Apa yang dimaksud dengan Gagal Jantung Akut dan Kronik (Heart failure)?

Gagal jantung akut

Gagal jantung akut (GJA) adalah serangan yang cepat dari gejala dan tanda gagal jantung sehingga membutuhkan terapi segera. GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (GJK).

Apa yang dimaksud dengan Gagal Jantung Akut dan Kronik (Heart failure) ?

Gagal jantung (akut dan kronik)

Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian.

Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

  1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort)
  2. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu)
  3. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)

Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada orangtua

Faktor Risiko

  1. Hipertensi
  2. Dislipidemia
  3. Obesitas
  4. Merokok
  5. Diabetes melitus
  6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya
  7. Riwayat infark miokard

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik:

  1. Peningkatan tekanan vena jugular
  2. Frekuensi pernapasan meningkat
  3. Kardiomegali
  4. Gangguan bunyi jantung (gallop)
  5. Ronki pada pemeriksaan paru
  6. Hepatomegali
  7. Asites
  8. Edema perifer

Pemeriksaan Penunjang

  1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali dan melihat gambaran edema paru
  2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lain).
  3. Darah perifer lengkap

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:

  1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
  2. Distensi vena-vena leher
  3. Peningkatan tekanan vena jugularis
  4. Ronki basah basal
  5. Kardiomegali
  6. Edema paru akut
  7. Gallop (S3)
  8. Refluks hepatojugular positif

Kriteria Minor:

  1. Edema ekstremitas
  2. Batuk malam
  3. Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
  4. Hepatomegali
  5. Efusi pleura
  6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal
  7. Takikardi >120 kali per menit

Diagnosis Banding

  1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli paru
  2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
  3. Sirosis hepatik
  4. Diabetes ketoasidosis

Komplikasi

  1. Syok kardiogenik
  2. Gangguan keseimbangan elektrolit

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

  1. Modifikasi gaya hidup
    a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat)
    b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol

  2. Aktivitas fisik
    a. Pada kondisi akut berat: tirah baring
    b. Pada kondisi sedang atau ringan: batasi beban kerja sampai 60% hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur)

  3. Penatalaksanaan farmakologi Pada gagal jantung akut:
    a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit
    b. Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai dosis maksimal 600 mg/hari.
    c. Segera rujuk.

Pada gagal jantung kronik:

  • Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid) bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke layanan sekunder.

  • ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB) mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai segera dirujuk.

  • Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut nadi tidak terlalu cepat.

Konseling dan Edukasi

  1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung kronik misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau kadar gula darah.
  2. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda kegawatan kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah pengobatan di rumah sakit.
  3. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan.
  4. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan berinteraksi.
  5. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien.

Kriteria Rujukan

  1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti ekokardiografi.
  2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk layanan sekunder atau layanan tertier terdekat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.

Peralatan

  1. EKG
  2. Radiologi (X ray thoraks)
  3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon pengobatan.

Infografik

Gagal jantung (akut dan kronik)

Referensi

  1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
  2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)
  3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)

Gagal jantung akut (GJA) adalah serangan yang cepat dari gejala dan tanda gagal jantung sehingga membutuhkan terapi segera. GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (GJK).

Penyebab dan faktor presipitasi GJA adalah :

  1. Dekompensasi pada GJK yang sudah ada (kardiomiopati)

  2. Sindrom koroner akut (SKA)

    • Infark miokardial/angina pektoris tidak stabil dengan iskemia yang bertambah luas dan disfungsi iskemik

    • Komplikasi kronik infark miokard akut

    • Infark ventrikel kanan

  3. Krisis hipertensi

  4. Aritmia akut

  5. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada

  6. Stenosis katup aorta berat

  7. Miokarditis berat akut

  8. Tamponade jantung

  9. Diseksi aorta

  10. Kardiomiopati pasca melahirkan

  11. Faktor presipitasi non-kardiovaskular

  12. Pelaksanaan terhadap pengobatan kurang

  13. Overload volume

  14. Infeksi, terutama pneumonia atau septicemia

  15. Severe brain insult

  16. Pasca operasi besar

  17. Penurunan fungsi ginjal

  18. Asma

  19. Penyalahgunaan obat

  20. penggunaan alcohol

  21. feokromositoma

  22. Sindrom high output (Curah Jantung Tinggi)

Patofisiologi terjadinya Gagal Jantung


Disfungsi kardiovaskular disebabkan oleh satu atau lebih dari 5 mekanisme utama di bawah ini:

  • Kegagalan pompa
    Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.

  • Obstruksi aliran
    Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan tekanan kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik, atau koarktasio aorta.

  • Regurgitasi
    Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya ventrikel kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral.

  • Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak selaras dan tidak efisien.

  • Diskontinuitas sistem sirkulasi
    kanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka tembak yang menembus aorta.

Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilasi kamar jantung.

Pressure-overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta) menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area cross-sectional miosit, tetapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya, terjadi reduksi diameter kamar jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy (hipertrofi konsentrik). Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi deposisi sarkomer dengan penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya, terjadi penebalan dinding disertai dilasi dengan penambahan diameter ventrikel. Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang seiring dengan penambahan diameter kamar jantung menyebabkan tebal dinding jantung akan tetap normal atau kurang dari normal.

Terjadinya hipertrofi dan atau dilasi disebabkan karena peningkatan kerja mekanik akibat overload tekanan atau volume, atau sinyal trofik (misal hipertiroidisme melalui stimulasi reseptor β-adrenergik ) meningkatkan sintesis protein, jumlah protein di setiap sel, jumlah sarkomer, mitokondria, dimensi, dan massa miosit, yang pada akhirnya ukuran jantung. Apakah miosit jantung dewasa memiliki kemampuan untuk mensintesis DNA dan apakah hal ini memungkinkan terjadinya pembelahan sel masih menjadi perdebatan.

Perubahan molekular, selular, dan struktural pada jantung yang muncul sebagai respons terhadap cedera dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut remodelling ventricle ( left ventricular atau LV remodeling ). Terjadinya remodelling ventricle merupakan bagian dari mekanisme kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan perfusi organ vital jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas miokardium, melalui mekanisme sebagai berikut:

  1. Mekanisme Frank-Starling, dengan meningkatkan dilasi preload (meningkatkan cross-bridge dalam sarkomer) sehingga memperkuat kontraktilitas.

  2. Perubahan struktural miokardium, dengan peningkatan massa otot (hipertrofi) dengan atau tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa jaringan kontraktil meningkat.

  3. Aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan norepinefrin meningkatkan frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan resistensi vaskular; aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron; dan pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP).

Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural. Jika mekanisme kompensasi tersebut gagal, maka terjadi disfungsi kardiovaskular yang dapat berakhir dengan gagal jantung.

Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif fungsi kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera iskemik, overload tekanan, dan volume atau dilated cardiomyopathy . Penyebab spesifik tersering adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Terkadang kegagalan terjadi karena ketidakmampuan kamar jantung untuk relaksasi, membesar, dan terisi dengan cukup selama diastol untuk mengakomodasi volume darah ventrikel yang adekuat (disfungsi diastolik), yang dapat muncul pada hipertrofi ventrikel kiri yang masif, fibrosis miokardium, deposisi amiloid, dan perikarditis konstriktif. Apapun yang mendasari, gagal jantung kongestif dikarakteristikkan dengan adanya penurunan curah jantung ( forward failure ) atau aliran balik darah ke sistem vena ( backward failure ) atau keduanya.

Gagal jantung kiri lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardial non-iskemik. Efek morfologis dan klinis gagal jantung kiri terutama merupakan akibat dari aliran balik darah ke sirkulasi paru yang progresif dan akibat dari berkurangnya aliran dan tekanan darah perifer.

Gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri muncul pada beberapa penyakit. Biasanya gagal jantung kanan merupakan konsekuensi sekunder gagal jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru pada kegagalan jantung kiri.

Gagal jantung kanan murni paling sering muncul bersama hipertensi pulmoner berat kronik ( cor pulmonale ) . Pada keadaan ini ventrikel kanan terbebani oleh beban kerja tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Hipertrofi dan dilatasi secara umum terbatas pada ventrikel dan atrium kanan, walaupun penonjolan septum ventrikel kiri dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri.

Presentasi Klinis

Presentasi klinis pasien dengan GJA dapat digolongkan ke dalam kategori klinik:

  • Gagal jantung kronik dekompensasi
    Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.

  • Edema paru
    Pasien datang dengan distres pernapasan berat, takipnoe, dan ortopnoe dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi oksigen arteri biasanya <90% pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.

  • Gagal jantung hipertensif
    Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis dengan takikardia dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.

  • Syok kardiogenik
    Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru terjadi dengan cepat.

  • Gagal jantung kanan terisolasi
    Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa disertai kongesti paru.

  • SKA dan gagal jantung
    Terdapat gambaran klinis dan bukti laboratoris SKA. Kira-kira 15% pasien dengan SKA memiliki tanda dan gejala gagal jantung.

  • GJA akibat Curah Jantung Tinggi
    Ditandai dengan tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat cepat (penyebabnya, antara lain aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti pulmoner, dan terkadang tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.

Diagnosis


Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks, laboratorium, dan ekokardiografi Doppler.

Kriteria Framingham adalah sebagai berikut :

  1. Kriteria Mayor

    • Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
    • Distensi vena leher
    • Ronki paru
    • Kardiomegali
    • Edema paru akut
    • Gallop S3
    • Peninggian tekanan vena jugularis lebih dari 16 cm H2O
    • Waktu sirkulasi >25 detik
    • Refluks hepatojuguler
    • Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali saat autopsi
  2. Kriteria Minor

    • Edema ekstremitas
    • Batuk malam hari
    • Dyspnea d’effort
    • Hepatomegali
    • Efusi pleura
    • Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
    • Takikardia (>120/ menit)
  3. Kriteria Mayor atau Minor

    • Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Kriteria Framingham.

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama, dan konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST segmen iskemik untuk kemungkinan STEMI atau non-STEMI.

Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai derajat kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain. Kardiomegali merupakan temuan yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif vena lobus atas, edema vaskular, edema interstisial, dan cairan alveolar membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal.

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:

Anemia

  • Prerenal azotemia

  • Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat meningkatkan risiko aritmia

  • Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)

  • Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema

  • Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan tekanan intraventrikular, seperti pada gagal jantung

Selain itu, kadar kreatinin, glukosa, albumin, enzim hati, dan INR dalam darah juga perlu dievaluasi. Sedikit peningkatan troponin jantung dapat terjadi pada pasien GJA tanpa SKA.

Analisis gas darah memungkinkan penilaian oksigen (pO2), fungsi respirasi (pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH), terutama pada semua pasien dengan stres pernapasan.

Ekokardiografi dengan Doppler merupakan alat yang penting untuk evaluasi perubahan fungsional dan struktural yang dihubungkan dengan GJA. Temuan dapat menentukan strategi pengobatan.

image
Gambar. Algoritma diagnosis GJA

Terapi


Terapi awal GJA bertujuan untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi hemodinamik, yang meliputi:

  • Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP ( continuous positive airway pressure ), target SaO2 94-96%

  • Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid

  • Terapi diuretik dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya (dimulai dengan bolus IV dan bila perlu diteruskan dengan infus berkelanjutan

  • Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik, psikologis, dan hemodinamik

  • Pemberian infus intravena dipertimbangkan apabila ada kecurigaan tekanan pengisian yang rendah ( low filling pressure)

  • Pacing , antiaritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan irama jantung

  • Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya.

Terapi spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan hemodinamik pasien yang tidak responsif terhadap terapi awal.

image
Gambar. Algoritma tatalaksana GJA berdasarkan perfusi dan tekanan pengisian

image

NIV = non-invasive ventilation , TDS = tekanan darah sistolik, NTG = nitrogliserin, PDEI = phosphodiesterase inhibitor , ACEI = angiotensin converting enzyme inhibitor , ARB = angitensin receptor blocker

Gambar. Algoritma tatalaksana GJA berdasarkan tekanan darah sistolik

Pilihan Obat


Vasodilator

Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Yang termasuk dalam vasodilator, antara lain:

  • Nitrat
    Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya pada pasien SKA. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner. Dengan dosis yang tepat, nitrat membuat keseimbangan dilatasi arteri dan vena sehingga mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri, tanpa mengganggu perfusi jaringan.

  • Nesiritid
    Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload . Kadar B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru (PCWP).

  • Nitropusid
    Nitroprusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload dan after load . Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.

Loop Diuretic

Diuretik kuat diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi cairan. Pemakaian secara intravena loop diuretic , seperti furosemid, bumetanid, dan torasemid, dengan efek cepat dan kuat, lebih disukai pada GJA. Terapi dapat diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai dengan respon terhadap diuretik. Pemberian loading dose furosemid atau torasemid yang diikuti dengan infus berkelanjutan terbukti lebih efektif dibanding hanya bolus saja. Kombinasi loop diuretic dengan tiazid, spironolakton, dobutamin, atau nitrat dapat diberikan.

Pemberian loop diuretic yang berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia dan hiponatremia, dan meningkatkan kemungkinan hipotensi saat pemberian ACEI ( angiotensin converting enzyme inhibitor ) atau ARB ( angiotensin receptor blocker ).

Inotropik

Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati.

Yang termasuk inotropik, antara lain:

  • Dobutamin
    Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor β-1, β-2, dan α pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis β-adrenergik. Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri.

  • Dopamin
    Dopamine merupakan agonis reseptor β-1 yang memiliki efek inotropik dan kronotropik positif. Pemberian dopamin terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik.

  • Milrinon
    Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat ini juga vasodilator poten untuk sirkulasi sistemik dan pulmoner. Penurunan tekanan pengisian ventrikel kiri lebih tinggi daripada dobutamin dan curah jantung yang dihasilkan lebih besar daripada nitroprusid. Obat ini biasanya digunakan pada individu yang dengan curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular sistemik yang tinggi.

  • Epinefrin dan norepinefrin
    Epinefrin menstimulasi reseptor adrenergik β-1 dan β-2 di miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.

  • Digoksin
    Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter . Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.

ACEI dan ARB

Pasien gagal jantung kronik dekompensasi akut yang sebelumnya mendapat ACEI/ARB sedapat mungkin harus meneruskan penggunaan obat tersebut. Jika pasien sebelumnya juga menggunakan penghambat beta, dosisnya mungkin perlu diturunkan atau dihentikan untuk sementara. Pengobatan dapat ditunda atau dikurangi bila terdapat komplikasi berupa bradikardia, blok AV lanjut, bronkospasme berat, atau syok kardiogenik, atau pada kasus GJA yang berat dan respons yang tidak adekuat terhadap pengobatan awal.

Penghambat Beta

Penghambat beta merupakan kontraindikasi pada GJA kecuali bila GJA sudah stabil.

Antikoagulan

Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk SKA dengan atau tanpa gagal jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau LMWH pada GJA.16

Prognosis


Pasien GJA memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan perawatan ulang 60 hari menjadi 35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan. Pada pasien edema paru akut, angka kematian di rumah sakit12%, dan mortalitas 1 tahun 40%.

Prediktor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru ( Pulmonary Capillary Wedge Pressure ) yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat, dan konsumsi oksigen puncak yang rendah.

Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama.

Referensi :

  • ”Manurung D. Gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1505.”
  • Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB, et al. Pedoman praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi “critical care” dan kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vaskular FKUI; 2008. p.35-48.