Apa yang dimaksud dengan Ghibah?

QS. Al-Hujurat [49] : 11

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

QS. Al-Hujurat [49] : 12

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Apa yang dimaksud dengan Ghibah ? Sejauh mana perbuatan seseorang disebut ghibah ?

Ghibah berasal dari bahasa Arab ghaaba yaghiibu ghaiban yang berarti ghaib, tiada hadir atau dalam kitab Maqayis al-Lughah diartikan sebagai “sesuatu yang tertutup dari pandangan”. Asal kata ini memberi pemahaman adanya unsur ‘ketidakhadiran seseorang’ dalam ghibah, yakni orang yang menjadi obyek pembicaraan. Kata ghībah dalam bahasa Indonesia mengandung arti umpatan, yang diartikan sebagai perkataan yang memburuk-burukkan orang.

Ghibah secara syar’i yaitu menceritakan tentang seseorang yang tidak berada ditempat dengan sesuatu yang tidak disukainya. Baik menyebutkan aib badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, urusan agamanya, dan urusan dunianya. Sebagaimana dalam hadits dijelaskan tentang pengertian ghibah yaitu:

:“Dari Abu Hurairah, sessungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu ? Sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau bersabda : “Kamu menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci,” Beliau ditanya : Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan? Beliau menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.

Berdasarkan hadits di atas, ghibah diartikan menyatakan tentang sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim di saat ia tidak berada di tempat, dan apa yang disebutkan memang ada pada orang tersebut tetapi ia tidak suka hal tersebut dinyatakan. Adapun jika yang disebutkan tidak ada padanya, berarti telah memfitnahnya. Dalam hadits di atas sudah sangat jelas mengenai ghibah dan buhtan.

Setelah mempelajari dan memahami hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa ghibah yaitu menyebutkan sesuatu yang sebenarnya tentang seseorang, baik tentang agamanya, akhlaknya, ataupun tentang yang lainnya, di saat orang tersebut tidak hadir atau tidak mendengarnya secara langsung, dan jika ia mengetahui tidak menyukainya.

Ayat-ayat al-Qur’an tentang ghibah


image

Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyatakan tentang ghibah, antara lain; surah al-Hujurat ayat 12, surah al-Humazah ayat 1, surah al-Isra’ ayat 36 dan surah Qaf ayat 18. Dan uraiannya sebagai berikut ;

Larangan Ghibah Surah Al-Hujurat Ayat 12

Di dalam surah al-Hujurat ayat 12 merupakan ayat yang secara langsung melarang melakukan ghibah , sebagaimana firman Allah Swt :

Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari- cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Mahmud Yunus menafsirkan Qs. Al-Hujurat ayat 12, tidak boleh mencaci (memberi malu) orang atau memanggilnya dengan gelar yang tidak baik yang tidak disukainya. Hendaklah kamu tinggalkan sangka-sangka jahat, terhadap sesama muslim, karena setengah sangka adalah dosa, yaitu bila kamu berprasangka jahat terhadap orang-orang muslim, yang pada lahirnya mereka orang-orang baik. Kamu tidak boleh mencari aib-aib orang dan membuka rahasianya dan tidak boleh mengumpat setengah kamu akan yang lain.

Dalam tafsir al-Mishbah mengenai Qs. al-Hujurat ayat 12, bahwa ayat diatas menyatakan: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dengan upaya sungguh-sungguh banyak dari dugaan, yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki indikator memadai, sesungguhya sebagian dugaan, yakni yang tidak memiliki indikator itu, adalah dosa. Selanjutnya, karena tidak jarang prasangka buruk mengundang upaya mencari tahu, maka ayat di atas melanjutkan bahwa:

Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang justru ditutupi oleh pelakunya serta jangan melangkah luas, yakni sebagian kamu menggunjing, yakni membicarakan aib sebagian yang lain. Sukahkah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah jika itu disodorkan kepada kamu, kamu telah merasa jijik kepadanya dan akan menghindari memakan daging saudara sendiri itu. Karena itu, hindarilah pergunjingan karena ia sama dengan memakan daging saudara yang telah meninggal dunia dan bertakwalah kepada Allah, yakni, hindari siksaan-Nya di dunia dan di akhirat, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta bertaubatlah atas aneka kesalahan, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas menyebutkan bahwa ghibah merupakan perbuatan keji, yang diidentikkan dengan canibalism , yaitu: orang yang mengghibah sama seperti orang yang memakan daging bangkai, daging orang, dan daging saudaranya sesama muslim. Jadi pelaku ghibah tidak jauh berbeda dengan pelaku kanibal. Setiap orang memiliki perasaan jijik dan tidak senang memakan daging saudaranya, apalagi yang sudah menjadi mayat, yang masih hidup juga bagi orang yang jiwanya sehat tidak akan mau memakan daging saudaranya walaupun masih segar dan sudah dimasak.

Dalam ayat tersebut di atas, redaksi yang digunakan banyak penekanan untuk menggambarkan betapa buruknya menggunjing, antara lain;

  • Pertama pada gaya pertanyaan yang dinamai istifham taqriiri, yakni yang bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengandung yang ditanya membenarkan.

  • Kedua, ayat ini menjadikan apa yang tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi.

  • Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan: “Sukakah salah seorang diantara kamu”.

  • Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri.

  • Kelima saudara itu dalam keadaan mati, yakni tidak dapat membela diri. Berkata Ibn Kathir mengenai tafsir ayat ini : “sebagaimana secara fitrahnya kamu benci memakan daging saudara kamu sendiri, maka bencilah juga ghibah itu sebagaimana yang ditetapkan secara syara”.

Ancaman Pelaku Ghibah Surah Al-Humazah Ayat 1

Di dalam surah al-Humazah ayat 1 Allah Swt menyatakan ancaman bagi pelaku ghibah, sebagaimana dalam firman-Nya:

Artinya: “celakalah bagi Setiap pengumpat dan pencela” (Qs. Al-Humazah (104) : 1)

Dalam tafsir al-Misbah mengenai Surah al-Humazah ayat 1, bahwa Ayat ini menyatakan: Wail, yakni kecelakaan yang besar, bagi setiap pengumpat dan pencela, yakni yang melakukan keburukan tersebut secara berulang-ulang. Kata wail digunakan untuk menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Kata al-Humazah diartikan mendorong orang lain dengan lidah (ucapan) atau dengan kata lain menggunjing, mengumpat, atau menyebut sisi negatif (mencela) orang lain tidak di hadapan yang bersangkutan. Kata lain yang menunjukkan makna yang sama adalah ghibah.6

Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa al-hamas dengan perkataan, sedangkan al- lamaz dengan perbuatan. Maksudnya, manusia memandang orang lain rendah dan hina. Menurut Ibnu Abbas, pengumpat dan pencela adalah orang yang suka mencemarkan kehormatan orang lain atau membuka aibnya. Sedangkan, menurut Ar-Rabi’ bin Anas, pengumpat adalah memaki orang dihadapannya langsung dan pencela adalah menjelek-jelekkan orang dari belakang. Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud pengumpat dan pencela adalah secara lisan dan perbuatan. Orang yang berbuat seperti ini diibaratkan memakan daging manusia dan menusuknya dari belakang.

Ghibah merupakan perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang menjijikkan, adapun sesuatu yang dilarang harus dihindari dan jangan dilakukan. Larangan dikategorikan dua macam, yaitu larangan haram dan larangan makruh. Menurut Mahmud Yunus larangan haram merupakan dosa bagi yang memperbuatnya dan mendapat pahala meninggalkannya, sedangkan larangan makruh yaitu mendapat pahala meninggalkannya dan tidak berdosa memperbuatnya.

Semua perbuatan akan dipertanggung jawabkan surah al Isra’ ayat 36 dan surah an Nuur ayat 24

Di dalam surah al-Isra’ ayat 36 disebutkan bahwa setiap yang dikerjakan manusia di dunia ini akan diminta pertanggungan jawabannya, termasuk juga perbuatan ghibah. sebagaimana firman Allah Swt :

Artinya:“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Qs. al-Isra’ : 36)

Dan di dalam surah an-Nuur ayat 24, dijelaskan bahwa lidah akan menjadi saksi di hari akhir nanti. Sebagaimana firman Allah Swt :

Artinya: “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Allah Swt juga memberi tahu kepada kita, bahwa setiap ucapan yang dikatakan manusia pasti akan dihisab. Dan lidah akan menjadi saksi di hari akhir nanti.

Semua perbuatan selalu tercatat surah Qaaf ayat 18

Di dalam surah Qaf ayat 18, Allah Swt menjelaskan bahwa ada malaikat yang selalu menulis kebaikan dan keburukan manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya:

Artinya:“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf : 18)

Manusia diberi amanah lidah untuk berbicara yang baik, untuk itulah kita sebagai manusia dapat menempatkan kedudukan lidah sebagai organ yang cukup penting. Lidah merupakan karunia Allah yang amat berharga, dan dijaga setiap perkataan yang dikeluarkannya, karena setiap perkataan yang terucap akan dicatat.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajak bicara akal, hati, perasaan dan jiwa, akhlak dan pendidikan. Agama yang mulia ini menggariskan adanya peraturan-peraturan agar seorang muslim dapat memiliki hati yang selamat, perasaan yang bersih, menjaga kehormatan lisan, dan menjaga rahasia pribadinya, serta dapat berakhlak mulia terhadap Rabb-nya, dirinya dan seluruh manusia. Allah swt berfirman:

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab :70-71)

Adapun cara berbicara yang baik diaplikasikan dengan kata-kata yang baik dan ini merupakan salah satu diantara akhlak mahmudah. Perkataan yang baik adalah pembuktian kemusliman seseorang. Hendaknya setiap orang memastikan bahwa kata-kata yang akan diucapkannya benar-benar baik. Apabila kita tidak yakin akan dapat mengeluarkan kata-kata yang baik, diam itu lebih baik. Dalam kitab Hadis arba’in nawawiyah dituliskan bahwa ucapan ada tiga bagian : kebaikan yaitu tuntunan, keburukan yaitu yang diharamkan, dan laghum yaitu ucapan yang tidak berisikan kebaikan maupun keburukan.

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pergaulan, manusia dihadapkan pada karakter12 manusia yang berbeda-beda satu sama lain. Tidak sedikit dari karakter seseorang yang ada dalam lingkungan kita, tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Dari tingkah laku maupun perkataan seseorang dapat menimbulkan pemikiran yang berbeda dalam hati kita. Allah Swt melarang seorang mukmin berprasangka terhadap orang lain, apalagi sampai berburuk sangka, karena prasangka dapat menimbulkan fitnah dan ghibah.

Hadits-hadits tentang ghibah


image

Di dalam kitab hadits terdapat hadits-hadits yang sangat erat hubungannya dengan ghibah. Selain hadits definisi tentang ghibah , dijelaskan juga tentang bentuk ghibah , sebagaimana hadits berikut ini:

“Dari Waki’ dari Sufyan dari Ali ibn al-Aqmar dari Abi Huzaifah bahwa Aisyah menceritakan seorang perempuan dihadapan Nabi Saw. bahwa perempuan itu pendek lalu Nabi saw. bersabda “Engkau telah menggibahnya.”

”Dari ‘Aisyah dia berkata : Aku berkata kepada Nabi Saw: Cukuplah bagimu dari keburukan Shafiyah seperti ini. Beliau berkata : “Sesungguhnya engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang mana jika dicampurkan dengan air laut niscaya akan tercampurlah ia.” ‘Aisyah berkata : Aku menceritakan kepada Rasulullah Saw mengenai seseorang, beliau berkata : “Tidaklah aku suka bercerita mengenai seseorang walaupun aku diberi itu dan ini.” (HR Abi Dawud no. 4875, al-Tirmizi, Ahmad dan al-Baihaqi; berkata al-Tirmizi : ‘Ia adalah hadis hasan sahih ‘; dinilai shahih oleh al-Albani)

Berkata sebahagian perawi : Dia (‘Aisyah) mengisyaratkan bahawa Safiyah itu rendah. Hadits ini menerangkan betapa buruknya ghibah , hanya dengan satu perkataan, bahkan dalam hadits di atas Aisyah hanya mengisyaratkan bahwa Safiyah itu rendah, maka ia cukup untuk mengotorkan air laut seluruhnya. Berkata al-Nawawi: “(tercampurlah ia) dalam hadits di atas ialah air itu bercampur dengan kalimat itu sehingga bertukar rasanya atau baunya disebabkan buruknya perkataan ghibah itu.”

Dijelaskan juga larangan melakukan ghibah yang mencari aib dan kesalahan saudaranya. Sabda Rasulullah Saw:

“Dari Usman ibn Abi Syaibah dari al-Aswad ibn ‘Amir dari Abu Bakar ibn Iyasy dari al-A’masy dari Said ibn Abdillah ibn Juraij dari Abi Barzakh al- Aslami berkata, Rasulullah saw. bersabda “Wahai golongan orang yang menjaga lidahnya dan iman belum masuk ke dalam hatinya”Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) orang-orang Islam dan mencari-cari aib dan kesalahannya karena barang siapa mencari-cari kesalahan mereka, Allah akan mencari-cari kesalahanya pula dan barang siapa yang dicari- cari kesalahannya oleh Allah, maka Allah akan membuka aibnya di rumahnya.”

Hadits di atas menjelaskan agar menjauhi ghibah dan tidak melakukan ghibah, jika mencari aib dan kesalahan orang lain, maka Allah akan membuka aibnya juga. Sebaliknya jika menolak mengghibah, maka Allah tidak akan membuka aibnya dan dapat membebaskannya dari api neraka. Rasulullah Saw bersabda :

”Dari Arim dari Abdullah ibn al-Mubarak dari Ubaidillah ibn Abi Ziyad dari Syahr ibn Hausyab dari Asma’ binti Yazid dari Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang tidak mau (menolak) mengghibah saudaranya pada waktu tidak ada, maka kewajiban Allah membebaskannya dari api neraka”.

Seseorang yang menolak ghibah dengan cara membela orang yang dighibahi, berarti ia telah membela kehormatan saudaranya. Untuk orang yang berbuat seperti ini, dalam hadits disebutkan:

“Barang siapa membela kehormatan saudaranya maka Allah akan menghalangi wajahnya dari api neraka di hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1931)19

Dalam hadits juga dijelaskan bahwa ghibah dapat membakar puasa, dan ghibah akan menimbulkan bau yang menyengat. Sabda Rasulullah Saw:

“Dari ‘Amar ibn ‘Aun dari Khalid ibn Abdillah dari Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Basyar ibn Abi Saif dari al-Walid ibn Abi Rahman dari ‘Iyad ibn Gutaif dari Abi ‘Ubaidah ibn al-Jarrah, Rasulullah saw. bersabda “Puasa itu tameng sepanjang tidak dibakarnya. Abu Muhammad menambahkannya “dengan ghibah”

“Dari Abd Samad dari Ayahnya dari Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Khalid ibn Arfatah dari Talhah ibn Nafi’ dari Jabir ibn Abdillah berkata “kami bersama Nabi saw. lalu tercium bau bangkai yang sangat menyangat, lalu Rasulullah saw. bertanya “Apakah kalian mengetahui bau apa itu? Ini adalah baunya orang-orang yang mengghibah orang-orang mukmin”

Di dalam hadits juga diceritakan tentang siksaan bagi yang melakukan ghibah, yaitu siksaan di alam barzakh, juga di akherat nanti. Hadits Rasulullah Saw:

“Dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Waki’ dari al-Aswad ibn Syaiban dari Bahr ibn Mirar dari Kakeknya Abi Bakrah berkata, Rasulullah saw. lewat di depan dua kuburan seraya berkata “Kedua penghuni kuburan itu akan disiksa dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satu diantara mereka disiksa karena kencing sedangkan yang satu lagi disiksa karena masalah ghibah.”

“Dari ibn al-Mustafa dari Baqiyah dan Abu al-Mugirah dari Safwan dari Rasyid ibn Sa’ad dan Abd Rahman ibn Jabir dari Anas ibn Malik berkata, Rasulullah saw. berkata “Tatkala saya dimi’rajkan, saya melewati kaum yang memiliki kuku dari besi yang digunakan mencakar wajah dan dada mereka, lalu berkata “siapa mereka wahai Jibril? Lalu Jibril menjawab “Mereka itu orang-orang yang memakan daging manusia dan merusak harga diri mereka”.

Hadits di atas merupakan hadits shahih menurut Salim Bin ‘Ied al Hilali.28 Memakan daging manusia yang dimaksudkan dalam hadits ialah mengumpat orang- orang Islam.29

Di dalam hadits dijelaskan juga bahwa ghibah dapat menjadikan umat nabi Muhammad Saw di akhirat nanti menjadi orang yang bangkrut. Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :

”Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan- kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezhalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Hadits-hadits diatas merupakan hadits yang berhubungan dengan ghibah, diantaranya tentang pengertian ghibah, batasan ghibah, dan sanksi ghibah. Adapun hadits-hadits di atas termasuk hadits maqbul, terdiri dari yang shahih dan yang hasan.

  • Hadits Maqbul adalah hadits dapat diterima sebbagai hujah dalam Islam, karena sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan sanad dan matan.

  • Hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhaabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).

  • Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ‘illat.

Pendapat Ulama Tentang Ghibah


image

Beberapa pendapat ulama tentang ghibah, di antaranya: Imam al-Raghib berpendapat ghibah adalah “seseorang menceritakan aib orang lain tanpa ada keperluan.”39 Syaikh Salim Al-Hilali berpendapat ”Ghibah dibelakang saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.

Menurut mayoritas ulama hadits kata ه9²i ¹aş adalah kekurangan seseorang baik yang terkait dengan fisik, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, pakaian, cara jalan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada kekurangan dan perendahan. Baik menyebutkan aib badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, urusan agamanya, ataupun urusan dunianya.

Jadi ghibah dapat dipahami menceritakan orang lain yang tidak ada ditempat, berupa kekurangan atau sesuatu yang tidak disukainya. Ghibah dapat dilakukan dengan lisan, dan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas, yang sering terjadi di masyarakat jika sudah berkumpul dapat dikategorikan ghibah , karena biasanya jika sudah ada teman maka akan asyik bercerita tanpa disadari aib keluarga dan orang lain diikutkan menjadi bahan untuk dibicarakan.

Referensi
  • Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, PT Hidakarya Agung, 1989.
  • Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah , Bairut Lebanon, Dar al-Fikr, Jilid 4.
  • W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003.
  • Hasan Sa’udi & Ahmad Hasan Irabi, Jerat-Jerat Lisan , Solo, Pustaka Arafah, 2004.
  • Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin, Jakarta , Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
  • Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari , Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H./1991 M, vol. 12.
  • Salim Bin ‘Ied Al-Hilali, Mausuu’ah al-Manaahisy Syar’iyyah Fii Shahiihis Sunnah an Nabawiyyah, Daar Ibnu ‘Affan, Cet I, 1419 H / 1999 M. Terj. Abu Ihsan al-Atsari, Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005.
  • Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim , Cet.31, Jakarta, PT Hidakarya Agung, 1993.
  • Nada Abu Ahmad, Dahsyatnya Bahaya Lisan Wanita, Solo, Nabawi Publishing, 2012.
  • Mahir Ahmad Ash-Shufy, Neraka Kengerian Dan Siksaannya, Solo, Tiga Serangkai, 2007
  • Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an , Amzah, Jakarta, 2007.
  • Muhammad bin Shalih al’utsaimin, Hadis Arba’in Nawawiyah , Yogyakarta, Absolut, 2005.
  • M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi ; Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta, Lentera Hati, 2006.
  • Al-Nawawi, Riyadh al-Salihin , Beirut, al-Maktab al-Islami, 1998.
  • Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini al-masyhur bi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Bairut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), vol. 1.
  • Al-’Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud , jilid 13, Beirut : Dar Ihya’ al- Turath al-’Arabi, 2001.