dilakukannya, semakin tinggi komitmen karyawan terhadap tujuannya akan mendorong karyawan tersebut untuk melakukan usaha yang lebih keras dalam mencapai tujuan tersebut. Menurut Locke dan Latham (2002) tujuan memiliki pengaruh yang luas pada perilaku karyawan dan kinerja dalam organisasi dan praktik manajemen.

Darvis (1981, dalam Irmawati 2004) mengemukakan bahwa Goal setting digunakan untuk keberhasilan mencapai performansi ( performance ). Penerapan Goal setting yang efektif membutuhkan tiga tahapan, yaitu menjelaskan arti dan maksud penetapan target, menetapkan target yang jelas, dan memberikan umpan balik ( feedback ) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan.

Atribut Goal-Setting

Locke dan Latham (2013) menyatakan bahwa Goal setting memiliki dua atribut utama, yaitu nilai ( content ) dan niat ( intensity ). Nilai atau content tujuan mengacu pada objek atau hasil yang dicari (misalnya, meningkatkan nilai yang dicapai individu dalam mengerjakan tugas, meningkatkan profit sebesar 20%, dan meningkatkan kemampuan berlari pada para atlet). Atribut nilai ( content ) berfokus pada pengaruh dari tingkat tujuan spesifik dan tingkat kesulitan pada nilai tugas yang berbeda dalam berbagai setting.

Niat ( intensity ) tujuan mengacu pada usaha yang diperlukan untuk menetapkan tujuan, posisi tujuan dalam tingkatan tujuan individu, dan sejauh mana individu berkomitmen untuk pencapaian tujuan tersebut. Nilai diri individu menciptakan keinginan untuk melakukan sesuatu secara konsisten.

Aspek Goal Setting

Locke dan Latham (dalam Free Management E-book, 2013) mengungkapkan lima aspek dasar dalam Goal setting sebagai berikut:

1. Specific

Goal yang ingin dicapai harus rinci, fokus dan beralasan. Goal yang spesifik juga disertai cara atau strategi pencapaian tujuan dan tenggat waktunya. Goal yang spesifik merupakan Goal yang menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, dan mengapa.

2. Measurable

Goal yang ingin dicapai sesuai dengan batas kemampuan dan memiliki kriteria yang konkret untuk mengukur pencapaian Goal . Misalnya memiliki waktu dalam pencapaian Goal .

3. Attainable / Achievable

Goal yang diinginkan harus realistis untuk dicapai, maksudnya tidak terlalu sulit maupun terlalu mudah. Goal yang attainable/ achievable membantu individu menemukan kesempatan atau strategi untuk membuat mereka lebih dekat dengan pencapaian tujuannya. Strategi mengandung langkah konkret untuk mencapai suatu Goal .

4. Relevant

Goal harus realistis, sesuai dengan keadaan serta kemampuan individu. Goal juga harus selaras dengan organisasi, kelompok, atau orang lain.

5. Time Bond

Proses pencapaian Goal harus memiliki batasan waktu yang jelas. Dengan memiliki batasan waktu yang jelas dalam mencapai Goal , maka menunjukkan sense urgency untuk segera mencapai Goal .

Goal Setting

Goal setting theory merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Locke, 1978. Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal ini akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa penetapan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan prestasi kerja (kinerja), yang diikuti dengan memiliki kemampuan dan keterampilan kerja.

Dengan menggunakan pendekatan goal setting theory, kinerja pegawai yang baik dalam menyelenggarakan pelayanan publik diidentikkan sebagai tujuannya. Sedangkan variabel partisipasi anggaran, psychological capital dan komitmen organisasi sebagai faktor penentunya. Semakin tinggi faktor penentu tersebut maka akan semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.

Referensi

http://digilib.unila.ac.id/2584/17/BAB%20II.pdf

Menurut Locke (Yearta, Maitlis, dan Briner, 1995) goal setting adalah sebuah teori kognitif dengan dasar pemikiran bahwa setiap orang memiliki suatu keinginan untuk mencapai hasil spesifik atau tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dasar pemikiran utama dari teori goal setting adalah mendorong seseorang untuk mengejar tujuannya yang spesifik dan sulit akan menghasilkan performa yang lebih baik daripada mendorong mereka untuk mengejar sebuah tujuan spesifik tapi mudah atau untuk mempermudah mereka melakukan yang terbaik (Locke & Latham dalam Kleingeld & Arends, 2011).

Sebuah tujuan dapat memotivasi orang untuk mengembangkan strategi yang akan memungkinkan mereka untuk tampil di tingkat tujuan yang diperlukan (Lunenburg, 2011). Agar tujuannya dapat tercapai dengan baik, maka diperlukan sebuah kemauan untuk usaha. Usaha yang paling maksimal akan terjadi ketika tugas yang dihadapi memiliki kesulitan yang tinggi, dan usaha yang paling rendah terjadi ketika tugas yang dihadapi adalah tugas yang sangat mudah maupun sangat sulit (Locke & Latham, 2002).

Goal setting memengaruhi proses belajar dengan cara mengarahkan perhatian dan tindakan, memobilisasi pengarahan usaha, memperpanjang lamanya pengerahan usaha (persistensi), dan memotivasi individu untuk mengembangkan strategi yang relevan untuk mencapai tujuannya (Robbin dalam Lutfianawati, Nugraha, & Rachmahana, 2014).

Berdasarkan pengertian-pengertian pelatihan goal setting di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan goal setting adalah pelatihan yang mengajarkan seorang siswa mengenai suatu kemampuan untuk merancang atau menetapkan suatu tujuan dengan baik agar tujuannya dapat dicapai.

Komponen Utama dalam Pelatihan Goal setting


Pelatihan goal setting ini disusun berdasarkan pada teori Locke, dkk. (1981). Menurut Locke, dkk. (1981) komponen-komponen utama goal setting meliputi sebagai berikut:

  1. Clarity (Kejelasan)
    Tujuan yang disampaikan harus spesifik sehingga mengarahkan seseorang pada hasil yang lebih tinggi daripada tujuan yang masih bersifat umum atau samar-samar. Tujuan yang spesifik adalah tujuan yang harus ditentukan dengan batasan yang jelas dan tepat sehingga tidak menimbulkan multi tafsir agar harapan dan tujuan dapat tercapai.

  2. Challenge (tantangan)
    Tujuan yang sulit menghadirkan suatu tantangan yang dapat membangkitkan dorongan untuk mencapai tujuan dalam diri seseorang, tetapi target ini dalam batas masih dapat dicapai (Davis & Newstroom, 1989). Tujuan harus memiliki tantangan yang sulit untuk memotivasi seseorang agar meletakkan usaha yang lebih untuk menggapai tujuan karena pada dasarnya seorang individu akan lebih termotivasi untuk mencoba tujuan yang sulit daripada tujuan yang mudah (Latham & Locke, 1991). Meskipun sebuah tujuan yang memotivasi itu adalah tujuan yang sulit, namun tujuan tersebut haruslah bersifat realistis dalam artian bahwa tujuan tersebut masih dapat diraih. Penetapan tujuan yang sulit namun masih dapat dijangkau/realistis berguna untuk meminimalisir kemungkinan gagal untuk mencapainya (Kanfer & Gaelick dalam Latham & Locke, 1991). Jika tantangan yang ada pada tujuan tersebut terlalu sulit maka seseorang akan meninggalkan tujuannya tersebut dan tidak termotivasi untuk meraihnya (Locke, dkk., 1981).

  3. Commitment (komitmen)
    Orang akan menunjukkan komitmen mereka jika mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari pencapaian suatu tujuan. Locke & Latham (Schunk, dkk., 2012) berpendapat bahwa komitmen dapat menggambarkan seberapa kuat individu melekat pada tujuan yang dimilikinya, seberapa antusias individu terhadap tujuannya, dan seberapa teguh individu untuk mencapainya.

  4. Feedback (umpan balik)
    Isi dari umpan balik harus terfokus pada pengontrolan kemajuan, menyadari rintangan yang ada, usulan dan solusi. Umpan balik dapat menyuguhkan standar pengukuran yang jelas untuk menuntun individu untuk evaluasi diri. Pencantuman pujian dan apresiasi dalam proses umpan balik akan disajikan sebagai hadiah untuk memotivasi individu supaya terus melanjutkan kerja kerasnya dalam mengerjakan tugas. Melalui umpan balik, seorang individu dapat mengetahui seberapa jauh standar/patokannya sudah terpenuhi (Latham & Locke, 1991).

  5. Task Complexity (kerumitan tugas)
    Seseorang lebih baik diberikan tugas yang sederhana dan mudah dimengerti daripada diberikan tugas yang terlalu rumit karena hal ini akan mempengaruhi performa seseorang untuk mencapai tujuannya (Locke & Latham dalam Smith & Hitt, 2005). Untuk tujuan yang memiliki kerumitan tugas yang tinggi maka harus dipastikan bahwa seseorang tidak merasa terlalu diliputi oleh hal tersebut. Oleh karena itu, waktu yang cukup, latihan dan arahan harus diberikan agar berhasil untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa komponen teori goal setting adalah clarity (kejelasan), challenge (tantangan), feedback (umpan balik), commitment (komitmen), dan task complexity (kerumitan tugas).

Komitmen

I had been working my whole life
And what i did understand by being determined to chase something by beeing commited to it

And what commitment is ?

Commitment is staying true to what you said you were going to do long after the mood that you have set it in has left
People think commitment is saying, “Yes, i will do it on the days when if feel good”
But i have been commited to everything that i ever started in my life and i never stop and i never quit it
And so by beeing commited to everything that i started, i finished it
It built a certain type of spirit
It built a certain type of mentality
And built a certain type of individual
And still now i could not quit even if i wanted to
I could not lay in the bed even if i wanted to
I could not stop even if i wanted to

I had too much sweat equity in my life that everything i was doing
I understood the process is more important than the product
It was not about the outcome for me

Once i made it to the NFL or not that was inconsequential in God’s plan for my life
But i was to fall in love with that process
Because i understood by falling in love with that process
It was going to turn into a machine

Saya telah bekerja sepanjang hidup saya
dan apa yang saya mengerti adalah
tekad untuk mengejar sesuatu adalah dengan berkomitmen terhadap tekad tersebut

Dan apa itu komitmen?

Komitmen adalah tetap setia pada apa yang Anda katakan akan Anda lakukan lama setelah suasana hati pada apa yang anda katakan tersebut telah hilang

Orang berpikir komitmen adalah dengan mengatakan, "Ya, saya akan melakukannya ketika suasana hati saya sedang baik

Tetapi saya telah berkomitmen untuk semua yang pernah saya mulai dalam hidup saya dan saya tidak pernah berhenti dan saya tidak akan pernah berhenti untuk itu

Dan berkomitmen adalah saya akan menyelesaikan semua yang telah saya mulai,

Komitmen membangun jenis “spirit” tertentu
Komitmen membangun jenis mentalitas tertentu
Komitmen membangun tipe individu tertentu

Dan saat ini saya tidak bisa berhenti, bahkan ketika saya ingin berhenti
Saya tidak bisa berbaring di tempat tidur bahkan ketika saya ingin melakukannya
Saya tidak dapat berhenti walaupun saya ingin…

Saya memiliki terlalu banyak “modal keringat” dalam hidup saya bahwa semua yang saya lakukan…
Saya mengerti bahwa proses lebih penting daripada hasil akhir
Hal ini bukan tentang hasil bagi saya

Apakah saya berhasil mencapai NFL atau tidak, itu tidak menjadi penting dalam rencana Tuhan untuk hidup saya

Tetapi aku jatuh cinta dengan proses itu
karena saya mengerti dengan jatuh cinta dengan proses itu
Hal itu akan berubah saya menjadi mesin