Kejahatan Genosida
Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee) dari Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan genosida juga mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political groups), karena dalam pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak dengan mudah diidentifikasi (non readily identifiable), termasuk kelompok- kelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional dalam masalah-masalah politik dalam negeri suatu negara.1 Oleh sebab itu, kejahatan genosida mencakup pula bentuk-bentuk lain yang sama dengan kejahatan genosida, yaitu “ethonocide” dan “politicide” (Louis S. Beres, 1998).
Bahkan menurut Troboff, kejahatan genosida (mungkin) dapat mencakup “commission of ecocide”, sebagaimana kejahatan perang yang dilakukan Amerika Serikat di Vietnam. Bahkan Jones dan Wareen menyebut bahwa “ By analogy, gendercide would be the deliberate extermination of persons of a particular sex (of gender). Other terms, such as “gynocide” and “femicide,” have been used to refer to the wrongful killing of girls and women . Mereka kemudian memberikan contoh dengan mengutip suatu kondisi di Indonesia, yang menyebutkan …” I was told that in Cerewek, Gabus, and Sulur (Indonesia, after the 1965-66 genocide)
percent of the population are widows. Some people even said that in Banjardowo it was very hard to find a single adult male. Where could they have gone to?”. Secara yuridis, genosida didefinisikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, rasa, etnis, atau agama. Definisi ini tertuang dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), Tahun 1948, yang kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC, dan juga kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kelompok bangsa dimaksudkan sekumpulan individu-individu yang memiliki identitas berbeda, yang identitasnya ditetapkan melalui suatu tanah air bersama dari bangsa atau asal usul bangsa. Kelompok ras berarti sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan melalui sifat-sifat atau ciri-ciri fisik secara turun-temurun. Kelompok etnis merujuk pada kumpulan individu- individu yang memiliki satu bahasa bersama, serta tradisi atau kebudayaan yang turun-temurun serta satu warisan bersama. Sedangkan kelompok agama adalah sekumpulan individu yang identitasnya ditetapkan melalui keyakinan-keyakinan agama, ajaran-ajaran, ibadah-ibadah atau ritual-ritual bersama.
Selanjutnya, pengertian “dengan sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik seluruh atau sebagiannya”, termasuk dengan sengaja menghilangkan sumber- sumber yang digunakan untuk kelangsungan hidup seperti air bersih, makanan, pakaian, tempat perlindungan atau perawatan medis. Penghilangan sumber- sumber kelangsungan hidup dapat dilakukan melalui pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan, penahanan didalam kamp-kamp, atau pemindahan atau pengusiran secara paksa.
Sedangkan pencegahan kelahiran termasuk sterilisasi diluar kemauan, pengguguran secara paksa, larangan kawin, dan pemisahan pria dan wanita dalam jangka waktu lama yang dimaksudkan untuk mencegah kawin-mawin/ perkembangbiakan kelompok. Pemindahan secara paksa terhadap anak-anak, dapat dilakukan melalui paksaan secara langsung atau melalui rasa takut adanya kekerasan, paksaan, penangkapan, tekanan psikologi atau metode-metode paksaan lainnya.
Kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbedaannya adalah, pertama korban kejahatan genosida ditetapkan sebagai bagian dari satu keempat jenis kelompok (bangsa, etnis, ras atau agama), sedangkan para korban “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah biasanya warga negara, dan penduduk sipil. Kedua, disatu pihak, genosida mensyaratkan “maksud untuk menghancurkan, keseluruhan atau sebagian” satu dari keempat jenis kejahatan tersebut di atas, sedangkan di lain pihak, tidak ada syarat untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Keharusan mengadili pelaku kejahatan perang (termasuk genosida) yang dilakukan selama Perang Dunia II, oleh karena kejahatan tersebut yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bertentangan dengan persyaratan- persyaratan mendasar dari ketentuan hukum perang. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis Yahudi di negara-negara dibawah kekuasaan negara poros (yang membantai lebih dari 9 juta kaum Yahudi). Juga, selain melanggar ketentuan tentang hukum dan kebiasaan perang di darat, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan pelanggaran berat ( frave breaches ) sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.
Genosida, sebagai suatu istilah, secara resmi belum terdapat dalam kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, setidak-tidaknya sampai Tahun 1990. hal ini berarti istilah genosida (genocide) dapat dikatakan tergolong baru, belum lagi makna yang terkandung di dalamnya belum banyak awam yang memahaminya. Oleh karena itu kehadiran buku berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk genosida menjadi penting untuk menambah wawasan kita semua, khususnya aparat yang duduk dalam pemerintahan, TNI, Polri, legislatif maupun yudikatif.
Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 7 menyebutkan, “Kejahatan Genosida” adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di dalam Pasal 8 disebutkan, “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tersebut adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
- membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 8 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 di atas tidak mengatur secara tegas kapan dilakukan kejahatan genosida di waktu damai atau di saat perang, tetapi secara konsisten memberi ancaman hukuman kepada pelaku. Pada Pasal 3 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida disebutkan ada lima perbuatan yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persengkokolan untuk melakukan genosida; © Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida.
Indonesia sampai saat ini belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Pada hal Indonesia mempunyai falsafah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang ‘hitam di atas putihnya’ sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Bahkan seharusnya kita berani mengakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, khususnya selama Orde Baru berkuasa dan ratifikasi genosida khususnya yang berkaitan dengan agama masih terus dijalankan hingga kini (Tahun 2003).
Di Indonesia sejak Tahun 1967, dengan dikeluarkannya Inpres 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina, keberadaan kebudayaan Cina yang nota bene telah memberikan sumbangsih dan memperkaya khasanah budaya Indonesia diupayakan untuk dimatikan secara sistematis dan terencana. Demikian pula keberadaan agama Konghucu, walaupun dipeluk oleh sebagian penduduk Indonesia yang tersebar di semua propinsi yang ada di Indonesia, dengan Inpres 14 Tahun 1967 itu hendak dimatikan dan upaya itu dilakukan secara sistematis, dengan mulai dikeluarkannya agama Konghucu dari kolom agama dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh Biro (sekarang Badan) Pusat Statistik Indonesia, dilarangnya pencantuman agama Konghucu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), dilarangnya pemeluk agama Konghucu mengadakan acara keagamaan di gedung-gedung umum, ditolaknya pencatatan perkawinan antar pasangan yang beragama Konghucu di kantor Catatan Sipil. Bahkan, kendatipun Inpres 14 tahun 1967 itu sudah dicabut dengan Keppres Nomor 6 tahun 2000, pelarangan pencantuman Konghucu dalam kolom agama di KTP dan penolakan pencatatan perkawinan pasangan Konghucu masih terus terjadi hingga kini di berbagai kota di Indonesia.
Bahwa perlakuan pemerintah Republik Indonesia terhadap etnis Tionghoa, khususnya umat Konghucu di Indonesia merupakan cultural genocide (genosida budaya). Atau dengan kata lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, walaupun diakui ratifikasi secara hukum masih membutuhkan perjalanan panjang. Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida maupun nilai-nilai (etika-moral) universal yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan yang dipeluk/dianut oleh bangsa Indonesia.