Menurut Yustinus (2006), gangguan dismorfik (dysmorphic disorder) adalah gangguan somatoform dimana individu terlalu memikirkan suatu cacat yang dibayangkan dalam penampilan fisiknya.
Menurut Kaplan dan Sadock Body dysmorphic disorder atau yang biasa disebut gangguan dismorfik tubuh merupakan salah satu jenis gangguan somatoform. Body dysmorphic disorder ditandai oleh kepercayaan yang salah atau persepsi berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mereka mengalami ketidaksempurnaan atau kecacatan.
Sedangkan menurut Phillips, seorang peneliti yang khusus meneliti masalah body dysmorphic disorder, pada umumnya mulai tampak ketika seorang individu dalam masa remaja ataupun awal masa dewasa (bisa jadi berawal sejak masa kecil, namun selama ini tidak pernah terdeteksi) (Oktaviana, 2013).
Menurut Perugi dkk (Gerald CD dkk, 2010), pada gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan kerusakan penampilan yang hanya dalam banyangan atau dilebih-lebihkan, sering kali pada wajah.
Contohnya, kerutan wajah, bulu di wajah lebat, bentuk atau ukuran hidung. Perempuan juga cenderung memusatkan pada kulit, pinggul, payudara dan kaki. Sedangkan pria lebih terpicu lebih menyakinkan bahwa tubuh mereka terlalu pendek dan bulu badannya terlalu banyak.
Menurut Obee (2016), Body dysmorphic disorder (BDD) yaitu suatu perasaan tidak puas terhadap penampilan fisik dan membenci tubuh sendiri. Sederet keluhan-keluhan tentang ketidakpuasan dalam menjalin hubungan dengan rekan, orang tua, pasangan juga banyak yang dimulai dari krisis kepercayaan diri.
Body dysmorphic disorder merupakan suatu gangguan preokupasi dimana pasien mengalami obsesi berlebihan terhadap citra tubuhnya. Gangguan ini menyebabkan pasien berperilaku kompulsif untuk mengonfirmasi adanya kekurangan pada tubuhnya, dan menyebabkan pasien mengisolasi diri akibat ketakutan terhadap pandangan orang lain mengenai kekurangan fisiknya. Tata laksana yang paling tepat untuk BDD adalah terapi dengan pendekatan cognitive-behavioral teraphy sehingga pasien memiliki motivasi untuk sembuh dari gangguan tersebut (Nurlita, 2016).
Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan Body Dysmorphic Disorder merupakan suatu perasaan tidak puas terhadap penampilan fisiknya sendiri. Gangguan mental ini membuat penderitanya merasa malu dan cemas atas kekurangan yang ada pada tubuhnya, walaupun sifatnya kecil, bahkan tidak disadari oleh orang lain. Orang yang mengalami dismorfik tubuh akan terus mencari prosedur kosmetik yang bisa memperbaiki kekurangannya, namun selalu merasa tidak puas dengan hasilnya.
Aspek-Aspek Body Dysmorphic Disorder
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi kecenderungan body dysmorphic disorder. Menurut Rosen (1996), body dysmorphic disorder memiliki empat aspek, yaitu:
-
Aspek pikiran (kognitif) yaitu kecemasan terhadap tubuh dan pikiran negatif tentang tubuh.
-
Aspek perasaan (afektif) yaitu ketidakpuasan terhadap bagian tubuh, dan perasaan negatif tentang tubuh.
-
Aspek perilaku (behavioral) yaitu perilaku obsesif- kompulsif.
-
Aspek hubungan sosial yaitu menghindari situasi dan hubungan sosial.
Sedangkan menurut Annastasia (2006:105), body dysmorphic disorder memiliki tiga aspek, yaitu ketidakpuasan dengan penampilan tubuh, preokupasi dengan aspek penampilan dan melebih-lebihkan kekurangan tubuh. Suatu penelitian pada 1989 menemukan bahwa 36% perempuan usia kuliah menyatakan sangat setuju dengan ketiga aspek tersebut, dengan 85% menyatakan ketidakpuasan yang sangat, dan 75% terlalu melebih-lebihkan.
Dalam penelitian ini untuk mengkaji kecenderungan body dysmorphic disorder menggunakan pendapat Rosen yang meliputi aspek pikiran (kognitif), aspek perasaan (afektif), aspek perilaku (behavioral) dan aspek hubungan sosial.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Body Dysmorphic Disorder
Beberapa faktor kunci berperan dalam etiologi dan patofisiologi BDD. Pertama faktor biologis, perubahan kelainan neuroanatomi, ketidaksesuaian proses visual, perubahan neurotransmitter, dan perdisposisi genetik berkontribusi paada BDD. Faktor psikologis seperti kesulitan pada masa kanak-kanak, sifat individu secara pribadi, dan berbagai teori belajar juga berkontribusi. Terakhir peranan dari gender, culture, dan media masa sebagai faktor yang penting (Nurlita, 2016).
BDD bukan terbentuk dari kerusakan tunggal, melainkan dari manifestasi multipel faktor seperti biologis, psikologis,dan sosiokultural. Beberapa komponen yang berpotensi memicu perkembangan dari BDD sudah diidentifikasi. Namun urutan tertentu peristiwa yang pada akhirnya menyebabkan gangguan ini sulit untuk ditentukan (Nurlita, 2016).