Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perilaku Menyimpang Anak atau Conduct Disorder ?

Gangguan Perilaku Menyimpang Anak atau Conduct disorder

Gangguan Perilaku Menyimpang Anak atau Conduct disorder adalah pola perilaku yang menetap dan berulang, ditunjukkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk rata-rata seusianya.

Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perilaku Menyimpang Anak atau Conduct Disorder ?

Menurut DSM-IV-TR, gangguan perilaku menyimpang atau conduct disorder adalah pola prilaku tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma susila. Dalam bukunya Tingkah Laku Abnormal, Linda De Clerg mengemukakan bahwa istilah gangguan tingkah laku atau conduct disorder mengacu pada pola prilaku antisosial yang bertahan yang melanggar hak-hak orang lain dan norma susila.

Gangguan tingkah laku/ conduct disorder (CD) merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang paling sulit ditangani pada anak-anak dan remaja, CD melibatkan sejumlah prilaku bermasalah, (misalnya, berbohong mencuri, melarikan diri, kekerasan fisik, prilaku seksual
koersif)

Charles Wenar Dan Patricia Kering dalam bukunya Development Psychopathology From Infancy Though Adolescence dalam DSM-IV-TR yaitu aggression to people and animal (agresi terhadap orang lain dan hewan), destruction of people (menghancurkan kepemilikan), deceitfulness or theft (berbohong atau mencuri) dan serious violation of rules (pelanggaran aturan yang serius).

American Psychiatric Assoociation, mengemukakan beberapa kriteria conduct disorder dari masing-masing kategori conduct disorder sebagai berikut :

  • Pertama conduct disorder merupakan pola prilaku yang repetitive dan presisten yang ditandai dengan adanya hal-hal dasar. Setidaknya 3 dari hal-hal berikut muncul dari 12 bulan terakhir, seperti aggression to people and animal (agresi terhadap orang dan hewan), misalnya :

    1. sering melakukan bully, ancaman, mengintimidasi orang lain,

    2. sering memulai pertengkaran fisik terhadap orang lain

    3. menggunakan senjata yang dapat menyebabkan bahaya fisik terhadap orang lain misalnya : (tongkat, botol pecah, pisau, pistol)

    4. melakukan kekejaman fisik terhadap orang lain

    5. melakukan kejahatan fisik terhadap hewan

    6. mencuri sambil mengkonfrontasi korban contohnya: (pencopet, perampok bersenjata)

    7. memaksa seseorang melakukan aktifitas seksual, atau melakukan pengerusakan barang

    8. melakukan pembakaran secara sengaja dengan tujuan untuk menghasilkan kerusakan yang serius

    9. melakukan pengerusakan barang dan benda secara sengaja. Atau melakukan penipuan dan pencurian.

    10. masuk secara paksa ke dalam rumah, bangunan atau mobil

    11. sering berbohong untuk memperoleh barang dan jasa atau untuk menghindari kewajiban

    12. mencuri tanpa konfrontasi atau melakukan pelanggaran yang serius

    13. sering keluar rumah pada malam hari walaupun dilarang yang di mulai pada usia 13 tahun

    14. melarikan diri dari rumah pada malam hari setidaknya 2 kali selama tinggal di rumah orang tua atau orang tua asuh (atau satu kali tanpa kembali ke rumah untuk jangka waktu yang lama)

    15. sering bolos dari sekolah yang dimulai dari usia 13 tahun.

  • Kedua, gangguan prilaku tersebut menyebabkan kerusakan yang signifikan pada fungsi sosial, akademis atau pekerjaan.

  • Ketiga, apabila individu berusia 18 tahun atau lebih maka kriteria yang ditampilkan bukan conduct disorder tetapi Antisocial Personality Disorder.

Epidemiologi


Gangguan tingkah laku lazim ditemukan di masa kanak dan remaja. Angka perkiraan gangguan tingkah laku didalam populasi umum berkisar dari 1 hingga 10 persen. Gangguan ini lebih lazim ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan resionya berkisar sekitar 4:1 hingga 12:1. Gangguan tingkah laku lebih lazim ditemukan pada anak dari pada orang tua yeng memiliki gangguan kepribadian antisosial dan ketergantungan alkohol dibandingkan populasi umum. Prevelensi gangguan tingkah laku dan prilaku antisosial secara signifikan terkait dengan factor sosial ekonomi.

Klasifikasi Conduct Disorder


Berdasarkan awal munculnya gangguan tingkah laku atau conduct disorder dapat di bagi menjadi tiga yaitu :

  • Conduct disorder, childhood-onset type : kemunculan sekurang-kurangnya satu kriteria conduct disorder sebelum usia 10 tahun

  • Conduct disorder, aldolescent-onset type : karateristik conduct disorder tidak ada yang ditampilkan sebelum usianya 10 tahun

  • Conduct disorder, unspecified onsed : usia kemunculan tidak di ketahui.

Berdasarkan tingkat keparahan maka conduct disorder dapat dispesifikan sebagai berikut:

  • Pertama mild : masalah prilaku hanya sedikit melewati kriteria yang di syaratkan (kalau ada) dan masalah prilaku hanya menyebabkan bahaya ringan terhadap orang lain.

  • Kedua moderat : jumlah dan dampak masalah prilaku berada di antara ‘’mild’’ dan ‘’severe’’

  • Ketiga severe : masalah prilaku banyak melewati kriteria disyarat atau masalah prilaku menyebabkan bahaya yang besar terhadap orang lain.

American Psychiatric Assoociation menjelaskan bahwa conduct disorder, terutama jenis conduct disorder childhood-onset type, lebih banyak di miliki oleh laki-laki dari pada perempuan. Perbedaan jender dengan diagnosis conduct disorder sering kali menampilkan prilaku mempengaruhi juga jenis masalah conduct yang ditampilkan. Laki-laki bertengkar, mencuri, vadalisme dan pelanggaran disiplin sekolah. Sedangkan perempuan dengan diagnosis conduct disorder seringkali menampilkan prilaku berbohong, bolos, melarikan diri dari rumah, menggunakan obat terlarang dan prostitusi.

Perilaku konfrontatif lebih banyak digunakan laki-laki dari pada perempuan.

Etiologi


Tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab terhadap timbulnya prilaku antisosial dan gangguan tingkah laku. Namun, banyak faktor biopsikososial yang turut berperan didalam timbulnya gangguan ini.

Faktor-faktor penyebab yang menyebabkan conduct disorder dapat dibedakan menjadi faktor biologis, faktor individual dan faktor keluarga.

Faktor Biologis

Tempramen merupakan penyebab biologis bagi terbentuknya conduct disorder. Sebagai contoh Moffit dan Lyman mengatakan bahwa hal yang mempengaruhi berkembangnya prilaku yaitu adanya disfungsi neoropsikologi yang berhubungan dengan tempramen sulit yang memicu impulsivitas, perasaan mudah tersinggung dan aktifitas berlebihan pada anak.

Tempramen merupakan gaya karakteristik seseorang dalam melakukan pendekatan dan bereaksi terhadap orang dan situasi dilingkungan. Tempramen dapat diartikan sebagai cara (bagaimana) seseorang melakukan suatu hal.

Bayi berusia 8 minggu sudah menunjukan tanda-tanda perbedaan tempramen yang membentuk bagian penting dalam kepribadiannya. A. Thomas, Chess dan Birch mengidentifikasi 9 komponen yang muncul pada bayi setelah lahir yaitu :

  1. Level aktifitas : bagaimana dan sebanyak mana individu bergerak

  2. Ritme dan keteraturan : sejauh mana suatu siklus biologis dipresiksi, seperti waktu lapar, waktu tidur dan buang air.

  3. Respon mendekat (approach) atau menjauh : bagaimana suatu individu berespon awalnya berespon terhadap stimulasi baru, seperti mainan atau orang baru.

  4. Adaptasi : seberapa mudah suatu respon awal dimodifikasi dengan situasi yang baru atau situasi yang berubah

  5. Ambang responsivitas : berapa banyak stimulus untuk menghasilkan suatu respon.

  6. Intensitas reaksi : seberapa energy individi dalam merespon

  7. Kualitas suasana hati (mood) : apakah individu memperlihatkan

  8. Mayoritas prilaku yang menyenangkan, gembira atau bersahabat atau sebaliknya.

  9. Distrabilitas : sejauh mana stimulasi yang relefan dapat mengubah dan menganggu prilaku individu.

  10. Rentang perhatian dan presistensi : berapa lama suatu individu melakukan aktofitas dan tetap melanjutkan walupun ada hambatan

Berdasarkan 9 komponen tempramen tersebut, para peneliti menetapkan tiga pola temprement yaitu :

  • Tempramen mudah (easy)
  • Tempramen sulit (difficult)
  • Temptramen lambat (slow-to-warm-up)

Penjelasan dari setiap pola tempramen tersebut dalam tabel berikut ini,

Tabel Pola tempramen
Pola tempramen

Menurut A. Thomas dan Chess; Braungart, Plomin, DeFries dan Fulker dkk, bahwa temperament mayoritas di temukan oleh factor hereditas. Menurut A. Thomas dan Chess dalam Diane E. Papalia dan Sally Wendoks Olds, perbedaan individu dengan temperament dasarnya tampaknya tidak ditentukan oleh sikap orang tua atau gender, urutan kelahiran atau kelas sosial. Namun menurut Person-Blennow dan Mc. Neil temperament dapat berubah seiring berjalannya waktu. Hal itu ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh New York longitudinal study (NYLS) pada tahun 1984 yang menemukan bahwa individu menunjukan adanya perubahan temperament walaupun 9 aspek dasar temperament yang mereka miliki tetap stabil. Tampaknya terkadang hal itu disebabkan oleh adanya kejadian/pristiwa yang dialami oleh individu atau adanya perbedaan prilaku orang tua dalam mengenali anaknya.

Karakter temperament saja bukanlah faktor tunggal yang menentukan tempranent akhir individu. Hal itu dipengaruhi oleh adanya kesesuaian antara temperament dasar anak dan lingkungan sehinga menentukan apakah perkembangan anak menjadi sehat atau pathologis Anak akan mengalami stress apabila dituntut untuk beprilaku yang berkebalikan dengan temperament dasarnya. Misalnya anak yang sangat aktif dan tinggal di rumah yang kecil diharapkan duduk diam unuk waktu yang lama. Anak yang slow-to-warm-up dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan banyak orang dan situasi baru

Selain itu juga yang berperan dalam pembentukan masalah prilaku pada anak walaupun peran lingkungan tidak dapat di kesampingkan. Selain itu, Charles wenar dan patricia Kering memaparkan faktor biologis lainnya yang juga dapat berperan dalam pembentukan gangguan tinggkah laku pada anak yaitu adanya keracunan pada janin dan masalah psikologis berupa rendahnya denyut jantung dan respon galvanic pada kulit sehingga anak-anak mencari stimulus melalui prilaku tidak terkontrol, adanya faktor biokimia atau hormon.

Faktor Individual

Faktor individual yang berperan dalam pembentukan conduct disorder pada anak yaitu regulasi diri (self regulation) yang kurang terbentuk sejak dini, regulasi emosi yang buruk sehingga anak tidak dapat mengembangkan strategi coping (strategi dalam mengatasi masalah) yang baik untuk mengatasi emosi negatifnya dan mengatur emosinya, kurang berkembangnya pemahaman moral dan empati, kognisi sosial anak yang berkembang dengan buruk, dan penggunaan obat-obatan terlarang. berikutnya yang akan di jelaskan megenai masing-masing faktor tersebut

  1. Regulasi Diri

    Regulasi diri merupakan hal yang penting agar seseorang dapat berfungsi Secara normative dilingkungannya. Harapan lingkungan terdapat kemampuan anak dalam mengontrol dorongan/ impuls dalam dirinya semakin tinggi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Oleh karna itu, penanaman control diri sejak usia dini merupakan hal yang penting karena anak usia balita dan prasekola memiliki dorongan yang tinggi untuk semakin memuaskan agresif, seksual dan rasa ingin tahunya. Penelitian Hinswam dan lee menunjukan bahwa anak-anak dengan conduct disorder memiliki kemampuan terbatas dalam menunda dorongan/impuls dan mentoleransi rasa frustasi.

    Anak-anak yang melaksanakan aturan/perintah ibu dengan rela dan sepenuh hati bukan sekedar mematuhi semata, merupakan anak-anak memiliki hubungan emosional timbal-balik yang positif dengan orang tuanya. Pola asuh untuk menanamkan control diri pada anak perlu disesuaikan dengan temperament masing-masing anak. Anak bertemprament sulit merupakan anak yang beresiko memiliki conduct disorder. Untuk meningkatkan regulasi diri pada anak yang bertemprament sulit, dibutuhkan adanya peran orang tua yang besar untuk melibatkan diri dan memberikan dukungan emosional kepada anaknya.

  2. Regulasi Emosi

    Regulasi emosi merupakan bagian dari kontrol diri yang berperan bagi terbentuknya conduct disorder. Anak-anak dengan conduct disorder dalam kondisi keluarga yang bermasalah, mendapat pola asuh yang buruk, dan mengalami konflik tingkat tinggi sehingga mereka memiliki emosi yang kuat namun kurang mendapatkan dukungan untuk mengatasinya dari orang tua juga yang mengalami stres dan tidak terlatih. Oleh karnanya mereka gagal mengembangkan strategi yang tepat untuk mengatur emosi negatif dan mengatur ekspresi mereka. Penelitian lainnya menunjukan bahwa anak dengan conduct disorder mengalami kesulitan dalam mengatur emosinya, terutama kemarahan. Selain itu, anak dengan regulasi emosi yang buruk juga cenderung berespon secara agresif terhadap masalah intrerpersonal yang dihadapinya.

    Selain kontrol emosi yang minimal dapat mengarah kepada terbentuknya conduct disorder, kontrol emosi yang berlebihan dapat berdampak sama. Penelitian terhadap anak perempuan menunjukan bahwa control berlebihan terhadap emosi negatif yang membuat anak menahan amarahnya sekuat mungkin dapat menyebabkan emosi negatif tersebut terlampiaskan pada usia selanjutnya.

  3. Perkembangan Prososial

    Pada saat anak memasuki usia sekolah dasar, anak mulai beranjak dari keadaan cognitive egocentrism (anak dapat memandang dunia dengan sudut pandang orang lain dengan mempertimbangkan hak dan perasasaan orang lain). Prespective-taking yaitu kemampuan untuk melihat berbagai hal dari sudut pandang orang lain, merupakan faktor penting bagi bagi perkembangan dan penalaran moral dan empati. Penalaran moral dan empati dapat mencegah kecenderungan prilaku antisosial dan agresif.

  4. Kognisi Sosial

    Perilaku agresif tidak semua ditentukan oleh faktor pencertus di lingkungan namun kecenderungan agresif ada didalam karakter individu. Agresif berakar pada cognitive schemata yaitu kecenderungan untuk menginterpretasikan dan berespon dari pengalaman masa lalu dan digunakan untuk membimbing prilaku dimasa yang akan datang.

    Anak-anak dengan conduct disorder memiliki definisi dalam mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah interpersonal. Selain itu anak-anak dengan conduct disorder juga memiliki cara berbeda untuk merespon informasi sosial. Mereka seringkali salah dalam menginterpretasikan niat/intensi orang lain dilingkungannya sehingga cenderung berespon secara impuls ataupun berlebihan. Mereka juga hanya memiliki sedikit alternative dalam mengatasi masalah interpersonal dan mengharapkan hasil positif dari tindakan agresifnya.

  5. Penggunaan Obat Terlarang

    Penggunaan obat terlarang juga menyumbang terjadinya prilaku kriminal yang serius. hubungan antara conduct disorder cenderung kompleks transaksional. Disatu sisi remaja yang tidak mampu mengatur prilaku dan emosinya dapat merasa tertarik pada tantangan dan sensasi penggunaan obat terlarang. Apabila ia telah menyandu obat terlarang maka ia akan semakin sering terlibat dalam aktifitas illegal untuk mendapatkan obat terlarang dan menjadi bagian dari lingkungan antisosial. Selain itu, bahan yang terkandung dalam alkohol dan obat terlarang dapat memicu seseorang untuk terlibat dalam tindakan beresiko dan illegal.

Faktor Keluarga

Salah satu faktor yang paling berpengaruh gangguan tingkah laku adalah pengaruh lingkungan keluarga. Perilaku anti sosial anak berhubungan dengan :

  • Prilaku antisosial orangtua mereka

  • Strategi disiplin orang tua yang tidak efektif dan tidak konsisten serta lemahnya pengawasan orang tua (kurang tehnik dan keterampilan)

  • Kurang komunikasi dan kasih sayang orang tua atau keluarga dan tigginya konflik keluarga.

Faktor keluarga yang mempengaruhi terbentuknya conduct disorder adalah kelekatan orang tua dan anaknya, masalah dalam rumah tangga, psikopatologi yang dialami orang tua, pola asuh kasar dan penurunan prilaku agresif antara generasi, adanya teori coercion, dan proses transaksional dalam keluarga. Berikut penjelasan mengenai masing-masing faktor :

  1. Attachment

    Kelekatan yang bersifat insecure antara orang tua dan anak ketika bayi mengarah bagi terbentuknya masalah prilaku pada saat anak berusia prasekolah, seperti prilaku kasar dan melawan. Namun menurut Greenberg, dan Spritz dan Deklyen dalam Charles wenar patricia kering, penelitian terakhir belum menemukan adanya dampak langsung dari attachment terhadap prilaku antisosial. walaupun hubungan yang buruk antara orang tua dan anak membaw resiko bagi perkembangan psikopatologi secara umum.

  2. Masalah Dalam Rumah Tangga

    Menurut Shaw dkk dalam Charles Weanar dan Patricia kering, masalah yang terjadi dalam keluarga merupakan subur bagi terbentuknya priklku antisosial untuk mencari perhatian lingkungan, terutama pada anak laki-laki. Anak-anak yang melihat atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan berpotensi untuk mengembangkan masalah prilaku. Anak juga sering menjadi target kekerasan orang tuanya, misalnya anak yang mengalami ganggua prilaku biasanya merupakan anak yang pernah mendapatkan perlakuan salah dari orang tuanya.

    Gangguan tingkah laku juga berhubungan dengan konflik antara orang tua dan perceraian orang tua walaupun tidak disertai kekerasan. Namun menurut McCord, bukan keadaan broken home sendiri yang menyebabkan masalah prilaku pada anak melaikan kualitas emosional yang ditampilkan antara angfota keluarga. Misalnya anak laki-laki jarang menjadi nakal walaupun hanya diasuh oleh ibu sebagai orang tua tunggal, selama ibu memiliki pola asuh yang baik dan berhubungan yang seportif dengan anak.

    Hal senada juga terungkap dari sebuah studi tentang para ibu bercerai yang depresif dan yang tidak depresif. Forgatch dan Patterson dalam Linda De Forgatch menemukan bahwa para ibu yang depresif secara signifikan lebih mudah marah sehingga tidak efektif dalam menerapkan disiplin dibandingkan dengan ibu yang tidak depretif. Kemudian anak ibu yang depretif lebih agresif dengan anak ibu yang tidak agretif. Study ini memberikan dukungan bagi hubungan antara depretifnya ibu dan sikap mudah marahnya ibu dengan pemberian disiplin yang tidak efektif dan tingkahlaku yang antisosial anak. Keluarga dengan singe; parent juga beresiko terhadap prilaku conduct disorder pada anak. Figur seorang ayah juga sangat dibutuhkan oleh seorang anak. Seorang anak laki-laki tanpa adanya figure seorang ayah akan beresiko terhadap perilaku conduct disorder.

    Kebanyakan dari anak yang agresif dari keluarga yang paling tidak salah satu dari orang tuanya kejam terhadap orang tuanya yang lain, kejam terhadap anak, terhadap saudara-saudaranya ataupu terhadap orang-orang lain diluar keluarga. Kebanyakan anak-anak yang agresif ini mendapat penyiksaan baik secara fisikmaupun emosional.

  3. Psikopatologi Orang Tua

    Orang tua penguna obat-obatan terlarang, terutama ayah kemungkinan besar memicu conduct disorder pada anak. Depresi dialami oleh ibu juga berkaitan dengan masalah gangguan pada anak. Orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial juga meningkatkan kemungkinan muncul dan bertahannya gangguan tingkah laku pada anak.

  4. Pola Asuh Yang Keras Dan Penurunan Prilaku Agresif Antar Generasi

    Penelitian menunjukan bahwa prilaku agresif tidak hanya diturunkan antat generasi sebelumnya juga dan prilaku agresif tersebut diturunkan melalui proses modelling (meniru). Misalnya meniru kekerasan yang dilakukan antar orang tua terhadap anak melalui hukuman yang kasar.

    Sering kali orangtua merupakan model dalam sikap-sikap mereka menggunakan hukuman fisik dan emosional diterapkan dengan keras. Anak biasanya mengamati dan meniru prilaku agresif orang tuanya. Prilaku agresif anak juga disebabkan karena prilaku criminal orang tua dan minuman alcohol. Di samping itu juga disebabkan karena adanya gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua. Depresi pada orangtua sangat erat kaitannya dengan masalah gangguan tingkah laku.

Diagnosis


Gangguan tingkah laku berarti khas dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosiasi, agresif atau menentang yang berulang dan menetap. Penelitian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan tingkah perkembangan anak.

Temper tamtrums, merupakan gejala normal perkembangan anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar bagi diagnosis. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti pada tindak pidana kekerasan) tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut.

Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosti mencakup hal-hal berikut :

  • perkelahian atau mengertak pada tingkat berlebihan ;
  • kejam terhadap hewan atau sesama manusia ;
  • perusakan yang hebat atas barang milik orang ;
  • membakar ;
  • pencurian ;
  • pendustaan berulang-ulang;
  • membolos diri dari sekolah dan lari dari rumah;
  • sangat serius melupakan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa;
  • perilaku provokasi yang menyimpang; dan sikao menentang yang berat serta menetap.

Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah cukup menjadi alasan bagi diagnosis ini, namun demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang kuat.

Dignostik ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan diatas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.

Pengobatan


Pendekatan Biofisikal

Terapi bagi anak yang mengalami penyimpangan tingkah laku bertujuan untuk mengurangi prilaku yang mengganggu, memperbaiki prestasi sekolah dan hubungan dengan lingkungannya, serta lebih mandiri di rumah dan di sekolah. Disamping itu, terapi ditunjukan untuk meningkatkan kepercayaan diri anak dan perilaku yang lebih aman di komunitas.

Saat dilaksanakan terapi disarankan keluarga penderita dilibatkan agar terapi dapat berlangsung dengan lebih efektif. Keterlibatan anggota keluarga lainnya dan guru sangat diperlukan dalam penanganannya. Dalam hal ini dokter berperan sebagai edukator dan konsultan bagi penderita dan keluarga penderita. Terapi biofisikal dilakukan dengan cara mengontrol zat-zat yang ada dalam otak. Pilihan utama terapi adalah obat dari golongan psikostimulan. Salah satunya adalah Methylphenidate.

Obat tersebut diberikann bila gejalannya cukup mengganggu, terjadinya hambatan fungsi sosial, edukasi dan emosional. Dengan memberi obat terapi lainnya bias berhasil. Biasanya pengobatan diberikan sesudah jam sekolah. Berdasarkan penelitian, methylphenidate dapat dipakai sebagai pengobatan. Seminggu sejak pengobatan terjadi perbailkan tingkah laku dan memperbaiki produktifitas, akurasi, dan efesiensi. Mekanisme kerja methylphenidate adalah meningkatkan pelepasan dopamine dan noradrenalin di dalam otak. Zat terbesbut juga memblokir masuknya kembali kedua neurotransmiter itu ke dalam otak. Saat ini methylphenidate dikembangkan dengan teknologi mutakhir yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan penderita dalam mengontrol kadar neorotransmiter.

Pendekatan Psikodinamik

Setiap manusia berkembang melalui serangkaian interaksi tenaga-tenaga herediter (keturunan) dengan keadaan lingkungannya. Kekuatan interaksi ini berbeda antara satu orang dengan orang lain.

Sifat-sifat herediter diturunkan oleh orang tuannya kepada anak- anaknya melaui gen-gen. Setiap orang memiliki potensi keturunan tertentu. Manusia adalah mahluk unik kerena kemungkinan kombinasi gen-gen yang banyak dengan berbagai corak situasi lingkungan serta berlapis-lapis aneka pengalaman sejak konsepsi diawali maka setiap aspek yang ada disekeliling selalu berinteraksi dengan potensi dari keturunan

Pada waktu lahir, bayi memberikan sahutan terhadap rangsangan-rangsangan pertama yang ada disekitarnya. setelah bayi berkembang dari hari-ke hari, berinteraksi dengan lingkungannya, bayi yang secara psikologis belum memiliki bentuk itu sekarang berdiferensiasi, kemudian berkembang menjadi EGO atau AKU. Dari sudut pandang psikodinamik, maka dalam proses perkembangan egonya, kepribadian sibayi diorganisasikan disekeliling inti yang terdiri dari kebutuhan psikologi dan biologis.

Dalam hal ini dikaitkan dengan anak berkebutuhan khusus terutama anak tranagrahita yang sama-sama manusia dan memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia pada umumnya terutama dalam kebutuhan psikologis dan biologis. Terapi dalam hal ini bagaimana cara anak tunagrahita berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanya, karena ini merupakan faktor faktor penting dalam perkembangan ego. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak tunagrahita dapat mengalami frustasi, konflik, bagaimana cara kita sebagai seorang pendidik dalam bidang ini untuk berusaha memenuhi kebutuhan anak tunagrahita, cara kita melindungi dan meningkatkan integrasi egonya. Hal ini tergantung sejauh mana kita mengenal anak tersebut dan memahami kareteristik anak tersebut. Salah pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan psikodinamik, yaitu :

  • ID atau dorongan-dorongan dalam diri prinsip kerajnaya adanya kepuasan berkaitan dengan nafsu dan sex, berada dibawah alam sadar

  • Ego prinsipnya kenyataan dan bersifat eksklusif mengintegrasikan anatar id super id (rality principle) mengatur dan menahan desakn dalam diri sasuai dengan realita. Ego terbagi menjadi dua :

    • ego ideal: dengan aturan-aturan standar normal
    • conscience: kata hati, timbul akibat tekanan, peringatan, hukuman yang datang dari luar.

Menurut Freud, tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ketidak sadaran, sifat dari tingkah laku manusia itu mekanis. Aneka situasi yang menekan yang mengancam akan menimbulkan kecemasan dalam diri seseorang. Kecemasan ini berfungsi sebagai peringatan bahaya sekaligus merupakan kondisi tidak menyenangkan yang perlu diatasi. Jika individu dapat mengatasi sumber tekanan (stressor), kecemasan akan hilang. Sebaliknya jika individu gagal dan kecemasan terus mengancam mungkin dengan intensitas yang meningkat pula, maka individu akan menggunakan salah satu atau beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri. Langkah ini secara spesifik dapat membebaskan individu dari kecemsannya, namun akibatnya akan dapat timbul kesenjangan antara pengalaman individu dalan realitas. Pendekatan psikodinamik dalam mengkaji gangguan pasien senantiasa melihat jauh ke masa awal perkembangan pasien. Kewajiban itu ingin melihat jika pasien pernah mengalami trauma atau frustasi yang dialami dalam menjalankan kehidupan yaitu masa oral, masa anal, masa phalis, masa laten hingga masa genital.

Sumber : Yuna Sartika dan Paulina Kibi, Conduct Disorder & Antisocial Personality Disorder, Program studi Psikologi, Universitas Mercu Buana.

Referensi
  1. Carr, A. (2001). Abnormal psychology : psychology focus. East Sussex : psychology press.
  2. McCabe, K, M, Hough, R, Wood, P.A., & Yeh. M. (2001). Childhood and adolescent onset conduct disorder : A Test of the Developmental Taxonomy. Jurnal of abnormal child psychology 29 (4). 283-305.
  3. American Psychiatry Association, 2000. diagnostic and statistical manual of mental disorder (4th ed) Text Revision Washington, DC: American Psychiatric Association
  4. Linda De Clerg,1994. Tingkah Laku Abnormal, dari sudut pandang perkembangan, Jakarta: Grasindo
  5. Charles Wenar Dan Patricia Kerig,.tt. Devwlopment Psychology From Infancy Through Adolescence, ed ke-5 New York : McGmraw-hill
  6. Brainstem E, B ettina, 2014, Conduct Disorder, California. Health Sciences Clinical Pofessor of Psychiatry and Biobehavioral Sciences, University of California.
  7. DSM IV
  8. DSM V
  9. Sadock, Benjamin J. 2010 . Kaplan & sadock’s buku ajar psikiatri klinis/Benjamin J. Virginia A. sadock; alih bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa ; editor edisi bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Ratna Neary Elseria Sihombing. Ed.2.

Conduct disorder diterjemahkan sebagai pola perilaku menetap yang menyerang hak asasi orang lain dan melawan norma umum yang berlaku atau yang sesuai. Gangguan ini memiliki empat tanda-tanda utama, yaitu menyakiti manusia atau hewan, merusak milik orang lain, berbohong dan mencuri, dan melanggar norma social (Dean J. Robinson, 2009).

Selain itu orang yang mengalami tanda-tanda tersebut juga tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik dalam lingkungan rumah maupun sekolahnya.

Jenis-jenis Conduct Disorder

Dibawah ini merupakan beberapa kategori conduct disorder menurut The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO, 1992):

  1. Conduct disorder yang dibatasi dalam konteks keluarga merupakan conduct disorder yang meliputi perilaku abnormal sepenuhnya, atau hampir sepenuhnya, dibatasi dengan rumah dan atau interaksi dengan keluarga.

  2. Conduct disorder yang tidak terisolasi: merupakan conduct disorder yang ditandai dengan kombinasi perilaku disosial dan agresif yang berulang (tidak hanya perilaku melawan, menyimpang, atau mengganggu), dengan abnormalitas yang dapat menembus secara signifikan dalam hubungan individualnya dengan anak-anak yang lain.

  3. Conduct disorder yang terisolasi: merupakan conduct disorder yang meliputi perilaku sosial dan agresif yang berulang (tidak hanya perilaku melawan, menyimpang, atau mengganggu), yang terjadi pada individu yang terintegrasi dengan baik ke dalam per group-nya.

Ciri-ciri Conduct Disorder

Carr (2001) menyajikan karakteristik perilaku conduct disorder sebagai berikut:

1. Kognitif

  • Internalisasi peraturan-peraturan dan norma-norma social terbatas

  • Menunjukkan permusuhan karena prasangka

2. Afeksi

  • Mudah marah dan tersinggung

3. Perilaku

  • Menunjukkan pola perilaku antisosial

  • Suka menentang

  • Agresif

  • Merusak

  • Berbohong dan mencuri

  • Bersikap kejam

  • Melarikan diri dari rumah

  • Melakukan kekerasan seksual

  • Menggunakan obat-obatan

4. Kondisi Fisik

  • Masalah fisik diakibatkan perilaku yang beresiko tinggi seperti berkelahi, penyalahgunaan obatobatan atau akibat perilaku seks yang tidak aman

5. Penyesuaian Interpersonal

  • Hubungan bermasalah dengan orangtua, guru, dan sebaya bahkan dapat meluas ke masyarakat.

Secara lebih rinci lagi, dikatakan oleh Kearney (2003) bahwa gejala-gejala remaja yang mengalami conduct disorder adalah sebagai berikut : suka melakukan intimidasi pada orang lain, suka berkelahi, menggunakan senjata, melakukan kekerasan seksual, merusak barang milik diri sendiri dan orang lain, menyulut pertengkaran, berbohong, suka keluar malam, suka minggat dari rumah, bolos dari sekolah, mencuri dan melakukan kekerasan fisik pada orang lain atau hewan.

Tipe Kemunculan Berdasarkan Usia

Conduct disorder childhood-onset type: sekurang-kurangnya 1 kriteria conduct disorder sebelum 10 tahun. Conduct disorder adolescent-onset type: tidak adanya 1 kriteria pun dari karakeristik conduct disorder sebelum usia 10 tahun. Conduct disoerder unspecified onset: usia onset tidak diketahui.

Faktor yang Mempengaruhi

Remaja dengan conduct disorder dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah adanya faktor genetic, gangguan pada masa prenatal, masalah pada neurobiologist, kehidupan sosialnya yang mencakup lingkungan juga budaya dan pergaulan.

1. Faktor Presipitasi

Penolakan dari orang tua sejak awal kehidupan si anak, perpisahan dari orang tua tanpa adanya alternative pengasuh yang baik, penelantaran dari keluarga, child abuse dan kekerasan pada anak, faktor genetik dari keluarga, orang tua dengan gangguan jiwa, perkawinan orang tua yang bermasalah, faktor lingkungan dan teman.

2. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor psikobilogik biasanya akibat :

Riwayat genetika keluarga yang terjadi pada kasus retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas atau kecemasan.

3. Faktor Lingkungan

Perawatan pranatal yang buruk, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.

Pengertian Conduct Disorder

Menurut DSM-IV;APA (Kearney, 2003) conduct disorder adalah pola perilaku yang menetap dan berulang, ditunjukkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk rata-rata seusianya. Namun definisi ini tidak secara gamblang dimaknai demikian karena ada kriteria spesifik yang membuat seseorang bisa dikatakan mengalami conduct disorder.

Dalam DSM IV, dikatakan kembali bahwa seseorang baru dapat dikatakan memenuhi kriteria ini jika ia menunjukkan 3 gejala spesifik selama sekurang-kurangnya 12 bulan dan paling tidak 1 gejala muncul selama lebih dari 6 bulan terakhir. Gejala tersebut adalah agresi terhadap orang atau binatang, merusak barang-barang, suka berbohong atau mencuri dan melanggar aturan.

Gejala/Karakteristik Conduct Disorder

Secara lebih rinci lagi, dikatakan oleh Kearney (2003) bahwa gejala-gejala remaja yang mengalami conduct disorder adalah sebagai berikut : suka melakukan intimidasi pada orang lain, suka berkelahi, menggunakan senjata, melakukan kekerasan seksual, merusak barang milik diri sendiri dan orang lain, menyulut pertengkaran, berbohong, suka keluar malam, suka minggat dari rumah, bolos dari sekolah, mencuri dan melakukan kekerasan fisik pada orang lain atau hewan.

Salah satu pola perilaku lain pada masa anak-anak yang dapat menyebabkan conduct disorder pada masa remaja adalah perilaku membangkang. Gambaran dasar dari gangguan perilaku membangkang adalah suatu pola berulang dari negavististik, membangkang, tidak patuh, sikap permusuhan terhadap figur otoritas yang menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan. Sebagai tambahan untuk menjelaskan gejala dasar dari ketidakpatuhan ini anak-anak cenderung mudah kehilangan moodnya, marah, berargumentasi, mengganggu orang lain dan menyalahkan orang lain. Anak-anak ini juga memiliki watak pendengki dan mudah tersinggung. Perilaku ini seringkali memburuk dengan berjalannya waktu dan jika ditambah dengan agresi serta ketidakberfungsian keluarga maka keadaan ini menjadi prediktor yang baik akan timbulnya kenakalan remaja. Meskipun demikian, pada kenyataannya beberapa gejala depresi juga terdapat pada conduct disorder. Misalnya : merasa memiliki harga diri yang rendah, merasa tidak bernilai/berharga, menghindari kontak sosial, dll.

Heward & Orlansky (Sunardi, 1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu: pertama, adanya ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan. Kedua, adanya ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik. Ketiga, tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal. Keempat, mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi. Kelima, kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah. Simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizing behavior memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah.

Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan tentang karakteristik anak yang mengalami conduct disorder sebagai berikut:

a. Inteligensi dan Prestasi Belajar

Beberapa ahli menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal.

b. Karakteristik Sosial dan Emosi.

Agresif, acting-out behavior (externalizing) Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku-perilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak dengan conduct disorder.

c. Immature, withdrawl behavior (internalizing)

Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami keterasingan sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersenang-senang. Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk berkhayal atau melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam aktivitas normal. Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas.

Kasus conduct disorder ini lebih banyak terjadi pada masa anak dan remaja. Seorang anak dikatakan mendapat serangan conduct disorder apabila simptom-simptom di atas muncul sebelum anak berusia 10 tahun. Sementara remaja dikatakan mengalami gangguan perilaku jika tidak terdapat simptom-simptom di atas sebelum anak berusia 10 tahun. Sama halnya dengan gangguan perilaku lainnya, conduct disorder ini juga terbagi dalam 3 tingkatan yaitu : mild (ringan), moderate (sedang) dan severity (berat). Banyak pemuda dengan conduct disorder, kelainan perilakunya dimulai pada masa anak-anak, dan menimbulkan akibat jangka panjang pada masa remaja serta dewasa dan biasanya cenderung berat dan menetap.

Penyebab Conduct Disorder

Seperti kebanyakan kasus-kasus gangguan perilaku lainnya, penyebab conduct disorder sangat kompleks dan saling berkaitan. Memang banyak variabel-variabel psikologis dan biologis yang telah dihubungkan dengan gangguan ini, meskipun variabel-variabel ini sulit dirinci. Pada banyak kasus misalnya terdapat kaitan antara interaksi genetik atau faktor neurologis dengan lingkungan keluarga yang disfungsional (Kearney, 2003).

Dalam beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa kasus conduct disorder lebih banyak terjadi pada populasi laki-laki dibandingkan wanita. Penelitian yang dilakukan oleh Scholevar& Scholevar (Deligatti dkk, 2003) menunjukkan bahwa diagnosa conduct disorder lebih banyak terjadi pada remaja yang berusia di bawah 18 tahun, dan dari populasi gangguan perilaku, terdapat 6-16% pria yang mengalami conduct disorder dan 2-9%, wanita yang mengalami conduct disorder. Namun walaupun wanita yang mengalami conduct disorder lebih sedikit dibandingkan pria, kenyataannya dari semua gangguan yang ada conduct disorder menempati urutan kedua pada remaja putri (Cohen, Cohen & Brooks, 1993). Riset menunjukkan bahwa anak perempuan yang mendapat conduct disorder pada masa remaja mempunyai resiko yang sama dengan anak lelaki yang mengalami conduct disorder dalam hal kecenderungan timbulnya problem kesehatan mental pada masa dewasa dan buruknya penyesuaian sosialnya.

Menurut Kearey (2003), salah satu penyebabnya adalah bahwa pada laki-laki terdapat hormon yang merangsang munculnya perilaku agresif yaitu hormon testoteron dan androstenedion. Sementara secara umum, faktor biologis yang mempengaruhi conduct disorder ini adalah karena adanya pengaruh dopamine dan perubahan hormon endokrin, adanya perubahan gelombang di otak yang tidak biasanya, disfungsi susunan syaraf pusat minor yang kemudian mempengaruhi kemampuan kognitif sehingga respon-respon fisiologis meningkat walaupun tetap lebih rendah dari level kerja syaraf otonom. Berkenaan dengan level yang rendah dari syaraf otonom inilah yang mungkin menyebabkan remaja sering mengambil resiko dan melakukan aktivitas-aktivitas yang menegangkan.

Referensi

digilib.uinsby.ac.id/11043/6/Bab 2.pdf